TEOLOGI MAULID
Makna Maulid
Maulid secara generik bermakna kelahiran seorang manusia yang bernama Muhammad di Arab pada abad ke-6 M. Jika demikian, Maulid merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja, tidak memiliki nilai lebih. Sekalipun ia sering diperingati oleh umat Islam, namun tak lebih dari pesta, festival, kemegahan dan kemerihaan. Maulid menjadi semacam ritual yang tidak memiliki pesan dan makna apa-apa. Ia ibaratnya sebuah pesta ulang tahun yang dirayakan setiap tahun. Tak ada makna yang cukup signifikan.
Akan tetapi, jika kita teliti lebih mendalam, sebenarnya ada sejuta makna yang terkandung dalam peristiwa ini. Yakni merefleksikan kembali kehidupan Muhammad, tingakh laku beliau, sumbangan-sumbangan beliau pada dunia, perubahan serta perjuangannya yang selalu setia digaris perjuangan rakyat. Dunia tidak akan seperti yang kita alami sekarang tanpa ada kelahiran seorang Muhammad.
Jika mengikuti cerita pendek diatas, hikmah yang dapat diambil dari cerita diatas adalah-salah satunya–tabah dan sabarnya menahan segala cobaan. Meskipun ia hidup yatim, namun sikapnya selalu menjadi contoh dan suri tauladan (uswatun hasanah). Bahkan kejujuran yang dimilikinya membuat beliau sukses dalam bisnis. Ini barangkali yang membedakan dengan masa sekarang. Pada masa sekarang, untuk meraup hasil atau laba yang banyak, mereka harus mempromosikan dengan menggombal dan berbohong kepada konsumen. Muhammad justru karena kejujurannya mampu menarik konsumen sebanyak mungkin.
Selain itu, Muhammad adalah orang yang tekun dan kreatif. Meskipun yatim, namun beliau cukup kreatif, produktif. Dengan penuh semangat dan tanpa mengenal lelah, beliau membantu pamannya mencari penghidupan. Semangat hidup mandiri mulai muncul sejak kecil.
Awal Tradisi Maulid
Untuk pertama kalinya peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW diperkenalkan oleh seorang penguasa dinasti Fatimiyyah (909- 1170 M). Mauludan diselenggarakan secara massal, meriah dan semarak di berbagai masjid belahan negeri itu. Peringatan ini awalnya bertujuan politis, yakni menegaskan kepada khalayak bahwa penguasa dinasti Fatimiyyah betul-betul keturunan ahl bait Rasulullah SAW. Bagi dinasti tersebut, penegasan genealogis ini penting untuk mengeliminasi pihak-pihak yang ingin merebut kembali kekuasaannya.
Mauludan sejak awal memang sarat muatan politik karena didukung fakta terjadinya perebutan pengaruh dan kekuasaan antara kaum Sunni dan Syiah. Mauludan dijadikan sebagai alat politik untuk menanamkan doktrin bahwa Fatimiyyah adalah dinasti yang cinta nabi dan keturunan nabi sehingga sah sebagai pemegang kekuasaan umat Islam.
Peringatan ini sudah memantik kontroversi sejak mula. Banyak sekali ulama yang mendukung ritus ini, namun tidak sedikit pula yang menolaknya. Yang menerima atau menolak sama-sama memperkuat pendapatnya melalui dalil yang diyakini keabsahannya. Dalil naqli (nash Alquran dan hadits) dibeber, dalil aqli juga dikemukakan. Oleh penguasa berikutnya, peringatan ini dilarang karena menimbulkan pro dan kontra serta membelah masyarakat menjadi dua kubu. Pokok kontroversinya terletak pada legitimasi teologis bahwa peringatan Maulid tidak pernah dianjurkan oleh Alquran maupun hadits.
Larangan penguasa dan pengharaman oleh ulama tidak malah meredupkan peringatan Maulid. Justru sebaliknya, maulid berubah menjadi perayaan besar yang diselenggarakan hampir di seluruh dunia Islam. Gubernur wilayah Irbi di masa pemerintahan Salahuddin al- Ayyubi, yang bernama Abu Sa"id al-Kokburi telah berjasa mempopularkan kembali tradisi Maulid. Tujuannya untuk membangkitkan pan-Islamisme dan semangat keagamaan umat Islam yang sedang terancam serangan tentara Salib.
Tahun 1099 M, tentara Salib berhasil merebut Yerussalem dan menyulap masjid al-Aqsa menjadi gereja. Umat Islam kehilangan semangat berjuang dan ukhuwah juga menurun. Secara politik, kekuasaan umat Islam terpecah menjadi dinasti- dinasti kecil. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan mereka pada nabinya. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar 12 Rabi"ul Awwal, hari lahir Nabi Muhmmad, agar dirayakan secara massal.
Pada musim haji tahun 579 H (1183 M), Salahuddin sebagai penguasa Haramain mengeluarkan instruksi kepada jama"ah haji yang pulang ke kampung halaman untuk menyosialisasi perayaan maulid ini. Sejak tahun 580 H (1184 M), 12 Rabi"ul Awwal dijadikan awal peringatan maulid secara massal dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Gagasan Salahuddin ditentang banyak ulama. Ulama mengatakan, peringatan seperti itu tak pernah ada contohnya dalam sejarah Nabi. Lagi pula, hari raya resmi umat Islam hanya dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Tapi Salahudin bergeming bahwa Maulid hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan ritual. Sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai bid"ah yang terlarang.
Beda pandangan: Menyikapi dengan Arif
Tradisi Maulid telah melahirkan kontroversi sejak awal. Di masa perjuangan Indonesia, tradisi ini juga memantik pro dan kontra antara Islam modern dan Islam tradisional. Ketegangan sempat meredup cukup lama, namun sekarang kembali muncul ketika beberapa ormas Islam yang baru lahir menjadikan masalah khilafiyyah ini sebagai target dakwah.
Dukungan atas peringatan maulid berasal dari kalangan Syafi "iyyah. Al-Suyuti misalnya, menulis buku berjudul Husn al- Maqsid fi "Amal al-Maulid untuk mengesahkan maulid. Yang promaulid sadar bahwa peringatan ini jelas tidak memiliki dasar hukum dalam Alquran dan tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah. Maulid adalah tradisi yang menggabungkan antara nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Karena cintanya sehingga mereka selalu memuji dan bershalawat kepada nabinya. Inti dari peringatan maulid dan bacaan al-Barjanzi sebenarnya adalah salawat itu sendiri.
Jika demikian, tradisi maulid - yang di dalamnya berisi pujian kepada Rasulullah- sebenarnya berakar pada perintah Allah SWT untuk bersalawat kepada nabi-Nya (al-Ahzab:56). Embrio tradisi ini telah diperkenalkan oleh tiga penyair resmi Rasulullah, yaitu Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah dan Ka"ab bin Malik. Diriwayatkan bahwa Nabi sangat terkesan setelah menderngar pujian yang disampaikan Ka"ab. Kemudian Rasulullah menghadiahkan burdahnya dan mengalungkan ke pundak Ka"ab sebagai apresiasi kepadanya.
Pujian-pujian, baik dalam bentuk syair maupun prosa, melahirkan genre sastra yang unik dengan karakter ritme persajakan yang dalam sastra Arab disebut al-madaih alnabawiyyah. Sanjungan kepada nabi diungkapkan dengan bahasa metaforik, simbolik dan berkarakter seni tinggi. Pujian dan sanjungan kepada nabi dalam al-Barjanzi, al- Diba atau al-Burdah, meliuk penuh majaz, ritmis dan tentu sangat indah bagi yang memahami. Tetapi inti dari dukungan terhadap peringatan maulid sebenarnya terletak pada konsep syafa"at (pertolongan) Nabi Muhammad kelak di hari akhir.
Maulid dalam Tradisi Awal
Nabi telah lahir, namun disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi pentingâ€? kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad saw hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain. Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk. Rasul s.a.w. bertanya kepada para sahabat, "Katakan kepadaku, siapakah yang paling besar imannya?" Para sahabat menjawab; 'Para malaikat, wahai Rasul'. Nabi s.a.w bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah s.w.t, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”.
“Lalu siapa, wahai Rasul?”, tanya para sahabat.
Lalu Nabi s.a.w. bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160].
Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.
Hingga pada suatu pagi.
Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.
Tepat sesaat setelah sayyid Muththalib memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.
Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan anda mencari bayi laki-laki?”.
“Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.
Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.
Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.
Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.
Demikianlah, akhir dari kisah pencarian pendeta-pendeta serta segenap agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad s.a.w. Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali aqidah-aqidah yang telah bengkok.
Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad s.a.w. ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.
Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.
Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.
Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.
Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkh Nabi s.a.w, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan barokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.
Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah s.w.t telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi kunci” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad s.a.w. hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.
Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad s.a.w.—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.
Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu, sayyidah Khadîjah r.a.—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.
Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Namûs yang diturunkan Allah s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.
Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad s.a.w adalah Namûs, alias malaikat Jibril a.s., yang pernah menemui Nabi Musa a.s. dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad s.a.w. membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].
Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad s.a.w. tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah s.w.t memanggil hambanya yang bisa menjadi “saksi spritiual” atas kenabian Muhammad s.a.w. Tapi, itulah, Allah s.w.t tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.
Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.
Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.
Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.
Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.
Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?". Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]
Para nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.(QS. 2:89)
Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w. Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar