KATA PENGANTAR BUKU
“DISKURSUS MUNASABAH AL-QUR’AN”
Kajian atas Tafsir al-Misbah
Oleh :
Ahsin Sakho Muhammad
Al-Qur’an
adalah kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai kitab hidayah atau kitab
petunjuk kehidupan umat manusia. Di samping itu kitab suci Al-Qur’an juga
berfungsi sebagai kitab kemukjizatan yang memperlihatkan bahwa Al-Qur’an bukan
ucapan nabi Muhammad, bukan pula ucapan dari Malaikat Jibril dan bukan pula
ucapan lainnya. Al-Qur’an adalah kalamullah atau firman Allah yang merupakan
citra diri Allah, karena kalam adalah merupakan salah satu sifatNya diantara
sifat-sifatNya yang lain. Jika Al-Qur’an adalah merupakan kitab “mukjizat”,
maka kemukjizatan Al-Qur’an berbeda dengan kemukjizatan-kemukjizatan yang lain
yang pernah ada sebelum nabi Muhammad. Ada beberapa perbedaan antara
kemukjizatan Al-Qur’an dengan kemukjizatan para nabi-nabi terdahulu, antara
lain ialah :
Pertama : kemukjizatan
nabi –nabi terdahulu bersifat hissi atau sesuatu yang bisa dilihat oleh
panca indera, seperti kemukjizatan nabi Musa yang berupa tongkat yang bisa membelah
laut menjadi daratan, bisa memancarkan mata air dari batu, bisa berobah menjadi
ular. Kemukjizatan nabi Saleh berupa keluarnya unta betina dan anaknya dari
batu-batu yang besar. Kemukjizatan nabi Ibrahim yaitu tidak terbakar ketika
dibakar oleh penguasa musyrik yang zalim. Kemukjizatan nabi Isa yang bisa menghidupkan
orang mati, menjadikan burung-burungan dari tanah liat menjadi hidup dan
terbang, menyembuhkan orang sakit yang susah disembuhkan, mengetahui apa yang
disimpan dalam rumah-rumah orang, semuanya atas izin Allah. Sementara
kemukjizatan Al-Qur’an adalah bersifat “maknawi” yaitu sesuatu yang tidak bisa
dirasakan oleh panca indera, tapi oleh perasaan, akal, pikiran, perenungan yang
mendalam. Sudah tentu hal ini sangat
berbeda dengan kemukjizatan yang bersifat hissi.
Kemukjizatan
yang bersifat “hissiyyah” terkesan masyarakatnya masih belum dewasa
secara keagamaan, walaupun mereka adalah bangsa yang sudah maju dari segi
peradaban sebagaimana bangsa Mesir di zaman Fir’aun. Bangsa yang belum dewasa
dari segi keagamaan akan lebih memerhatikan pada hal-hal yang bersifat hissiyyat
semata karena terkesan luar biasa,
namun kejadian itu hanya sesaat.
Kedua :
terkait dengan poin diatas, kemukjizatan nabi-nabi terdahulu telah hilang
ditelan masa dengan meninggalnya nabi-nabi terdahulu. Untuk masa setelah itu,
pengikut nabi-nabi terdahulu tidak bisa lagi melihat dan merasakan kemukjizatan
nabi- nabi mereka terdahulu, karena mukjizat mereka bersifat sementara dan sesuai
situasi dan kondisinya. Mereka hanya
mendengarkan hal tersebut dari cerita-cerita nenek moyang mereka, yang
seringkali sudah banyak dibumbui oleh cerita yang tidak bisa dipertanggung
jawabkan secara rasional atau kesejarahan.
Akan
halnya dengan Al-Qur’an, kemukjizatannya tidak pernah lekang oleh panas dan
tidak pula lapuk karena hujan, karena kemukjizatan Al-Qur’an bersifat
“maknawiyyah” atau sesuatu yang hanya bisa dirasakan, direnungi dan di hayati.
Ternyata kemukjizatan yang bersifat “maknawi” ini lebih hebat dan lebih tahan
lama dari kemukjizatan yang bersifat
“hissi”. Allah sengaja menjadikan mukjizat akhir zaman menjadi mukjizat yang
“maknawiyah” karena perjalanan kehidupan manusia semenjak nabi Adam sampai nabi
Muhammad sudah sedemikian lama, berbagai eksperimen kehidupan telah dijalani
oleh umat manusia. Berbagai bentuk azab dan cobaan yang berupa
azab-azab yang mengguncang dan menghancurkan telah dialami oleh umat
–umat terdahulu, sebagaimana umat nabi Nuh, nabi Hud, nabi Shalih, Fir’aun, Qarun
dan lain-lainnya. Maka umatnya nabi Muhammad sebagi umat terakhir dan nabi
Muhamad sebagai nabi terakhir, sudah dirasakan cukup dewasa untuk menerima
ajaran samawi. Salah satu bentuk kedewasaan umat nabi Muhammad adalah bentuk
kemukjizatan umat akhir zaman adalah kemukjizatan “maknawi” yang hanya bisa
diperoleh oleh perenungan yang mendalam dan dampaknya pada segenap umat
manusia. Umat akhir zaman juga tidak di azab dengan azab yang menyeluruh
sebagaimana umat masa lalu, tapi dalam bentuk peringatan-peringatan dan
kejadian-kejadian yang cukup memberikan pelajaran. Umat nabi Muhammad masih
diberi kesempatan untuk melakukan taubat dan evaluasi diri sebelum datangnya
hari kiamat.
Sebagaimana
diketahui bahwa Al-Qur’an dalam mengetengahkan kisah, umumnya tidak runtut,
kecuali kisah nabi Yusuf. Jika Al-Qur’an bercerita, maka yang tersaji adalah
plot-plot cerita yang tidak rinci, hanya cerita yang patut mendapatkan
pelajaran. Pembaca Al-Qur’an dituntut untuk memikirkan sendiri pelajaran yang
bisa diambil dari cerita-cerita Al-Qur’an. Inilah salah satu indikator bahwa
Al-Qur’an mengajak pembacanya menjadi dewasa. Walaupun hanya berupa
isyarah-isyarah sederhana, kadangkala berupa ungkapan yang ringkas, tapi penuh
“kinayah”(kiasan).
Jika
kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada dirinya, maka para ulama dari masa lalu
sampai kini terus berusaha mencari letak
kemukjizatan Al-Qur’an. Pada saat bangsa arab menggandrungi sastera arab, para
sasterawan mencari kemukjizatan Al-Qur’an dari ungkapan dan redaksinya. Lalu
satu demi satu para ulama mengemukakan berbagai bentuk kehebatan Al-Qur’an,
melalui apa yang kemudian dinamakan ilmu balaghah yang terdiri dari Ilmu
Ma’ani, Ilmu Bayan dan Ilmu badi’. Nama-nama ar-Rummani, al-Khaththabi,
al-Jurjani, al-Baqillani, al-Sakkaki dan lain-lainnya muncul ke permukaan. Pada
sisi yang lain para pengamat kemukjizatan Al-Qur’an tidak henti-hentinya
mencari sisi kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi isinya, lalu muncullah teori
kemukjizatan yang bersifat Tasyri’I yang mengetenghakan kehebatan syari’at
islam dan hukum-hukum yang diberlakukan seperti dalam hal bentuk ibadat,
mu’amalat, mnakahat dan jinayat. Lalu ada lagi teori kemukjizatan al-Ghaiby
yaitu terungkapnya hal-hal yang ghaib pada Al-Qur’an yang tak mungkin diperoleh oleh nabi Muhammad kecuali
dari Allah. Muncul juga teori kemukjizatan yang berupa “al-Wa’d dan al-Wa’id
atau janji dan ancaman yang selalu terbukti sepanjang sejarah kehidupan umat
manusia. Lalu muncul teori kemukjizatan ilmy atau ilmu pengetahuan yang
mengemukakan kecocokan antara penemuan modern dalam bidang sains dan teknologi
dengan apa yang dikemukakan oleh Al-Qur’an. Muncul juga kemukjizatan yang
bersifat ‘adadi yaitu bilangan yang ada dalam Al-Qur’an baik berkaitan dengan
jumlah huruf, kalimat, ayat dan lain sebagainya, seperti keseimbangan jumlah
satu kalimat dalam Al-Qur’an dengan kalimat yang menjadi lawannya, atau
bentuk-bentuk keistimewaan lainnya. Dengan diketemukannya I’jaz ‘Adadi ini,
maka semakin terkuak pula kehebatan Al-Qur’an.
Ilmu Munasabat
Al-Qur’an
Perhatian
ulama terhadap Al-Qur’an tidak terhenti sampai disitu saja, tapi beralih kepada
hal lain yaitu hubungan antara satu segi dalam Al-Qur’an dengan segi lainnya. Menurut
jumhur ulama, susunan ayat –ayat
Al-Qur’an, begitu juga susunan surah-surah dalam Al-Qur’an adalah langsung dari Allah, bukan bikinan
nabi Muhammad dan bukan pula ijtihad para sahabat nabi. Dengan demikian bisa
dipastikan bahwa dibalik susunan Al-Qur’an, baik ayat-ayatnya, maupun
surah-surahnya bisa dipastikan ada hubungan, korelasi, keserasian. Menurut
mereka yang memercayai teori ilmu munasabah, Al-Qur’an adalah laksana sebuah
bangunan yang antara satu bagian dengan bagian lainnya terdapat keserasian yang
demikian kokoh dan indah. Pada kenyataannya para ulama yang tekun dalam mencari
munasabah dalam Al-Qur’an menemukan hal-hal yang mencengankan. Ternyata dibalik
bagian –bagian dari Al-Qur’an apakah antara ayat pada satu surah atau antara
dua surah terdapat keserasian yang sangat signifikan. Hal inilah yang
menyebabkan banyak kalangan mencoba menguraikan bentuk munasabah sesuai dengan
ijtihadnya masing-masing.
Harus
diakui bahwa munasabah dalam Al-Qur’an tidak ada penjelasannya dari nabi dan
para sahabat. Oleh karena itu maka “Ilmu munasabat” dikatagorikan sebagai ilmu
yang tidak wajib di pelajari. Sebab kalau wajib di pelajari, berarti harus ada
penjelasan dari nabi.
Menurut
pendapat penulis mempelajari munasabah dalam Al-Qur’an adalah sesuatu yang penting
digeluti oleh praktisi tafsir Al-Qur’an. Mempelajari Ilmu Munasabah juga sangat
mengasyikkan. Pencarian terhadap munasabah menuntut konsentrasi dalam mempelajari tujuan
pokok dari setiap bagian dari Al-Qur’an.
Kemudian mempelajari hubungan antara satu bagian dangan bagian yang lain.
Merupakan satu kebahagiaan dan kepuasan
tersendiri manakala dijumpai adanya munasabah yang signifikan pada satu bagian dari Al-Qur’an. Melalui ilmu
munasabah ini bisa diketahui kemukjizatan Al-Qur’an. Jika sebuah surah
mengandung bermacam topik, maka topik tersebut adalah ibarat ramuan obat cara
qur’an untuk mengobati satu penyakit pada manusia baik selaku individu maupun
anggauta masyarakat. Mengetahui munasabah juga bisa memahami inti persoalan
yang ada pada satu ayat atau kelompok ayat.
Pada
abad-abad pertama masa lalu kajian seperti ini belum ada, barulah pada abad
keempat Hijriyah, persoalan ini mulai muncul. Diantara ulama yang menghadirkan
dan mempunyai kepedulian pada “Ilmu al-Munasabat” adalah : 1.ath-Thabari (w 310
h).
2.Abu Bakar an-Naisaburi (w
324 h).
3.ar-Razi (w 606 h).
4.al-Harrali Abu al-hasan (w
637 h).
5.al-Gharnathi, Ahmad bin
Ibrahim az-Zubair, Abu Ja’far (w 708 h) dalam kitabnya “ al-Burhan fi Munasabat
tartib Suwar al-Qur’an”.
6.al-Biqa’i (w 885 h) dalam
kitab Tafsirnya “ Nazhm ad-Durar fi Tanasub al Ayat wa as-Suwar” kemudian diringkas
dalam kitabnya “Dilalat al-Burhan al-Qawim ‘ala Tanasub Al-Qur’an al-‘Azhim”.
7.as-Sayuthi (w 911 h) dalam
kitabnya “Tanasuq ad-Durar fi Tanasub as-Suwar” diringkas dalam kitab “Asrar
at-Tanzil”, dan kitabnya yang lain adalah : “Marashid al-Mathali’ fi Tanasub
al-Maqashid wa al-mathali’”.
8. Syekh Sajaqli Zadah
al-Mursyi (w 1150 h) pengarang kitab “Nahr an-Najaat fi bayan Munasabaat Umm
al-Kitab”
Pada
saat ini kitab- kitab tafsir yang muncul saat ini banyak yang menaruh perhatian
kepada “munasabat” seperti tafsir “al-Manar”, tafsir “al-Maraghi”, tafsir “fi
Zhilal Al-Qur’an”, tafsir “al-Munir” karya Wahbah az-Zuhaili”, Syekh Siddiq
al-Ghumari mempunyai kitab Jawahir al-Bayan” fi Tanasub Al-Qur’an” dan lain
lainnya.
Setelah
banyak sajian praktis tentang munasabat
dalam Al-Qur’an, barulah para ulama melakukan penelitian terhadap macam-macam
munasabah dalam Al-Qur’an. Imam Sayuthi dalam kitabnya “Asrar al-Qur’an”membagi
munasabah dalam beberapa bagian: yaitu :
1.Tartib surah-surah dalam
Al-Qur’an dan hikmah dibalik peletakan satu surah pada tempatnya
2.hubungan antara pembukaan
surah dengan akhir surah sebelumnya
3. hubungan antara awal surah
dengan isi surah.
4.hubungan antara awal surah
dengan akhir surah
5.hubungan antara satu ayat
dengan ayat setelahnya.
6.hubungan antara akhiran ayat
(fashilah) dengan awal ayat
7. hubungan antara nama surah
dengan kandungan surah.
Sementara
peneliti lain membagi Munasabah menjadi tiga bagian besar yaitu :
1.Munasabah pada satu surah :
yang terdiri dari :
a. munasabah antara awal surah
dengan akhir surah.
b.munasabah antara satu ayat
dengan ayat sebelumnya.
c. munasabah antara dua hukum
pada beberapa ayat datau dalam satu ayat.
d. munasabah antara nama surah
dan kandungan surah.
2.Munasabah antara dua surah :
yang terdiri dari :
a.munasabah antara akhir surah
dengan akhir surah sebelumnya.
b.munasabah antara kandungan
satu surah dengan kandungan pada surah berikutnya.
3.Munasabah secara umum, yaitu
memunasabahkan antara bagian-bagian dalam Al-Qur’an walau tidak berurutan.
Peranan Ilmu Munasabat
Dalam Penafsiran Al-Qur’an
Ilmu
Munasabat adalah merupakan salah satu cabang Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Ilmu
munasabat sudah lama dikaji oleh ulama tafsir pendahulu. Betapapun demikian
masih ada pro dan kontra terhadap keberadaan unsur “munasabah” dalam Al-Qur’an.
Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya “ Fath al-Qadir” mengkritik al-Biqa’i yang
memperbanyak kajian tentang munasabah . asy-Syaukani mengatakan: 1. Ilmu
munasabah adalah ilmu yang dipaksakan. Tidak pantas dimasukkan kedalam sastera
arab yang biasa, apalagi di masukkan kedalam Al-Qur’an yang merupakan teks yang
mempunyai kandungan sastera yang sangat tinggi. 2.Ilmu munasabah adalah
termasuk ilmu tafsir bir-ra’yi dalam Al-Qur’an, hal ini tidak
boleh.3.mencari–cari manasabah menghabiskan waktu dengan sesuatu yang tidak
berguna.
Namun disisi
lain banyak ulama yang mendukung adanya teori “munasabah” dalam Al-Qur’an ini.
Mereka menganggap bahwa dengan
mengetahui “munasabah” dalam Al-Qur’an akan sangat membantu dalam memahami
kandungan Al-Qur’an. Al-Biqa’I menukil dari gurunya tentang kegunaan Ilmu Munasabah
:
يقول
عن شيخه المغربي المالكي: "الأمر الكلي المفيد لعرفان مناسبات الآيات في جميع
القرآن هو أنك تنظر الغرض الذي سيقت له السورة، وتنظر إلى ما يحتاج إليه ذلك الغرض
من المقدمات، وتنظر إلى مراتب تلك المقدمات في القرب والبعد من المطلوب.. وإذا فعلته
تبين لك - إن شاء الله - وجه النظم مفصلاً بين كل آية وآية في كل سورة".
ويقول
أيضاً وتتوقف الإجادة فيه - أي في علم المناسبات - على: "معرفة مقصود السورة المطلوب
ذلك فيها، ويفيد ذلك معرفة المقصود في جميع جملها، فلذلك كان هذا العلم في غاية النفاسة،
وكانت نسبته من علم التفسير، نسبة البيان من علم النحو".
Artinya : secara global untuk
mengetahui Ilmu Munasabah pada Al-Qur’an adalah engkau melihat terlebih dahulu
tujuan umum dari satu surah, kemudian engkau lihat unsur-unsur yang terlibat
dalam menggolkan tujuan umum tersebut, dilihat dari kedekatan dan unsur-unsur
tersebut. Jika engkau telah melakukan hal tersebut, engkau akan mengetahui
susunan dan urutan satu ayat. oleh karena itu Ilmu Munasabah adalah ilmu yang
sangat bagus. Hubungan antara ilmu ini dengan ilmu tafsir adalah laksana
hubungan antara ilmu balaghah dengan ilmu nahwu.
Penulis
mendukung gagasan tentang adanya ilmu munasabah ini, karena bagaimana mungkin
sebuah susunan kalam suci dipaparkan begitu saja tanpa ada kaitan antara satu
ayat dengan ayat berikutnya. Jika dalam satu surah ada satu tujuan umum, maka
semua komponen yang ada, adalah merupakan pendukung utama dari tujuan umum
tersebut. Antara satu bagian dengan bagian lainnya bisa dipastikan ada
hubungan. Jika ayat-ayat Al-Qur’an diibaratkan seperti obat, maka komponen-komponen
yang ada adalah resep untuk mengobati dari sebuah persoalan yang ada. Antara
satu komponen dengan komponen lainnya jelas ada kaitan.
Hubungan Ilmu Munasabah
Dengan Kemukjizatan Al-Qur’an
Terkuaknya
beberapa macam munasabah, kita semakin yakin tentang kemukjizatan Al-Qur’an,
bahwa ternyata dibalik susunan Al-Qur’an baik susunan kalimatnya, ayat-ayatnya,
surah-surahnya, semuanya mengandung “nuktah” atau faedah yang sangat berguna
dalam mempelajari esensi dari kandungan Al-Qur’an baik melalui ayat-ayatnya
atau surah-surahnya.
Letak
kemukjizatan Al-Qur’an jika dilihat dari Ilmu Munasabah, adalah bahwa antara
satu ayat dengan ayat berikutnya yang ada pada satu surah, diturunkan dalam
waktu dan situasi yang berbeda. Kadangkala ada satu ayat yang diturunkan di
Mekah diselipkan diantara ayat-ayat yang diturunkan di madinah, begitu juga
sebaliknya ada ayat-ayat yang diturunkan di madinah diselipkan diantara
ayat-ayat yang diturunkan di Mekah. Namun setelah ayat-ayat tersebut
disandingkan dengan ayat berikutnya, ternyata mempunyai keserasian yang begitu
indah. Hal ini jelas tidak
mungkin dilakukan oleh manusia manapun dan tingkat kecerdasan yang
bagaimanapun. Semua itu jelas berasal dari Allah SWT. Dengan demikian ilmu
munasabah telah menyumbangkan satu sisi dari kemukjizatan Al-Qur’an dari sekian
banyak sisi kemukjizatan Al-Qur’an.
Buku
yang ada dihadapan anda adalah satu dari sekian banyak kitab atau buku yang
ditulis tentang “ilmu Munasabah” dalam Al-Qur’an. Penulisnya adalah Dr. Hasani
seorang spesialis dalam Ilmu Munasabah. Disertasinya meneliti tentang berbagai
munasabah yang ada pada tafsir “al-Misbah” karya Ustadz Quraisy Syihab. Tafsir
“al-Misbah” adalah tafsir kontemporer yang terkemuka saat ini di Indonesia.
Tafsir ini menggunakan pijakan yang biasa digunakan oleh para penafsir salafi
terdahulu, tapi ditulis dengan rasa Indonesia, metode berfikir yang moderat, gaya bahasa yang
sederhana, mudah dipahami. Salah satu karakteristik dari tafsir ini
“al-Misbah” adalah kajian tentang “munasabah” dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan
surah-surahnya, sebuah uraian yang demikian menonjol. Hal ini sangat menarik
untuk dikaji.
Dr.
Hasani dalam disertasinya telah banyak menguak tentang berbagai bentuk
munasabah dalam Al-Qur’an. Dalam disertasinya ini Dr. Hasani menemukan bentuk
munasabah yang ditemukan dari penelitiannya terhadap tafsir al-Misbah, menemukan
ada dua macam munasabah yaitu : a. Mjunasabah
Ayat. b. pola munasabah surah. Setiap macam dari dua macam munasabah tersebut
mempunyai beberapa macam lagi sehingga jumlahnya sekitar 13 macam bentuk munasabah. Berikut
ini uraiannya:
A.Munasabah Ayat yang
terdiri dari :
1.Munasabah antar ayat dengan
ayat dalam satu surah
2.Munasabah antara satu ayat
dengan fashilah (penutup)
3.Munasabah antara kalimat dan kalimat dalam ayat
4.munasabah antara kata dalam
surah
5.Munasbah antara ayat pertama
dengan ayat terakhir dalam satu surah.
B.Pola munasabah surah
yang terdiri dari :
1.Munasabah antara surah
dengan surah sebelumnya
2.munasabah awal uraian surah
dengan akhir surah sebelumnya
3.munasabah antar awal surah
dengan akhir surah sebelumnya
4.keserasian tema surah dengan
nama surah
5.keserasian penutup surah
dengan uraian awal/mukadimah surah berikutnya
6.hubungan antara kisah dalam
satu surah
7.hub ungan antara surah surah
Al-Qur’an
8.hubungan antara
fawatihussuwar dengan isi surah.
Dari
penjelasan tersebut dapat penulis katakan bahwa apa yang dikemukakan oleh Dr.
Hasani setelah melakukan penelitan yang mendalam terhadap beberapa macam
keserasian yang dikemukakan oleh Bapak Quraisy Syihab dalam tafsirnya “
al-Misbah” adalah satu upaya yang patut dihargai. Apa yang disarankan dan
diusulkan oleh penulis mujdah-mudahan bisa direspon oleh para peneliti
berikutnya, sehingga menjadi kjian-kajian yang saling mendukung.
Bagaimanapun
juga ilmu munasabah adalah sesuatu ilmu yang bersifat ijtihadi. Kalau sudah
demikian maka sangat boleh terjadi untuk menonjolkan satu munasabah akan berbeda antara satu orang dengan lainnya,
tergantung dari sudut pandangnya. Selama masih dikatagorikan “ma’qul” atau
rasional, bisa ditoleransi keberadaannya.
Ada
beberapa munasabah yang kiranya perlu diberikan perhatian secara khusus yaitu
munasabah antara awal ayat yang diakhiri dengan nama dan sifat-sifat Allah.
Begitu juga munasabah antara “qasam” atau sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an dengan
“muqsam ‘alaih” atau jawab qasam. Pada masa yang akan datang, mjungkin akan terkuak lagi beberapa munasabah
dalam Al-Qur’an yang belum terkuak pada masa kini.
Penutup.
Akhirnya,
penulis mengharapkan agar kajian terhadap Al-Qur’an terus digalakkan dalam
berbagai macam seginya, karena kita ingin eksistensi Al-Qur’an bisa terus
bergerak sejalan dengan derap langkah masyarakat di tengah tengah kehidupan
modern. Tujuan kita semua adalah bagaimana Al-Qur’an bisa terus memberikan
rahmahnya kepada masyarakat dunia.
Al-Qur’an yang sekarang adalah sama dengan Al-Qur’an masa lalu pada masa
nabi dan para sahabatnya. Jika pada masa lalu, Al-Qur’an telah merobah sejarah
kehidupan umat manusia, maka kita selaku generasi penerus perlu melakukan
upaya-upaya menghidupkan kembali semangat api Al-Qur’an. Al-Qur’an memang
kelihatan diam, tapi didalamnya terdapat kekuatan yang demikian dahsyat untuk
merobah masyarakat. Yang bisa melakukan semua itu adalah kita, umat islam, kita
pembawa amanah Al-Qur’an.
PP
Dar Al-Qur’an
Kebon baru Arjawinangun Cirebon
10
April 2011 M/6 Jum. Awal 1432 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar