اقرءباسم ربك الذي خلق GUBUG ILMU KANG HASAN: Jl.Pabean, link. Pabean, Kel. Pabean, no.10, Rt.01/01 Kec. Purwakarta, Kota Cilegon, Prov. Banten, 42437
Rabu, 21 Maret 2012
Mengurai Tafsir Surat Al-Taubah Ayat 71-74
Mengurai Tafsir Surat Al-Taubah Ayat 71-74
Oleh Dr. Hasani Ahmad Said, M.A.
(Dosen Tafsir IAIN Lampung & UIN Jakarta, Alumni Pendidikan Kader Mufassir PSQ)
Disampaikan pada Halaqah Tafsir, Pusat Studi al-Qur’an, Bait al-Qur’an, Pd. Cabe, Rabu, 21 Maret 2012
• • • •
71. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
72. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.
Secara jelas, pada ayat 71 di atas, menguraikan keadaan dan karakteristik orang-orang mukmin, yaitu sebagian mereka (mukmin dan mukminat) sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lima karakteristik mukmin/nat inilah yang dalam ayat ini mendapatkan garansi rahmat dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Rahmat yang dalam redaksi ayat ini menggunakana سيرحمهم (akan merahmati mereka), rahmat di sini bukan hanya rahmat di akhirat, tetap melingkupi juga rahmat di dunia dan akhirat. Dan rahmat terbesar antara lain adalah kenikmatan berhubungan dengan Allah dan rahmat ketenangan batin. Kenikmatan di dunia bentuknya sangat bervariasi, dari indahnya hidup berumah tangga, hingga nikmat dan berkahnya rizki yang melimpah. Begitupun rahmat di akhirat yang sudah pasti sulit untuk diungkapkan dan digambarkan, yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak terdengar sebelumnya oleh telinga, dan atau bahkan tidak terlintas dalam benak pikiran manusia.
Jika melihat pada ayat-ayat sebelumnya, keadaan berbalik justru diulas pada ayat 67-68 yang mengulas karakteristik orang-orang munafik yaitu, mereka menyuruh yang munkar dan melarang yang ma’ruf, menggenggamkan tangan mereka, dan mereka melupakan Allah.
Pada redaksi ayat 71 yang berbunyai بعضهم أولياء بعض (sebagian mereka adalah penolong bagi sebagaian yang lain) yang menjelaskan keadaan karakteristik orang-orang mukmin dan mukminat. Flash back ke ayat 67 kembali terdapat perbedaan redaksi berbunyi بعضهم من بعض (sebagian mereka dari sebagian yang lain). Hal ini memberikan perhatian tersendiri bagi mufassir, sehingga beragam pula penjelasannya. Ada yang berpandangan bahwa ini merupakan isyarat kaum mukminin yang tidak saling menyempurnakan keimanannya lantaran setiap orang mukminin sudah tetap imannya. Dalam artian bahwa mereka telah memiliki keimanan yang mantap, bukan taklid buta. Keteragan ini terindikasi dari redaksi ayat awliyâ’ yang bermakna ketulusan dalam menolong. Keadaan berbalik dari orang-orang munafik yang kesatuan mereka atas dasar dorongan sifat-sifat buruk. Demikian ungkapan al-Biqâ’i, juga Ibnu ‘Asyûr, diuraikan pula oleh M. Quraish Shihab.
Selanjutnya, ayat 72 menjanjikan syurga kepada mukmin lelaki dan mukmin perempuan yang diberikan gambaran bahwa syurga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai, orang yang di syurga itu kekal di dalamnya, dan mukmin-mukminat juga diberikan tempat-tempat yang indah di surga ‘Adn. ‘And berarti kemantapan dan kekekalan. Janji Allah ini benar ditujukan kepada orang mukmin lelaki dan mukmin perempuan yang memiliki kriteria pada ayat 71. Ayat ini di akhiri dengan redaksi ورضوان من الله أكبر ذالك هو الفوز العظيم (Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar). Ridhwân terambil dari ridhâ yang berarti kepuasan hati. Redaksi ridhwânun min Allâh, ini seolah memberikan informasi bahwa keridhaan Allah itu sungguh sangat amat besar, bahkan keagungannya tidak akan tertangkap oleh indra manusia. Kemudian, di penghujung ayat menjelaskan bahwa keridhaan dari Allah akan melahirkan kesuksesan yang besar pula.
• •
73. Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.
Melihat ayat-ayat sebelumnya yang mengupas kejelekan orang-orang munafik pada ayat 67-68 dan membandingkan pula dengan karakteristik orang-orang mukmin pada ayat 71-72. Nah, ayat 73 di atas, berbicara tentang seruan Allah kepada Nabi Muhammad untuk berjihad melawan orang-orang munafik. Selain itu, ayat ini juga menuntut Nabi untuk bersikap tegas. Perintah berjihad dan bersifat keras pada ayat ini, nampaknya memiliki keterkaitan dengan wafatnya Rasul yang tidak lama sesudah turunnya ayat ini. Seolah-olah ayat ini mendidik dan mempersiapkan mentalitas kaum muslimin untuk bersikap tegas terhadap orang-orang kafir dan munafik yang mengaku muslim, seperti pasca meninggalnya Rasul muncul orang-orang yang enggan membayar zakat pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar. Demikian Ibnu ‘Asyur menjelaskan seperti dituliskan oleh M. Quraish Shihab.
Terminology ajakan Allah untuk melakukan jihad pada ayat di atas, bisa dipahami beberapa versi. Ada yang secara langsung dipahami sebagai jihad secara leterlek, dalam artian melakukan jihad dan bersikap keras dengan mengangkat senjata melawan orang-orang kafir. Ada juga yang memahami perintah berjihad dengan orang-orang kafir dan munafik di atas yakni dengan tangan atau lidah, atau bahkan dengan diplomasi, atau juga dapat dilakukan dengan menampakkan muka yang tidak menyenangkan bagi mereka. Dapat pula, berjihad dan bersikap keras di atas dipahami dengan jihad dan bersikap keras akan penegakkan sanksi hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan mereka.
M. Quraish Shihab, menjelaskan tiga termonologi dimensi perintah jihad di atas, dapatlah ditampung oleh perintah jihad, karena perintah jihad pada ayat di atas, hemat M. Quraish Shihab dipahami sebagai perintah jihad dengan berbagai cara yang sesuai. Menariknya lagi, M. Qraish Shihab memaknai dimensi termonologi perintah jihad yang telah dikemukakan, sama saja ketika menjelaskan makna fî sabîlillâh pada ayat 60 tentang orang-orang yang berhak menerima zakat. Jihad di jalan Allah di sini, bukan hanya bagi orang-orang yang berjihad dengan memanggul senjata, tetapi jihad di sini juga bisa dipahami bagi orang-orang yang berjihad dengan pena (penulis) dan lidah (pendakwah, guru, dosen dll.). Bahkan, cara-cara lain sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman.
Sikap keras terhadap orang-orang kafir dan munafik yang diperintahkan pada ayat di atas, karena sifat-sifat mereka bertolak belakang dengan sifat orang-orang mukmin. Hal ini juga bukan berarti bermakna Rasul adalah orang yang keras, karena Rasul memiliki sifat yang lemah lembut bahkan pemaaf seperti pada surah Âli ‘Imrân syst 159.
74. Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.
Ayat ini, dalam satu riwayat dijelaskan bahwa dalam perjalanan Rasul Saw. Dari perang Tabuk, sejumlah dua belas, ada juga yang mengatakan lima belas orang munafik merencanakan pembunuhan tehadap Rasul, tetapi rencana disampaikan Allah kepada beliau sehingga mereka gagal. Redaksi Kalimat al-kuffâr, dalam ayat di atas adalah kalimat yang menunjukkan kekufuran pengucapannya. Sebaliknya ada kalimat al-taqwâ yakni lâ ilâha Illâ Allâh, dan kalimat al-Islâm adalah kalimat syahadat.
Penjelasan pada ayat di atas masih bertalian dengan ayat sebelumnya yang memerintahkan kepada Nabi untuk melakukan jihad terhadap orang-orang kafir dan munafik. Nah, ayat di atas, sebagai imbas atas sikap keras mereka. Sikap tersebut dijelaskan secara gambalang dalam ayat 74 sebagaimana disebutkan di atas. Kedurhakan ini tergambar misalnya mereka melakukan bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak berkata-kata, dalam artian mereka tidak secara nyata melakukan pelanggaran terhadap ajaran agama, juga tidak mengganggu Nabi, mereka kafir sesudah keislaman mereka, mereka menginginkan padahal mereka tidak mampu mencapainya. Akan tetapi, redaksi ayat ini kembali memberikan harapan bahwa meskipun mereka telah melakukan perbuatan yang buruk, Allah masih tetap membuka lebar pintu taubatnya. Taubat ini merupakan jalan terbaik bagi mereka. Namun demikian, kendati sudah ditawarkan pertaubatan, jika mereka tidak mau, maka ancamannya adalah adzab Allah di dunia dan akhirat.
Meskipun dimensi taubat pada ayat di atas sulit untuk diprediksi, hal ini karena taubatnya menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran atau lebih dikenal dengan kafir zindiq. Bisa jadi lisannya mengatakan taubat, padahal dalam hatinya tidak. Oleh sebab itu, butuh kerelaan dan penyesalan diri untuk bertaubat dan mengakui dengan sepenuh hati tidak akan melakukan sikap bejat dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Wallâhu a‘lam!!!
Tangsel, Pamulang, 20 Maret 2011<
/a>
Langganan:
Postingan (Atom)