Kamis, 08 Juli 2010

Meledaknya Tabung Gas

OPINI
Dimuat di Radar Lampung,Kamis, 8 Juli 2010

Meledaknya Tabung Gas
Hasani Ahmad Said
Dosen IAIN Raden Intan, Lampung, Kandidat Doktor UIN Jakarta

Subsidi pemerintah lewat konversi minyak tanah ke gas sejatinya menjadi solusi terhadap penghematan anggaran pemerintah, selain lebih memudahkan masyarakat terhadap urusan "dapur"-nya. Tapi ironis, hampir setiap hari menyaksikan terjadinya kebakaran akibat tabung gas, yang kian hari korbannya kian bertambah.

Pertanyaannya kemudian adalah ini salah siapa? Pemerintahkah sebagai pengambil tampuk kebijakan? Atau terjadinya akibat human error? Memang

tidak tepat kiranya hanya mencari "kambing hitam" yang lebIh bijak adalah barangkali sama-sama melakukan introspeksi diri demi perbaikan sekarang dan yang akan datang. Gambaran masyarakat yang kita saksikan selama ini adalah saling menuding mencari siapa yang salah tanpa mengambil solusi yang terbaik. Memang kebijakan pemerintah yang baik, tanpa dilakukan sosialisasi yang tepat dalam artian sosialisasi sampai pada masyarakat di tingkat perdesaan, kebijakan yang baik itu akan terhapus dengan kejadian-kejadian merajalelanya gas meledak yang terjadi beberapa kali di beberapa tempat.

Kepala Pusat Laboratorium dan Forensik Brigjen Pol. Budiono memberikan analisis bahwa ada beberapa indikasi terjadinya meledaknya tabung gas. Pertama, perangkat tabung banyak yang rusak, kerusakan pada karet perekat udara, dan peralatan logam rusak. Penemuan Puslabfor ini sangat memiriskan hati, betapa tidak di tengah gencarnya subsidi tabung gas. Sementara itu, tanpa dikomando, minyak tadinya yang sudah lekat dengan masyarakat kecil dan mudah untuk mendapatkannya, tiba-tiba menghilang ditelan bumi dan sulit untuk didapat. Meskipun ada, harganya sangat mahal dan sangat terbatas. Sehingga, masyarakat enggan untuk membeli dan seolah "dipaksa" beralih ke gas. Bagai "bom waktu", tanpa diprediksi leih awal ternyata peralihan minyak tanah ke gas menyisakan banyak persoalan. Mulai dari kebakaran rumah, sampai memakan korban nyawa. Yang terjadi sekarang adalah masyarakat mulai "fobia" terhadap penggunaan gas elpiji. Lebih miris lagi kebanyakan korbannya adalah masyarakat kecil sebagai pemakai gas, tanpa diikuti dengan pengetahuan yang cukup tentang perawatan dan pemakaian gas secara baik dan benar.

Husna Zahir dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan kejadian meledaknya tabung gas lebih kepada banyak perangkat paket tabung tidak memenuhi standar. Bagaimana mungkin program nasional yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat kecil bisa terjadi salah setting?

Sekali lagi, tidak terlalu penting mencari siapa yang salah, tetapi lebih penting lagi saat ini bagaimana menciptakan dan melakukan inovasi baru dalam menanggulangi problem sosial yang sudah banyak menelan banyak korban. Gagasan dan terobosan baru inilah yang sedang dilakukan oleh Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Arya Rezavidi, direktur teknologi BPPT mengkritisi desain kompor dan tabung gas yang dirancang oleh pemerintah dalam hal ini Pertamina. Dia menganggap bahwa desain yang dilakukan pemerintah antara komponen yang satu dengan komponen yang lain dilakukan terpisah-pisah, dalam artian tabung, kompor gas, dan selang penghubung antara keduanya terpisah. Model seperti inilah disinyalir oleh BPPT sebagai salah satu pemicu terjadi peledakan tabung gas.

Belum lagi minimnya pengetahuan masyarakat akan tabung dan kompor gas. Idealnya, perangkat yang menghubungkan semisal slang, karet perekat dalam tabung diganti secara berkala dan senantiasa dalam pengawasan. Sedangkan inovasi yang dilakukan BPPT lebih kepada menyatukan ketiga komponen desain yang disebut tadi yaitu tabung, kompor langsung terhubung/terpasang disertai pula dengan penutup tabung dan kompor. Sehingga, pola ini dianggap oleh BPPT, sebagai pola aman bagi para konsumen.

Bahkan, sebelum BPPT melakukan inovasi seperti itu, banyak inovasi-inovasi yang aman karena lebih memanfaatkan alam. Misalnya, kotoran hewan disulap dan diulah menjadi gas. Penyelarasan anatara sumber daya manusia dan upaya inovasi baru sangat dibutuhkan agar mencegah atau paling tidak mengurangi korban dan kecemasan masyarakat. Selanjutnya, bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah, kalau memang konversi minyak tanah ke gas itu lebih ekonomis, sejatinya dilakukan dengan keterbukaan dan sertai dengan standarisasi keamanan. Tidak usah, misalnya, begitu sosialisasi program yang "dicap" ekonomis, tidak serta merta memberangus program yang sudah ada kalau memang pemanfaatannya masih dibutuhkan.

Meskipun program konversi minyak tanah ke gas lebih baik, kekurangan-kekurangan yang selama ini dikeluhkan masyarakat, sebaiknya cepat ditangani. Bukan justru malah sebaliknya, seolah-olah tidak ada orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Saatnya pemeritah tegas memberantas mafia-mafia pengoplos gas, pengurangan takaran dalam tabung, sampai kepada permainan harga yang tidak menentu, dan yang tak kalah penting adalah lebih ditingkatkan lagi fungsi pengawasan dan selalu dilakukan evaluasi. Bukan malah bagaimana menaikkan harga gas, BBM ataupun TDL, dengan dalih pemerintah merugi.

Saatnya pemerintah memulihkan stigma tentang kabar meledaknya gas saat ini dan masa yang akan datang. Satu contoh di Nunukan, Kaltim, tengah menggunakan gas Petronas produk negara jiran, Malaysia. Gas ini dianggap oleh penggunanya sebagai produk gas yang aman dan mudah didapat di daerah tersebut. Kalau sudah begini, pemerintah juga yang rugi atas ketidakpercayaan masyarakat.

Memang tidak cukup hanya pemerintah saja yang memulai tanpa didukung dengan kesadaran masyarakat. Bagi pemerintah dan masyarakat sebaiknya bahu-membahu memperbaiki pola pengurusannya, dan bagi masyarakat sebagai konsumen harus mawas diri sebelum datang musibah. Pendek kata, dari unsur pengambil kebijakan sampai konsumen di tingkat bawah tidak ada problem, kecuali ada pemecahannya. Semoga tidak akan ada lagi korban berjatuhan berikutnya akibat buruknya desain tabung dan lemahnya kesadaran pengguna tabung gas.