Selasa, 29 Desember 2009

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Google


Webwww.uinjkt.ac.id

SIVITAS AKADEMIKA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA MENGUCAPKAN SELAMAT TAHUN BARU 2010
SIVITAS AKADEMIKA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA MENGUCAPKAN SELAMAT TAHUN BARU 2010

* Fakultas
o Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
o Adab dan Humaniora
o Ushuluddin dan Filsafat
o Syari'ah dan Hukum
o Dakwah dan Komunikasi
o Dirasat Islamiyah
o Psikologi
o Ekonomi dan Bisnis
o Sains dan Teknologi
o Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
o Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
o Sekolah Pascasarjana
* Akademia
o Sistem Kredit Semester
o Double Degree
* Organisasi
o Struktur Organisasi
o Susunan Organisasi
* Kolom Rektor
* Opini Sistem Perparkiran

Bahasa Version English Version Arabic Version

* Decrease font size
* Reset font size to default
* Increase font size

POPULAR

* Haji dan Inklusivisme Islam
* Cicak Versus Buaya
* Prospek Pekerja Sosial di Indonesia Cerah

AGENDA
Rapat Kerja Pimpinan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009, tanggal 13-14 Januari 2010 di Syahida Inn
"WORKSHOP BISNIS", BEM FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS (FEB) KERJA SAMA INTERNATIONAL OFFICE (IO) DI AULA STUDENT CENTER, KAMIS 7 JANUARI 2010
WISUDA SARJAAN KE-78, SABTU, 9 JANUARI 2009 DI AUDITORIUM UTAMA

* Home
* Tentang UIN
* Visi, Misi, dan Tujuan
* Motto
* Hymne UIN Jakarta
* Arah Pengembangan
* Kolom Rektor
* Opini Sistem Perparkiran

SimPerTi

* Login SimPerTi
* Login SIM@K
* Panduan KRS Online
* Download Panduan SimPerTI

Internal Links

* Web Mail UIN
* fitk.uinjkt.ac.id
* fsh.uinjkt.ac.id
* Pasca Sarjana
* PPIM
* Pusat Bahasa
* CSRC
* MP-UIN
* Digital Library FUF

Home
32 Peserta Ikuti Lomba MTQ Hiqma PDF Cetak E-mail

Reporter: Jamilah

Student Center, UINJKT Online - Sebanyak 32 peserta dari berbagai fakultas di UIN Jakarta mengikuti lomba Musabaqoh Tartil Qur'an yang digelar Himpunan Qori dan Qori'ah Mahasiswa (HIQMA) di Aula Student Center, Rabu (3/6).

Peserta lomba mayoritas berasal dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Mereka dinilai oleh dua dewan juri yang juga alumnus HIQMA dan sekaligus qoriah nasional. Mereka adalah Hasani Ahmad Syamsuri MA dan Zulkarnaen Fadly SPdI.

Sedangkan pengumuman pemenang akan diumumkan Kamis (4/6) sekaligus penggelaran seminar Metode Cepat Baca al-Quran dan Training Pribadi Bintang.

"Kegiatan ini merupakan acara tahunan HIQMA. Tahun sebelumnya HIQMA menggelar acara serupa dengan melibatkan mahasiswa se-Jabodetabek dan dimenangkan oleh mahasiswa Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) sebagai juara pertama," kata Ketua Panitia Halimatus Sa'diyah.

Selain mengembangkan seni membaca al-Qur'an, HIQMA juga mengembangkan seni musik marawis, gambus, kosidah, dan solawat. Tidak jarang kelompok seni islam ini muncul di berbagai event dan stasiun televisi. [Nif/Ed]

* Add New
* Search

Comments (0)

*
|125.161.144.xxx |2009-12-30 13:56:40 hasani ahmad syamsuri, MA - maju terus Hiqma UIN
maju terus indonesia............
o 0
o 0
ReplyQuote

*
|125.161.144.xxx |2009-12-30 13:57:08 hasani ahmad syamsuri, MA
ok
o 0
o 0
ReplyQuote

Tulis Komentar
Your Contact Details:
Nama:
Email:
Website:
Comment:
Judul:
UBBCode: [b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img]
:D:angry::angry-red::evil::idea::love::x:no-comments::ooo::pirate::?::(
:sleep::););)):0
Message:
Security
Security Image
Silakan masukan kode ini yang tertera di atas untuk Anti-Spam.

Bahasa Version English Version Arabic Version
StatCounter - Free Web Tracker and Counter

Copyright©2008 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
All Rights Reserved.

Jumat, 20 November 2009

KESETARAAN JENDER DALAM PERSPEKTIF HUKUM WARIS

KESETARAAN JENDER DALAM PERSPEKTIF HUKUM WARIS
Oleh: Hasani Ahmad Syamsuri

Abstrak:
Isu-isu gender merupakan tema yang sering diperbincangkan oleh kelompok feminisme Muslim, apalagi bila hal itu menyangkut untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Di antara ayat-ayat yang mendapat banyak penafsiran adalah berkaitan dengan hukum waris dalam surat al-Nisâ ayat 11 yang berbunyi “yûshikumullahu fi aulâdikum li al-dzakari mitslu hadzdzi al-untsayaini”
Pendahuluan
Problematika perempuan adalah problematika kemanusian yang pada masa Rasulullah pun sudah ditemukan sebuah kenyataan, bahwa perempuan pada masa pra Islam sudah mengalami berbagai praktek penindasan dan diskriminasi. Seperti dalam halnya dalam pembagian warisan. Perempuan dianggap tidak pantas untuk menerima harta warisan atau harta pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap sebagai harta waris yang berhak dimiliki oleh ahli waris laki-laki.
Pada perkembangan selanjutnya, Islam sebagai agama yang universal hadir dengan membawa angin segar terhadap hak-hak kaum perempuan serta mengangkat martabatnya yang setara dengan kaum laki-laki. Al-Qur'an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah menegaskan adanya kesetaraan dan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi yang adil untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.
Secara normatif Al-Qur'an telah menegaskan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun secara tekstual AI-Qur'an juga menyatakan adanya kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh kaum laki-laki atas kaum perempuan seperti dalam pembagian harta warisan. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian yang diterima oleh kaum perempuan dan al-Qur'an juga menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.
Di sini nampak jelas terlihat adanya kesetaraan jender menjadi sebuah pertanyaan besar terutama dalam sistem pembagian warisan menurut hukum Islam yaitu komposisi pembagian 1 : 2. Aspek-aspek yang melatar belakangi pembagian tersebut, sehingga laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari pembagian anak perempuan.
Apakah ketentuan kewarisan dalam sistem ajaran Islam merupakan ketentuan yang bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan? Lalu bagaimana jika ketentuan tersebut di rubah dengan perolehan sama besar di antara laki-laki dan perempuan? Islam sebagai agama yang Universal, kehadirannya telah membebaskan kaum perempuan dari belenggu penindasan dan pendiskriminasian yang menimpa kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Adapun formulasi kewarisan yang telah di tetapkan dalam sistem ajaran Islam bukanlah suatu hal yang bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Karena tujuan dari dibagikannya harta waris itu sendiri untuk kemaslahatan ahli waris yang di tinggalkan. Sedangkan pembagian harta waris itu dinilai dari azas manfaat dan beban tanggung jawab yang di emban oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam hal ini, Islam melihat bahwa laki-laki mempunyai beban tugas dan tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawab yang di emban oleh kaum perempuan.
Dalam Islam laki-laki mempunyai kewajiban untuk membayar mahar kepada perempuan yang dinikahinya kemudian bertanggung jawab atas biaya penghidupan istri dan anak-anaknya. Dilihat sekilas saja nampak bahwa tanggung jawab seorang suami itu cukup berat sehingga wajar jika ia mendapatkan bagian yang lebih banyak dari harta waris itu sehingga dapat di gunakan untuk modal awal dalam pembiayaan penghidupan keluarganya.
Sementara itu seorang perempuan tidak berkewajiban untuk membiayai kehidupan rumah tangganya melainkan semua kebutuhannya telah di tanggung oleh suaminya. Sedangkan mahar yang diterima dan harta warisan yang diberikan kepadanya adalah menjadi hak mutlak baginya dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengeluarkan harta tersebut untuk pembiayaan kehidupan keluarganya. Karena itu pantaslah dan adillah jika pembagian yang diperoleh lebih sedikit, sehingga hukum pembagian warisan dalam Islam tidak perlu diadakan perubahan karena sudah sesuai dan sejalan dengan konsep keadilan jender, dan pembagian kewarisan yang tercantum dalam Al-Qur'an Surat An-Nissa' ayat 11 dan 12 itu digunakan jika terjadi perselisihan antar ahli waris berkenaan dengan pembagian harta warisan yang di tinggalkan oleh pewaris.
Warisan; dalam Wacana Awal
Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang ditinggalkan seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas tentang peralihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau dikenal juga dengan hukum farâid.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut farâid.
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan:
"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris ".
Dari kedua definisi tersebut dapat diketahui bahwa hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang mengatur tentang peralihan kepemilikan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup (yang berhak menerimanya), yang mencakup apa saja yang menjadi harta warisan, siapa-siapa saja yang berhak menerima, berapa besar forsi atau bagian masing-masing ahli waris, kapan dan bagaimana tata cara pengalihannya.
Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.
Allah Swt. memerintakan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.
Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah berfirman:
Artinya: Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang ta'at pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan. Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta forsi masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian warisan sebagaimana yang ditentukan Allah, yang disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuanNya, Allah menjanjikan surga.

Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum waris yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga, (Muttafaq ‘alaih)
Dalam tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan, dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya, oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan. Konsekwensinya perempuan, anak-anak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan kerabatnya.
Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang yang tua renta, suami, isteri saudara laki-laki dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing.
Dari berbagai ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas (doktrin) yang disepakati sebagai sesuatu yang dianggap mensifati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat Ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian.

Dasar Hukum Waris
Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis, khususnya menyangkut forsi atau bagian masing-masing ahli waris. Dalam QS. An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman:

                              •                       •                       •     

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
                                                        
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah secara umum ('Am) menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukau sebelum menentukan harta peninggalan pewaris baru dikatakan sebagai harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).
Selain dari pada itu, dalam ayat di atas juga digariskan bahwa forsi seorang laki-laki sama dengan forsi dua orang perempuan dalam satu tingkatan, baik dalam tingkatan anak, saudara ataupun antara suami dengan isteri. Di antara hukum waris Islam yang bersumber dari Hadis Nabi Muhammad Saw., adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:
Artinya : Nabi Muhammad Saw. bersabda: " Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki yang lebih utama.
Hadis tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, setelah itu jika terdapat sisa, maka forsi laki-laki lebih besar dari forsi perempuan.

Pemaknaan Teks, Bias Jender
Banyak terjadi bias jender dalam pemaknaan terhadap teks-teks suci keagamaan baik teks al-Qur’an maupun Hadis. Misalnya pemaknaan yang berujung menempatkan perempuan sebagai subordinasi laki-laki. Semua itu terjadi dalam konteks pemaknaan. Padahal jika dilihat dari prinsip kesetaraan dan keadilan jender, Islam jelas telah membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan perbudakan terhadap sesama manusia.
Dalam firman Allah Swt Qs. al-Hujurat/49 ayat 13, “Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa.”
Ayat ini, secara jelas berbicara tentang penghambaan manusia kepada Allah Swt. Dengan mengakui penghambaan hanya kepada-Nya, maka semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, setara (egaliter) di hadapan-Nya. Yang membedakan mereka hanyalah tingkat ketakwaannya.
Contoh hak-hak bagi perempuan yang banyak dijelaskan oleh ayat-ayat al-Qur’an, seperti hak kesamaan derajat dengan laki-laki. Pada mulanya, zaman pra-Islam, perilaku-perilaku budaya yang mendiskriminasi perempuan sering terjadi. Mereka misalnya harus dikubur hidup-hidup. Kemudian Islam hadir untuk mengangkat martabat mereka, dengan menegaskan bahwa perempuan tidak boleh diperlakukan demikian.
Pada masa turunnya al-Qur’an, kehadiran anak perempuan dapat mengancam kehormatan sebuah keluarga Arab sehingga penguburan bayi perempuan hidup-hidup juga ditempuh untuk menutupi malu. Penguburan ini ditempuh karena masyarakat belum mengenal aborsi. Nilai perempuan tak lebih dari barang yang dapat dijual dan diwariskan. Di samping itu, laki-laki dapat mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas pada saat yang sama, menceraikan mereka, merujuk lagi kapan saja dan berapa kalipun laki-laki menghendaki. Tak jarang perempuan dipandang seperti syaitan yang harus dijauhi.
Contoh lainnya, adalah hukum kewarisan sebagaimana bahasan dalam makalah ini. Pada masa pra-Islam, perempuan sama sekali tidak berhak mendapat bagian waris. Ketika Islam datang, perempuan mendapat bagian kendati cuma satu banding dua. Jadi, al-Qur’an memang diturunkan sebagai respon atau jawaban untuk mengangkat martabat perempuan.
Jika ayat tentang waris itu dilihat sepintas dalam kontek saat ini, maka terkesan Allah Swt membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. “Padahal kalau kita lihat konteks historis masa lalunya, itu dalam rangka mengangkat martabat perempuan. Pertanyaannya, apakah saat ini ayat itu juga harus dipahami satu banding dua? Ini masih debatable. Ada yang bilang ayat ini tidak bisa ditafsirkan lain. Ada juga yang bilang ayat ini sudah tidak relevan lagi.
Meskipun kebenaran dan kebaikan yang disampaikan oleh al-Qur'an bersifat universal dan abadi akan tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Arab pada masa turunnya. Dalam nada yang lebih berani Ibnu Khaldun mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika mereka agar dapat dipahami. Rekaman dialog antara ayat-ayat al-Qur’an dengan masyarakat Arab terutama yang berkaitan erat dengan persoalan personal mereka adalah indikasi kuat bagi adanya relevansi proses pembahasaan kebenaran mutlak Al-Qur’an dengan kondisi lokal bangsa Arab pada masa turunnya.
Selain itu juga, laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah Swt dengan embanan tugas yang sama, yaitu untuk mengabdi kepada Allah Swt, sebagaimana firman-Nya dalam Qs. al-Dzariyat/51 ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang terbaik. Dan dalam kapasitas sebagai hamba Allah Swt, laki-laki dan perempuan akan mendapat penghargaan sesuai kadar pengabdiannya. Itu sesuai firman Allah Swt dalam Qs. An-Nahl/16 ayat 97, Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan..
Mengapa dalam tataran kenyataan, hingga kini, ketidakadilan tetap saja selalu melekat pada perempuan? Menjawab pertanyaan ini, saat ini dibutuhkan telaah kritis terhadap teks-teks al-Qur’an maupun Hadis untuk dipahami dengan perspektif yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Acapkali ayat atau Hadis yang bias jender, itu sesungguhnya lebih karena konstruksi patriarki.
Konstruksi laki-laki itu, lantas mempengaruhi produk-produk pemikiran keagamaan, baik tafsir maupun fiqih. “Karenanya, teks yang terkesan bias jender itu harus dimaknai sesuai konteks zamannya. al-Qur’an itu terdiri dari teks universal (kulliyah) dan teks partikular (juz’iyyah) yang membutuhkan penjelasan kontekstual.
Untuk tujuan inilah, kita mencoba mereinterpretasi teks-teks itu tanpa mengurangi nilai subtansinya. Teks yang bias jender, kita bawa pada nilai yang substantive dan universal. Ini bisa menjadi justifikasi bahwa Allah Swt tidak mungkin menghendaki pembedaan terhadap perempuan dalam hal apapun.
Supremasi teks atas spirit atau ruhnya ini mengandung potensi besar bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya, pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi mampu mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula mewariskan atau memberikan warisan. Dari transformasi ini dapat ditangkap bahwa bagian anak perempuan separo dari laki-laki mengandung tekanan pesan bahwa separo adalah jumlah minimal yang bisa diterima perempuan. Pada ayat yang sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama dengan laki-laki (ayah):
….Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak….(an-Nisa/4:11).
Pendekatan tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an mesti diwaspadai karena mempunyai kecenderungan mengabaikan spirit pemberdayaan pada seluruh ayat-ayat yang berkaitan dengan gender. Muhammad Abduh mensinyalir sebagian besar kata-kata al-Qur’an telah berubah kandungan maknanya bahkan pada masa dekat setelah turunnya. Perubahan makna ini dapat terjadi dalam bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an yang bertentangan dengan spirit awalnya.
Berbeda dengan teks al-Qur’an, hadis dapat bermasalah dari segi periwayatan maupun redaksinya (sanad dan matan). Oleh karena itu validitas hadis bertingkat; shahih, hasan, dhaif dan maudlu’ (palsu). Tingkatan hadis yang paling tinggi adalah hadis yang secara sanad maupun matannya tidak mengandung cacat.
Hadis yang mengandung bias gender sangat mudah ditemukan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini:
Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami mengalir darah dan nanah lalu istrinya menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. (HR. al-Hakim).
Hadis ini dikutip Imam Nawawi dalam kitab Uqud al-Dulujain. Hingga kini, kitab tersebut masih dianggap sebagai rujukan utama di beberapa pesantren di Indonesia. Hasil penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menunjukkan bahwa kualtitas sanad hadis tersebut dhaif (lemah) karena terdapat perawi yang bermasalah, yaitu Sulayman bin Dawud dan al-Qasim. Imam Nawawi juga mengutip tiga hadis di bawah ini:
Jika seorang istri menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi. (HR. Bukhari Muslim).
Andaikata seorang wanita menghabiskan waktu malamnya untuk shalat, siang harinya untuk puasa, lalu suaminya memanggilnya ke tempat tidur sedangkan istri menundanya sesaat, maka kelak pada hari kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu, berkumpul dengan setan-setan hingga sampai di tempat yang serendah-rendahnya.
Bahwasanya wanita itu tidak dapat memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak-hak suaminya. Seumpama suami minta pada istrinya sementara istri sedang berada di atas punggung onta, maka ia tidak boleh menolak dirinya. (HR. Ath-Thabarani)
Hadis-hadis di atas dan semacamnya pada umumnya bermasalah dalam sanad dan seluruhnya bermasalah dari segi matan. Khalid M. Abu al-Fadl menyebutkan tiga hal sebagai sebab tidak validnya hadis-hadis tersebut menurut matan, yaitu bertentangan dengan kedaulatan Tuhan dan Kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak, tidak selaras dengan diskursus al-Qur’an tentang kehidupan pernikahan, dan tidak sejalan dengan keseluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap istri-istrinya.
Beberapa faktor pendukung lain dalam lahirnya wacana agama yang bias adalah fakta bahwa perumusan ajaran agama sejak awal didominasi oleh bangsa Arab, sebuah bangsa yang memiliki pra asumsi bias dalam memandang perempuan. Hingga kini wacana Agama masih berkiblat ke negeri Arab, sehingga tidak hanya relasi yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan yang mereka tanamkan dalam kesadaran masyarakat Muslim di seluruh dunia, tetapi juga relasi tidak seimbang antara Muslim dan non Muslim berdasarkan pengalaman pahit yang merteka alami hingga kini di tanah Arab.



Urgensi Waris dalam Islam
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global.
Allah menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini. Allah Swt. berfirman:
         •           
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya ; dan
itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa : 13]
bahkan, Allah Swt. mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Sebagaimana firman-Nya sebagai berikut:
       •      
Artinya: “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14]
Rasulullah Saw., memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya. Rasulullah Saw. Bersabda:
“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah, sebab ia dalah separuh ilmu dan ia akan dilupakan. Dan ia adalah sesuatu yang pertama kali tercabut dari umatku” [HR. Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda shahih]
Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab Ra. berkata : “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau juga berkata : “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an”.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan : “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
Abu Musa Al-Asy’ari Ra. berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala. Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasululillah Saw. .

Waris; Antara Upaya Mewujudkan Keadilan atau Bias Gender
a. Waris Menuju Keadilan
Keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukum kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2 : 1 (baca 2 banding 1) antara forsi laki-laki dan perempuan.
Pada pokoknya, syari'ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari'ah. Dalam bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsional dan lain lain.
Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris , karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggungjawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.
Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai "keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan", atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab di antara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam.
Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan, yang kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam.
Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi tangguag jawab suaminya (laki-laki).
Syari'at Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagi kepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun ia tergolong mampu/kaya, jika ia telah bersuami, sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian)keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami (laki-laki setelah ia menikah).
Dalam QS. At-Thalaq ayat 6 Allah berfirman:
Artinya: "Tempatkanlah (isterimu) dimana kamu bertempat tinggal berdasarkan kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka... ".
Dalam QS. Al- Baqarah ayat 233 Allah berfirman:
Artinya: "...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma 'ruf...".
Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: "Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya ".
Sedangkan kewajiban isteri pada dasarnya adalah mengatur urusan intern rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Hal demikian juga berlaku dalam kedudukan sebagai ayah dan ibu pewaris.
Dalam tingkatan anak, anak laki-laki yang belum menikah, ia diwajibkan member mahar dan segala persyaratan pernikahan yang dibebankan pihak keluarga calon isteri kepadanya. Setelah menikah, maka beban menafkahi isteri (dan anak-anaknya) kelak akan diletakkan dipundaknya.
Sebaliknya anak perempuan, dengan forsi yang diperolehnya tersebut akan mendapat penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnya setelah menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya, bahkan sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidak menafikan keadaan sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak.
Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara konkrit adalah seorang anak laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang Rp.20.000.000,- (dua puluh juta), sedangkan saudara perempuannya memperoleh Rp.10.000.000; (sepuluh juta) berdasarkan ketentuan 2 : 1, maka ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan mengeluarkan biaya keperluan mahar sekitar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah), jadi sisa harta dari bagian warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah Rp.15.000.000; (lima belas juta rupiah). Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh bagian warisan Rp.10.000.000; (sepuluh juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) disebabkan mahar yang diperolehnya dari laki-laki yang menikah dengannya. Dengan demikian maka kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh bagian warisan tersebut sama-sama memperoleh Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Dengan demikian maka perempuan selain pemilik penuh dari kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan, juga akan mendapatkan tambahan dari mahar yang diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari suaminya tersebut.
Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan saja keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yakni bagian warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal tersebut berbeda dengan hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.
Jika dalam satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan laki-laki, sebab kekayaan laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga bahagian laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis. Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian warisan tersebut) akan tetap utuh tak berkurang, jika diinginkannya, karena pada hakikatnya perempuan mengambil bagian (warisan, harta laki-laki) dan tidak memberi apa-apa, Ia mendapat bagian warisan dan memperoleh nafkah, tidak sebaliknya.
Perbedaan yang berdasarkan besar kecilnya beban dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum kausalitas imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Forsi perempuan yang ditentukan tersebut seimbang dengan kewajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada dasarnya dibebaskan dari memikul tanggungjawab ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jika seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu merupakan manifestasi dari tingkat kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan secara sosiologis dalam masyarakat Islam.
Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur :
a. Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.
b. Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisi sebagaimana kaidah: Artinya: Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa, tempat dan keadaan
Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.
Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.
Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hokum materil di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser. Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan forsi 2 : 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dan gath'i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisi bersama anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan forsi yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu.
Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan forsi 1 : 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan.
Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih besar dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli waris : suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami memperoleh ½ (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan ayah mendapat sisa (2 bagian).
b. Hukum Waris Bias Isu Gender; Respon Terhadap Masyarakat Modern
Masyarakat modern yang dimaksud disini ialah paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Tokoh-tokoh mereka baik dari kalangan orientalis maupun oksidentalis sangat kukuh dan gigih dalam “mengkritisi” syariat Islam, guna mengadaptasikan syari’at Islam dengan kehidupan demokrasi yang sekuler. Oleh karena itu, dengan jiwa militan dan semangat radikal, mereka melakukan reformulasi terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Mereka mencoba fiqih alternative sebagai respon atas berkembangnya budaya masyarakat yang lebih modern, dan memaksanya untuk mengkaji ulang dengan pendekatan utama: gender, pluralisme, hak asasi manusia dan demokrasi.
Semua itu hanya didasarkan pada perspektif yang sangat sederhana dan kuno, yaitu demi merespon masyarakat pluralistic (multi etnik dan multi cultural) agar terwujud masyarakat yang adil, egaliter, dan demokratis.
Dalam rumusan mereka tentang syariat Islam, bahwa semua warga negara, apapun agamanya dan sesembahannya memiliki kedudukan yang sama dan memperoleh perlakuan yang adil (sama), kaum minoritas dan perempuan dilindungi dan dijamin hak-haknya secara setara.
Menurut hasil penelitian mereka, syariat Islam yang “purba” itu, secara jelas sangat menyalahi prinsip dasar universal, yaitu : prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikha) dan keadilan (al-adl), serta gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat modern, seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi dan egalitarianisme. Bahkan menurut keyakinan mereka, hukum Islam bertentangan dengan hukum nasional dan konversi internasional. Oleh karena itu, mereka berpendapat syariat Islam adalah diskriminatif, anti demokrasi, usang, formalistic, radikalistik, fundamentalistik, teosentris, berwajah keras, kaku dan rigid, intoleran, tidak relevan dan bernuansa konfliktual.
Di antara syariat Allah yang dianggap diskriminatif adalah hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Mereka mengatakan, agama Islam yang menafikan adanya hak saling mewarisi antara muslim dan non muslim bertentangan dengan prinsip demokrasi. Yaitu sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan (al-hurriyyah, liberti), kesetaraan (al-musawah, egalitarianisme), dan persaudaraan (al-ukhuwah), keadilan (al-adalah), pluralisme (al-ta’addudiyyah) dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik.
Mereka mengatakan, fiqih Islam sangat tidak toleran terhadap agama lain. Padahal ayat.“..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” [An-Nisa : 141] Yang mereka gunakan tidak menujukkan langsung pada pengharaman waris beda agama, dan yang ada hanyalah hadits yang bersifat umum. Maka menurut mereka, hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya, yaitu dalam konteks keluarga (ulul arham), keturunan (nasab) dan menantu (shihr) apapun agamanya.
Mereka juga mengatakan, hukum Islam yang memberikan hak waris kepada anak yang lahir dari zina (anak di luar pernikahan) hanya dari ibunya sebagaimana yang dibakukan dalam kompilasi hukum Islam Indonesia. Pasal 186, bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, mereka mengusulkan agar anak tetap memiliki hak waris dari ayah biologisnya.
Mereka juga mengatakan, pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan 2 : 1 adalah diskriminatif, bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyah) dan keadilan sosial. Hukum yang seperti ini hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan, mendiskriminasi dan mensubordinasi perempuan. Hukum yang dilahirkan oleh masyarakat dan budaya patriarkhis, dimana laki-laki selalu menjadi pusat kuasa dan misoginis (kebencian terhadap perempuan) sering dianggap wajar dalam penafsiran.
Oleh karena itu mereka mengusulkan, agar proporsi pembagian laki-laki perempuan sama 1 : 1 atau 2 : 2, seperti yang mereka tuangkan dalam pasal 8 Kompilasi Hukum Islam mereka. Untuk tujuan ini –menurut mereka- tidak cukup sekedar melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekonstruksi (pembongkaran) terhadap bebatuan idiologi yang melilitnya berabad-abad.
Inilah kondisi syariat Islam yang menurut mereka bias masculine-centris yang didominasi oleh fiqh dan tafsir maskulin. Artinya sudah terjadi semacam operasi kelamin atas ayat-ayat suci.
Kini, tibalah saatnya –menurut mereka- untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis-temporal, particular atau teknis operasional (juz’iyyah) agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan local arabisme.

Analisa 1: 2
Format Islam yang unik dalam teks Ilahi yang konstan ini –syari’at yang baku yang ditetapkan oleh Allah- melestarikan sifat keislaman (Islamiyah) dan ketuhanan (Ilahiyah) demi referensi dan sumber selamanya. Sedangkan perkara-perkara yang bersifat berubah (mutaghayyirât), diserahkan kepada fiqih (pemahaman ulama) yang berkembang dan terus mengalami perubahan sesuai zamannya. Formasi Islam seperti inilah yang menempatkan nash (Al-Qur’an dan Hadits) dengan dinamika interpretasi manusia terhadap nash Ilahi yang konstan.
Syariat Islam menggabungkan antara tsabat al-wadh al-Ilahi (ketetapan , ketentuan ilahi) dan tathawwur al-ijtihad al-fiqhi (perkembangan ijtihad fiqhi). Artinya, menggabungkan antara ketetapan marja’iyyah (referensi) dan nash (teks). Dengan perkembangan ijtihad fiqhi yang sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang zaman.
Ketika memperhatikan contoh-contoh di atas, –dalam hal ini- ‘warisan wanita’, maka kita semakin yakin tentang kurang tepatnya klaim penerapan teori modern atas Al-Qur’an yang suci, atas hukum-hukum syari’at yang terdapat di dalamnya. Tidak benar bila difahami bahwa hukum waris dalam Islam telah merendahkan wanita, sehingga dikatakan bahwa hukumanya relevan dengan masa lalu dan tidak relevan dengan masa kini dan yang akan datang.
Yang perlu ditekankan dan digarisbawahi pada analisa akhir 1:2 di sini adalah bahwa wanita di dalam Islam tidak selamanya mewarisi separoh dari laki-laki. Al-Qur’an tidak mengatakan. “Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) para ahli waris, yaitu ; bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan”. Akan tetapi hal itu dikhususkan pada kondisi anak-anak, bukan pada seluruh ahli waris.
Allah berfirman:
“Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas, sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dbayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahulagi Maha Bijaksana” [An-Nisa : 11]
Adapun bila ketentuannya dimaksudkan untuk seluruh ahli waris, maka Al-Qur’an menggunakan kata-kata yang umum, yaitu lafazh an-nashib (bagian), yakni masing-masing laki-laki dan perempuan memiliki bagian sama. Allah berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]
Ukuran perbedaan bagian waris tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin –laki-laki atau perempuan- secara mutlak. Tidak seperti yang disangka oleh kebanyakan orang, akan tetapi ukuran perbedaan ini ada tiga :
1. Tingkat kekerabatan. Semakin dekat tingkat kekerabatan (hubungan nasabnya) dengan si mayit, maka semakin tinggi haknya dalam waris.
2. Posisi generasi pewaris dalam mata rantai generasi. Ini adalah hikmah Ilahiyyah yang sangat tinggi dalam meletakkan dasar waris menurut Islam. Semakin kecil seorang pewaris, dari generasi yang menyongsong kehidupan dan memikul beban-bebannya, yang menghadapi tanggung jawab yang terus berkembang, maka bagian warisnya semakin besar. Maka putra si mayit mewarisi lebih banyak dari ayah si mayit, padahal keduanya adalah laki-laki. Puteri si mayit mewarisi lebih banyak dari ibunya, padahal keduanya sama-sama wanita. Bahkan putri si mayit mewarisi lebih banyak daripada ayah si mayit.
3. Faktor ketiga dalam membedakan bagian-bagian waris adalah beban finansial yang dipikulnya sesuai dengan syariat Islam. Apabila tingkat kekerabatannya sama dan posisi generasi pewarisnya sama seperti posisi anak, dengan pembedaan antara anak laki-laki yang dibebani untuk menafkahi istri, keluarga dan anak-anak, dengan anak perempuan yang akan dijamin nafkahnya dan nafkah anak-anaknya oleh suaminya. Maka pada kondisi seperti ini bagian laki-laki, sama dengan bagian dua perempuan. Di dalam pembagian ini sama sekali tidak ada unsur diskriminasi, tetapi yang ada justru mengistimewakan perempuan sebagai bentuk kehati-hatian karena lemahnya.
Inilah fakta-fakta kebenaran dalam waris Islam yang tidak diketahui atau
sengaja dilupakan oleh para kaum liberalis yang mengajak untuk mendekontruksi
hukum waris dan mereinterpretasi ayat-ayat waris dengan teori historisitas teks. Inilah fakta-fakta kebenaran waris Islam dengan menjadikan wanita dalam daftar ahli waris, yang mewarisi bersama-sama kaum laki-laki sesuai dengan kondisinya. Perempuan mewarisi sama dengan laki-laki, atau lebih banyak dari laki-laki. Perempuan mewarisi sedangkan laki-laki tidak lebih dari tiga puluh keadaan dari keadaan-keadaan waris Islam, sementara perempuan mewarisi separuh dari waris laki-laki hanya dalam empat keadaan.

Penutup
Azas " Keadilan berimbang", dalam hukum waris Islam menentukan laki-laki dan perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan forsi yang berbeda. Berdasarkan nash yang qath'i, maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hokum waris Islam adalah bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (forsi 2 : 1 antara laki-laki dan perempuan).
Perbedaan forsi tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan atas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada perempuan dalam konteks masyarakat Islam, sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan :"Semakin besar dan berat beban yang dipikul seorang laki-laki, maka semakin besar pula hak yang akan diperolehnya", disebabkan biaya yang harus dikeluarkannya untuk mengemban tanggung jawab dimaksud lebih besar.


























DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Al-Manar , Kairo: Darul Manar, 1367

Baidan, Nashruddin, tafsir bi al-Ra yi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

Bashari, Agus Hasan, Koreksi Total Fiqih Lintas Agama, Pustaka Al-Kautsar, Cet. II. 2004

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,, Jakarta: Balai Pustaka Cet. III, 1990

el Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah R. Cecep Lukman Hakim, Jakarta: Serambi, 2004

Fauzan, Syaikh Shalih, At-Tahqîqât Al-Mardhiyyah Fi al-Mabâhits Al-Faradhiyyah, Jamî’ah al-Imâm,, 1408.

Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Yogyakarta: LKiS, 2001

Iyas, Muhammad bin, Badaiz Zuhur fi Waqaid Duhur, Beirut: Maktabah Saqafiyyah, tt.

Islamlib.com, Gugatan Amina atas tafsir dan fiqih maskulin, diambil pada 08-11-2009

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beyrut: Darul Fikir, tt.

Lips, Hilary M., Sex and Gender an Introduction, London: My Field Publishing Company, 1993

Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2001

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991

Madjid, Nur Cholis, dkk., Fiqih Lintas Agama, Paramadina, Cet. I, 2003

Neuvelt, Victoria, (ed.), Webster’s New World Dictionary, New York: Webster’s New World Cleveland, 1984

Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: PT. Raja Rafindo Persada, 1995

Rofik, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, Surabaya: Mutiara Ilmu, tt.,

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan AdatMinangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 198

Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: el-Kahfi, 2008

_______, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 1999

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004

Sardar, Zainuddin, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987

al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, AI Asybah wa an Nadhoir (Indonesia; Syirkah Nur Asia, tt

Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 1995

Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004

At-Thabari, Jami’ al-Bayan (Kairo: 1057-19690, jilid VII, hlm. 599

Umam, Cholil, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994

Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 2001

_______,Teologi Gender; Antara Mitos dan Kitab Suci, Jakarta: Pustaka Cicero, 2003

Yahya, Idris Jakfar dan Taufik, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995

Yunus, Mahmud, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1998

Zahari, Ahmad, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhyah, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997

_______, Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993














KESETARAAN JENDER DALAM PERSPEKTIF HUKUM WARIS
Oleh: Hasani Ahmad Syamsuri

Abstrak:
Isu-isu gender merupakan tema yang sering diperbincangkan oleh kelompok feminisme Muslim, apalagi bila hal itu menyangkut untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Di antara ayat-ayat yang mendapat banyak penafsiran adalah berkaitan dengan hukum waris dalam surat al-Nisâ ayat 11 yang berbunyi “yûshikumullahu fi aulâdikum li al-dzakari mitslu hadzdzi al-untsayaini”
Pendahuluan
Problematika perempuan adalah problematika kemanusian yang pada masa Rasulullah pun sudah ditemukan sebuah kenyataan, bahwa perempuan pada masa pra Islam sudah mengalami berbagai praktek penindasan dan diskriminasi. Seperti dalam halnya dalam pembagian warisan. Perempuan dianggap tidak pantas untuk menerima harta warisan atau harta pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap sebagai harta waris yang berhak dimiliki oleh ahli waris laki-laki.
Pada perkembangan selanjutnya, Islam sebagai agama yang universal hadir dengan membawa angin segar terhadap hak-hak kaum perempuan serta mengangkat martabatnya yang setara dengan kaum laki-laki. Al-Qur'an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah menegaskan adanya kesetaraan dan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi yang adil untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.
Secara normatif Al-Qur'an telah menegaskan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun secara tekstual AI-Qur'an juga menyatakan adanya kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh kaum laki-laki atas kaum perempuan seperti dalam pembagian harta warisan. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian yang diterima oleh kaum perempuan dan al-Qur'an juga menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.
Di sini nampak jelas terlihat adanya kesetaraan jender menjadi sebuah pertanyaan besar terutama dalam sistem pembagian warisan menurut hukum Islam yaitu komposisi pembagian 1 : 2. Aspek-aspek yang melatar belakangi pembagian tersebut, sehingga laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari pembagian anak perempuan.
Apakah ketentuan kewarisan dalam sistem ajaran Islam merupakan ketentuan yang bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan? Lalu bagaimana jika ketentuan tersebut di rubah dengan perolehan sama besar di antara laki-laki dan perempuan? Islam sebagai agama yang Universal, kehadirannya telah membebaskan kaum perempuan dari belenggu penindasan dan pendiskriminasian yang menimpa kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Adapun formulasi kewarisan yang telah di tetapkan dalam sistem ajaran Islam bukanlah suatu hal yang bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Karena tujuan dari dibagikannya harta waris itu sendiri untuk kemaslahatan ahli waris yang di tinggalkan. Sedangkan pembagian harta waris itu dinilai dari azas manfaat dan beban tanggung jawab yang di emban oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam hal ini, Islam melihat bahwa laki-laki mempunyai beban tugas dan tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawab yang di emban oleh kaum perempuan.
Dalam Islam laki-laki mempunyai kewajiban untuk membayar mahar kepada perempuan yang dinikahinya kemudian bertanggung jawab atas biaya penghidupan istri dan anak-anaknya. Dilihat sekilas saja nampak bahwa tanggung jawab seorang suami itu cukup berat sehingga wajar jika ia mendapatkan bagian yang lebih banyak dari harta waris itu sehingga dapat di gunakan untuk modal awal dalam pembiayaan penghidupan keluarganya.
Sementara itu seorang perempuan tidak berkewajiban untuk membiayai kehidupan rumah tangganya melainkan semua kebutuhannya telah di tanggung oleh suaminya. Sedangkan mahar yang diterima dan harta warisan yang diberikan kepadanya adalah menjadi hak mutlak baginya dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengeluarkan harta tersebut untuk pembiayaan kehidupan keluarganya. Karena itu pantaslah dan adillah jika pembagian yang diperoleh lebih sedikit, sehingga hukum pembagian warisan dalam Islam tidak perlu diadakan perubahan karena sudah sesuai dan sejalan dengan konsep keadilan jender, dan pembagian kewarisan yang tercantum dalam Al-Qur'an Surat An-Nissa' ayat 11 dan 12 itu digunakan jika terjadi perselisihan antar ahli waris berkenaan dengan pembagian harta warisan yang di tinggalkan oleh pewaris.
Warisan; dalam Wacana Awal
Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang ditinggalkan seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas tentang peralihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau dikenal juga dengan hukum farâid.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut farâid.
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan:
"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris ".
Dari kedua definisi tersebut dapat diketahui bahwa hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang mengatur tentang peralihan kepemilikan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup (yang berhak menerimanya), yang mencakup apa saja yang menjadi harta warisan, siapa-siapa saja yang berhak menerima, berapa besar forsi atau bagian masing-masing ahli waris, kapan dan bagaimana tata cara pengalihannya.
Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.
Allah Swt. memerintakan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.
Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah berfirman:
Artinya: Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang ta'at pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan. Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta forsi masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian warisan sebagaimana yang ditentukan Allah, yang disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuanNya, Allah menjanjikan surga.

Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum waris yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga, (Muttafaq ‘alaih)
Dalam tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan, dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya, oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan. Konsekwensinya perempuan, anak-anak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan kerabatnya.
Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang yang tua renta, suami, isteri saudara laki-laki dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing.
Dari berbagai ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas (doktrin) yang disepakati sebagai sesuatu yang dianggap mensifati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat Ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian.

Dasar Hukum Waris
Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis, khususnya menyangkut forsi atau bagian masing-masing ahli waris. Dalam QS. An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman:

                              •                       •                       •     

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
                                                        
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah secara umum ('Am) menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukau sebelum menentukan harta peninggalan pewaris baru dikatakan sebagai harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).
Selain dari pada itu, dalam ayat di atas juga digariskan bahwa forsi seorang laki-laki sama dengan forsi dua orang perempuan dalam satu tingkatan, baik dalam tingkatan anak, saudara ataupun antara suami dengan isteri. Di antara hukum waris Islam yang bersumber dari Hadis Nabi Muhammad Saw., adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:
Artinya : Nabi Muhammad Saw. bersabda: " Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki yang lebih utama.
Hadis tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, setelah itu jika terdapat sisa, maka forsi laki-laki lebih besar dari forsi perempuan.

Pemaknaan Teks, Bias Jender
Banyak terjadi bias jender dalam pemaknaan terhadap teks-teks suci keagamaan baik teks al-Qur’an maupun Hadis. Misalnya pemaknaan yang berujung menempatkan perempuan sebagai subordinasi laki-laki. Semua itu terjadi dalam konteks pemaknaan. Padahal jika dilihat dari prinsip kesetaraan dan keadilan jender, Islam jelas telah membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan perbudakan terhadap sesama manusia.
Dalam firman Allah Swt Qs. al-Hujurat/49 ayat 13, “Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa.”
Ayat ini, secara jelas berbicara tentang penghambaan manusia kepada Allah Swt. Dengan mengakui penghambaan hanya kepada-Nya, maka semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, setara (egaliter) di hadapan-Nya. Yang membedakan mereka hanyalah tingkat ketakwaannya.
Contoh hak-hak bagi perempuan yang banyak dijelaskan oleh ayat-ayat al-Qur’an, seperti hak kesamaan derajat dengan laki-laki. Pada mulanya, zaman pra-Islam, perilaku-perilaku budaya yang mendiskriminasi perempuan sering terjadi. Mereka misalnya harus dikubur hidup-hidup. Kemudian Islam hadir untuk mengangkat martabat mereka, dengan menegaskan bahwa perempuan tidak boleh diperlakukan demikian.
Pada masa turunnya al-Qur’an, kehadiran anak perempuan dapat mengancam kehormatan sebuah keluarga Arab sehingga penguburan bayi perempuan hidup-hidup juga ditempuh untuk menutupi malu. Penguburan ini ditempuh karena masyarakat belum mengenal aborsi. Nilai perempuan tak lebih dari barang yang dapat dijual dan diwariskan. Di samping itu, laki-laki dapat mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas pada saat yang sama, menceraikan mereka, merujuk lagi kapan saja dan berapa kalipun laki-laki menghendaki. Tak jarang perempuan dipandang seperti syaitan yang harus dijauhi.
Contoh lainnya, adalah hukum kewarisan sebagaimana bahasan dalam makalah ini. Pada masa pra-Islam, perempuan sama sekali tidak berhak mendapat bagian waris. Ketika Islam datang, perempuan mendapat bagian kendati cuma satu banding dua. Jadi, al-Qur’an memang diturunkan sebagai respon atau jawaban untuk mengangkat martabat perempuan.
Jika ayat tentang waris itu dilihat sepintas dalam kontek saat ini, maka terkesan Allah Swt membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. “Padahal kalau kita lihat konteks historis masa lalunya, itu dalam rangka mengangkat martabat perempuan. Pertanyaannya, apakah saat ini ayat itu juga harus dipahami satu banding dua? Ini masih debatable. Ada yang bilang ayat ini tidak bisa ditafsirkan lain. Ada juga yang bilang ayat ini sudah tidak relevan lagi.
Meskipun kebenaran dan kebaikan yang disampaikan oleh al-Qur'an bersifat universal dan abadi akan tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Arab pada masa turunnya. Dalam nada yang lebih berani Ibnu Khaldun mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika mereka agar dapat dipahami. Rekaman dialog antara ayat-ayat al-Qur’an dengan masyarakat Arab terutama yang berkaitan erat dengan persoalan personal mereka adalah indikasi kuat bagi adanya relevansi proses pembahasaan kebenaran mutlak Al-Qur’an dengan kondisi lokal bangsa Arab pada masa turunnya.
Selain itu juga, laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah Swt dengan embanan tugas yang sama, yaitu untuk mengabdi kepada Allah Swt, sebagaimana firman-Nya dalam Qs. al-Dzariyat/51 ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang terbaik. Dan dalam kapasitas sebagai hamba Allah Swt, laki-laki dan perempuan akan mendapat penghargaan sesuai kadar pengabdiannya. Itu sesuai firman Allah Swt dalam Qs. An-Nahl/16 ayat 97, Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan..
Mengapa dalam tataran kenyataan, hingga kini, ketidakadilan tetap saja selalu melekat pada perempuan? Menjawab pertanyaan ini, saat ini dibutuhkan telaah kritis terhadap teks-teks al-Qur’an maupun Hadis untuk dipahami dengan perspektif yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Acapkali ayat atau Hadis yang bias jender, itu sesungguhnya lebih karena konstruksi patriarki.
Konstruksi laki-laki itu, lantas mempengaruhi produk-produk pemikiran keagamaan, baik tafsir maupun fiqih. “Karenanya, teks yang terkesan bias jender itu harus dimaknai sesuai konteks zamannya. al-Qur’an itu terdiri dari teks universal (kulliyah) dan teks partikular (juz’iyyah) yang membutuhkan penjelasan kontekstual.
Untuk tujuan inilah, kita mencoba mereinterpretasi teks-teks itu tanpa mengurangi nilai subtansinya. Teks yang bias jender, kita bawa pada nilai yang substantive dan universal. Ini bisa menjadi justifikasi bahwa Allah Swt tidak mungkin menghendaki pembedaan terhadap perempuan dalam hal apapun.
Supremasi teks atas spirit atau ruhnya ini mengandung potensi besar bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya, pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi mampu mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula mewariskan atau memberikan warisan. Dari transformasi ini dapat ditangkap bahwa bagian anak perempuan separo dari laki-laki mengandung tekanan pesan bahwa separo adalah jumlah minimal yang bisa diterima perempuan. Pada ayat yang sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama dengan laki-laki (ayah):
….Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak….(an-Nisa/4:11).
Pendekatan tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an mesti diwaspadai karena mempunyai kecenderungan mengabaikan spirit pemberdayaan pada seluruh ayat-ayat yang berkaitan dengan gender. Muhammad Abduh mensinyalir sebagian besar kata-kata al-Qur’an telah berubah kandungan maknanya bahkan pada masa dekat setelah turunnya. Perubahan makna ini dapat terjadi dalam bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an yang bertentangan dengan spirit awalnya.
Berbeda dengan teks al-Qur’an, hadis dapat bermasalah dari segi periwayatan maupun redaksinya (sanad dan matan). Oleh karena itu validitas hadis bertingkat; shahih, hasan, dhaif dan maudlu’ (palsu). Tingkatan hadis yang paling tinggi adalah hadis yang secara sanad maupun matannya tidak mengandung cacat.
Hadis yang mengandung bias gender sangat mudah ditemukan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini:
Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami mengalir darah dan nanah lalu istrinya menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. (HR. al-Hakim).
Hadis ini dikutip Imam Nawawi dalam kitab Uqud al-Dulujain. Hingga kini, kitab tersebut masih dianggap sebagai rujukan utama di beberapa pesantren di Indonesia. Hasil penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menunjukkan bahwa kualtitas sanad hadis tersebut dhaif (lemah) karena terdapat perawi yang bermasalah, yaitu Sulayman bin Dawud dan al-Qasim. Imam Nawawi juga mengutip tiga hadis di bawah ini:
Jika seorang istri menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi. (HR. Bukhari Muslim).
Andaikata seorang wanita menghabiskan waktu malamnya untuk shalat, siang harinya untuk puasa, lalu suaminya memanggilnya ke tempat tidur sedangkan istri menundanya sesaat, maka kelak pada hari kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu, berkumpul dengan setan-setan hingga sampai di tempat yang serendah-rendahnya.
Bahwasanya wanita itu tidak dapat memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak-hak suaminya. Seumpama suami minta pada istrinya sementara istri sedang berada di atas punggung onta, maka ia tidak boleh menolak dirinya. (HR. Ath-Thabarani)
Hadis-hadis di atas dan semacamnya pada umumnya bermasalah dalam sanad dan seluruhnya bermasalah dari segi matan. Khalid M. Abu al-Fadl menyebutkan tiga hal sebagai sebab tidak validnya hadis-hadis tersebut menurut matan, yaitu bertentangan dengan kedaulatan Tuhan dan Kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak, tidak selaras dengan diskursus al-Qur’an tentang kehidupan pernikahan, dan tidak sejalan dengan keseluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap istri-istrinya.
Beberapa faktor pendukung lain dalam lahirnya wacana agama yang bias adalah fakta bahwa perumusan ajaran agama sejak awal didominasi oleh bangsa Arab, sebuah bangsa yang memiliki pra asumsi bias dalam memandang perempuan. Hingga kini wacana Agama masih berkiblat ke negeri Arab, sehingga tidak hanya relasi yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan yang mereka tanamkan dalam kesadaran masyarakat Muslim di seluruh dunia, tetapi juga relasi tidak seimbang antara Muslim dan non Muslim berdasarkan pengalaman pahit yang merteka alami hingga kini di tanah Arab.



Urgensi Waris dalam Islam
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global.
Allah menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini. Allah Swt. berfirman:
         •           
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya ; dan
itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa : 13]
bahkan, Allah Swt. mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Sebagaimana firman-Nya sebagai berikut:
       •      
Artinya: “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14]
Rasulullah Saw., memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya. Rasulullah Saw. Bersabda:
“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah, sebab ia dalah separuh ilmu dan ia akan dilupakan. Dan ia adalah sesuatu yang pertama kali tercabut dari umatku” [HR. Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda shahih]
Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab Ra. berkata : “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau juga berkata : “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an”.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan : “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
Abu Musa Al-Asy’ari Ra. berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala. Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasululillah Saw. .

Waris; Antara Upaya Mewujudkan Keadilan atau Bias Gender
a. Waris Menuju Keadilan
Keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukum kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2 : 1 (baca 2 banding 1) antara forsi laki-laki dan perempuan.
Pada pokoknya, syari'ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari'ah. Dalam bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsional dan lain lain.
Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris , karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggungjawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.
Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai "keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan", atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab di antara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam.
Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan, yang kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam.
Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi tangguag jawab suaminya (laki-laki).
Syari'at Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagi kepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun ia tergolong mampu/kaya, jika ia telah bersuami, sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian)keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami (laki-laki setelah ia menikah).
Dalam QS. At-Thalaq ayat 6 Allah berfirman:
Artinya: "Tempatkanlah (isterimu) dimana kamu bertempat tinggal berdasarkan kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka... ".
Dalam QS. Al- Baqarah ayat 233 Allah berfirman:
Artinya: "...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma 'ruf...".
Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: "Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya ".
Sedangkan kewajiban isteri pada dasarnya adalah mengatur urusan intern rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Hal demikian juga berlaku dalam kedudukan sebagai ayah dan ibu pewaris.
Dalam tingkatan anak, anak laki-laki yang belum menikah, ia diwajibkan member mahar dan segala persyaratan pernikahan yang dibebankan pihak keluarga calon isteri kepadanya. Setelah menikah, maka beban menafkahi isteri (dan anak-anaknya) kelak akan diletakkan dipundaknya.
Sebaliknya anak perempuan, dengan forsi yang diperolehnya tersebut akan mendapat penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnya setelah menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya, bahkan sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidak menafikan keadaan sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak.
Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara konkrit adalah seorang anak laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang Rp.20.000.000,- (dua puluh juta), sedangkan saudara perempuannya memperoleh Rp.10.000.000; (sepuluh juta) berdasarkan ketentuan 2 : 1, maka ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan mengeluarkan biaya keperluan mahar sekitar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah), jadi sisa harta dari bagian warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah Rp.15.000.000; (lima belas juta rupiah). Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh bagian warisan Rp.10.000.000; (sepuluh juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) disebabkan mahar yang diperolehnya dari laki-laki yang menikah dengannya. Dengan demikian maka kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh bagian warisan tersebut sama-sama memperoleh Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Dengan demikian maka perempuan selain pemilik penuh dari kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan, juga akan mendapatkan tambahan dari mahar yang diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari suaminya tersebut.
Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan saja keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yakni bagian warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal tersebut berbeda dengan hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.
Jika dalam satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan laki-laki, sebab kekayaan laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga bahagian laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis. Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian warisan tersebut) akan tetap utuh tak berkurang, jika diinginkannya, karena pada hakikatnya perempuan mengambil bagian (warisan, harta laki-laki) dan tidak memberi apa-apa, Ia mendapat bagian warisan dan memperoleh nafkah, tidak sebaliknya.
Perbedaan yang berdasarkan besar kecilnya beban dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum kausalitas imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Forsi perempuan yang ditentukan tersebut seimbang dengan kewajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada dasarnya dibebaskan dari memikul tanggungjawab ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jika seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu merupakan manifestasi dari tingkat kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan secara sosiologis dalam masyarakat Islam.
Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur :
a. Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.
b. Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisi sebagaimana kaidah: Artinya: Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa, tempat dan keadaan
Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.
Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.
Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hokum materil di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser. Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan forsi 2 : 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dan gath'i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisi bersama anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan forsi yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu.
Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan forsi 1 : 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan.
Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih besar dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli waris : suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami memperoleh ½ (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan ayah mendapat sisa (2 bagian).
b. Hukum Waris Bias Isu Gender; Respon Terhadap Masyarakat Modern
Masyarakat modern yang dimaksud disini ialah paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Tokoh-tokoh mereka baik dari kalangan orientalis maupun oksidentalis sangat kukuh dan gigih dalam “mengkritisi” syariat Islam, guna mengadaptasikan syari’at Islam dengan kehidupan demokrasi yang sekuler. Oleh karena itu, dengan jiwa militan dan semangat radikal, mereka melakukan reformulasi terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Mereka mencoba fiqih alternative sebagai respon atas berkembangnya budaya masyarakat yang lebih modern, dan memaksanya untuk mengkaji ulang dengan pendekatan utama: gender, pluralisme, hak asasi manusia dan demokrasi.
Semua itu hanya didasarkan pada perspektif yang sangat sederhana dan kuno, yaitu demi merespon masyarakat pluralistic (multi etnik dan multi cultural) agar terwujud masyarakat yang adil, egaliter, dan demokratis.
Dalam rumusan mereka tentang syariat Islam, bahwa semua warga negara, apapun agamanya dan sesembahannya memiliki kedudukan yang sama dan memperoleh perlakuan yang adil (sama), kaum minoritas dan perempuan dilindungi dan dijamin hak-haknya secara setara.
Menurut hasil penelitian mereka, syariat Islam yang “purba” itu, secara jelas sangat menyalahi prinsip dasar universal, yaitu : prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikha) dan keadilan (al-adl), serta gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat modern, seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi dan egalitarianisme. Bahkan menurut keyakinan mereka, hukum Islam bertentangan dengan hukum nasional dan konversi internasional. Oleh karena itu, mereka berpendapat syariat Islam adalah diskriminatif, anti demokrasi, usang, formalistic, radikalistik, fundamentalistik, teosentris, berwajah keras, kaku dan rigid, intoleran, tidak relevan dan bernuansa konfliktual.
Di antara syariat Allah yang dianggap diskriminatif adalah hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Mereka mengatakan, agama Islam yang menafikan adanya hak saling mewarisi antara muslim dan non muslim bertentangan dengan prinsip demokrasi. Yaitu sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan (al-hurriyyah, liberti), kesetaraan (al-musawah, egalitarianisme), dan persaudaraan (al-ukhuwah), keadilan (al-adalah), pluralisme (al-ta’addudiyyah) dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik.
Mereka mengatakan, fiqih Islam sangat tidak toleran terhadap agama lain. Padahal ayat.“..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” [An-Nisa : 141] Yang mereka gunakan tidak menujukkan langsung pada pengharaman waris beda agama, dan yang ada hanyalah hadits yang bersifat umum. Maka menurut mereka, hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya, yaitu dalam konteks keluarga (ulul arham), keturunan (nasab) dan menantu (shihr) apapun agamanya.
Mereka juga mengatakan, hukum Islam yang memberikan hak waris kepada anak yang lahir dari zina (anak di luar pernikahan) hanya dari ibunya sebagaimana yang dibakukan dalam kompilasi hukum Islam Indonesia. Pasal 186, bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, mereka mengusulkan agar anak tetap memiliki hak waris dari ayah biologisnya.
Mereka juga mengatakan, pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan 2 : 1 adalah diskriminatif, bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyah) dan keadilan sosial. Hukum yang seperti ini hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan, mendiskriminasi dan mensubordinasi perempuan. Hukum yang dilahirkan oleh masyarakat dan budaya patriarkhis, dimana laki-laki selalu menjadi pusat kuasa dan misoginis (kebencian terhadap perempuan) sering dianggap wajar dalam penafsiran.
Oleh karena itu mereka mengusulkan, agar proporsi pembagian laki-laki perempuan sama 1 : 1 atau 2 : 2, seperti yang mereka tuangkan dalam pasal 8 Kompilasi Hukum Islam mereka. Untuk tujuan ini –menurut mereka- tidak cukup sekedar melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekonstruksi (pembongkaran) terhadap bebatuan idiologi yang melilitnya berabad-abad.
Inilah kondisi syariat Islam yang menurut mereka bias masculine-centris yang didominasi oleh fiqh dan tafsir maskulin. Artinya sudah terjadi semacam operasi kelamin atas ayat-ayat suci.
Kini, tibalah saatnya –menurut mereka- untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis-temporal, particular atau teknis operasional (juz’iyyah) agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan local arabisme.

Analisa 1: 2
Format Islam yang unik dalam teks Ilahi yang konstan ini –syari’at yang baku yang ditetapkan oleh Allah- melestarikan sifat keislaman (Islamiyah) dan ketuhanan (Ilahiyah) demi referensi dan sumber selamanya. Sedangkan perkara-perkara yang bersifat berubah (mutaghayyirât), diserahkan kepada fiqih (pemahaman ulama) yang berkembang dan terus mengalami perubahan sesuai zamannya. Formasi Islam seperti inilah yang menempatkan nash (Al-Qur’an dan Hadits) dengan dinamika interpretasi manusia terhadap nash Ilahi yang konstan.
Syariat Islam menggabungkan antara tsabat al-wadh al-Ilahi (ketetapan , ketentuan ilahi) dan tathawwur al-ijtihad al-fiqhi (perkembangan ijtihad fiqhi). Artinya, menggabungkan antara ketetapan marja’iyyah (referensi) dan nash (teks). Dengan perkembangan ijtihad fiqhi yang sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang zaman.
Ketika memperhatikan contoh-contoh di atas, –dalam hal ini- ‘warisan wanita’, maka kita semakin yakin tentang kurang tepatnya klaim penerapan teori modern atas Al-Qur’an yang suci, atas hukum-hukum syari’at yang terdapat di dalamnya. Tidak benar bila difahami bahwa hukum waris dalam Islam telah merendahkan wanita, sehingga dikatakan bahwa hukumanya relevan dengan masa lalu dan tidak relevan dengan masa kini dan yang akan datang.
Yang perlu ditekankan dan digarisbawahi pada analisa akhir 1:2 di sini adalah bahwa wanita di dalam Islam tidak selamanya mewarisi separoh dari laki-laki. Al-Qur’an tidak mengatakan. “Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) para ahli waris, yaitu ; bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan”. Akan tetapi hal itu dikhususkan pada kondisi anak-anak, bukan pada seluruh ahli waris.
Allah berfirman:
“Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas, sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dbayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahulagi Maha Bijaksana” [An-Nisa : 11]
Adapun bila ketentuannya dimaksudkan untuk seluruh ahli waris, maka Al-Qur’an menggunakan kata-kata yang umum, yaitu lafazh an-nashib (bagian), yakni masing-masing laki-laki dan perempuan memiliki bagian sama. Allah berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]
Ukuran perbedaan bagian waris tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin –laki-laki atau perempuan- secara mutlak. Tidak seperti yang disangka oleh kebanyakan orang, akan tetapi ukuran perbedaan ini ada tiga :
1. Tingkat kekerabatan. Semakin dekat tingkat kekerabatan (hubungan nasabnya) dengan si mayit, maka semakin tinggi haknya dalam waris.
2. Posisi generasi pewaris dalam mata rantai generasi. Ini adalah hikmah Ilahiyyah yang sangat tinggi dalam meletakkan dasar waris menurut Islam. Semakin kecil seorang pewaris, dari generasi yang menyongsong kehidupan dan memikul beban-bebannya, yang menghadapi tanggung jawab yang terus berkembang, maka bagian warisnya semakin besar. Maka putra si mayit mewarisi lebih banyak dari ayah si mayit, padahal keduanya adalah laki-laki. Puteri si mayit mewarisi lebih banyak dari ibunya, padahal keduanya sama-sama wanita. Bahkan putri si mayit mewarisi lebih banyak daripada ayah si mayit.
3. Faktor ketiga dalam membedakan bagian-bagian waris adalah beban finansial yang dipikulnya sesuai dengan syariat Islam. Apabila tingkat kekerabatannya sama dan posisi generasi pewarisnya sama seperti posisi anak, dengan pembedaan antara anak laki-laki yang dibebani untuk menafkahi istri, keluarga dan anak-anak, dengan anak perempuan yang akan dijamin nafkahnya dan nafkah anak-anaknya oleh suaminya. Maka pada kondisi seperti ini bagian laki-laki, sama dengan bagian dua perempuan. Di dalam pembagian ini sama sekali tidak ada unsur diskriminasi, tetapi yang ada justru mengistimewakan perempuan sebagai bentuk kehati-hatian karena lemahnya.
Inilah fakta-fakta kebenaran dalam waris Islam yang tidak diketahui atau
sengaja dilupakan oleh para kaum liberalis yang mengajak untuk mendekontruksi
hukum waris dan mereinterpretasi ayat-ayat waris dengan teori historisitas teks. Inilah fakta-fakta kebenaran waris Islam dengan menjadikan wanita dalam daftar ahli waris, yang mewarisi bersama-sama kaum laki-laki sesuai dengan kondisinya. Perempuan mewarisi sama dengan laki-laki, atau lebih banyak dari laki-laki. Perempuan mewarisi sedangkan laki-laki tidak lebih dari tiga puluh keadaan dari keadaan-keadaan waris Islam, sementara perempuan mewarisi separuh dari waris laki-laki hanya dalam empat keadaan.

Penutup
Azas " Keadilan berimbang", dalam hukum waris Islam menentukan laki-laki dan perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan forsi yang berbeda. Berdasarkan nash yang qath'i, maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hokum waris Islam adalah bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (forsi 2 : 1 antara laki-laki dan perempuan).
Perbedaan forsi tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan atas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada perempuan dalam konteks masyarakat Islam, sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan :"Semakin besar dan berat beban yang dipikul seorang laki-laki, maka semakin besar pula hak yang akan diperolehnya", disebabkan biaya yang harus dikeluarkannya untuk mengemban tanggung jawab dimaksud lebih besar.


























DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Al-Manar , Kairo: Darul Manar, 1367

Baidan, Nashruddin, tafsir bi al-Ra yi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

Bashari, Agus Hasan, Koreksi Total Fiqih Lintas Agama, Pustaka Al-Kautsar, Cet. II. 2004

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,, Jakarta: Balai Pustaka Cet. III, 1990

el Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah R. Cecep Lukman Hakim, Jakarta: Serambi, 2004

Fauzan, Syaikh Shalih, At-Tahqîqât Al-Mardhiyyah Fi al-Mabâhits Al-Faradhiyyah, Jamî’ah al-Imâm,, 1408.

Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Yogyakarta: LKiS, 2001

Iyas, Muhammad bin, Badaiz Zuhur fi Waqaid Duhur, Beirut: Maktabah Saqafiyyah, tt.

Islamlib.com, Gugatan Amina atas tafsir dan fiqih maskulin, diambil pada 08-11-2009

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beyrut: Darul Fikir, tt.

Lips, Hilary M., Sex and Gender an Introduction, London: My Field Publishing Company, 1993

Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2001

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991

Madjid, Nur Cholis, dkk., Fiqih Lintas Agama, Paramadina, Cet. I, 2003

Neuvelt, Victoria, (ed.), Webster’s New World Dictionary, New York: Webster’s New World Cleveland, 1984

Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: PT. Raja Rafindo Persada, 1995

Rofik, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, Surabaya: Mutiara Ilmu, tt.,

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan AdatMinangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 198

Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: el-Kahfi, 2008

_______, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 1999

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004

Sardar, Zainuddin, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987

al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, AI Asybah wa an Nadhoir (Indonesia; Syirkah Nur Asia, tt

Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 1995

Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004

At-Thabari, Jami’ al-Bayan (Kairo: 1057-19690, jilid VII, hlm. 599

Umam, Cholil, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994

Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 2001

_______,Teologi Gender; Antara Mitos dan Kitab Suci, Jakarta: Pustaka Cicero, 2003

Yahya, Idris Jakfar dan Taufik, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995

Yunus, Mahmud, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1998

Zahari, Ahmad, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhyah, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997

_______, Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993