Kamis, 29 Juli 2010

Kisruh Meledaknya Tabung Gas

By redaksi
diakses dari http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=56740
Rabu, 07-Juli-2010, 08:04:22 73 clicks Send this story to a friend Printable Version
Subsidi pemerintah lewat konversi minyak tanah ke gas sejatinya menjadi solusi terhadap penghematan anggaran pemerintah, selain lebih memudahkan masyarakat terhadap urusan “dapur”-nya.

Hasani Ahmad Said
Tapi ironis, hampir setiap hari menyaksikan terjadinya kebakaran akibat tabung gas, yang kian hari korbannya kian bertambah. Pertanyaannya kemudian adalah ini salah siapa? Pemerintahkah sebagai pengambil tampuk kebijakan? Atau terjadinya akibat human error?
Memang tidak tepat kiranya hanya mencari “kambing hitam” yang lebh bijak adalah barangkali sama-sama melakukan introspeksi diri demi perbaikan sekarang dan yang akan datang. Gambaran masyarakat yang kita saksikan selama ini adalah saling menuding mencari siapa yang salah tanpa mengambil solusi yang terbaik. Memang kebijakan pemerintah yang baik, tanpa dilakukan sosialisasi yang tepat dalam artian sosialisasi sampai pada masyarakat di tingkat pedesaan, maka kebijakan yang baik itu akan terhapus dengan kejadian-kejadian merajalelanya gas meledak yang terjadi beberapa kali di beberapa tempat.
Kepala Pusat Laboratorium dan Forensik Brigjenpol Budiono memberikan analisa bahwa ada beberapa indikasi terjadinya meledaknya tabung gas. Pertama, perangkat tabung banyak yang rusak, kerusakan pada karet perekat udara, dan peralatan logam rusak.
Penemuan Puslabfor ini sangat memiriskan hati, betapa tidak di tengah gencarnya subsidi tabung gas. Sementara itu, tanpa dikomando minyak tadinya yang sudah lekat dengan masyaraka kecil dan mudah untuk mendapatkannya, tiba-tiba menghilang ditelan bumi dan sulit untuk didapat.
Meskipun ada, namun harganya sangat mahal dan sangat terbatas sehingga, masyarakat enggan untuk membeli, dan seolah “dipaksa” beralih ke gas. Bagai “bom waktu”, tanpa diprediksi leih awal ternyata peralihan minyak tanah ke gas menyisakan banyak persoalan. Mulai dari kebakaran rumah, sampai memakan korban nyawa. Yang terjadi sekarang adalah masyarakat mulai “fobia” terhadap penggunaan gas elpiji. Lebih miris lagi kebanyakan korbannya adalah masyarakat kecil sebagai pemakai gas, tanpa diikuti dengan pengetahuan yang cukup tentang perawatan dan pemakaian gas secara baik dan benar.
Hal senada juga diungkapkan oleh Husna Zahir, salah seorang anggota YLKI bahwa kejadian meledaknya tabung gas lebih kepada banyak perangkat paket tabung tidak memenuhi standar. Bagaimana mungkin program nasional yang melibatknan seluruh lapisan masyarakat kecil bisa terjadi salah setting?
Sekali lagi, tidak terlalu penting mencari siapa yang salah, tetapi lebih penting lagi saat ini bagaimana menciptakan dan melakukan inovasi baru dalam menanggulangi problem sosial yang sudah banyak menelan banyak korban.
Gagasan dan terobosan baru inilah yang sedang dilakukan oleh Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Arya Rezavidi, Direktur Teknologi BPPT mengkritisi desain kompor dan tabung gas yang dirancang oleh pemerintah dalam hal ini Pertamina. Dia menganggap bahwa desain yang dilakukan pemerintah antara komponen yang satu denga komponen yang lain dilakukan terpisah-pisah, dalam artian tabung, kompor gas, dan selang penghubung antara keduanya terpisah.
Model seperti inilah disinyalir oleh BPPT sebagai salah satu pemicu terjadi peledakan tabung gas. Belum lagi minimnya pengetahuan masyarakat akan tabung dan kompor gas. Idealnya, perangkat yang menghubungkan semisal selang, karet perekat dalam tabung diganti secara berkala dan senantiasa dalam pengawasan.
Sedang inovasi yang dilakukan BPPT lebih kepada menyatukan ketiga komponen desain yang disebut tadi yaitu tabung, kompor langsung terhubung/terpasang disertai pula dengan penutup tabung dan kompor. Sehingga, pola ini dianggap oleh BPPT, sebagai pola aman bagi para konsumen.
Bahkan, sebelum BPPT melakukan inovasi seperti itu, banyak inovasi-inovasi yang aman karena lebih memanfaatkan alam. Sebut misalnya kotoran hewan disulap dan diulah menjadi gas. Penyelarasan antara sumber daya manusia dan upaya inovasi baru sangat dibutuhkan agar mencegah atau paling tidak mengurangi korban dan kecemasan masyarakat.
Selanjutnya, bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah, kalau memang konversi minyak tanah ke gas itu lebih ekonomis, sejatinya dilakukan dengan keterbukaan dan sertai dengan standarisasi keamanan. Tidak usah misalnya begitu sosialisasi program yang “dicap” ekonomis, tidak serta merta memberangus program yang sudah ada kalau memang pemanfaatannya masih dibutuhkan.
Meskipun program konversi minyak tanah ke gas lebih baik, maka kekurangan-kekurangan yang selama ini dikeluhkan masyarakat, sebaiknya cepat ditangani. Bukan justru malah sebaliknya, seolah-olah tidak ada orang yang bertanggung jawab atas semua ini.
Saatnya pemeritah tegas memberantas mavia-mavia pengoplos gas, pengurangan takaran dalam tabung, sampai kepada permainan harga yang tidak menentu, dan yang tak kalah penting adalah lebih ditingkan lagi fungsi pengawasan dan selalu dilakukan evaluasi. Bukan malah bagaimana menaikkan harga gas, BBM ataupun TDL, dengan dalih pemerintah merugi.
Saatnya pemerintah memulihkan stigma miring tentang kabar meledaknya gas saat ini dan masa yang akan datang. Satu contoh misalnya, di Nunukan, Kaltim, tengah menggunakan gas Petronas produk Negara Jiran, Malaysia. Gas ini dianggap oleh penggunanya sebagai produk gas yang aman dan mudah didapat di daerah tersebut.
Kalau sudah begini, pemerintah juga yang rugi atas ketidakpercayaan masyarakat. Memang tidak cukup hanya pemerintah saja yang memulai tanpa didukung dengan kesadaran masyarakat.
Bagi pemerintah dan masyarakat sebaiknya bahu membahu memperbaiki pola pengurusannya, dan bagi masyarakat sebagai konsumen harus mawas diri sebelum datang musibah. Pendek kata, dari unsur pengambil kebijakan sampai konsumen di tingkat bawah tidak ada problem, kecuali ada pemecahannya. Semoga tidak akan ada lagi korban berjatuhan berikutnya akibat buruknya desain tabung dan lemahnya kesadaran pengguna tabung gas. (*)

*Penulis adalah kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen IAIN Raden Intan Lampung, tinggal di Kelurahan Pabean, Kota Cilegon.

Peran Strategis Pengelolaan Zakat: Upaya Pengentasan dan Penanggulangan Kemiskinan

PERAN STRATEGIS PENGELOLAAN ZAKAT: UPAYA PENGENTASAN DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Oleh Hasani Ahmad Said, MA

Pendahuluan

Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Shalat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin. Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban shalat dan manfaatnya dalam membentuk keshalehan pribadi. Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial. Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut. Pemahaman shalat sudah merata dikalangan kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat.

Epistemologi Zakat

Zakat menurut etimologi berarti, berkah, bersih, berkembang dan baik. Dinamakan zakat karena, dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Menurut Ibnu Taimiah, hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi. Zakat menurut terminologi berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah swt. untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Atau bisa juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang diberikan untuk orang tertentu. Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah harta yang diambil dari harta orang yang berzakat.

Zakat dalam Al-Qur’an dan hadis kadang-kadang disebut dengan sedekah, seperti firman Allah swt. yang berarti, "Ambillah zakat (sedekah) dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah buat mereka, karena doamu itu akan menjadi ketenteraman buat mereka." (Q.S. At Taubah, 103). Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw. ketika memberangkatkan Muaz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda, "Beritahulah mereka, bahwa Allah mewajibkan membayar zakat (sedekah) dari harta orang kaya yang akan diberikan kepada fakir miskin di kalangan mereka." (Hadis ini diketengahkan oleh banyak perawi).

Peranan Strategis Pendayagunaan dan Pengelolaan Zakat

Pengumpulan sumber zakat adalah lewat zakat mal dan zakat fitrah. Al-Qur'an dan Hadits telah memberikan nash-nash secara tafshily tentang sumber-sumber zakat. Sementara sumber-sumber ijmaly memungkinkan kita untuk melakukan kajian dan pengembangan terhadap objek dan sumber zakat. Keberhasilan zakat tergantung kepada pendayagunaan dan pemanfaatannya. Walaupun seorang wajib zakat (muzakki) mengetahui dan mampu memperkirakan jumlah zakat yang akan ia keluarkan, tidak dibenarkan ia menyerahkannya kepada sembarang orang yang ia sukai. Zakat harus diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang sudah ditentukan menurut agama. Penyerahan yang benar adalah melalui badan amil zakat. Walaupun demikian, kepada badan amil zakat manapun tetap terpikul kewajiban untuk mengefektifkan pendayagunaannya. Pendayagunaan yang efektif ialah efektif manfaatnya (sesuai dengan tujuan) dan jatuh pada yang berhak (sesuai dengan nas) secara tepat guna.

Dalam pengelolaan zakat, Al-Qur'an menyebutkan kata ’amilin dalam salah satu ashnaf yang berhak menerima dana zakat (QS. Al-Taubah : 60).

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Al-Qurtubi menafsirkan kata amilin sebagai orang-orang yang ditugaskan (oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dana zakat yang diambil dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Hal ini dipertegas lagi dengan adanya perintah (mandat) yang diberikan kepada penguasa untuk memungut zakat dari harta orang-orang yang wajib zakat, sebagaimana dijelaskan dalam surat At Taubah ayat 103:

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Keberadaan amilin ini didukung oleh fakta historis bahwa Rasulullah pernah mengutus Ibnu Lutaibah untuk mengurus zakat Bani Sulaim, juga mengutus Mu'adz ibn Jabal untuk memungut zakat dari penduduk Yaman. Pertanyaannya, apa makna strategis Al Qur'an dan praktik Nabi saw (Al-Hadis) berkaitan dengan keberadaan amil zakat di atas? Secara tersirat, Al-Qur'an ingin menunjukkan bahwa keberadaan amil dalam mengelola zakat memiliki peran yang sangat strategis. Artinya, amil diharapkan mampu mewujudkan cita-cita zakat sebagai salah satu instrumen dalam Islam (Sistem ekonomi Islam) dalam rangka menciptakan pemerataan ekonomi dan harmonisasi antarumat. Dalam konteks ini, para amil zakat tidak hanya sekedar mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, tetapi juga dituntut untuk mampu menciptakan pemerataan ekonomi umat sehingga kekayaan tidak hanya berputar pada satu golongan atau satu kelompok orang saja. Sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Hasyr : 7 Artinya: supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.

Para amil harus mampu memilih dan memilah agar penyaluran zakat tepat sasaran dan jangan sampai diberikan kepada orang yang tidak berhak, Allah swt memperingatkan bahwa ada orang yang tidak pantas menerima zakat tetapi ingin mendapatkan bagiannya lalu orang tersebut mencela Nabi Muhammad Saw. mengenai masalah pembagian harta zakat, surat At Taubah : 58 :

Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.

Amil zakat harus mampu menciptakan dan merumuskan strategi pemanfaatan zakat yang berdaya guna dan berhasil guna. Amil zakat juga harus mampu mengeksplorasi berbagai potensi umat sehingga dapat diberdayakan secara optimal. Dengan demikian, zakat menjadi lebih produktif dan tidak hanya sekedar memiliki fungsi karitatif.

Secara lebih jelas, Yusuf Al-Qardhawi menyebutkan urgensi keberadaan amil, yaitu: pertama, jaminan terlaksananya syariat zakat (bukankah ada saja manusia-manusia yang berusaha menghindar bila tidak diawasi oleh penguasa?). Kedua, pemerataan (karena dengan keterlibatan satu tangan, diharapkan seseorang tidak akan memperoleh dua kali dari dua sumber, dan diharapkan pula semua mustahiq akan memperoleh bagiannya). Ketiga,memelihara air muka para mustahiq, karena mereka tidak perlu berhadapan langsun dengan para muzakki, dan mereka tidak harus pula datang meminta. Keempat, sektor (ashnaf yang harus menerima) zakat, tidak terbatas pada individu, tetapi juga untuk kemaslahatan umum, dan sektor ini hanya dapat ditangani oleh pemerintah.

Zakat dan Orientasi Pembangunan

Nabi Muhaminad SAW pernah memberikan shadakah kepada seorang fakir sebanyak dua dirham, sambil mernberi anjuran agar mempergunakan uang itu satu dirham untuk makan dan satu dirham lagi untuk membeli kampak dan bekerja dengan kampak itu. Lima belas hari kemudian orang ini datang lagi kepada Nabi SAW dan menyampaikan bahwa ia telah bekerja dan berhasil mendapat sepuluh dirham. Separuh uangnya dipergunakan untuk makan dan separuhnya lagi untuk membeli pakaian. Zakat diberikan tidak sekedar sampai pada fakir, sunnah Nabi menyarankan agar zakat dapat membebaskan seorang fakir dari kefakirannya. Nabi pun dicerca orang yang tidak mendapat bagian zakat atau dipuji karena seseorang mendapat sesuai dengan yang diingininya. Padahal Nabi menentukan mustahik atas dasar tepatnya sasaran. Apabila tidak ada lagi mustahik maka dana zakat dikirimkan ke luar daerah atau untuk dimasukkan ke dalam dana baitul maal seperti dilakukan oleh Mu'az pada zaman Khalifah Umar. Tiga kali Gubernur Yaman mengirimkan zakat kepada Umar, dan tiga kali Umar menolak, bahwa ia tidak menyuruh Mu'az memungut upeti. Tetapi Mu'az menerangkan bahwa ia tidak lagi mendapatkan mustahik zakat.

Mendidik Mustahik menjadi Muzakki

Di dalam Al Qur'an disebutkan mustahik adalah 8 asnaf. Pengertian tentang kedelapan asnaf berkembang sesuai dengan berubahnya kondisi sosial ekonomi di atas dasar yang tetap. Sesungguhnya zakat- zakat itu, hanyalah untuk orang orang fakir, orang orang miskin, pengurus pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS At Taubah 60).

Dari delapan asnaf yang disebutkan di atas, yang terpenting adalah bagaimana mendidik mereka tidak hanya sebatas hanya penerima zakat. Akan tetapi bagaiamana kemudian, dari zakat yang diterima bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang produktif, yang pada gilirannya akan membawa kepada makna zakat itu sendiri yakni tumbuh dan berkembang. Kalau sudah demikian paradigmanya, bisa jadi tahun ini sebagai penerima zakat, dan tidak menutup kemungkinan tahun yanga akan dating sudah meraih reting selanjutnya yaitu menjadi muzakki. Inilah kurang lebih pesan moral dari pemberian dan pendistribusian zakat.

Rintisan Zakat Menuju Mengentaskan Kemiskinan

Dengan mengubah orientasi, tetapi tetap berpegang kepada nas mustahik seperti tersebut di atas, dilakukan proyek rintisan untuk mengembangkan pendayagunaan zakat untuk mencapai efektif manfaat yang maksimal. Proyek rintisan pada dasarnya memerlukan dana yang besar. Hal ini perlu mendapat perhatian dan meminta kesadaran para muzakki. Memang dengan konsentrasi dana semacam ini dapat menimbulkan pengaruh yang dianggap kurang memperhatikan kepentingan para asnaf secara langsung. Namun untuk mengatasi hal tersebut setiap proyek rintisan diprogramkan secara matang dengan mempertimbangkan kepentingan para asnaf (sesuai nas). Di samping itu penanganan proyek tentu sudah dilakukan pula lembaga-]embaga sosial lainnya. Dana yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin masyarakat, meliputi : a). Bidang Sarana Ibadah, b). Bidang Pendidikan, c). Bidang Kesehatan, d). Bidang pelayanan social, e). Bidang Ekonomi. Proyek-proyek tersebut di atas dilaksanakan sesuai dengan urutan prioritas dan alternatif yang paling memungkinkan bagi penggunaan dana zakat.

Model Pengentasan dan Penanggulangan Kemiskinan

Sejak digulirkannya seruan Presiden SBY tentang perlunya merevitalisasi pengelolaan zakat, infak, dan sedekah dalam acara pembukaan Festival Ekonomi Syariah (FES) tanggal 4 Februari 2009, yang kemudian diikuti wacana tentang perlunya merevisi UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, perlunya pemberian sanksi kepada muzaki yang tidak mau berzakat, pengintegrasian LAZ ke dalam BAZ, serta usul agar zakat dapat mengurangi besarnya pajak, yang disampaikan oleh menteri agama di depan panitia ad hoc III DPD RI tanggal 24 Februari 2009, telah muncul sambutan dan tanggapan dari berbagai pihak.

Awalnya menteri agama sudah pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan BAZ desa/kelurahan dan BAZ kecamatan sebagai koordinatornya, tetapi atas petunjuk Presiden Soeharto pembentukan BAZ tersebut ditunda pelaksanaannya melalui Instruksi Menteri Agama No 1 Tahun 1969. Berdirinya BAZIS dan BAZ di beberapa provinsi sejak awal 1970-an, walaupun dengan SK Gubernur tidak atas prakarsa pemerintah pusat, tapi atas prakarsa masyarakat. Dalam SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 29 Tahun 1991 dan No 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS, secara tegas dinyatakan bahwa BAZIS dan BAZ adalah lembaga swadaya masyarakat. Badan Amil Zakat (BAZ) baru dibentuk oleh pemerintah setelah keluarnya Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. BAZNAS dibentuk untuk pertama kalinya dengan Keputusan Presiden No 8 Tahun 2001 tanggal 17 Januari 2001.

Sejak kapan lembaga amil zakat (LAZ) dibentuk oleh masyarakat di Tanah Air kita ini? LAZ, sebagai institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat, sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial. Biasanya bersifat sementara/temporer, berupa kepanitiaan yang dibentuk oleh pengurus masjid, umumnya di bulan Ramadhan. Sedang LAZ yang dimiliki ormas Islam, seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis, biasanya bersifat permanen dan menjadi bagian dari organisasinya. LAZ-LAZ tersebut dibentuk untuk menghimpun dana dari anggota masing-masing guna menghidupi dan membiayai jalannya organisasi dan kegiatannya di bidang dakwah, pendidikan, sosial, dan kemaslahatan umat Islam. Akan tetapi, LAZ-LAZ kelas kakap (mohon maaf), seperti 4 LAZ yang menanggapi wacana menteri agama tersebut di atas, muncul di awal 1990-an. Yaitu, usai ditolaknya pembentukan BAZIS Nasional oleh Presiden Soeharto, yang diusulkan oleh peserta Mudzakarah Nasional Zakat, pada bulan Maret 1992 melalui menteri dalam negeri dan menteri agama. Dirjen Bimas Islam, usai mudzakarah nasional tersebut, mengumpulkan pimpinan BABINROHIS seluruh instansi pemerintah tingkat pusat, untuk menginformasikan hasil mudzakarah dan sekaligus meminta masing-masing membentuk unit pengumpul zakat (UPZ) dari BAZIS Nasional yang akan dibentuk di instansi masing-masing. Ternyata, permohonan pembentukan BAZIZ Nasional ditolak oleh Presiden Soeharto.

Sementara itu, di beberapa instansi pemerintah tingkat pusat (terutama di BUMN-BUMN) sudah dibentuk unit pengumpul zakat yang dipesan oleh Dirjen Bimas Islam. Akhirnya, UPZ-UPZ yang dibentuk oleh BABINROHIS tersebut tidak hanya mengumpulkan zakat, tapi juga menyalurkannya sesuai selera masing-masing dan menjadi LAZ yang namanya juga berbeda-beda. Fenomena inilah yang mendorong dibentuknya LAZ oleh lembaga-lembaga lainnya, seperti 4 LAZ tersebut di atas. Semuanya kemudian, pada tahun 1997, terhimpun dalam suatu asosiasi yang diberi nama Forum Zakat (FOZ). Ketua FOZ pertama adalah Pak Eri Sudewo, salah seorang perintis dan pendiri Dompet Dhuafa Republika.

Setelah dibentuk BAZNAS dengan Keputusan Presiden No 8 Tahun 2001, LAZ-LAZ yang berdiri setelah ditolaknya pembentukan BAZIS Nasional oleh Presiden Soeharto pada 1992, seharusnya dikembalikan kepada cita-cita semula, yaitu menjadi UPZ dari BAZNAS. Pengintegrasian LAZ ke dalam BAZ yang diwacanakan oleh menteri agama, bukan sentralisasi karena lawan sentralisasi adalah desentralisasi. Mungkin istilah yang tepat adalah merger, yang biasa dilakukan dalam dunia usaha untuk tercapainya efisiensi. Jadi, 18 LAZNAS yang sudah dikukuhkan oleh menteri agama diintegrasikan (dimerger) menjadi satu ke dalam BAZNAS, apakah sebagai UPZ BAZNAS atau UPZ BAZ Provinsi, atau masuk dalam kepengurusan BAZNAS atau BAZ Provinsi. Demikian pula, LAZ-LAZ yang sudah dikukuhkan di daerah. Dengan cara demikian, pengelolaan zakat tentu akan lebih efisien karena tidak akan terjadi lagi persaingan dalam pengumpulan zakat dan tidak akan terjadi lagi overlapping dalam pendistribusian zakat. Selain itu, juga tidak akan terjadi kebingunan pada muzaki, kepada petugas zakat yang mana dia harus menyetorkan zakatnya.

Demikian pula, bagi para mustahik, karena di setiap desa/kelurahan tempat kediaman/tempat tinggal mereka sudah ada petugas zakat yang berkewajiban mengurusi kepentingan masing-masing. Dalam RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang sudah disiapkan oleh tim yang diangkat oleh Pemerintah c.q. Departemen Agama, BAZ desa/kelurahanlah yang akan menjadi ujung tombak dalam memerangi kemiskinan di negara kita. BAZ desa/kelurahanlah yang mengetahui dan bisa berhubungan langsung dengan muzaki dan mustahik yang berdomisili di desa/kelurahan.

Merekalah yang mengumpulkan ZIS di wilayah masing-masing sesuai lingkup kewenangan yang sudah ditentukan dan mereka pulalah yang menyalurkan, mendistribusikan, dan mendayagunakannya sesuai ketentuan agama serta aturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila hasil pengumpulan zakat di suatu desa/kelurahan sudah dapat menanggulangi dan memenuhi kebutuhan fakir miskin di wilayah masing-masing, dan masih ada sisa, sisa tersebut bisa disetorkan ke BAZ kecamatan untuk disumbangkan kepada fakir miskin di desa/kelurahan tetangganya.

Ancaman hukuman bagi muzaki yang tidak mau membayar zakat, dalam Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 180 dinyatakan bahwa harta yang tidak dikeluarkan zakatnya itu kelak akan dikalungkan di lehernya pada hari kiamat.
Dalam surat At-Taubah ayat 34 dan 35 dinyatakan bahwa harta yang tidak dikeluarkan zakatnya itu kelak akan dipanaskan dalam api neraka jahanam lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung mereka, dan punggung mereka. Dalam surat Fushshilat ayat 6 dan 7 disebutkan bahwa neraka wail (kecelakaan besarlah) bagi mereka yang mempersekutukan (Nya), yaitu mereka yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.

Sanksi pidana berupa denda hanya sebesar zakat yang wajib ditunaikannya, yaitu 2,5 persen zakat hartanya yang harus dibayarkan ke BAZ ditambah 2,5 persen dendanya yang harus disetorkan ke kas negara, tidak saja mereduksi ancaman hukuman dari Allah, tapi justru membebaskan mereka dari ancaman yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah maupun masyarakat. Kemiskinan sebagai bentuk ancaman merupakan paradigma yang telah ada sejak beridirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian dalam perkembangannya dampak krisis moneter pada tahun 1997 semakin memperparah perekonomian Indonesia. Sejak tahun inilah krisis moneter sebagai pintu gerbang dari segala permasalahan kompleks yang terjadi di Indonesia ke arah kondisi yang paling buruk. Inflasi melonjak ke level yang tinggi, pengaruhnya adalah bahan kebutuhan masyarakat melejit sampai pada tingkat di luar batas kemampuan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia.

Sontak angka kemiskinan di Indonesia melonjak tajam. dari ±200 juta jiwa penduduk Indonesia 60% nya hidup dalam garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka kemiskinan di Indonesia sangat fluktuatif. Pada tahun 1976 angka kemiskinan Indonesia berkisar 40% dari jumlah penduduk, tahun 1996 angka kemiskinan turun menjadi 11% dari total penduduk. Pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 penduduk miskin Indonesia mencapai 24%. Tahun 2002 mengalami penurunan menjadi 18 % dari total penduduk, angka kemiskinan pada 2003 sebesar 17,4%, pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 14 %. Akan tetapi angka resmi BPS berdasarkan sensus kemiskinan tahun 2005 mencapai 35.1 juta jiwa atau 14,6 % dari jumlah penduduk.

Data BPS 2006 mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 39,05 juta jiwa. Sementara itu bank dunia (World Bank) menyatakan bahwa, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 120 juta jiwa dengan asumsi mereka yang hidup di bawah dua dolar sehari. Kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh peradabannya hanya karena kefakiran. Karena itu seperti sabda Nabi yang menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada kekufuran. Islam sebagai Ad-diin telah menawarkan beberapa doktrin bagi manusia yang berlaku secara universal dengan dua ciri dimensi, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia serta kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di akhirat. Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang mampu untuk mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa dana zakat kepada mereka yang kekurangan. Zakat merupakan salah satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya. Tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan.

Penutup

Semangat terhadap nilai-nilai Islam yang dimuat dalam hukum-hukum positif seharusnya mendapat apresiasi oleh seluruh masyarakat muslim Indonesia. Apresiasi tersebut dapat dilakukan dengan menjadi muzakki yang aktif, tidak hanya dalam proses aktifitasnya sebagai seorang muzakki yang mengeluarkan hartanya, tapi apresiasi tersebut juga dapat diwujudkan dengan ikut berperan dalam pengawasan secara langsung atau tidak langsung terhadap pengelola zakat, yang dalam hal ini adalah Badan Amil Zakat menuju badan yang professional. Semoga dengan cara demikian, akan terjadi revolusi menjadi penyalura zakat yang tangguh, amanah, professional, dan produktif serta kreatif. Dan hasil akhir dari tujuan pengentasan kemiskinan mestinya menjadi perioritas yang utama.

Dimuat di Kolom "ARTIKEL" BIMAS ISMALAM KEMENAG RI, Diakses tanggal 29 Juli 2010 dari http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2049:peran-strategis-pengelolaan-zakat-upaya-pengentasan-dan-penanggulangan-kemiskinan&catid=49:artikel&Itemid=92

·Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Kader Mufassir Pusat Studi al-Qur’an (PKM-PSQ), Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung & Kandidat Doktor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyelesaikan S-1 dan S-2 nya di kampus yang sama, dalam bidang Tafsir Hadis.
Email elhasan_ahsyamsun@yahoo.co.id
Bisa dikunjungi di web www.hasanibanten.blogspot.com

Rabu, 28 Juli 2010

Meninjau Ulang Kenaikan TDL

Copyright � 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Selasa, 20 Juli 2010

Meninjau Ulang Kenaikan TDL
Hasani Ahmad Said
Pengajar IAIN Raden Intan Lampung

Apa boleh dikata ibarat pepatah "nasi sudah menjadi bubur", begitulah ibarat buat pemegang kebijakan dalam hal ini pemerintah yang telah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Akan tetapi bukan berarti kebijakan ini tidak bisa diubah untuk selanjutnya direvisi atau bisa jadi ditinjau ulang, atau bahkan dijadikan evaluasi perbaikan untuk mengeluarkan kebijakan yang “tak bijak” ke depan. Yang menarik, kenaikan TDL dilakukan pemerintah di balik berita yang menirani kenaikan TDL sehingga seolah-olah luput dari sorotan media. Akibatnya, seolah-olah masyarakat mengamini kebijakan yang tidak prorakyat ini.
Sebuah kenicayaan, di tengah kemelut ekonomi yang belum pulih, belum lagi semakin merosotnya dan memburuknya pelayanan pemerintah terhadap masyarakat luas sehingga lagi-lagi yang selalu memikul berat beban pemerintah adalah wong cilik lagi. Opini publik tentang kenikan tarif dasar listrik dibungkam oleh pemberitaan yang mempunyai rating tinggi. Di mulai dari karut-marutnya polemik perjudian yang berusaha dilegalkan, kasus Ariel-Luna-Cut Tari, kasus rekening gendut Polri versus ICW, mempersenjatai Pol. PP, dan lain-lain. Terlepas apakah ini ada dalang pengaburan berita, kemudian sudah muncul berita kenaikan TDL. Berita ini tentunya mencengangkan bagi masyarakat kecil dan perusahaaan kecil menengah.
Ada beberapa tinjauan yang ingin saya kemukakan. Pertama, kerancuan sistem yang diatur. Kedua, timing-nya tidak tepat di saat waktu masuk sekolah dan sebentar lagi masuk puasa dan Lebaran. Ketiga, keputusannya mestinya dilakukan oleh presiden, bukan oleh menteri. Analisis ini juga dilontarkan oleh mantan Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie. Perlu dijelaskan yang dimaksud kerancuan sistem di sini adalah subsidi yang tidak efektif dan efisien. Hal ini misalnya terlihat dari input-nya tidak tepat sasaran dan lain-lain. Selain itu, kepenting masytarakat sering diperjualbelikan untuk membuat kebijakan sehingga selalu kebijakan itu mengatasnamakan subsidi. Untuk itu, mestinya dipertegas kembali makna subsidi yang dimaksud oleh pemerintah.
Kenaikan TDL Jerat Masyarakat Bawah
Disadari atau tidak imbas kenaikan TDL akan memusingkan para pelaku pasar tradisional, khususnya usaha kecil menengah. Pada gilirannya, yang dikhawatirkan adalah pengurangan hasil produksi dan lebih dari itu, pada gilirannya akan ada PHK yang akan menambah lagi pengangguran. Walaupun belum sampai pada dampak yang signifikan, kejadian itu bisa saja akan terjadi pada ranah paling gawat bagi pelaku usaha kecil menengah. Kekhawatiran ini sesuatu hal yang wajar, bagaimana tidak, hal yang tidak pernah dialami oleh para pengambil kebijakan atau dalam hal ini Pemerintah Pusat pemegang kebijakan. Hal yang menarik dari beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan anggota DPR dan menteri terjun langsung ke pasar tradisional yang memulai dialog dan melakukan sidak langsung ke pasar induk Jakarta. Mestinya, hal ini tidak hanya dalam waktu tertentu atau sesaat saja, tapi bisa dirancang berkelanjutan. Karena dengan begitu pemerintah langsung menyaksikan bagaimana jeritan dan penderitaan rakyat bawah.
Analisis ini memungkinkan untuk dijadikan pengambilan kebijakan untuk selanjutnya. Bukan malah memolitisasi untuk menenangkan masyarakat bawah sejenak agar tidak terjadi gejolak sesaat. Hasilnya memang cukup efektif, lepas dari sorotan para pengkritik pemerintah. Namun mestinya tidak demikian, kontrol terhadap kebijakan pemerintah juga perlu untuk melihat lajunya kepemimpinan saat ini agar pengambilan kebijakan tepat waktu dan sasaran. Selama ini, income masyarakat jauh di atas negara-negara lain, bahkan negara tetangga sekalipun, akan tetapi kebijakannya ingin memosisikan dan mensejajarkan dengan negara lain. Para intelektual sering mengungkapkan, seandainya pengelolaan sumber daya alam di Indonesia ini dilakukan secara baik dan benar, mestinya tidak akan ada berita kekurangan pasokan listrik, dan berita lain yang mengerdilkan negaranya sendiri. Para ahli mestinya saling bahu-membahu dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dari SDA yang dimiliki, bukan malah mengeksploitasi alam. Sungguh pun demikian keadaannya, sejatinya harus adanya kesadaran dari masing-masing pribadi sebagai warga negara untuk menjaga dan meningkatkan kualitas serta memikirkan bangsa ke depan sampai anak cucu generasi penerus selanjutnya.
Meskipun dampaknya tidak terlalu banyak tersorot, mestinya kebijakan dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan pada waktu yang tepat. Beberapa saat lagi akan masuk Ramadan, belum lama ini mulai masa masuk sekolah, kemudian momen Lebaran, Natal, dan tahun baru. Pendek kata, sudah saatnyalah kebijakan yang tidak populis dikesampingkan dahulu dengan melihat waktunya yang tepat. Efektif dan efisienkan dana-dana yang lain yang tidak produktif untuk menutupi “kerugian” walaupun belum melalui penelitian dan kajian mendalam.
Semoga dengan cara demikian, bukan hanya pemerintah yang diuntungkan dengan kebijakan yang akan mendukung lancarnya kegiatan masyarakat, tetapi masyarakat luas juga tidak keberatan karena nilai income sudah standar dan mencukupi bagi diri dan keluarganya. Mestinya ini yang dipikirkan dan diperjuangkan, bukan bagaimana mendapatkan keuntungan dari jerih payah rakyatnya.
Diambil dari :
http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2010072006122652

“BOM WAKTU” TABUNG GAS

“BOM WAKTU” TABUNG GAS
Oleh Hasani Ahmad Said*
Dimuat di kolom “Opini” Kabar Banten (dulu Fajar Banten), Senin, 26 Juli 2010

Kabar meletusnya tabung gas, kian hari kian bertambah. Entah sudah berapa puluh orang yang menjadi korban akibat ganasnya ledakan tabung gas elpiji. Hampir setiap hari menyaksikan di media jatuh korban, baik yang luka ringan, berat sampai cacat permanen. Di Banten tabung gas meledak meledak hanguskan pabrik otomotif (Radar Banten, 16 juli 2010). Saling tuding pun terus digelontorkan baik yang pro pemerintah maupun dengan penentang kebijakan. Alih-alih, kebijakan yang sudah meracuni sebagian kecil masyarakat ini, bak “bom waktu” yang menjadi momok menakutkan bagi warga masyarakat, bahkan kapan saja saatnya akan meledak akibat ketidak beresan dalam pengurusannya. Porsoalan ini memang tidak cukup hanya didiskusikan, seminarkan, workshop dan diwacanakan, pada intinya harus cepat dilakukan langkah seribu untuk meredam jatuhnya korban yang tidak bersalah kemudian. Meskipun kebijakan demi kebijakan telah digelontorkan, toh belum ada yang mampu mengecilkan dampaknya. Baik misalnya disimak sekaligus dilakukan kebijakan pemerintah provinsi banten mengantisipasi pengamanan kegunaan komponen-komponen telah diterbitkan surat peringatan nomor: 001-SP/Dagri?IV/2010 dan surat no 510/1647-Perindag/2010 tanggal 02 Juli 2010, dengan memperhatikan surat peraturan perindustrian no 85/-IND/PER/11 2008 (Kabar banten, 22 Juli 2010).
Subsidi pemerintah lewat konversi minyak tanah ke gas sejatinya menjadi solusi terhadap penghematan anggaran pemerintah, selain lebih memudahkan masyarakat terhadap urusan “dapur”nya. Tapi ironis, hampir setiap hari menyaksikan terjadinya kebakaran akibat tabung gas, yang kian hari korbannya kian bertambah. Pertanyaannya kemudian adalah ini salah siapa? Pemerintahkah sebagai pengambil tampuk kebijakan? Atau terjadinya akibat human error? Memang tidak tepat kiranya hanya mencari “kambing hitam” yang lebh bijak adalah barangkali sama-sama melakukan introspeksi diri demi perbaikan sekarang dan yang akan datang. Gambaran masyarakat yang kita saksikan selama ini adalah saling menuding mencari siapa yang salah tanpa mengambil solusi yang terbaik. Memang kebijakan pemerintah yang baik, tanpa dilakukan sosialisasi yang tepat dalam artian sosialisasi sampai pada masyarakat di tingkat pedesaan, maka kebijakan yang baik itu akan terhapus dengan kejadian-kejadian merajalelanya gas meledak yang terjadi beberapa kali di beberapa tempat.
Kepala pusat laboratorium dan forensik Brigjenpol Budiono memberikan analisa bahwa ada beberapa indikasi terjadinya meledaknya tabung gas. Pertama, perangkat tabung banyak yang rusak, kerusakan pada karet perekat udara, dan peralatan logam rusak. Penemuan Puslabfor ini sangat memiriskan hati, betapa tidak di tengah gencarnya subsidi tabung gas. Sementara itu, tanpa dikomando minyak tadinya yang sudah lekat dengan masyaraka kecil dan mudah untuk mendapatkannya, tiba-tiba menghilang ditelan bumi dan sulit untuk didapat. Meskipun ada, namun harganya sangat mahal dan sangat terbatas. Sehingga, masyarakat enggan untuk membeli, dan seolah “dipaksa” beralih ke gas. Bagai “bom waktu”, tanpa diprediksi leih awal ternyata peralihan minyak tanah ke gas menyisakan banyak persoalan. Mulai dari kebakaran rumah, sampai memakan korban nyawa. Yang terjadi sekarang adalah masyarakat mulai “fobia” terhadp penggunaan gas elpiji. Lebih miris lagi kebanyakan korbannya adalah masyarakat kecil sebagai pemakai gas, tanpa diikuti dengan pengetahuan yang cukup tentang perawatan dan pemakaian gas secara baik dan benar.
Hal senada juga diungkapkan oleh Husna Zahir, salah seorang anggota YLKI bahwa kejadian meledaknya tabung gas lebih kepada banyak perangkat paket tabung tidak memenuhi standar. Bagaimana mungkin program nasional yang melibatknan seluruh lapisan masyaakat kecil bisa terjadi salah setting? Sekali lagi, tidak terlalu penting mencari siapa yang salah, tetapi lebih penting lagi saat ini bagaimana menciptakan dan melakukan inovasi baru dalam menanggulangi problem sosial yang sudah banyak menelan banyak korban. Gagasan dan terobosan baru inilah yang sedang dilakukan oleh Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Arya Rezavidi, direktur teknologi BPPT mengkritisi design kompor dan tabung gas yang dirancang oleh pemerintah dalam hal ini Pertamina. Dia menganggap bahwa desain yang dilakukan pemerintah antara komponen yang satu denga komponen yang lain dilakukan terpisah-pisah, dalam artian tabung, kompor gas, dan selang penghubung antara keduanya terpisah. Model seperti inilah disinyalir oleh BPPT sebagai salah satu pemicu terjadi peledakan tabung gas. Belum lagi minimnya pengetahuan masyarakat akan tabung dan kompor gas. Idealnya, perangkat yang menghubungkan semisal selang, karet perekat dalam tabung diganti secara berkala dan senantiasa dalam pengawasan. Sedang inovasi yang dilakukan BPPT lebih kepada menyatukan ketiga komponen desain yang disebut tadi yaitu tabung, kompor langsung terhubung/terpasang disertai pula dengan penutup tabung dan kompor. Sehingga, pola ini dianggap oleh BPPT, sebagai pola aman bagi para konsumen.
Bahkan, sebelum BPPT melakukan inovasi seperti itu, banyak inovasi-inovasi yang aman karena lebih memanfaatkan alam. Sebut misalnya kotoran hewan disulap dan diulah menjadi gas. Penyelarasan anatara sumber daya manusia dan upaya inovasi baru sangat dibutuhkan agar mencegah atau paling tidak mengurangi korban dan kecemasan masyarakat. Selanjutnya, bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah, kalau memang konversi minyak tanah ke gas itu lebih ekonomis, sejatinya dilakukan dengan keterbukaan dan sertai dengan standarisasi keamanan. Tidak usah misalnya begitu sosialisasi program yang “dicap” ekonomis, tidak serta merta memberangus program yang sudah ada kalau memang pemanfaatannya masih dibutuhkan. Meskipun program konversi minyak tanah ke gas lebih baik, maka kekurangan-kekurangan yang selama ini dikeluhkan masyarakat, sebaiknya cepat ditangani. Bukan justru malah sebaliknya, seolah-olah tidak ada orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Saatnya pemeritah tegas memberantas mavia-mavia pengoplos gas, pengurangan takaran dalam tabung, sampai kepada permainan harga yang tidak menentu, dan yang tak kalah penting adalah lebih ditingkan lagi fungsi pengawasan dan selalu dilakukan evaluasi. Bukan malah bagaimana menaikkan harga gas, BBM ataupun TDL, dengan dalih pemerintah merugi.
Saatnya pemerintah memulihkan stigma miring tentang kabar meledaknya gas saat ini dan masa yang akan datang. Satu contoh misalnya, di Nunukan Kaltim tengah menggunakan gas Petronas produk Negara Jiran, Malaysia. Gas ini dianggap oleh penggunanya sebagai produk gas yang aman dan mudah didapat di daerah tersebut. Kalau sudah begini, pemerintah juga yang rugi atas ketidakpercayaan masyarakat. Memang tidak cukup hanya pemerintah saja yang memulai tanpa didukung dengan kesadaran masyarakat. Bagi pemerintah dan masyarakat sebaiknya bahu membahu memperbaiki pola pengurusannya, dan bagi masyarakat sebagai konsumen harus mawas diri sebelum datang musibah. Pendek kata, dari unsur pengambil kebijakan sampai konsumen di tingkat bawah tidak ada problem, kecuali ada pemecahannya. Semoga tidak akan ada lagi korban berjatuhan berikutnya akibat buruknya desain tabung dan lemahnya kesadaran pengguna tabung gas. [*]

Cilegon, Sabtu, 24 Juli 2010

*Penulis adalah Kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta & Dosen IAIN Raden Intan Lampung, Tinggal di Pabean, purwakarta, Cilegon. hp. 085216099379. E-mail elhasan_ahsyamsun@yahoo.co.id

BATIK LERENG LESUNG CILEGON

BATIK LERENG LESUNG CILEGON

Batik merupakan warisan dan identitas bangsa Indonesi yang telah mendapatkan pengakuan oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 yang lalu. Jika mendenger batik, pasti langsung tertuju ke daerah jawa. Namun kini perkembangan batik telah meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Begitu pun Kota Cilegon yang memiliki batik Lereng Lesung sebagai ciri khasnya. Untuk mendapatkan batik lereng lesung bisa berkunjung ke Galeri Batik Dekranasda Kota Cilegon di lantai dasar Plaza Cilegon Mandiri, Jl. S.A Tirtayasa, Cilegon

Awal kemunculan batik lereng lesung bermula pada Lomba Desain Batik Cilegon 2006 yang diadakan Bidang Pariwisata dan Budaya Despindak. Agus Patria akhirnya lolos sebagai juara satu dengan desain batik lesungnya. Hingga akhirnya batik lesung diproduksi dan dipatenkan oleh Wali Kota Cilegon sebagai batik khas Cilegon.

Filosofi dalam desain batik lereng lesung:

Simbol ”rumput laut” yang di padu dengan ”isem-isem cecek krambyang” menggambarkan letak geografis Kota Cilegon yang dibatasi oleh garis pantai yang penuh dengan interaksi sebagai kota yang dinamis bagai air laut terus bergerak menghasilkan gelombang dan riaknya, hingga menjadikan kota ini serat dengan dinamika kehidupan.

Simbol ”Lesung” diangkat dari salah satu seni budaya tradisional Kota Cilegon yakni Bandrong Lesung yang merupakan seni budaya yang berkembang dalam masyarakat Kota Cilegon, sekaligus merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya, estetika, sikap, dan tata kehidupan masyarakat Kota Cilegon. Selain itu simbol lesung berfungsi simbol kembar (lesung = kapal) dan rantai tali jangkar kapal yang melambangkan Kota Cilegon sebagai Kota Pelabuhan, dimana Kota Cilegon mempunyai pelabuhan Merak dan Cigading yang juga merupakan salah satu motor penggerak perekonomian dan pariwisata.

Batik 2Simbol ”Kuba Masjid” merupakan gambaran tentang kepercayaan adat istiadat dan agama di Kota Cilegon sebagai manifestasi dan komunikasi masyarakat Kota Cilegon yang bernuansa religius/agamis.

Simbol ”Bunga Melati, Mawar, dan Rumput laut” adalah simbol keadaan alam flora dan fauna Kota Cilegon yang memberikan gambaran bahwa masyarakat Kota Cilegon penuh kasih, cinta, dan ramah tama.

Simbol desain Motor Elektronik” merupakan gambaran bahwa Kota Cilegon dikenal sebagai kota industri baik secara skala nasional maupun internasional, dan terbuka untuk infestor.

Batik Lereng Lesung terdapat enam jenis warna, yaitu merah, kuning, hijau, biri, coklat, dan ungu.

Sayangnya menurut Samani, bagian Pengadaan Oprasional Galeri Batik Dekranasda Kota Cilegon (25/11), Batik Lereng Lesung belum bisa diproduksi di Cilegon, melainkan di laur kota. Karena belum ada tenaga akhli dan tempat untuk memproduksi.

Galeri Batik Dekranasda Kota Cilegon yang di buka sejak empat bulan yang lalu cukup banyak yang berkunjung, terutama para PNS dan pegawai suasta. Dimana setiap hari jumat diwajibkan untuk para PNS dan beberapa pegawai perusahaan suasta untuk mengenakan batik. Harga batik cukup terjangkau dengan harga bahan Rp. 20 ribu permeter atau harga batik kemeja siap jadi mulai dari kisaran harga Rp. 50 ribu hingga Rp. 150 ribu, tergantung warna dan jenis kain.

Menuru Alfi bagian pemasaran, peminat batik Lereng Lesung kebanyakan orang dewasa. ”Biasanya yang laku kemeja untuk orang kantoran atau PNS, dan sepasang pakaian mama-papa untuk pasangan suami istri,” jelasnya. Alfi menambahkan, untuk para remaja belum ada respon yang baik, karena stok yang ada belum ada pakain batik modifikasi dengan segmen pakaian remaja.

Dinas Kebudaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Cilegon sudah menggencarkan promosi batik Lereng Lesung dengan melalui berbagai event dan pameran-pameran baik di dalam daerah maupun luar daerah.

Sekertaris Dinas Disbudpar Kota Cilegon, Heni Anita Susila saat ditemi di kantor dinasnya yang baru pindah di lantai 2 Plaza Cilegon Mandiri oleh wartawan www.rumahdunia.com mengungkapkan harapannya terhadap Batik Lereng Lesung, ”semoga batik Lereng Lesung menjadi identitas Kota Cilegon. Biarpun saat ini masih dikalangan PNS dan pegawai suasta lainnya, tapi juga bisa menyentu masyarakat umum.”

diakses dari http://rumahdunia.com/isi/category/c1-wisata-banten/, 29 Juli 2010

Kamis, 08 Juli 2010

Meledaknya Tabung Gas

OPINI
Dimuat di Radar Lampung,Kamis, 8 Juli 2010

Meledaknya Tabung Gas
Hasani Ahmad Said
Dosen IAIN Raden Intan, Lampung, Kandidat Doktor UIN Jakarta

Subsidi pemerintah lewat konversi minyak tanah ke gas sejatinya menjadi solusi terhadap penghematan anggaran pemerintah, selain lebih memudahkan masyarakat terhadap urusan "dapur"-nya. Tapi ironis, hampir setiap hari menyaksikan terjadinya kebakaran akibat tabung gas, yang kian hari korbannya kian bertambah.

Pertanyaannya kemudian adalah ini salah siapa? Pemerintahkah sebagai pengambil tampuk kebijakan? Atau terjadinya akibat human error? Memang

tidak tepat kiranya hanya mencari "kambing hitam" yang lebIh bijak adalah barangkali sama-sama melakukan introspeksi diri demi perbaikan sekarang dan yang akan datang. Gambaran masyarakat yang kita saksikan selama ini adalah saling menuding mencari siapa yang salah tanpa mengambil solusi yang terbaik. Memang kebijakan pemerintah yang baik, tanpa dilakukan sosialisasi yang tepat dalam artian sosialisasi sampai pada masyarakat di tingkat perdesaan, kebijakan yang baik itu akan terhapus dengan kejadian-kejadian merajalelanya gas meledak yang terjadi beberapa kali di beberapa tempat.

Kepala Pusat Laboratorium dan Forensik Brigjen Pol. Budiono memberikan analisis bahwa ada beberapa indikasi terjadinya meledaknya tabung gas. Pertama, perangkat tabung banyak yang rusak, kerusakan pada karet perekat udara, dan peralatan logam rusak. Penemuan Puslabfor ini sangat memiriskan hati, betapa tidak di tengah gencarnya subsidi tabung gas. Sementara itu, tanpa dikomando, minyak tadinya yang sudah lekat dengan masyarakat kecil dan mudah untuk mendapatkannya, tiba-tiba menghilang ditelan bumi dan sulit untuk didapat. Meskipun ada, harganya sangat mahal dan sangat terbatas. Sehingga, masyarakat enggan untuk membeli dan seolah "dipaksa" beralih ke gas. Bagai "bom waktu", tanpa diprediksi leih awal ternyata peralihan minyak tanah ke gas menyisakan banyak persoalan. Mulai dari kebakaran rumah, sampai memakan korban nyawa. Yang terjadi sekarang adalah masyarakat mulai "fobia" terhadap penggunaan gas elpiji. Lebih miris lagi kebanyakan korbannya adalah masyarakat kecil sebagai pemakai gas, tanpa diikuti dengan pengetahuan yang cukup tentang perawatan dan pemakaian gas secara baik dan benar.

Husna Zahir dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan kejadian meledaknya tabung gas lebih kepada banyak perangkat paket tabung tidak memenuhi standar. Bagaimana mungkin program nasional yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat kecil bisa terjadi salah setting?

Sekali lagi, tidak terlalu penting mencari siapa yang salah, tetapi lebih penting lagi saat ini bagaimana menciptakan dan melakukan inovasi baru dalam menanggulangi problem sosial yang sudah banyak menelan banyak korban. Gagasan dan terobosan baru inilah yang sedang dilakukan oleh Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Arya Rezavidi, direktur teknologi BPPT mengkritisi desain kompor dan tabung gas yang dirancang oleh pemerintah dalam hal ini Pertamina. Dia menganggap bahwa desain yang dilakukan pemerintah antara komponen yang satu dengan komponen yang lain dilakukan terpisah-pisah, dalam artian tabung, kompor gas, dan selang penghubung antara keduanya terpisah. Model seperti inilah disinyalir oleh BPPT sebagai salah satu pemicu terjadi peledakan tabung gas.

Belum lagi minimnya pengetahuan masyarakat akan tabung dan kompor gas. Idealnya, perangkat yang menghubungkan semisal slang, karet perekat dalam tabung diganti secara berkala dan senantiasa dalam pengawasan. Sedangkan inovasi yang dilakukan BPPT lebih kepada menyatukan ketiga komponen desain yang disebut tadi yaitu tabung, kompor langsung terhubung/terpasang disertai pula dengan penutup tabung dan kompor. Sehingga, pola ini dianggap oleh BPPT, sebagai pola aman bagi para konsumen.

Bahkan, sebelum BPPT melakukan inovasi seperti itu, banyak inovasi-inovasi yang aman karena lebih memanfaatkan alam. Misalnya, kotoran hewan disulap dan diulah menjadi gas. Penyelarasan anatara sumber daya manusia dan upaya inovasi baru sangat dibutuhkan agar mencegah atau paling tidak mengurangi korban dan kecemasan masyarakat. Selanjutnya, bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah, kalau memang konversi minyak tanah ke gas itu lebih ekonomis, sejatinya dilakukan dengan keterbukaan dan sertai dengan standarisasi keamanan. Tidak usah, misalnya, begitu sosialisasi program yang "dicap" ekonomis, tidak serta merta memberangus program yang sudah ada kalau memang pemanfaatannya masih dibutuhkan.

Meskipun program konversi minyak tanah ke gas lebih baik, kekurangan-kekurangan yang selama ini dikeluhkan masyarakat, sebaiknya cepat ditangani. Bukan justru malah sebaliknya, seolah-olah tidak ada orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Saatnya pemeritah tegas memberantas mafia-mafia pengoplos gas, pengurangan takaran dalam tabung, sampai kepada permainan harga yang tidak menentu, dan yang tak kalah penting adalah lebih ditingkatkan lagi fungsi pengawasan dan selalu dilakukan evaluasi. Bukan malah bagaimana menaikkan harga gas, BBM ataupun TDL, dengan dalih pemerintah merugi.

Saatnya pemerintah memulihkan stigma tentang kabar meledaknya gas saat ini dan masa yang akan datang. Satu contoh di Nunukan, Kaltim, tengah menggunakan gas Petronas produk negara jiran, Malaysia. Gas ini dianggap oleh penggunanya sebagai produk gas yang aman dan mudah didapat di daerah tersebut. Kalau sudah begini, pemerintah juga yang rugi atas ketidakpercayaan masyarakat.

Memang tidak cukup hanya pemerintah saja yang memulai tanpa didukung dengan kesadaran masyarakat. Bagi pemerintah dan masyarakat sebaiknya bahu-membahu memperbaiki pola pengurusannya, dan bagi masyarakat sebagai konsumen harus mawas diri sebelum datang musibah. Pendek kata, dari unsur pengambil kebijakan sampai konsumen di tingkat bawah tidak ada problem, kecuali ada pemecahannya. Semoga tidak akan ada lagi korban berjatuhan berikutnya akibat buruknya desain tabung dan lemahnya kesadaran pengguna tabung gas.

Jumat, 02 Juli 2010

Sportivitas Politik: Berlaga di Kancah Pilkada

Sportivitas Politik: Berlaga di Kancah Pilkada
Dimuat di rubrik, Opini Radar Lampung
Rabu, 30 Juni 2010 | 05:47 WIB
Oleh: Hasani Ahmad Said | Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen IAIN Raden Intan Lampung

DEMAM piala dunia telah banyak menyisahkan karakter terhadap seseorang maupun kelompok. Sekian hari, sekian banyak pula peserta bertumbangan. Dari tim laga Asia, sampai mancanegara. Menarik untuk dicermati dari sekian banyak peserta yang berguguran adalah mereka semua menjunjung tinggi nilai sportivitas.

Kajian ini menarik untuk dikupas sekaligus dijadikan bahan analisa dalam laga politik kita yang kian hari kian menunjukkan keberingasannya. Terlebih, maraknya, pilkada di beberapa daerah yang menyisahkan banyak persoalan dan persengketaan yang belum terselesaikan. Sehingga, beritanya terus seru dan sayang untuk dilewatkan.

Kerusuhan yang berbuntut saling menyerang yang dikabarkan terjadi akibat kurang puasnya dengan layanan publik dan tatanan yang berlaku. Belum lagi politik uang (money politic) yang mewabah dan menggejala, yang mengakibatkan mati surinya demokrasi, seolah-olah suara hanya milik orang yang ber-uang.

Dengan meletakkan sportivitas, maka daya tarik dan pikat kepada pemilihnya mestinya akan mencuat. Sekarang bukan zaman lagi dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan.

Lebih memikat lagi, daya tawar masyarakat mestinya sudah mengacu kepada kekuatan program-program apa yang ditawarkan. Tentunya program sesuai dengan pro-rakyat dan lebih mengedepankan pencerdasan masyarakat dibanding program yang hanya membikin ’’bodoh” publik.

Analisis ini bisa saja dituangkan oleh para kandidat yang akan berlaga di ranah politik praktis menuju kursi kepemimpinan. Kalau sudah demikian paradigm dan pola pikirnya, harapan mencipyakan pemeritah yang baik (good governance) agar segera terlaksana. Dimulai dari perekrutan sampai kemudian terpilih dengan nilai kualifikasi yang baik dan membanggakan di mata masyarakat. Bukan hanya kebahagiaan ’’sesaat” yang dirasahan masyarakat.

Di sinilah peran panwas, KPU, sampai di tingkat KPPS mempunyai iktikad baik dalam menegakkan dan menciptakan pemeritah yang baik. Dalam mewujudkan ini semua memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi paling tidak adanya keinginan yang kuat dari masing-masing pemilih akan menegaakkan cita-cita mulia itu. Tidak jarang tujuan pragmatis dari oknum yang tidak bertanggung jawab bisa menjungkirbalikkan fakta di masyarakat. Kalupun demikian, dibutuhkan kesadaran yang tinggi untuk menjunjung tinggi nilai demokratisasi, bukan malah memangkas demokrasi demi kepentingan pribadi dan golaongan. Maka semboyan jujur dan adil dalam setiap pemilu senantiasa didengung-dengungkan. Reformasi yang telah selama ini diperjuangkan menuntut adanya keterbukaan dalam lini apa pun. Keterbukaan mengeluarkan pendapat, keterbukaan informasi yang pada akhirnya melerai persengketaan menuju kesepahaman.

Harus diakui keragaman suku, bangsa dan agama di Indonesia, terkadang memicu dan memacu perselisihan dan gesekan antar sesama. Namun para pejuang setengah abad yang lalu telah merumuskan bahwa keragaman tapi satu jua (Bhineka Tunggal Ika). Kita harus akui pula, bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang untuk memilih dan dipilih. Tetapi bukan berarti memilih yang asal-asalan. Memilih juga harus mempunyai seni, dilihat dari kemampuan dan keikhlasan yang dipilih. Begitupun sebaliknya bukan berarti semuanya boleh maju tanpa memiliki kapabilitas dibidangnya, akan tetapi yang berhak dipilih adalah orang-orang pilihan yang memiliki kredibilitas dan skill yang cukup. Maka, dari pemahaman itu, terlahir jiwa-jiwa yang handal, bukan jiwa yang kerdil.

Setelah memenuhi persyaratan di atas, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah sportivitas . Hal ini penting, ternyata jiwa ksatria dalam berlaga di kancah politik adalah siap kalah dan siap menang. Kalau belum siap kalau, maka tidak usah mencalonkankan diri. Sikap inilah yang bisa jadi selama ini menimbulkan pengakhiran yang tidak baik. Sehingga, rusuh dimana-mana, pembakaran karena calonnya tidak masuk verifikasi calon, dan bermacam-macam alasannya, selain karena boleh cerdasnya masyarakat dalam berpolitik. Buktinya mudah tersulut dengan emosi. Yang dikedepankan adalah otot, bukan otak. Demikianlah halnya pendewasaan pola pikir.

Tujuan akhir dari sebuah perlagaan adalah di awali dengan yang baik, peng-akhirannyapun baik pula. Demikian tata karma dalam berbangsa dan bernegara. Pendek kata, sportivitas ini diperlukan dalam hal papun. Dalam berpolitik, dalam berkarir, berkarya, dan lain-lain. Tanpa sportivitas, maka akan terjadi sikut-sikutan. Karena sudah tidak ada teposaliro. Pemimpin ke epan butuh pemimpin yang menjunjung tinggi sportivitas, salah dibilang salah, benar dibilang benar, kalah menjunjung tinggi yang menang, kalau yang menang merangkul yang kalah. (*)