HERMENEUTIK DALAM KAJIAN
SASTRA
Makalah Disampaikan kepada Program
Pascasarjana FAH
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
HASANI AHMAD SAID
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA (FAH)
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H / 2013 M
HERMENEUTIK
DALAM KAJIAN SASTRA
Oleh Hasani
Pendahuluan
Hermeneutik
dalam wacana studi sastra sangat berkait dengan perkembangan sejarah pemikiran
filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutik mula-mula muncul dalam dua
bidang tersebut. Untuk memahami hermeneutik dalam interpretasi sastra, memang
diperlukan pemahaman sejarah hermeneutik, terutama megenai tiga varian hermeneutik
seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutik tradisional, dialektik, dan
ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutik tersebut,
niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutik
dalam sastra.
Hermeneutik
itu ada sejak agama lahir, bahkan sejak manusia muncul sebagai makhluk
berkebudayaan. Hermeneutik juga bisa dikatakan sebagai cabang dari filsafat
dengan adanya perubahan dari “metafisika menjadi hermeneutik”. Studi sastra,
dalam hal ini sastra Arab, sejatinya tidak dapat terpisahkan dengan metode hermeneutik.
Untuk sampai kepada tujuannya, disiplin ilmu ini merasa tidak cukup terwadahi
dengan warisan metodologi konvensional. Akhirnya, sadar atau tidak sadar,
disiplin kajian kelilmuan ini berada dalam alur metodologi yang sama; hermeneutik.
Hermeneutik sebenarnya bukan sesuatu yang serba baru samasekali. Hermeneutik
adalah nama baru untuk sebuah masalah lama, yakni penafsiran teks suci.
Kajian
sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi
(penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan
akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan
dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra-terutama dalam prosesnya-pasti
melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal
yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu
diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.
Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun
bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran).
Kegiatan
apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut
dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan
kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik.
Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin
diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara
komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.
Dalam
perkembangan teoriteori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada
kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca
(audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat
tampak pada hermeneutik ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya
didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes (1987: 59-63)
menyebut hal ini sebagai hermeneutik fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama
tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.
Dalam
hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak
diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi
yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu,
interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa[1],
sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter
untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada
kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja
dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung
merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif
yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutik
dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Mengurai Hermeneutik, Sebagai Model
Interpretasi
Kata “hermeneutik”, dalam bahasa
Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari istilah Yunani,
dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda
hermeneia, “interpretasi.[2]
Dari asal kata itu berarti ada dua perbuatan; menafsirkan dan hasilnya,
penafsiran (interpretasi), seperti halnya kata kerja “memukul” dan menghasilkan
“pukulan”. Kata tersebut layaknya kata-kata kerja dan kata bendanya dalam semua
bahasa. Kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic. Kata
hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia
diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.[3]
Hermeneutik
berasal dari kata yunani hermeneuein yang bermakna mengartikan, menafsirkan,
menerjamahkan, dan bertindak sebagai penafsir dalam rangka membedakan hermeneutik
hermetik .Sedangkan kata hermetik merupakan pandangan filsafat yang
diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetic suatu leteratur ilmiah di yunani
yang berkembang pada awal-awal abad setelah kristus. Tulisan ini disandarkan
pada Hermes Trismegistus. Secara umum, Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai
teori atau filsafat tentang interpretasi makna.[4]
Kata hermeneutik itu sendiri berasal
dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin, yang berarti menafsirkan. Kata
bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Dewa
Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa Hermes berperan
mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti
manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli
tafsir Kitab Suci.
Pada
mulanya hermeneutik adalah penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Namun, dalam
kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara
menyeluruh.[5]
Dalam perkembangan hermeneutik, berbagai pandangan terutama datang dari para
filsuf yang menaruh perhatian pada soal hermeneutik. Ada beberapa tokoh yang
dapat disebutkan di sini, di antaranya: F.D.E. Schleirmacher, Wilhelm Dilthey,
Martin Heidegger, Husserl, Emilio Betti, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas,
Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida.
Istilah
hermeneutik mencakup dua hal, yaitu seni dan teori tentang pemahaman dan
penafsiran terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun yang
non-kebahasaan.[6]
Pada awalnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan karya-karya sastra lama
dan kitab suci, akan tetapi dengan kemunculan aliran romantisme dan idealisme
di Jerman, status hermeneutik berubah. Hermeneutik tidak lagi dipandang hanya
sebagai sebuah alat bantu untuk bidang pengetahuan lain, tetapi menjadi lebih
bersifat filosofis yang memungkinkan adanya komunikasi simbolik. Pergeseran
status ini diawali oleh pandangan Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey.
Sekarang, hermeneutik tidak lagi hanya berkisar tentang komunikasi simbolik,
tetapi bahkan memiliki area kerja yang lebih mendasar, yaitu kehidupan manusia
dan keberadaannya.
Menurut
Friedrich Schleiermacher, terdapat dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya
identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi
psikologis. Aspek gramatikal interpretasi merupakan syarat berpikir setiap
orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang memahami
pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan dari
pembicara, seseorang harus mampu memahami bahasanya sebaik ia memahami
kejiwaannya. Semakin lengkap pemahamam seseorang atas sesuatu bahasa dan latar
belakang psikologi pengarang, maka akan semakin lengkap pula interpretasinya
terhadap karya pengarang tersebut. Kompetensi linguistik dan kemampuan memahami
dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi.
Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak
mungkin, sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi
kedua persyaratan tersebut.[7]
Dalam
terminologi, hermeneutik banyak didefinisikan oleh para ahli. Mereka (para
ahli) memiliki definisinya masing-masing. F D. Ernest Schleirmacher
mendefinisikan hermeneutik sebaga seni memahami dan menguasai, sehingga yang
diharapkan adalah bahwa pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada
pengarangnya sendiri dan juga lebih memahami karyanya dari pada pengarang.
Fredrich August Wolf mendefinisikan, hermeneutik adalah pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang membantu untuk memahami makna tanda-tanda. Sedangkan menurut
Martin Heidegger dan Hans George Gadamer bahwa hermeneutik adalah proses yang
bertujuan untuk menjelaskan hakikat dari pemahaman.[8]
Pada
prinsipnya, di antara mereka ada beberapa kesamaan pemikiran yang dimiliki,
terutama dalam hal bagimana hermeneutik jika dikaitkan dengan studi sastra
khususnya dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial pada umumnya. Di samping itu,
terdapat pula perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Terjadinya
perbedaan tersebut pada dasarnya karena mereka menitik-beratkan pada hal yang
berbeda atau beranjak dari titik tolak yang berbeda.
Hermenetik
menegaskan bahwa manusia Autentik selalu dilihat dalam kontek ruang (Lokus) dan
waktu (Tempos) dimana manusia sendiri mengalami dan menghayatinya. untuk
memehami dasein ( Manusia oautentik), kita tidak bisa lepas dari konteks yang
ada, sebab itu kalau dilihat dari luar konteksnya yang nampak ialah manusia
semu yang artifesial atau hanya buatan saja. Manusia autentek hanya bisa
dimengerti atau dipahami dalam ruang dan waktu yang persis dimana ia berada.
dengan kata lain setiap individu selalu tersituasikan dan benar-benar dapat
dipahami di dalam situasinya.
Penggunaan
istilah ”hermeneutik” sendiri sebagai suatu istilah untuk metode interpretasi
dalam arti luas dan mulainya pembahasan serius tentangnya adalah berkat jasa
Friedrich Schleiermacher. Metode interpretasinya dapat diringkas sebagai
berikut:[9]
1.
Pemahaman selalu
melibatkan dua hal; pengetahuan mengenai bahasa dan pengetahuan akan pengarang.
Kalimat ini mengandung arti bahwa seseorang yang menginterpretasi teks pasti
sedang berhadapan dengan ujaran yang harus didecodingkan dan juga berhadapan
dengan ujaran yang memiliki arti sebagaimana pembuat ujaran tersebut maksudkan.
Proses pemahaman teks merupakan usaha membaca pikiran pengarang (ranah
psikologi) dan decoding teks yang melibatkan pengetahuan tata bahasa, arti tiap
kata – dan arti kata ketika bertemu dengan kata lain, makna, penggunaan dalam
konteks-konteks tertentu, dan konstruksi kata-kata (ranah
linguistik/gramatika).
2.
Untuk memahami teks,
seseorang harus memahami itu semua sebagai satu kebulatan. Tidak bisa pemahaman
tidak melibatkan dua hal yang merupakan suatu kesatuan pemahaman akan sebuah
teks.
3.
Di dalam pemahaman
teks terkait dengan ranah gramatika, kita tidak dapat memahaminya seluruh teks
kecuali melibatkan pemahaman setiap kalimat, bahkan setiap kata yang ada di
dalam teks. Dan uniknya, kita tidak dapat memahami arti kata jika tidak dibaca
di dalam konteks kalimat dan kita tidak bisa memahami kalimat jika tidak dibaca
di dalam konteks keseluruhan teks. Keadaan demikian disebut sebagai ”lingkar hermeneutik”
atau hermeneutic circle.
4.
Di dalam pemahaman
teks terkait dengan ranah psikologi, kita dapat memahami apa yang ditulis oleh
seorang pengarang jikalau kita melibatkan teks-teks yang menulis tentang
pengarang tersebut dan juga melibatkan teks-teks yang ditulis sebelum tulisan
pengarang tersebut sehingga dengan demikian kita tahu apa yang dimaksudkan oleh
pengarang. Keadaan seperti ini juga sama disebut dengan lingkar hermeneutik.
5.
Oleh karenanya,
Schleiermacher bahkan menyimpulkan bahwa interpretasi adalah selalu berupa
usaha kolektif; “the totality of understanding
is always a collective work”.
Tujuan
akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau
pengarang melebihi pemahamanm terhadap diri kita sendiri. Seorang sejarawan yang menuliskan segala
peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai
pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang hidup
sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru.
Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan,
maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau
sebagaimana mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang
menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami
berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk
ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.[10]
Hermeneutik dalam Kajian Sastra
Hermenetik
menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang
diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok
untuk membaca karya sastra karena dalam Kajian sastra, apa pun bentuknya,
berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan
apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut
dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan
kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik.
Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin
diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara
komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.[11]
Kajian
sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi
(penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan
akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan
dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti
melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal
yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu
diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.
Dalam
studi sastra ada tiga cabang, yaitu teori sastra, kritik sastra, dansejarah
sastra. Teori sastra adalah kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam analisiskarya
sastra. Kritik sastra adalah penerapan kaidah-kaidah tertentu dalam
analisiskarya sastra. Sejarah sastra adalah sejarah perkembangan sastra. Tiga
cabangtersebut saling terkait dan semuanya bersumber pada sastra, khususnya
karya sastra sendiri.
Dalam
hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak
diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi
yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu,
interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya
yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai
taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan
ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode
pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat
yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para
ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutik dapat
dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Menurut
Gerhard Ebeling yang ditulis Palmer, bahwa kata hermeneutic sendiri memiliki
tiga bentuk penggunaan, yaitu: 1) menyampaikan; to say; to express; to assert, 2) menjelaskan; to explain, 3) menerjemahkan; to
translate. Sedangkan ketiga aspek dari bentuk penggunaan kata hermeneuein
sebenarnya dapatlah diwakilkan di dalam satu kata kerja bahasa Inggris: to interpret (interpretasi). Namun
meskipun demikian, ketiga bentuk penggunaan kata interpretasi secara
sendiri-sendiri membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi
interpretasi. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa interpretasi dapat mengacu
kepada tiga hal yang berbeda: penyampaian verbal, penjelasan yang masuk akal,
dan penerjemahan. Tujuan dari interpretasi sendiri adalah membuat sesuatu yang
kabur, jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat
dipahami.[12]
Hermeneutik
yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan
pemikiran hermeneutik, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena
pemikiran hermeneutik mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana
dikemukakan. Untuk memahami hermeneutik dalam interpretasi sastra, memang
diperlukan pemahaman sejarah hermeneutik, terutama megenai tiga varian hermeneutik
seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutik tradisional, dialektik, dan
ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutik tersebut,
niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutik
dalam sastra.
Di
dalam interpretasi Bible ada ketidaksetujuan mengenai pemakaian metode hermeneutik.
Namun sebagaimana kemudian cukup baik diulas oleh Herman C. Hanko, bahwa metode
hermeneutik tetap diperlukan di dalam interpretasi Bible namun dengan catatan
bahwa Bible meskipun ditulis oleh manusia tetap merupakan sebuah teks yang
diilhami oleh wahyu Tuhan. Bible sendiri tidak mungkin tidak adalah bentuk
refleksi dari bahasa dan budaya lokal di mana teks Bible tersebut diproduksi
dan tidak bisa dipungkiri bahwa gaya tulis dari penulis-penulis yang
berkontribusi di dalam Bible turut mempengaruhi bentuk rupa Bible sebagaimana
diketahui oleh pengkaji Bible bahwa Bible tidak ditulis oleh satu orang dan
juga tidak disusun dari perode waktu yang sama.[13]
Pada
mulanya hermeneutik muncul sebagai teori interpretasi teks Bible, kemudian
meluas ke ranah lain sebagai metodologi filologi, ilmu pemahaman linguistik,
pondasi metodologis geisteswissenschaften (ilmu humaniora), fenomenologi
eksistensi, kemudian sistem interpretasi secara luas apapun bentuknya.[14]
Pada
interpretasi Bible, keadaan awal mula diperlukannya hermeneutik sebab Bible
pada saat itu mengalami masalah alih bahasa manakala penyebaran Kristen di masa
awal begitu cepat terjadi sedangkan pengalihbahasaan butuh waktu yang tidak
sebentar. Pengalihbahasaan yang tanpa kontrol tersebut membuat muncul berbagai
versi Bible yang berselisih atau terkorup karena beberapa alih bahasa
dikerjakan agar ritual dan pengajaran dapat pas dengan budaya lokal. Keadaan
inilah yang membuat baru pada abad ke-empat (382 M), Damasus I memerintahkan
Santo Jerome untuk menstandarisasi alih bahasa Bible yang beredar di masyarakat
pada masa itu ke dalam bahasa Latin, memberikan tambahan tulisan-tulisan prolog
di dalam skriptur-skriptur tersebut, mengadakan revisi interpretatif terhadap
skriptur gospel, dan kemudian membundelkan skriptur-skriptur yang
bermacam-macam ke dalam satu jilid. Versi inilah yang kemudian disebut sebagai
The Vulgate, dianggap sebagai bentuk alih bahasa resmi dari Bible dan juga
menjadi Bible kanon yang menggantikan berbagai macam versi Bible yang pada
waktu itu beredar di masyarakat Kristen.[15]
Selama
ini, hermeneutik merupakan salah satu model pamahaman yang paling representatif
dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya tidak
dari interpretasi teks sastra berdasar pemahaman yang mendalam. Namun,
sebagaimana dikatakan Lefevere, hermeneutik tidak mempunyai status khusus dan
bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam
sastra, karena sastra merupakan objektivitas jiwa manusia.[16]
Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya
diperlukan pengkhususan jika hermeneutik mau diterapkan dalam sastra, mengingat
objek studi sastra itu adalah karya estetik.
Dalam
perkembangan teoriteori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada
kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca
(audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat
tampak pada hermeneutik ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang
pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes
menyebut hal ini sebagai hermeneutik fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama
tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.[17]
Untuk
itu, jika kita menerima hermeneutik sebagai sebuah teori interpretasi
reflektif, hermenetuika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi
reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutik
fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan
inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah
hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar
dan fundamental (being-in-the-world).[18]
Dalam
hubungan tersebut, perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Rocoeur. Ia
dalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak
mengembangkan hermeneutik dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi
fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutik fenomenologis, ia menyatakan bahwa
setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan
diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks.[19]
Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan
bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku
interpretasi.
Jika
dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan
bahwa interpretasi itu pada dasrnya untuk mengeksplikasi jenis
being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga
menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala interpreter
berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan
pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari
aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia
tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab.[20]
Selain
itu, ada satu hal prinsip lagi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
pemahaman-khususnya dalam pemahaman terhadap teks sastra-adalah gagasan
"lingkaran hermeneutik" yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang
diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman ini
amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami objek dibatasi
oleh konteks-konteks. Misalnya, untuk memahami bagian-bagian harus dalam
konteks keseluruhan dan sebaliknya, dalam memahami keseluruhan harus memahami
bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran. Dengan
perkataan lain, untuk memahami suatu objek, pembaca harus memiliki suatu
pra-paham, kemudian pra-paham itu perlu disadari lebih lanjut lewat makna objek
yang diberikan. Pra-paham yang dimiliki untuk memahami objek tersebut bukanlah
suatu penjelasan, melainkan suatu syarat bagi kemungkinan pemahaman. Lingkaran
pemahaman ini merupakan "lingkaran produktif." Maksudnya, pemahaman
yang dicapai pada masa kini, di masa depan akan menjadi pra-paham baru pada taraf
yang lebih tinggi karena adanya pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah
penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada prinsipnya terjadi dalam
prinsip yang berkesinambungan.
Jadi,
tugas hermeneutik menurut Gadamer adalah: ”is
not to develop a procedure of understanding but to clarify the the conditions
in which understanding can take place”. Atau dapatlah dikatakan bahwa
standarisasi pembuatan prosedur adalah bukan tujuan utama dari hermeneutik,
tujuan utama sesungguhnya dari hermeneutik adalah memberikan jalan kepada
pemahaman terhadap suatu teks. Jadi ketika metode interpretasi ini diterapkan
ke dalam analisis karya sastra, maka tujuan utamanya adalah memberikan
jembatan, atau menjadi hermes, bagi pemahaman arti dari sebuah karya sastra, baik
makna tersirat maupun makna tersurat.[21]
Pendekatan
hermeneutic merupakan suatu cara untuk memahami agama (teks kitab suci).[22]
Pendekatan ini dianggap tepat dalam memahami karya sastra dengan pertimbangan
bahwa diaantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya
sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan teks karya sastra.
Perbedaannya, merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran
imajinasi, agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula
agama adalah firman tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik
sebagai hasil ciptaan subjek illahi maupun subjek creator, agama dan sastra
perlu di intrpretasikan/ditafsirkan, sebab disatu pihak seperti disebutkan
diatas, kedua genre terdiri atas bahasa.
Secara
keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutik memang dapat diterapkan
dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutik tidak lagi
hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti
pemikiran hermeneutik mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini
kaitannya dengan Tiga varian hermeneutik (tradisional, dialektik, dan
ontologis).
Lefevere
memandang bahwa ada tiga varian hermeneutik yang pokok. Dari ketiga varian
tersebut, tidak satu pun dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sumber asalnya,
yakni penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Konsekuensinya, gaya tulisan
menjadi berbelit-belit dan hampir tidak pernah jelas, dan ini menjadi ciri khas
berbagai tulisan hermeneutik. Permainan kata yang bertele-tele dan ungkapan
khusus turut membuat hermeneutik membosankan. Kenyataan ini dapat mengaburkan
substansi hermeneutik yang sesungguhnya sangat bernilai.[23]
Ketiga
varian yang dimaksudkan Lefevere adalah: pertama, hermeneutik tradisional
(romantik); kedua, hermeneutik dialektik; dan ketiga, hermeneutik ontologis.
Perlu dikemukakan, di satu sisi, ketiga varian itu sepakat dengan pendefinisian
sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia, yang pada dasarnya bisa diamati,
dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain, ketiga varian hermeneutik
itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu, selanjutnya perlu
dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutik itu dalam kerangka kajian
sastra, mulai hermeneutik tradisional, dialektik, hingga ontologis.[24]
Penutup
Keberadaan
konsep hermeneutik sangat signifikan dalam interpretasi sastra. Dikatakan
demikian karena hermeneutik memberikan model pemahaman -dan cara pemaknaan-yang
sangat mendalam dan memacu interpreter pada pemahaman yang substansial.
Karya
sastra dalam pandangan hermeneutic ialah sebagai objek yang perlu di
interprestasikan oleh subjek (hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah
term-term yang korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang
sifatnya merupakan hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan
objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh
perhatiaan pada subjek itu. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek,
sesuai dengan pandangan subjek. Hussrel menyatakan bahwa objek dan makna tidak
akan pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek
itu netral. Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan
maknanya atas dasr situasi objek, semuanya adalah sama saja. Maka dari sinilah
karya sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic
supaya muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut.
Sebuah
interpretasi dalam teks sastra bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat
definitif, melainkan perlu dilakukan terus-menerus, karena interpretasi
terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian,
setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus.
Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan
kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif.
Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks
sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa
interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim
menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara
keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutik memang dapat diterapkan
dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutik tidak lagi
hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti
pemikiran hermeneutik mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis.
DAFTAR
PUSTAKA
Abulad,
Romualdo E., ”What is Hermeneutics?” dalam Kritike Vol 1 No. 2, 2007
Bleicher,
Joseph, Contemporary Hermeneutics,
London : Routledge and Kegan Paul, 1980
Craddock,
Fred B., and Gene M. Tucker, “Bible.” Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008
Eagleton,
T., Literary Theory: An Introduction,
London: Basil Blackwell, 1983
Eagleton,
T., Literary Theory: An Introduction,
London: Basil Blackwell, 1983
Gregory,
Derek, Ideology, Science and Human
Geography, London: Hutchison & Co. Ltd., 1979
Hanko,
Herman C., “Issues in Hermeneutics”, dalam Protestant Reformed Theological
Journals of April and November, 1990, and April and November, 1991.
Lefevere,
A., Literary Knowledge: A Polemical and
Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmition,
Amsterdam: Van Gorcum, Assen, 1977
Manuaba,
Putera, “Hermeneutik dan Interpretasi Sastra”, diakses dari
http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html
Palmer,
Richard E., Interpratation Theory in
Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj. Mansur Hery &
Damanhuri M, Hermeneutik, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005
Purkonudin,
Ukon, “Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra”, Opini Kompas, 20 Juni 2011
Rutt,
Jessica, “On Hermeneutics” dalam E-Logos, 2006
Sumaryono,
E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat,
Jakarta: Penerbit Kanisius, 1999
Salim,
Fahmi, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an
Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif, 2010
Valdes,
M.J., Phenomenological Hermeneutical
Hermeneutics and the Study of Literature, London: University of Toronto
Press, 1987
[1] Teori tentang asal-usul bahasa telah lama
menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari kalangan psikolog, antropolog,
filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di
antaranya yaitu hermeneutik. Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dan
berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutik
sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga
mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutik yang semula
sangat dekat kerjanya dengan Biblical
Studies, dengan munculnya buku Truth
and Method (1960) oleh Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutik
mengembangkan mitra kerjanya pada semua cabang ilmu. Gadamer mendasarkan
klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin ilmu, termasuk ilmu alam, mesti
terlibat dengan persoalan understanding
yang muncul antara hubungan subyek dan obyek. Baca, Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta:
Paramadina, 1996, Cet. Ke-1, h, 28.
[2] Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and
Gadamer, terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutik, Teori Baru
Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 14.
[3] Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and
Gadamer, h. 15.
[4]
Joseph Bleicher, Contemporary
Hermeneutics, (London : Routledge and Kegan Paul, 1980), h. 12.
[5] T. Eagleton, Literary Theory: An Introduction, (London: Basil Blackwell, 1983),
h. 66.
[6] Bahasa
adalah tema yang dominan dalam filsafat Eropa kontinental maupun filsafat
Inggris dan Amerika. Di mana-mana dapat kita saksikan the linguistic turn; di
mana-mana refleksi filosofis berbalik kepada bahasa. Dan tidak sedikit aliran
mengambil bahasa sebagai pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti
misalnya hermeneutik, strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Penerbit Teraju, 2005, Cet. Ke-1,,
h. 167-168.
[7] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1999),
h. 41.
[8] Lihat Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif,
2010), h. 53-55.
[9] Lihat lebih lanjut, Romualdo E. Abulad,
”What is Hermeneutics?” dalam Kritike Vol 1 No. 2, 2007., h. 11-23; lihat pula,
Jessica Rutt, “On Hermeneutics” dalam E-Logos, 2006, h. 2.
[10] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Jakarta: Penerbit Kanisius,
1999), h. 63-64.
[11] Ukon Purkonudin, “Teori Hermeneutik
dalam Karya Sastra”, Opini Kompas, 20 Juni 2011.
[12] E. Palmer, Hermeneutik: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terjemahan Musnur
Hery dan Damanhuri Muhammed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 15-36.
[13] Herman C. Hanko, “Issues in
Hermeneutics”, dalam Protestant Reformed Theological Journals of April and
November, 1990, and April and November, 1991. Diakses dari
http://www.prca.org/articles/issues_in_hermeneutics.html#Return12.
[14] Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and
Gadamer, h. 38-49.
[15] Lihat lebih lanjut, Fred B. Craddock,
and Gene M. Tucker, “Bible.” (Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008)
[16] A. Lefevere, Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature,
Growth, Relevance and Transmition, (Amsterdam: Van Gorcum, Assen, 1977), h.
51.
[17]
M.J. Valdes, 1987, Phenomenological
Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature, (London: University
of Toronto Press, 1987), h. 59-63.
[18] T. Eagleton, Literary Theory: An Introduction, (London: Basil Blackwell, 1983),
h. 59-60.
[19] M.J. Valdes, Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature,
(London: University of Toronto Press, 1987), h. 60.
[20] M.J. Valdes, Phenomenological Hermeneutical, h. 64.
[21] Derek Gregory, Ideology, Science and Human Geography, (London: Hutchison & Co.
Ltd., 1979), h. 144.
[22] Ukon Purkonudin, “Teori Hermeneutik
dalam Karya Sastra”, Opini Kompas, 20 Juni 2011.
[23] A. Lefevere, Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature,
Growth, Relevance and Transmition, (Amsterdam: Van Gorcum, Assen, 1977), h.
46-47.
[24] Putera Manuaba, “Hermeneutik dan
Interpretasi Sastra”, diakses dari
http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar