Rekonstruksi Peradaban Islam: Meretas Jalan Kejayaan Islam
Hasani
Ahmad Said
Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstract:
Seperempat abad umat Islam telah melewati abad 15 yang pada
aawalnya dipandang sebagai kebangkitan Islam kembali. Berharap kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi yang signifikan, umat Islam di
mana-mana justru sedikit demi sedikit makin terpinggirkan bahkan sangat
menghawatirkan. Bahkan, yang paling ironis umat Islam kini hampir tidak ada
prestasi yang membanggakan yang mengukir peradaban yang indah, justru yang
terjadi adalah terbuai dengan romantisme sejarah yang indah, padahal pada awal
abad baru, umat Islam diharapkan dapat memberikan andil yang besar dalam
menghadapi era globalisasi. Bukan hanya itu saja, situasi internal umat Islam
juga memprihatinkan, dimulai dari krisi epistemologis, yakni memudarnya
kesadaran umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis untuk memahami
ajaran-ajaran normative secara kontekstual. Mengubah paradigma lama dalam umat
Islam tentu merupakan tugas internal cendekiawan Islam. Dengan begitu, ajakan
dialog antar peradaban lebih mudah diwujudkan, dan tidak bergerak di lingkaran
kecil yang elitis. Tulisan ini mencoba menjawab tantangan umat Islam ke depan
dengan mengemukakan gagasan-gagasan yang menyegarkan dan mengajak untuk kembali
merekonstruksi peradaban Islam menuju upaya pengembalian masa kejayaan Islam.
Keywords: Peradaban Islam, kejayaan, rekonstruksi.
A.
Pendahuluan
Dialog
peradaban yang akhir-akhir ini sering ditawarkan oleh berbagai pihak diyakini
sebagai solusi efektif untuk menetralisasi ketertinggalan umat Islam. Menjelang
akhir abad ke-20 ini, peradaban manusia semakin jelas ditandai
dengan apa yang disebut para ahli dan futurology sebagai “era globalisasi
informasi”.[1]
Sejak kurang lebih satu abad lamanya umat Islam telah melalui masa
modernnya, suatu masa di mana seruan-seruan kebangkitan Islam disuarakan,
terutama oleh pemikir-pemikir di belahan dunia Islam. Namun, kebangkitan Islam
yang dicita-citakan tersebut sampai hari ini masih belum nampak di permukaan,
meskipun telah ada beberapa kemajuan dalam beberapa dekade terakhir ini.
Pertanyaan yang paling mendasar di sini mengapa hingga kini kondisi umat Islam
masih dalam masa kemunduran?
Jika diamati
perkembangan pemikiran Islam yang terjadi sejak abad ke 19 yang lalu, maka kita
akan dapati bahwa dalam menjawab pertanyaan di atas, umat Islam, meskipun pada
prinsipnya sama-sama menekankan pentingnya kembali kepada al-Qur’an dan Hadis,
akan tetapi pada praktiknya mereka dalam posisi yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lainnya, bahkan bertolak belakang. Permasalahannya, menurut penulis
adalah tentang apa yang diamksud dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadis?
Karena jawaban atas pertanyaan inilah yang kemudian dimanifestasikan oleh umat Islam
dalam upayanya untuk bangkit dari keterpurukan dengan tindakan-tindakan nyata
yang variatif bahkan kontradiktif.
Tulisan ini bukan
hendak menelusuri varian interpretasi umat Islam terhadap konsep kembali kepada
al-Qur’an dan Hadis di atas, hanya akan memusatkan perhatiannya pada satu
interpretasi saja, yaitu bahwa kembali kepada al-Qur’an dan Hadis berarti
menerapkan nilai-nilai Islam yang berasal dari keduanya secara seimbang dan
tidak berat sebelah sehingga meninggikan yang satu dan merendahkan yang
lainnya. Karena penerapan konsep kembali kepada al-Qur’an dan Hadis seperti
inilah peradaban Islam pernah berjaya selama berabad-abad lamanya dan menjadi
referensi bagi peradaban Barat modern kini.
Di sini, penulis
melihat bahwa cara pandang umat Islam kebanyakan sejak masa kemundurannya
hingga kini yang masih didominasi pemikiran berat sebelah dan tidak seimbang
dalam penerapan nilai-nilai Islam, di mana lebih mengedepankan pandangan
eskatologis dan menafikan pandangan keduniawian. Pada sisi ini, perlu ada
perubahan paradigma menjadi pandangan keseimbangan antara keduanya.
Bertitik tolak
dari konsep ini, perhatian kita terhadap Islam sebagai peradaban,[2]
kini harus lebih diperioritaskan daripada Islam sebagai agama. Sebagai agama,
Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai seperangkat ajaran atau doktrin yang
diwahyukan oleh Allah kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai
petunjuk. Sebagai doktrin, Islam menggariskan tata hubungan manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.[3]
Nah, pada era globalisasi dan modernisasi saat ini, sangatlah penting bagi umat
Islam untuk melakukan rekonstruksi peradabannya jika ingin bangkit dari
kemundurannya dan tentu meraih kembali kejayaan yang pernah diraih dahulu. Dan
inilah yang menjadi fokus tulisan ini dengan tujuan menjawab pertanyaan
bagaimana melakukan rekonstruksi peradaban Islam di era globalisasi.
B.
Kesatuan Dunia; Menggapai Peradaban Manusia
Tekanan
kepada segi kemanusiaan dari agama ini menjadi semakin relevan, bahkan
mendesak, dalam menghadapi apa yang disebut dengan era globalisasi, yaitu zaman
yang menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia
berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Umat Islam boleh merasa
mujur, karena mereka mewarisi peradaban yang pernah benar-benar berfungsi
sebagai peradaban global. Kosmopolitanisme Islam telah terjadi kenyataan
sejarah, yang meratakan jalan bagi terbentuknya warisan kemanusiaan yang tidak
dibatasi oleh pandangan-pandangan sempit dan parokialistik.[4]
Alfin
Toffler sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, menyatakan bahwa manusia sekarang
sudah memasuki gelombang ketiga peradaban manusia, yakni era informasi. Menurut
Toffler, di masa silam, peradaban manusia dilanda dua gelombang peradaban: agricultural
(pertanian) dan industri. Dalam era gelombang ketiga ini, sumber kekuasaan dan
dominasi adalah penguasaan terhadap informasi, bukan lagi tanah dan sumber daya
alam, sebagaimana terjadi dalam masa agricultural, atau alat-alat produk-produk
dalam masa industri. Dalam gelombang ketiga ini pula, lebih dari 60% pekerjaan
bergerak pada jasa informasi.[5]
Banyak
cara yang dapat dilakukan dalam memberikan gambaran tentang globalisasi. Di
antaranya adalah apa yang dikatakan Nurcholis Madjid bahwa dalam masyarat
manusia yang global akan terjadi pola-pola hubungan sosial yang berbeda dari
sebelumnya, di mana kemudahan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan
jaringan komunikasi yang menjangkau setiap pelosok hunian manusia akan
menciptakan komunitas global yang anggota-anggotanya saling kenal.[6]
Pola-pola
hubungan sosial baru ini dimungkinkan karena kemajuan sains dan teknologi yang
dilahirkan oleh peradaban Barat modern.[7] Di
sini, dunia yang awalnya begitu luas, dengan masuknya era globalisasi, seolah
tidak terasa luas lagi, bahkan terasa sempit. Apalagi pasca munculnya teknologi
berupa internet dan teknologi informatika yang lainnya seperti hand phone
yang pertumbuhannya kian maju dan pesat saja. Dunia yang sebelumnya
diklasifikasikan antara Barat dan Timur, atau bahkan Utara, Selatan, desa,
kota, dan lain-lain. Pada era globalisasi dan modernisasi ini, belakangan
pembagian itu tidak terlalu penting lagi. Saat ini, dunia menjadi satu kesatuan
di mana masyarakat yang ada di dalamnya, terlepas dari latar belakang etnis,
bahasa dan agama kian menjadi satu, yaitu kesatuan manusia.
Karena
satunya dunia ini, maka sebenarnya tidak ada yang disebut peradaban Barat dan
Timur, atau bahkan tidak relevan lagi mempertentangkan peradaban Islam dan Barat,
meskipun dalam hal-hal tertentu dengan kepentingan tertentu pula masih ada pula
yang mengkotak-kotakkannya. Sekali lagi, yang ada hanyalah peradaban dunia atau
lebih luas lagi dikenal dengan peradaban manusia. Sehingga, kalau sudah
demikian, adanya konflik peradaban antara Timur dan Barat yang terjadi hingga
kini, atau bahkan konflik berkepanjangan antara Islam dan Kristen dapat direda,
atau bahkan bisa dihentikan sama sekali. Semangat inilah yang pernah digagas
oleh Samuel Huntington dalam tesisnya pada tahun 1993 dengan mengungkapkan
bahwa pada hakikatnya lahir dari kesalahpahaman tentang hakikat peradaban itu.
Berkenaan
dengan hal di atas, Imaduddin Abdurrahman menyebutkan paling tidak ada dua
sebab mengapa kesalahpahaman ini terjadi. Pertama, karena
ketidakpedulian dan ketidakmauan Barat. Ketidakpedualian yang dimaksud di sini
dikarenakan mereka tidak menyadari konseuensi-konsekuensi negative yang akan
dihadapi generasi-generasi mendatang, yaitu bahwa ketidakpedualian ini akan
mengarah menuju pertentangan yang pada gilirannya memicu adanya terjadinya
konflik.[8] Kedua,
karena adanya pengaruh peristiwa-peristiwa sejarah yang telah membuat dinding
pemisah antara Islam dan Kristen, yang menurut Imaduddin, seharusnya keduanya
bergandeng-tangan dan bahu membahu dalam
menghadapi tantangan yang muncul di dalam kehidupan bersama.[9]
Oleh
Karen itu, yang perlu dilakukan dan terus diupayakan dalam membangun peradaban
dunia yang satu ini adalah dialog antar agama dan dialog antar peradaban agar
ketidakpedulian dan trauma sejarah di atas tidak terus terjadi di dalam pikiran
dan pandangan orang-orang Barat. Lalu, jika memang dunia itu satu dan peradaban
itu satu, pertanyaan berikutnya adalah mengapa umat Islam memandang perlu
kebangkitan Islam dan pentingnya rekonstruksi peradaban Islam, yang menjadi core
lokus dan focus kajian ini.
C.
Pentingnya Rekonstruksi Peradaban Islam
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, terjadinya konflik antara peradaban yang satu dengan
peradaban yang lainnya, seperti antara Barat dan Islam, adalah karena adanya
kesalahpahaman tentang hakikat peradaban yang ditandai dengan
ketidakpedulian dan trauma sejarah. Kondisi ini, jika dibiarkan terus menerus,
maka akan melanggengkan konflik yang selama ini berlangsung. Apalagi jika umat Islam
juga menyetujui tesis Huntington tentang konflik peradaban itu. Hal ini
misalnya dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras atau lebih dikenal
dengan Islam fundamentalis.
Penulis menilai ada benarnya apa yang dikatakan kelompok Islam
garis keras seperti Front Pembela Islam, HTI, dan yang lainnya tentang adanya
agenda-agenda politik terselubung dalam ide-ide Barat seperti demokrasi, HAM,
dan dialog antar peradaban, di mana ide-ide tersebut dalam implementasinya di
lapangan praktis perlu mendapatkan perhatian yang serius. Di sini adalah
mayoritas umat Islam adalah bodoh, miskin dan terbelakang sehingga dengan mudah
dapat dipermainkan dan dominasi oleh Barat yang pintar, kaya dan maju.[10]
Kondisi umat saat ini tentu sangat berbeda dengan kondisi zaman pemerintahan
bani Abbasiyah yang merupakan umat yang disegani, diakui, sekaligus dikagumi
dunia karena kemajuan peradabannya. A. Zahoor dalam The Quotation of Islamic
Civilization, menyebutkan di antara para tokoh Barat yang mengakui
peradaban Islam dan pengaruhnya dalam peradaban Barat Modern, di antaranya
Napoleon Bonaparte, George Bernand Shaw, Bertrand Russel, H.G. Wells, William
Drapper, Edward Montet, Thomas Charyle, Simon Ockley, Philip K. Hitti, Carra de
Vaux, Marcel Clerget, Thomas Arnold, dan lain-lain.
Diantara gerakan yang dilakukan Rasulullah SAW adalah dengan menggiatkan budaya membaca, yang merupakan pencanangan dan pemberantasan buta huruf, suatu tindakan awal yang membebaskan
manusia dari ketidaktahuan. Membaca merupakan pintu
bagi pengembangan ilmu. Rasulullah
SAW juga memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal ayat-ayat al-Qur’an. Dengan cara ini dapat menjaga
kemurnian dan juga media memahami ayat-ayat al-Qur’an. Disamping dengan
hafalan, juga membuat tradisi menulis/ mencatat wahyu
pada kulit, tulang, pelepah
kurma
dan lain-lain.[11]
Di
sinilah menurut hemat penulis, pentingnya rekonstruksi peradaban Islam
dilakukan oleh umat Islam, karena bagaimanapun, yang namanya dialog tidak akan
terjadi secara sehat dan efektif jika yang melakukan dialog tersebut berada
dalam posisi yang berbeda, yang satu tinggi dan yang satu rendah, atau yang
satu lemah dan yang satu kuat. Jadi, pentingnya rekonstruksi peradaban Islam
adalah untuk meninggikan derajat umat Islam di mata dunia dan memperkuatnya
sehingga dapat berdiri sejajar dengan Barat yang telah lebih dahulu tinggi dan
kuat, terutama setelah jatuhnya Uni Soviet pada dekade abad ke 20-an.
Adapun caranya
adalah bukan hanya untuk menerapkan simbol-simbol keislaman, sebagaimana yang
kerap dilakukan oleh kelompok Islam tradisional, aksi-aksi politis dilapangan
politik praktis, sebagaimana dilakukan oleh kelompok Islam fundamental, maupun
aksi-aksi filosofis, seperti yang dialkukan oleh kelompok liberal. Tapi juga
dengan aksi-aksi intelektual praktis yang melahirkan praktisi-praktisi dan para
ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Inilah yang penulis maksud dengan
memandang Islam bukan hanya agama, akan tetapi juga peradaban.
Berkenaan dengan
hal ini, Ziauddin Sardar mengatakan bahwa Islam dan masyarakat muslim menyerupai
suatu bangunan yang sangat indah tetapi kuno, yang pada tahun-tahun sulitnya
sekarang ini, membutuhkan banyak biaya untuk pemugarannya. Fondasinya begitu
kuat, tetapi penembokannya butuh pertahan mendesak. Kita perlu merekonstruksi
peradaban muslim, sebab jika tidak, batu-batu akan tumbang dan runtuh satu
persatu.[12]
Selain hal di atas, menurut hemat penulis, perlu pula memperhatikan
unsur-unsur dibawah ini, dan tanpa memperhatikannya dengan serius maka akan
menjadi sia-sia. Unsur tersebut adalah: Pertama: Sebagi orang muslim
harus bangga menjadi orang Islam, dengan Islamlah seseorang akan mendapat
kemuliaan yang hakiki. Manalah mungkin sebuah peradaban Islam akan tegak
kembali sekiranya pribadi-pribadi yang di amanahkan untuk mengembanya tidak
merasa memiliki. Yang lebih penting dari pada itu adalah mencoba untuk memahami
agama ini dengan sebenar-benarnya serta mengamalkan ajaran itu serta
mendakwakannya kepada umat manusia.
Kedua:
Membangun peradaban tidak cukup hanya dengan ilmu pengetahuan saja, akan tetapi
harus dibarangi dengan akidah yang betul, akhlak yang santun dan ibadah yang
baik. Karena tidak ada peradaban tanpa agama, karena peradaban yang rusak akan
menjadikan rusaknya masyarakat. Unsur-unsur keadilan, kerjasama, tasamuh
(toleransi), tidak otoriter, hormat menghormati merupakan akhlak dalam
kehidupan bermasyarkat yang harus didahulukan, tentunya selagi permasalahan
yang dihadapi bukan dalam masalah prinsip maka unsur akhlaq dalam bermuamalah
harus didahulukan. Ketiga: Peradaban Islam akan tegak kembali sekiranya
para ummatnya mengikuti ajaran Islam dengan berpegang teguh kepada tali agama
Allah yang telah diwahyukan kepada kita.[13]
D.
Rekonstruksi Peradaban Islam di Era Globalisasi: Upaya Menuju
Keemasan Islam
Jika kitaflashback, pada waktu sebelum Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan kaumjahiliyah. Hal ini disebabkan karena bangsa Arab sedikit sekali mengenal ilmu pengetahuan dan kepandaian
yang lain. Keistimewaan mereka hanyalah ketinggian dalam
bidang syair-syair jahili yang disebarkan secara hafalan.[14] Dengan kenyataan itu, maka diutuslah nabi
Muhammad SAW dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik
akhlak untuk berhubungan dengan Tuhan maupun dengan
sesama manusia. Demikian pula dalam masalah ilmu pengetahuan, perhatian Rasul sangat besar. Rasulullah SAW memberi contohr evolus ioner bagaimana seharusnya
mengembangkan ilmu.
Di
masa-masa Islam, umat Islam berhasil mendobrak pemikiran kufur bangsa Arab
dengan menggunakan pemikiran Islam. Perang pemikiran yang seringkali diikuti
dengan serangan fisik terhadap kaum Muslimin selalu terjadi diantara mereka.
Namun dengan kekuatan pemikiran dan ke-istiqamah-an dakwah mereka, kaum
Muslimin akhirnya berhasil meraih pertolongan Allah yang berwujud kepercayaan
masyarakat Madinah kepada Rasulullah saw. untuk menyerahkan kekuasaan mereka
atas kota Madinah kepada Rasulullah saw. agar dapat diterapkan syari’ah Islam
di dalamnya. Diterapkannya syari’ah secara kâffah di kota Madinah yang
tentu saja secara otomatis mengubah bentuk kota Madinah menjadi Daulah
Khilafah merupakan suatu pertanda bahwa
periode dakwah kaum Muslimin pada saat itu telah beralih dari periode dakwah
Makkah menjadi periode dakwah Madinah yang nota bene kedua periode ini memiliki
perbedaan ciri dan sifat.
Terdapat
pujian paradox terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan
Islam dewasa ini justeru disebabkan oleh keberhasilannya yang gemilang di masa
lalu. Seakan, tidak ada ruang lagi bagi umat Islam dewasa ini untuk melakukan
inovasi.[15]
Sejak saat itu, berbagai prestasi gemilang telah berhasi diukir oleh Kaum
Muslimin. Kaum Muslimin berhasil melakukan berbagai futuhât
(pembebasan wilayah dari cengkraman penguasa kufur), mulai dari Fath
al-Makkah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. hingga pembebasan kota
Konstantinopel di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad al-Fâtih
yang telah dijanjikan Allah SWT. Kaum Musliminlah yang pertama kali menciptakan
manjaniq
sehingga benteng Tha’if dapat diratakan dengan tanah di masa
Rasulullah saw. Mereka juga yang pertama kali memproduksi meriam raksasa
sehingga Sultan Muhammad al-Fâtih bersama pasukannya berhasil
merobohkan dinding kota Konstantinopel dan membebaskannya. Kaum Musliminlah
yang pertama kali memproduksi jam mekanik yang membuat kaisar Charlemagne
mengira bahwa jam tersebut dibuat oleh jin karena setiap beberapa waktu sekali
jam tersebut berdentang. Kaum Muslimin pula yang pertama kali memilih penguasa
mereka dengan membai’atnya, sedangkan di saat yang sama para penguasa Eropa
bertindak bagaikan Tuhan kepada rakyatnya.[16]
Namun
keagungan peradaban Islam di masa lalu nampaknya kini tidak lebih dari sekedar
dongeng pengantar tidur. Kaum Muslimin terperangkap dalam lingkup pemikiran
ikatan yang sempit nasionalisme, sukuisme, dan fanatisme aliran.[17]
Ketaatan kaum Muslimin terhadap Tuhannya kini tidak lagi terjamin mengingat
negeri kaum Muslimin kini tidak lagi menjalankan sistem yang dapat menjaga
ketakwaan rakyatnya. Kaum Muslimin kini hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan
baik karena ulah penguasa kaum Muslimin sendiri. kalau sudah demikian, maka
yang dibutuhkan adalah perlunya rekonstruksi peradaban.
Rekonstruksi
peradaban dimaksudkan agar dapat meninjau ulang pandangan yang mendasari
peradaban. Rekonstruksi peradaban berarti membangun kembali peradaban Islam
dalam pengertian, bahwa Islam bukan hanya dipandang sebagai agama saja, ataupun
sistim etika dan politik saja, akan tetapi Islam sebagai peradaban. Pengertian Islam
sebagai peradaban bukan dengan melihat Islam sebagai peradaban holistic
sebagaimana yang dilakukan sebagai umat Islam sebagai romantisme, tetapi
sebagai peradaban kontemporer, bahkan peradaban masa depan. Jadi, pentingnya
sejarah sebagaimana yang dilakukan Sardar: “Sementara sejarah harus berpihak
kepada kita, kita tidak boleh hidup di dalamnya”.[18]
Di era globalisasi
sekarang ini, melakukan rekonstruksi peradaban Islam akan sulit dilakukan.
Namun bukan berarti tidak mungkin akan dilakukan, bahkan sangat mungkin ini
dilakukan. Hal ini karena nilai-nilai Islam yang universal yang lahir dari
peradaban Barat. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar umat Islam yang
mayoritas menyadari akan pentingnya rekonstruksi peradabannya, sehingga proyek
rekonstruksi ini dilakukan hanya oleh individu-individu tertentu. Ia harus
dilakukan secara bersinergi, simultan dan berkesinambungan oleh seluruh lapisan
masyarakat Islam, bahkan oleh pihak penguasa, sebagaimana yang terjadi pada
jaman kejayaan Islam di Baghdad masa dahulu di mana pengembangan ilmu
pengetahuan dilakukan bukan secara sporadic dan individual, tapi juga didukung
oleh kalangan penguasa seperti para khalifah.[19]
Dalam hal ini
diperlukan upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keseluruhan akan
pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari kian
berkembang dan maju. Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang
komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan pandangan
keduniawian, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahwa akhirat itu lebih
kekal, oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus
menafikan dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam
perlu disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak
hanya fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan
sehari-hari. Nah, oleh Sardar, hal ini diungkapkan dengan istilah perluasan
syariah ke dalam domain-domain kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan
perkotaan, kebijakan sains dan penaksiran teknologi, partisipasi masyarakat,
dan pembangunan pedesaan.[20]
Di
sini peran para da’i dan aktifitas pendidikan sangat strategis di mana
merekalah ujung tombak bagi sosialisasi ide-ide rekonstruksi peradaban ini di
tengah-tengah masyarakat luas. Sebagaimana dijelaskan Sardar, dalam melakukan
upaya rekonstruksi peradaban Islam, ada enam hal penting yang perlu
diperhatikan sebagai bahan pertimbangan, yaitu:
1.
Pembangunan
peradaban melalui pertumbuhan ekonomi masyarakat;
2.
Pembangunan
yang cukup partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi;
3.
Pembangunan
ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan
Negara-negara maju;
4.
Proses
industrialisasi tidak hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial tertentu
dari negara-negara maju, ia juga harus disertai dengan penguasaan teknologi;
5.
Tidak
semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrastruktur sains
dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM) ilmu pengetahuan, keahlian,
dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan menghadapi teknologi
impor;
6.
Memiliki
kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan literatur sains negara-negara
maju.
Secara
lebih kongkrit, proyek rekonstruksi peradaban Islam ini dilakukan dengan
memfokuskan perhatian pada bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai dan konsep Islam
untuk pengembangan ilmu pengetahuana dan teknologi. Dalam hal ini, dana zakat,
infak, dan shadaqah misalnya, yang sebelumnya hanya dialokasikan hanya untuk
pemberdayaan ekonomi, sejatinyanya juga diberikan porsi yang besar pula untuk
upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masjid, yang selama ini hanya
diperuntukkan untuk shalat dan pengajian-pengajian, diupayakan untuk
dikembangkan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi di sini adalah pengembangan teknologi dengan
menguasai teknologi informasi dan media masa seperti radio dan televisi serta
perangkat yang mendukungnya. Di Indonesia, media-media radio dan televise
sekarang ini didominasi oleh budaya konsumtif di mana penontonnya didorong,
atau bahkan dijerumuskan ke dalam budaya konsumtif yang mematikan produktifitas
dan kreatifitas, sesuatu yang inheren dalam suatu pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Berkenaan
dengan informasi dan penguasaan teknologinya, umat Islam perlu mengembangkan Sistim
Informasi Nasional (SIN), suatu keseluruhan yang kompleks dengan sejumlah
subsistim dan segenap unsur yang membangunnya mesti berfungsi dalam
kesalingterkaitan yang tepat satu sama lain. Adapun komponen sitem informasi
nasional itu adalah:
1.
Perpustakaan
nasional, suatu penyimpan semua publikasi nasional dan bertugas menghimpun
semua dokumen yang mungkin diperlukan untuk riset dan kegiatan-kegiatan
intelektual lainnya;
2.
Pusat-pusat
informasi nasional, untuk bidang-bidang informasi ilmiah, informasi teknologis
dan industrial, medis, pertanian, bisnis dan lain-lain;
3.
Pusat
alih informasi, untuk pertukaran informasi nasional, seperti telepon-telepon
yang menghubungkan para ilmuan dan sarjana terkait dengan kegiatan-kegiatan
intelektual seperti seminar-seminar, penelitian, dan lain-lain;
4.
Lembaga
standar nasional, untuk upaya-upaya standarisasi kuantitas, kualitas, pola,
metode dan satuan-satuan pengukuran dalam sains, teknologi, industri dan
kedokteran.[21]
Dalam
hal ini diperlukan para “penjaga gawang” informasi yang selain bertugas membuka
informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Islam, tetapi juga mengkritisi sumber-sumber
informasi yang datang dari luar Islam. Sardar, mengilustrasikan para penjaga
gawang ini dengan Janus, dewa penjaga pintu Romawi.[22]
Terkait dengan
masalah pengembangan informasi ini, perlu diupayakan pula secara intensif
kerjasama di antara negeri-negeri muslim dengan membangun Jaringan Informasi
Muslim Internasional (JIMI). Hal ini yang menjadi penting, sebagaimana
diuraikan Sardar, karena tiga hal berikut:
1.
Kesatuan
iman, akidah, warisan budaya, perkembangan peradaban, dan kesamaan struktur politik
ekonomi;
2.
Kesatuan
blok negeri-negeri muslim sebagai negara-negara berkembang yang memiliki
kepentingan-kepentingan, problem-problem dan tantangan-tantangan yang sama
dalam program pembangunan mereka;
3.
Ada
wilayah-wilayah tertentu yang merupakan prerogatif khas dunia muslim.[23]
Penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi ini, dikarenakan telah terjadi spesialisasi ilmu
pengetahuan yang semakin tajam, maka diperlukan adanya saling kerjasama dan
bahu membahu antara para pakar Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di
sini pengetahuan spesifik tertentu saja yang dibutuhkan, tetapi juga keahlian
melihat segala permasalahan dan problem kehidupan manusia secara total dan
integral yang dapat memecahkan segala problem umat Islam secara komprehensif
dan menyeluruh.
Dalam hal ini,
masalah pendidikan menjadi hal yang sangat penting peranannya sebagai wadah
aktualisasi dan sosialisasi ide-ide tentang rekonstruksi peradaban Islam. Di
Indonesia, sebenarnya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk
pendidikan adalah sangat positif. Tetapi langkah ini tentu saja belum mencapai
angka tersebut. Di samping itu, perlu adanya peningkatan apresiasi di kalangan
birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan
kemudahan-kemudahan, bukan malah mempersulit pemberian mahasiswa untuk menempuh
pendidikan, khususnya untuk ilmu pengetahuan umum dan teknologi harus terus
dikembangkan dan digalakkan.
Lembaga-lembaga Islam
tradisional seperti pesantren, perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah,
baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembaga semacam inilah yang
berperan besar membantu program pemerinta di dalam melestarikan nilai-nilai dan
spirit Islam di satu sisi, serta pemberantasan buta aksara al-Qur’an di sisi
lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan atau bahkan kampung pedalaman yang nota
bene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia, yang butuh sentuhan
pendidikan dan teknologi.
Selain itu,
lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren, terutama pesantren salaf
perlu mereformasi dirinya dan modernisasi sistim dan metode pendidikannya agar
tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melaju begitu pesat.
Di Indonesia, orde reformasi ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara
lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui
pendekatan yang bersifat saling menghargai, saling memahami dan saling tolong
menolong dengan tujuan pasti, yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan
pendidikan demi terciptanya para ilmuan yang bermoral.
Namun, dalam
penguasaan teknologi, yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar teknologi
yang dikembangkan bukan perpanjangan tangan peradaban Barat, karena jika itu
yang terjadi, maka umat Islam akan seterusnya menjadi ketergantungan dan tidak
terlepas dari dominasinya. Oleh Karena itu, selain penguasaan teknologi, juga
harus memiliki teknologi-teknologi alternativ yang dilahirkan umat Islam
sendiri dan mengembangkan untuk keperluan lokal dan domestik.
E.
Penutup
Rekonstruksi
peradaban Islam adalah suatu proyek besar yang di era globalisasi dan
modernisasi ini sangat mendesak untuk dilakukan karena peradaban Barat yang
kini mendominasi dunia telah menyimpang jauh dari nilai-nilai etika, moral dan
kemanusiaan di balik jargon-jargon demokrasi, HAM yang mereka gembor-gemborkan.
Namun, upaya merekonstruksi ini tidak mungkin dapat dilakukan tanpa dukungan
penuh dari segala unsur umat Islam di seluruh dunia dengan membentuk
jaringan-jaringan yang saling bekerjasama.
Meskipun nampak sulit
untuk dilakukan, namun upaya ke arah itu harus terus dilakukan dengan pandangan
bahwa proyek ini tidak mungkin dapat direalisasikan dalam jangka waktu yang
singkat. Ia membutuhkan ketelitian, kesabaran dan keuletan dari segala pihak,
baik dalam menguatkan nilai-nilai fundamental Islam dan kehidupan di
masyarakat, maupun dalam penguasaan teknologi informasi yang semakin hari
semakin maju dan kompleks.
Satu hal yang juga
penting, dalam melakukan rekonstruksi ini adalah bagaimana memperkuat tali
persaudaraan di antara umat Islam sendiri, sehingga tidak akan terjadi lagi
konflik-konflik yang tidak hanya perlu hanya karena masalah-masalah sepele
seperi masalah adzan dalam shalat Jum’at, do’a qunut pada waktu shalat shubuh,
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., dan ritual ‘furû‘iyyah lainnya. Wallâhu
a‘lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Muhammad Imaduddin, “Mengapa perlu Dialog?” dalam Agama
dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996
Alfiyan, Muhammad, Problematika Umat dan Solusinya, diakses
dari http://rekonstruksiperadaban.wordpress.com
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman
Islam, Jakarta: Paramadina, 1999
Basya, M. Hilaly, ”Rekonstruksi Peradaban
Untuk Melawan Terorisme”, didapatkan dari http://terorisme.tripod.com/artikelbahasamelayu/id9.html
Hidayat, Komaruddin, Wahyu Langit Wahyu Bumi: Doktrin Peradaban
Islam di Panggung Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2003
Faisal Ismail, Ketegangan Kreatif Peradaban Islam Idealis Versus
Realisme (Jakarta: Bakti Aksara Persada, 2003
Lewis, Bernard, The
Arab In History,
Harper London, Colophons Books, 1996
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta:
Paramadina, 1992
_______, “Kosmopolitanisme Islam dan terbentuknya Masyarakat Paguyuban”
dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: UI Press, 1985
Saman, Abdul Kholik, Rekonstruksi Peradaban Islam, diakses
dari http://akhmosa.blogspot.com/2008/07/rekonstruksi-peradaban-islam.html
Sunanto, Musyrifah, Sejarah
Islam Klasik, Jakarta;
Prenada Media, 2004
Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual: Merumuskan
Parameter-parameter Sains Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1998
_______, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi,
Bandung: Mizan, 1998
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004
[1] Azyumardi
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 203.
[2] Peradaban adalah hasil-hasil atau usaha-usaha besar yang telah
dilakukan oleh bangsa tertentu (dalam semua sisi kehidupan) untuk kepentingan
orang banyak. Seperti perkembangan dan kemajuan dalam bidang pendidikan,
teknologi, politik, ekonomi, undang-undang, filsafat dan lain lain.
[3] Faisal Ismail,
Ketegangan Kreatif Peradaban Islam Idealis Versus Realisme (Jakarta:
Bakti Aksara Persada, 2003),, h. 61.
[4] Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), h.
xviii-xix.
[5] Ibid, h.
203-204.
[6] Nurcholis
Madjid, “Kosmopolitanisme Islam dan Terbentuknya Masyarakat Paguyuban” dalam Agama
dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 37.
[7] Peradaban Barat seakan menyiratkan bahwa kemajuan harus dilandasi dengan
penolakan campur tangan Tuhan. Namun dampak negatif dari pandangan tersebut
jelas terasa, tersingkirnya kearifan perennial. Kebijakan pemerintah Barat
seakan menafikan moralitas, semuanya bermuara pada kepentingan politik
kelompok.
[8] Muhammad
Imaduddin Abdurrahman, “Mengapa Perlu Dialog?” dalam dalam Agama dan Dialog,
h. 180.
[9] Ibid, h.
180.
[10] Sebagian besar
umat Islam masih berlandas pada teologi eksklusif, yang meyakini bahwa
kebenaran hanya milik Islam dan di luar Islam adalah sesat. Ini tentu juga memunculkan arogansi teologis, sehingga relasi muslim dan
non-muslim jadi terganggu. Bahkan eksklusifisme semacam ini akan mendorong
untuk melakukan kekerasan. Logikanya akan membenarkan untuk menggunakan
kekerasan demi tegaknya kebenaran.
Mereka merujuk pada ajaran Islam hasil konstruksi nalar klasik, yang memandang non-Muslim sebagai warga negara sekunder, yang dibebani kewajiban untuk membayar upeti kepada pemerintahan Islam. Bahkan memandang non-Muslim sebagai kafir, suatu label yang memiliki beban pejoratif. Sungguh sebuah diskriminasi yang dilatari perbedaan teologi, seakan ada arogansi teologis. Lihat, M. Hilaly Basya, ”Rekonstruksi Peradaban Untuk Melawan Terorisme”, (diakses tanggal 20 November 2011), didapatkan dari http://terorisme.tripod.com/artikelbahasamelayu/id9.html.
Mereka merujuk pada ajaran Islam hasil konstruksi nalar klasik, yang memandang non-Muslim sebagai warga negara sekunder, yang dibebani kewajiban untuk membayar upeti kepada pemerintahan Islam. Bahkan memandang non-Muslim sebagai kafir, suatu label yang memiliki beban pejoratif. Sungguh sebuah diskriminasi yang dilatari perbedaan teologi, seakan ada arogansi teologis. Lihat, M. Hilaly Basya, ”Rekonstruksi Peradaban Untuk Melawan Terorisme”, (diakses tanggal 20 November 2011), didapatkan dari http://terorisme.tripod.com/artikelbahasamelayu/id9.html.
[12] Ziauddin Sardar,
Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam (Surabaya:
Risalah Gusti, 1998), h. 5.
[13] Lihat lebih
lanjut, Abdul Kholik Saman, Rekonstruksi Peradaban Islam (diakses
tanggal 20 November 2011), didapatkan dari
http://akhmosa.blogspot.com/2008/07/rekonstruksi-peradaban-islam.html.
[14] Bernard Lewis, The Arab In History (Harper London, Colophons Books, 1996), h. 25.
[15] Komaruddin
Hidayat, Wahyu Langit Wahyu Bumi: Doktrin Peradaban Islam di Panggung
Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 31.
[16] Lihat, Muhammad
Alfiyan, Problematika Umat dan Solusinya (diakses tanggal 20 November
2011), didapatkan dari http://rekonstruksiperadaban.wordpress.com
[17] Rusaknya
pemikiran kaum Muslimin saat ini merupakan penyebab utama kemerosotan peradaban
Islam di abad ke-21 ini. Pemikiran nasionalisme membuat kaum Muslimin menjadi
fanatik terhadap negaranya masing-masing, Sehingga mereka menganggap
permasalahan umat Islam seperti kasus Palestina, Irak, Afganistan, dan
Turkistan Timur sebagai permasalahan regional yang hanya wajib dihadapi oleh
kaum Muslimin setempat, bukan oleh kaum Muslimin sedunia.
[18] Ibid, h.
7.
[19] Lihat lebih
lanjut, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 52; lihat pula, Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), h. 70-73.
[20] Ziauddin
Sardar, Jihad Intelektual, h. 12.
[21] Ziauddin
Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi (Bandung:
Mizan, 1998), h. 81-82.
[22] Ibid, h.
174.
[23] Ibid, h.
192-193.