Rabu, 28 Juli 2010

Meninjau Ulang Kenaikan TDL

Copyright � 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Selasa, 20 Juli 2010

Meninjau Ulang Kenaikan TDL
Hasani Ahmad Said
Pengajar IAIN Raden Intan Lampung

Apa boleh dikata ibarat pepatah "nasi sudah menjadi bubur", begitulah ibarat buat pemegang kebijakan dalam hal ini pemerintah yang telah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Akan tetapi bukan berarti kebijakan ini tidak bisa diubah untuk selanjutnya direvisi atau bisa jadi ditinjau ulang, atau bahkan dijadikan evaluasi perbaikan untuk mengeluarkan kebijakan yang “tak bijak” ke depan. Yang menarik, kenaikan TDL dilakukan pemerintah di balik berita yang menirani kenaikan TDL sehingga seolah-olah luput dari sorotan media. Akibatnya, seolah-olah masyarakat mengamini kebijakan yang tidak prorakyat ini.
Sebuah kenicayaan, di tengah kemelut ekonomi yang belum pulih, belum lagi semakin merosotnya dan memburuknya pelayanan pemerintah terhadap masyarakat luas sehingga lagi-lagi yang selalu memikul berat beban pemerintah adalah wong cilik lagi. Opini publik tentang kenikan tarif dasar listrik dibungkam oleh pemberitaan yang mempunyai rating tinggi. Di mulai dari karut-marutnya polemik perjudian yang berusaha dilegalkan, kasus Ariel-Luna-Cut Tari, kasus rekening gendut Polri versus ICW, mempersenjatai Pol. PP, dan lain-lain. Terlepas apakah ini ada dalang pengaburan berita, kemudian sudah muncul berita kenaikan TDL. Berita ini tentunya mencengangkan bagi masyarakat kecil dan perusahaaan kecil menengah.
Ada beberapa tinjauan yang ingin saya kemukakan. Pertama, kerancuan sistem yang diatur. Kedua, timing-nya tidak tepat di saat waktu masuk sekolah dan sebentar lagi masuk puasa dan Lebaran. Ketiga, keputusannya mestinya dilakukan oleh presiden, bukan oleh menteri. Analisis ini juga dilontarkan oleh mantan Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie. Perlu dijelaskan yang dimaksud kerancuan sistem di sini adalah subsidi yang tidak efektif dan efisien. Hal ini misalnya terlihat dari input-nya tidak tepat sasaran dan lain-lain. Selain itu, kepenting masytarakat sering diperjualbelikan untuk membuat kebijakan sehingga selalu kebijakan itu mengatasnamakan subsidi. Untuk itu, mestinya dipertegas kembali makna subsidi yang dimaksud oleh pemerintah.
Kenaikan TDL Jerat Masyarakat Bawah
Disadari atau tidak imbas kenaikan TDL akan memusingkan para pelaku pasar tradisional, khususnya usaha kecil menengah. Pada gilirannya, yang dikhawatirkan adalah pengurangan hasil produksi dan lebih dari itu, pada gilirannya akan ada PHK yang akan menambah lagi pengangguran. Walaupun belum sampai pada dampak yang signifikan, kejadian itu bisa saja akan terjadi pada ranah paling gawat bagi pelaku usaha kecil menengah. Kekhawatiran ini sesuatu hal yang wajar, bagaimana tidak, hal yang tidak pernah dialami oleh para pengambil kebijakan atau dalam hal ini Pemerintah Pusat pemegang kebijakan. Hal yang menarik dari beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan anggota DPR dan menteri terjun langsung ke pasar tradisional yang memulai dialog dan melakukan sidak langsung ke pasar induk Jakarta. Mestinya, hal ini tidak hanya dalam waktu tertentu atau sesaat saja, tapi bisa dirancang berkelanjutan. Karena dengan begitu pemerintah langsung menyaksikan bagaimana jeritan dan penderitaan rakyat bawah.
Analisis ini memungkinkan untuk dijadikan pengambilan kebijakan untuk selanjutnya. Bukan malah memolitisasi untuk menenangkan masyarakat bawah sejenak agar tidak terjadi gejolak sesaat. Hasilnya memang cukup efektif, lepas dari sorotan para pengkritik pemerintah. Namun mestinya tidak demikian, kontrol terhadap kebijakan pemerintah juga perlu untuk melihat lajunya kepemimpinan saat ini agar pengambilan kebijakan tepat waktu dan sasaran. Selama ini, income masyarakat jauh di atas negara-negara lain, bahkan negara tetangga sekalipun, akan tetapi kebijakannya ingin memosisikan dan mensejajarkan dengan negara lain. Para intelektual sering mengungkapkan, seandainya pengelolaan sumber daya alam di Indonesia ini dilakukan secara baik dan benar, mestinya tidak akan ada berita kekurangan pasokan listrik, dan berita lain yang mengerdilkan negaranya sendiri. Para ahli mestinya saling bahu-membahu dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dari SDA yang dimiliki, bukan malah mengeksploitasi alam. Sungguh pun demikian keadaannya, sejatinya harus adanya kesadaran dari masing-masing pribadi sebagai warga negara untuk menjaga dan meningkatkan kualitas serta memikirkan bangsa ke depan sampai anak cucu generasi penerus selanjutnya.
Meskipun dampaknya tidak terlalu banyak tersorot, mestinya kebijakan dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan pada waktu yang tepat. Beberapa saat lagi akan masuk Ramadan, belum lama ini mulai masa masuk sekolah, kemudian momen Lebaran, Natal, dan tahun baru. Pendek kata, sudah saatnyalah kebijakan yang tidak populis dikesampingkan dahulu dengan melihat waktunya yang tepat. Efektif dan efisienkan dana-dana yang lain yang tidak produktif untuk menutupi “kerugian” walaupun belum melalui penelitian dan kajian mendalam.
Semoga dengan cara demikian, bukan hanya pemerintah yang diuntungkan dengan kebijakan yang akan mendukung lancarnya kegiatan masyarakat, tetapi masyarakat luas juga tidak keberatan karena nilai income sudah standar dan mencukupi bagi diri dan keluarganya. Mestinya ini yang dipikirkan dan diperjuangkan, bukan bagaimana mendapatkan keuntungan dari jerih payah rakyatnya.
Diambil dari :
http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2010072006122652

“BOM WAKTU” TABUNG GAS

“BOM WAKTU” TABUNG GAS
Oleh Hasani Ahmad Said*
Dimuat di kolom “Opini” Kabar Banten (dulu Fajar Banten), Senin, 26 Juli 2010

Kabar meletusnya tabung gas, kian hari kian bertambah. Entah sudah berapa puluh orang yang menjadi korban akibat ganasnya ledakan tabung gas elpiji. Hampir setiap hari menyaksikan di media jatuh korban, baik yang luka ringan, berat sampai cacat permanen. Di Banten tabung gas meledak meledak hanguskan pabrik otomotif (Radar Banten, 16 juli 2010). Saling tuding pun terus digelontorkan baik yang pro pemerintah maupun dengan penentang kebijakan. Alih-alih, kebijakan yang sudah meracuni sebagian kecil masyarakat ini, bak “bom waktu” yang menjadi momok menakutkan bagi warga masyarakat, bahkan kapan saja saatnya akan meledak akibat ketidak beresan dalam pengurusannya. Porsoalan ini memang tidak cukup hanya didiskusikan, seminarkan, workshop dan diwacanakan, pada intinya harus cepat dilakukan langkah seribu untuk meredam jatuhnya korban yang tidak bersalah kemudian. Meskipun kebijakan demi kebijakan telah digelontorkan, toh belum ada yang mampu mengecilkan dampaknya. Baik misalnya disimak sekaligus dilakukan kebijakan pemerintah provinsi banten mengantisipasi pengamanan kegunaan komponen-komponen telah diterbitkan surat peringatan nomor: 001-SP/Dagri?IV/2010 dan surat no 510/1647-Perindag/2010 tanggal 02 Juli 2010, dengan memperhatikan surat peraturan perindustrian no 85/-IND/PER/11 2008 (Kabar banten, 22 Juli 2010).
Subsidi pemerintah lewat konversi minyak tanah ke gas sejatinya menjadi solusi terhadap penghematan anggaran pemerintah, selain lebih memudahkan masyarakat terhadap urusan “dapur”nya. Tapi ironis, hampir setiap hari menyaksikan terjadinya kebakaran akibat tabung gas, yang kian hari korbannya kian bertambah. Pertanyaannya kemudian adalah ini salah siapa? Pemerintahkah sebagai pengambil tampuk kebijakan? Atau terjadinya akibat human error? Memang tidak tepat kiranya hanya mencari “kambing hitam” yang lebh bijak adalah barangkali sama-sama melakukan introspeksi diri demi perbaikan sekarang dan yang akan datang. Gambaran masyarakat yang kita saksikan selama ini adalah saling menuding mencari siapa yang salah tanpa mengambil solusi yang terbaik. Memang kebijakan pemerintah yang baik, tanpa dilakukan sosialisasi yang tepat dalam artian sosialisasi sampai pada masyarakat di tingkat pedesaan, maka kebijakan yang baik itu akan terhapus dengan kejadian-kejadian merajalelanya gas meledak yang terjadi beberapa kali di beberapa tempat.
Kepala pusat laboratorium dan forensik Brigjenpol Budiono memberikan analisa bahwa ada beberapa indikasi terjadinya meledaknya tabung gas. Pertama, perangkat tabung banyak yang rusak, kerusakan pada karet perekat udara, dan peralatan logam rusak. Penemuan Puslabfor ini sangat memiriskan hati, betapa tidak di tengah gencarnya subsidi tabung gas. Sementara itu, tanpa dikomando minyak tadinya yang sudah lekat dengan masyaraka kecil dan mudah untuk mendapatkannya, tiba-tiba menghilang ditelan bumi dan sulit untuk didapat. Meskipun ada, namun harganya sangat mahal dan sangat terbatas. Sehingga, masyarakat enggan untuk membeli, dan seolah “dipaksa” beralih ke gas. Bagai “bom waktu”, tanpa diprediksi leih awal ternyata peralihan minyak tanah ke gas menyisakan banyak persoalan. Mulai dari kebakaran rumah, sampai memakan korban nyawa. Yang terjadi sekarang adalah masyarakat mulai “fobia” terhadp penggunaan gas elpiji. Lebih miris lagi kebanyakan korbannya adalah masyarakat kecil sebagai pemakai gas, tanpa diikuti dengan pengetahuan yang cukup tentang perawatan dan pemakaian gas secara baik dan benar.
Hal senada juga diungkapkan oleh Husna Zahir, salah seorang anggota YLKI bahwa kejadian meledaknya tabung gas lebih kepada banyak perangkat paket tabung tidak memenuhi standar. Bagaimana mungkin program nasional yang melibatknan seluruh lapisan masyaakat kecil bisa terjadi salah setting? Sekali lagi, tidak terlalu penting mencari siapa yang salah, tetapi lebih penting lagi saat ini bagaimana menciptakan dan melakukan inovasi baru dalam menanggulangi problem sosial yang sudah banyak menelan banyak korban. Gagasan dan terobosan baru inilah yang sedang dilakukan oleh Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Arya Rezavidi, direktur teknologi BPPT mengkritisi design kompor dan tabung gas yang dirancang oleh pemerintah dalam hal ini Pertamina. Dia menganggap bahwa desain yang dilakukan pemerintah antara komponen yang satu denga komponen yang lain dilakukan terpisah-pisah, dalam artian tabung, kompor gas, dan selang penghubung antara keduanya terpisah. Model seperti inilah disinyalir oleh BPPT sebagai salah satu pemicu terjadi peledakan tabung gas. Belum lagi minimnya pengetahuan masyarakat akan tabung dan kompor gas. Idealnya, perangkat yang menghubungkan semisal selang, karet perekat dalam tabung diganti secara berkala dan senantiasa dalam pengawasan. Sedang inovasi yang dilakukan BPPT lebih kepada menyatukan ketiga komponen desain yang disebut tadi yaitu tabung, kompor langsung terhubung/terpasang disertai pula dengan penutup tabung dan kompor. Sehingga, pola ini dianggap oleh BPPT, sebagai pola aman bagi para konsumen.
Bahkan, sebelum BPPT melakukan inovasi seperti itu, banyak inovasi-inovasi yang aman karena lebih memanfaatkan alam. Sebut misalnya kotoran hewan disulap dan diulah menjadi gas. Penyelarasan anatara sumber daya manusia dan upaya inovasi baru sangat dibutuhkan agar mencegah atau paling tidak mengurangi korban dan kecemasan masyarakat. Selanjutnya, bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah, kalau memang konversi minyak tanah ke gas itu lebih ekonomis, sejatinya dilakukan dengan keterbukaan dan sertai dengan standarisasi keamanan. Tidak usah misalnya begitu sosialisasi program yang “dicap” ekonomis, tidak serta merta memberangus program yang sudah ada kalau memang pemanfaatannya masih dibutuhkan. Meskipun program konversi minyak tanah ke gas lebih baik, maka kekurangan-kekurangan yang selama ini dikeluhkan masyarakat, sebaiknya cepat ditangani. Bukan justru malah sebaliknya, seolah-olah tidak ada orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Saatnya pemeritah tegas memberantas mavia-mavia pengoplos gas, pengurangan takaran dalam tabung, sampai kepada permainan harga yang tidak menentu, dan yang tak kalah penting adalah lebih ditingkan lagi fungsi pengawasan dan selalu dilakukan evaluasi. Bukan malah bagaimana menaikkan harga gas, BBM ataupun TDL, dengan dalih pemerintah merugi.
Saatnya pemerintah memulihkan stigma miring tentang kabar meledaknya gas saat ini dan masa yang akan datang. Satu contoh misalnya, di Nunukan Kaltim tengah menggunakan gas Petronas produk Negara Jiran, Malaysia. Gas ini dianggap oleh penggunanya sebagai produk gas yang aman dan mudah didapat di daerah tersebut. Kalau sudah begini, pemerintah juga yang rugi atas ketidakpercayaan masyarakat. Memang tidak cukup hanya pemerintah saja yang memulai tanpa didukung dengan kesadaran masyarakat. Bagi pemerintah dan masyarakat sebaiknya bahu membahu memperbaiki pola pengurusannya, dan bagi masyarakat sebagai konsumen harus mawas diri sebelum datang musibah. Pendek kata, dari unsur pengambil kebijakan sampai konsumen di tingkat bawah tidak ada problem, kecuali ada pemecahannya. Semoga tidak akan ada lagi korban berjatuhan berikutnya akibat buruknya desain tabung dan lemahnya kesadaran pengguna tabung gas. [*]

Cilegon, Sabtu, 24 Juli 2010

*Penulis adalah Kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta & Dosen IAIN Raden Intan Lampung, Tinggal di Pabean, purwakarta, Cilegon. hp. 085216099379. E-mail elhasan_ahsyamsun@yahoo.co.id

BATIK LERENG LESUNG CILEGON

BATIK LERENG LESUNG CILEGON

Batik merupakan warisan dan identitas bangsa Indonesi yang telah mendapatkan pengakuan oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 yang lalu. Jika mendenger batik, pasti langsung tertuju ke daerah jawa. Namun kini perkembangan batik telah meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Begitu pun Kota Cilegon yang memiliki batik Lereng Lesung sebagai ciri khasnya. Untuk mendapatkan batik lereng lesung bisa berkunjung ke Galeri Batik Dekranasda Kota Cilegon di lantai dasar Plaza Cilegon Mandiri, Jl. S.A Tirtayasa, Cilegon

Awal kemunculan batik lereng lesung bermula pada Lomba Desain Batik Cilegon 2006 yang diadakan Bidang Pariwisata dan Budaya Despindak. Agus Patria akhirnya lolos sebagai juara satu dengan desain batik lesungnya. Hingga akhirnya batik lesung diproduksi dan dipatenkan oleh Wali Kota Cilegon sebagai batik khas Cilegon.

Filosofi dalam desain batik lereng lesung:

Simbol ”rumput laut” yang di padu dengan ”isem-isem cecek krambyang” menggambarkan letak geografis Kota Cilegon yang dibatasi oleh garis pantai yang penuh dengan interaksi sebagai kota yang dinamis bagai air laut terus bergerak menghasilkan gelombang dan riaknya, hingga menjadikan kota ini serat dengan dinamika kehidupan.

Simbol ”Lesung” diangkat dari salah satu seni budaya tradisional Kota Cilegon yakni Bandrong Lesung yang merupakan seni budaya yang berkembang dalam masyarakat Kota Cilegon, sekaligus merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya, estetika, sikap, dan tata kehidupan masyarakat Kota Cilegon. Selain itu simbol lesung berfungsi simbol kembar (lesung = kapal) dan rantai tali jangkar kapal yang melambangkan Kota Cilegon sebagai Kota Pelabuhan, dimana Kota Cilegon mempunyai pelabuhan Merak dan Cigading yang juga merupakan salah satu motor penggerak perekonomian dan pariwisata.

Batik 2Simbol ”Kuba Masjid” merupakan gambaran tentang kepercayaan adat istiadat dan agama di Kota Cilegon sebagai manifestasi dan komunikasi masyarakat Kota Cilegon yang bernuansa religius/agamis.

Simbol ”Bunga Melati, Mawar, dan Rumput laut” adalah simbol keadaan alam flora dan fauna Kota Cilegon yang memberikan gambaran bahwa masyarakat Kota Cilegon penuh kasih, cinta, dan ramah tama.

Simbol desain Motor Elektronik” merupakan gambaran bahwa Kota Cilegon dikenal sebagai kota industri baik secara skala nasional maupun internasional, dan terbuka untuk infestor.

Batik Lereng Lesung terdapat enam jenis warna, yaitu merah, kuning, hijau, biri, coklat, dan ungu.

Sayangnya menurut Samani, bagian Pengadaan Oprasional Galeri Batik Dekranasda Kota Cilegon (25/11), Batik Lereng Lesung belum bisa diproduksi di Cilegon, melainkan di laur kota. Karena belum ada tenaga akhli dan tempat untuk memproduksi.

Galeri Batik Dekranasda Kota Cilegon yang di buka sejak empat bulan yang lalu cukup banyak yang berkunjung, terutama para PNS dan pegawai suasta. Dimana setiap hari jumat diwajibkan untuk para PNS dan beberapa pegawai perusahaan suasta untuk mengenakan batik. Harga batik cukup terjangkau dengan harga bahan Rp. 20 ribu permeter atau harga batik kemeja siap jadi mulai dari kisaran harga Rp. 50 ribu hingga Rp. 150 ribu, tergantung warna dan jenis kain.

Menuru Alfi bagian pemasaran, peminat batik Lereng Lesung kebanyakan orang dewasa. ”Biasanya yang laku kemeja untuk orang kantoran atau PNS, dan sepasang pakaian mama-papa untuk pasangan suami istri,” jelasnya. Alfi menambahkan, untuk para remaja belum ada respon yang baik, karena stok yang ada belum ada pakain batik modifikasi dengan segmen pakaian remaja.

Dinas Kebudaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Cilegon sudah menggencarkan promosi batik Lereng Lesung dengan melalui berbagai event dan pameran-pameran baik di dalam daerah maupun luar daerah.

Sekertaris Dinas Disbudpar Kota Cilegon, Heni Anita Susila saat ditemi di kantor dinasnya yang baru pindah di lantai 2 Plaza Cilegon Mandiri oleh wartawan www.rumahdunia.com mengungkapkan harapannya terhadap Batik Lereng Lesung, ”semoga batik Lereng Lesung menjadi identitas Kota Cilegon. Biarpun saat ini masih dikalangan PNS dan pegawai suasta lainnya, tapi juga bisa menyentu masyarakat umum.”

diakses dari http://rumahdunia.com/isi/category/c1-wisata-banten/, 29 Juli 2010