Senin, 11 Maret 2013

Rekonstruksi Peradaban Islam: Meretas Jalan Kejayaan Islam



Rekonstruksi Peradaban Islam: Meretas Jalan Kejayaan Islam
Hasani Ahmad Said
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Abstract: Seperempat abad umat Islam telah melewati abad 15 yang pada aawalnya dipandang sebagai kebangkitan Islam kembali. Berharap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi yang signifikan, umat Islam di mana-mana justru sedikit demi sedikit makin terpinggirkan bahkan sangat menghawatirkan. Bahkan, yang paling ironis umat Islam kini hampir tidak ada prestasi yang membanggakan yang mengukir peradaban yang indah, justru yang terjadi adalah terbuai dengan romantisme sejarah yang indah, padahal pada awal abad baru, umat Islam diharapkan dapat memberikan andil yang besar dalam menghadapi era globalisasi. Bukan hanya itu saja, situasi internal umat Islam juga memprihatinkan, dimulai dari krisi epistemologis, yakni memudarnya kesadaran umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis untuk memahami ajaran-ajaran normative secara kontekstual. Mengubah paradigma lama dalam umat Islam tentu merupakan tugas internal cendekiawan Islam. Dengan begitu, ajakan dialog antar peradaban lebih mudah diwujudkan, dan tidak bergerak di lingkaran kecil yang elitis. Tulisan ini mencoba menjawab tantangan umat Islam ke depan dengan mengemukakan gagasan-gagasan yang menyegarkan dan mengajak untuk kembali merekonstruksi peradaban Islam menuju upaya pengembalian masa kejayaan Islam.

Keywords: Peradaban Islam, kejayaan, rekonstruksi.

A.    Pendahuluan
Dialog peradaban yang akhir-akhir ini sering ditawarkan oleh berbagai pihak diyakini sebagai solusi efektif untuk menetralisasi ketertinggalan umat Islam. Menjelang akhir abad ke-20 ini, peradaban manusia semakin jelas ditandai dengan apa yang disebut para ahli dan futurology sebagai “era globalisasi informasi”.[1] Sejak kurang lebih satu abad lamanya umat Islam telah melalui masa modernnya, suatu masa di mana seruan-seruan kebangkitan Islam disuarakan, terutama oleh pemikir-pemikir di belahan dunia Islam. Namun, kebangkitan Islam yang dicita-citakan tersebut sampai hari ini masih belum nampak di permukaan, meskipun telah ada beberapa kemajuan dalam beberapa dekade terakhir ini. Pertanyaan yang paling mendasar di sini mengapa hingga kini kondisi umat Islam masih dalam masa kemunduran?
            Jika diamati perkembangan pemikiran Islam yang terjadi sejak abad ke 19 yang lalu, maka kita akan dapati bahwa dalam menjawab pertanyaan di atas, umat Islam, meskipun pada prinsipnya sama-sama menekankan pentingnya kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, akan tetapi pada praktiknya mereka dalam posisi yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, bahkan bertolak belakang. Permasalahannya, menurut penulis adalah tentang apa yang diamksud dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadis? Karena jawaban atas pertanyaan inilah yang kemudian dimanifestasikan oleh umat Islam dalam upayanya untuk bangkit dari keterpurukan dengan tindakan-tindakan nyata yang variatif bahkan kontradiktif.
            Tulisan ini bukan hendak menelusuri varian interpretasi umat Islam terhadap konsep kembali kepada al-Qur’an dan Hadis di atas, hanya akan memusatkan perhatiannya pada satu interpretasi saja, yaitu bahwa kembali kepada al-Qur’an dan Hadis berarti menerapkan nilai-nilai Islam yang berasal dari keduanya secara seimbang dan tidak berat sebelah sehingga meninggikan yang satu dan merendahkan yang lainnya. Karena penerapan konsep kembali kepada al-Qur’an dan Hadis seperti inilah peradaban Islam pernah berjaya selama berabad-abad lamanya dan menjadi referensi bagi peradaban Barat modern kini.
            Di sini, penulis melihat bahwa cara pandang umat Islam kebanyakan sejak masa kemundurannya hingga kini yang masih didominasi pemikiran berat sebelah dan tidak seimbang dalam penerapan nilai-nilai Islam, di mana lebih mengedepankan pandangan eskatologis dan menafikan pandangan keduniawian. Pada sisi ini, perlu ada perubahan paradigma menjadi pandangan keseimbangan antara keduanya.
            Bertitik tolak dari konsep ini, perhatian kita terhadap Islam sebagai peradaban,[2] kini harus lebih diperioritaskan daripada Islam sebagai agama. Sebagai agama, Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai seperangkat ajaran atau doktrin yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai petunjuk. Sebagai doktrin, Islam menggariskan tata hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.[3] Nah, pada era globalisasi dan modernisasi saat ini, sangatlah penting bagi umat Islam untuk melakukan rekonstruksi peradabannya jika ingin bangkit dari kemundurannya dan tentu meraih kembali kejayaan yang pernah diraih dahulu. Dan inilah yang menjadi fokus tulisan ini dengan tujuan menjawab pertanyaan bagaimana melakukan rekonstruksi peradaban Islam di era globalisasi.

B.     Kesatuan Dunia; Menggapai Peradaban Manusia
Tekanan kepada segi kemanusiaan dari agama ini menjadi semakin relevan, bahkan mendesak, dalam menghadapi apa yang disebut dengan era globalisasi, yaitu zaman yang menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Umat Islam boleh merasa mujur, karena mereka mewarisi peradaban yang pernah benar-benar berfungsi sebagai peradaban global. Kosmopolitanisme Islam telah terjadi kenyataan sejarah, yang meratakan jalan bagi terbentuknya warisan kemanusiaan yang tidak dibatasi oleh pandangan-pandangan sempit dan parokialistik.[4]
Alfin Toffler sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, menyatakan bahwa manusia sekarang sudah memasuki gelombang ketiga peradaban manusia, yakni era informasi. Menurut Toffler, di masa silam, peradaban manusia dilanda dua gelombang peradaban: agricultural (pertanian) dan industri. Dalam era gelombang ketiga ini, sumber kekuasaan dan dominasi adalah penguasaan terhadap informasi, bukan lagi tanah dan sumber daya alam, sebagaimana terjadi dalam masa agricultural, atau alat-alat produk-produk dalam masa industri. Dalam gelombang ketiga ini pula, lebih dari 60% pekerjaan bergerak pada jasa informasi.[5]
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam memberikan gambaran tentang globalisasi. Di antaranya adalah apa yang dikatakan Nurcholis Madjid bahwa dalam masyarat manusia yang global akan terjadi pola-pola hubungan sosial yang berbeda dari sebelumnya, di mana kemudahan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan jaringan komunikasi yang menjangkau setiap pelosok hunian manusia akan menciptakan komunitas global yang anggota-anggotanya saling kenal.[6]
Pola-pola hubungan sosial baru ini dimungkinkan karena kemajuan sains dan teknologi yang dilahirkan oleh peradaban Barat modern.[7] Di sini, dunia yang awalnya begitu luas, dengan masuknya era globalisasi, seolah tidak terasa luas lagi, bahkan terasa sempit. Apalagi pasca munculnya teknologi berupa internet dan teknologi informatika yang lainnya seperti hand phone yang pertumbuhannya kian maju dan pesat saja. Dunia yang sebelumnya diklasifikasikan antara Barat dan Timur, atau bahkan Utara, Selatan, desa, kota, dan lain-lain. Pada era globalisasi dan modernisasi ini, belakangan pembagian itu tidak terlalu penting lagi. Saat ini, dunia menjadi satu kesatuan di mana masyarakat yang ada di dalamnya, terlepas dari latar belakang etnis, bahasa dan agama kian menjadi satu, yaitu kesatuan manusia.
Karena satunya dunia ini, maka sebenarnya tidak ada yang disebut peradaban Barat dan Timur, atau bahkan tidak relevan lagi mempertentangkan peradaban Islam dan Barat, meskipun dalam hal-hal tertentu dengan kepentingan tertentu pula masih ada pula yang mengkotak-kotakkannya. Sekali lagi, yang ada hanyalah peradaban dunia atau lebih luas lagi dikenal dengan peradaban manusia. Sehingga, kalau sudah demikian, adanya konflik peradaban antara Timur dan Barat yang terjadi hingga kini, atau bahkan konflik berkepanjangan antara Islam dan Kristen dapat direda, atau bahkan bisa dihentikan sama sekali. Semangat inilah yang pernah digagas oleh Samuel Huntington dalam tesisnya pada tahun 1993 dengan mengungkapkan bahwa pada hakikatnya lahir dari kesalahpahaman tentang hakikat peradaban itu.
Berkenaan dengan hal di atas, Imaduddin Abdurrahman menyebutkan paling tidak ada dua sebab mengapa kesalahpahaman ini terjadi. Pertama, karena ketidakpedulian dan ketidakmauan Barat. Ketidakpedualian yang dimaksud di sini dikarenakan mereka tidak menyadari konseuensi-konsekuensi negative yang akan dihadapi generasi-generasi mendatang, yaitu bahwa ketidakpedualian ini akan mengarah menuju pertentangan yang pada gilirannya memicu adanya terjadinya konflik.[8] Kedua, karena adanya pengaruh peristiwa-peristiwa sejarah yang telah membuat dinding pemisah antara Islam dan Kristen, yang menurut Imaduddin, seharusnya keduanya bergandeng-tangan dan bahu membahu  dalam menghadapi tantangan yang muncul di dalam kehidupan bersama.[9]
Oleh Karen itu, yang perlu dilakukan dan terus diupayakan dalam membangun peradaban dunia yang satu ini adalah dialog antar agama dan dialog antar peradaban agar ketidakpedulian dan trauma sejarah di atas tidak terus terjadi di dalam pikiran dan pandangan orang-orang Barat. Lalu, jika memang dunia itu satu dan peradaban itu satu, pertanyaan berikutnya adalah mengapa umat Islam memandang perlu kebangkitan Islam dan pentingnya rekonstruksi peradaban Islam, yang menjadi core lokus dan focus kajian ini.

C.    Pentingnya Rekonstruksi Peradaban Islam
Sebagaimana telah disebutkan di atas, terjadinya konflik antara peradaban yang satu dengan peradaban yang lainnya, seperti antara Barat dan Islam, adalah karena adanya kesalahpahaman tentang hakikat peradaban yang ditandai dengan ketidakpedulian dan trauma sejarah. Kondisi ini, jika dibiarkan terus menerus, maka akan melanggengkan konflik yang selama ini berlangsung. Apalagi jika umat Islam juga menyetujui tesis Huntington tentang konflik peradaban itu. Hal ini misalnya dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras atau lebih dikenal dengan Islam fundamentalis.
            Penulis menilai ada benarnya apa yang dikatakan kelompok Islam garis keras seperti Front Pembela Islam, HTI, dan yang lainnya tentang adanya agenda-agenda politik terselubung dalam ide-ide Barat seperti demokrasi, HAM, dan dialog antar peradaban, di mana ide-ide tersebut dalam implementasinya di lapangan praktis perlu mendapatkan perhatian yang serius. Di sini adalah mayoritas umat Islam adalah bodoh, miskin dan terbelakang sehingga dengan mudah dapat dipermainkan dan dominasi oleh Barat yang pintar, kaya dan maju.[10] Kondisi umat saat ini tentu sangat berbeda dengan kondisi zaman pemerintahan bani Abbasiyah yang merupakan umat yang disegani, diakui, sekaligus dikagumi dunia karena kemajuan peradabannya. A. Zahoor dalam The Quotation of Islamic Civilization, menyebutkan di antara para tokoh Barat yang mengakui peradaban Islam dan pengaruhnya dalam peradaban Barat Modern, di antaranya Napoleon Bonaparte, George Bernand Shaw, Bertrand Russel, H.G. Wells, William Drapper, Edward Montet, Thomas Charyle, Simon Ockley, Philip K. Hitti, Carra de Vaux, Marcel Clerget, Thomas Arnold, dan lain-lain.
Diantara gerakan yang dilakukan Rasulullah SAW adalah dengan menggiatkan budaya membaca, yang merupakan pencanangan dan pemberantasan buta huruf, suatu tindakan awal yang membebaskan manusia dari ketidaktahuan. Membaca merupakan pintu bagi pengembangan ilmu. Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal ayat-ayat al-Qur’an. Dengan cara ini dapat menjaga kemurnian dan juga media memahami ayat-ayat al-Qur’an. Disamping dengan hafalan, juga membuat tradisi menulis/ mencatat wahyu pada kulit, tulang, pelepah
kurma dan lain-lain.[11]
Di sinilah menurut hemat penulis, pentingnya rekonstruksi peradaban Islam dilakukan oleh umat Islam, karena bagaimanapun, yang namanya dialog tidak akan terjadi secara sehat dan efektif jika yang melakukan dialog tersebut berada dalam posisi yang berbeda, yang satu tinggi dan yang satu rendah, atau yang satu lemah dan yang satu kuat. Jadi, pentingnya rekonstruksi peradaban Islam adalah untuk meninggikan derajat umat Islam di mata dunia dan memperkuatnya sehingga dapat berdiri sejajar dengan Barat yang telah lebih dahulu tinggi dan kuat, terutama setelah jatuhnya Uni Soviet pada dekade abad ke 20-an.
            Adapun caranya adalah bukan hanya untuk menerapkan simbol-simbol keislaman, sebagaimana yang kerap dilakukan oleh kelompok Islam tradisional, aksi-aksi politis dilapangan politik praktis, sebagaimana dilakukan oleh kelompok Islam fundamental, maupun aksi-aksi filosofis, seperti yang dialkukan oleh kelompok liberal. Tapi juga dengan aksi-aksi intelektual praktis yang melahirkan praktisi-praktisi dan para ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Inilah yang penulis maksud dengan memandang Islam bukan hanya agama, akan tetapi juga peradaban.
            Berkenaan dengan hal ini, Ziauddin Sardar mengatakan bahwa Islam dan masyarakat muslim menyerupai suatu bangunan yang sangat indah tetapi kuno, yang pada tahun-tahun sulitnya sekarang ini, membutuhkan banyak biaya untuk pemugarannya. Fondasinya begitu kuat, tetapi penembokannya butuh pertahan mendesak. Kita perlu merekonstruksi peradaban muslim, sebab jika tidak, batu-batu akan tumbang dan runtuh satu persatu.[12]
Selain hal di atas, menurut hemat penulis, perlu pula memperhatikan unsur-unsur dibawah ini, dan tanpa memperhatikannya dengan serius maka akan menjadi sia-sia. Unsur tersebut adalah: Pertama: Sebagi orang muslim harus bangga menjadi orang Islam, dengan Islamlah seseorang akan mendapat kemuliaan yang hakiki. Manalah mungkin sebuah peradaban Islam akan tegak kembali sekiranya pribadi-pribadi yang di amanahkan untuk mengembanya tidak merasa memiliki. Yang lebih penting dari pada itu adalah mencoba untuk memahami agama ini dengan sebenar-benarnya serta mengamalkan ajaran itu serta mendakwakannya kepada umat manusia.
Kedua: Membangun peradaban tidak cukup hanya dengan ilmu pengetahuan saja, akan tetapi harus dibarangi dengan akidah yang betul, akhlak yang santun dan ibadah yang baik. Karena tidak ada peradaban tanpa agama, karena peradaban yang rusak akan menjadikan rusaknya masyarakat. Unsur-unsur keadilan, kerjasama, tasamuh (toleransi), tidak otoriter, hormat menghormati merupakan akhlak dalam kehidupan bermasyarkat yang harus didahulukan, tentunya selagi permasalahan yang dihadapi bukan dalam masalah prinsip maka unsur akhlaq dalam bermuamalah harus didahulukan. Ketiga: Peradaban Islam akan tegak kembali sekiranya para ummatnya mengikuti ajaran Islam dengan berpegang teguh kepada tali agama Allah yang telah diwahyukan kepada kita.[13]

D.    Rekonstruksi Peradaban Islam di Era Globalisasi: Upaya Menuju Keemasan Islam
Jika kitaflashback, pada waktu sebelum Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan kaumjahiliyah. Hal ini disebabkan karena bangsa Arab sedikit sekali mengenal ilmu pengetahuan dan kepandaian yang lain. Keistimewaan mereka hanyalah ketinggian dalam bidang syair-syair jahili yang disebarkan secara hafalan.[14] Dengan kenyataan itu, maka diutuslah nabi Muhammad SAW dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak untuk berhubungan dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Demikian pula dalam masalah ilmu pengetahuan, perhatian Rasul sangat besar. Rasulullah SAW memberi contohr evolus ioner bagaimana seharusnya mengembangkan ilmu.
Di masa-masa Islam, umat Islam berhasil mendobrak pemikiran kufur bangsa Arab dengan menggunakan pemikiran Islam. Perang pemikiran yang seringkali diikuti dengan serangan fisik terhadap kaum Muslimin selalu terjadi diantara mereka. Namun dengan kekuatan pemikiran dan ke-istiqamah-an dakwah mereka, kaum Muslimin akhirnya berhasil meraih pertolongan Allah yang berwujud kepercayaan masyarakat Madinah kepada Rasulullah saw. untuk menyerahkan kekuasaan mereka atas kota Madinah kepada Rasulullah saw. agar dapat diterapkan syari’ah Islam di dalamnya. Diterapkannya syari’ah secara kâffah di kota Madinah yang tentu saja secara otomatis mengubah bentuk kota Madinah menjadi Daulah Khilafah  merupakan suatu pertanda bahwa periode dakwah kaum Muslimin pada saat itu telah beralih dari periode dakwah Makkah menjadi periode dakwah Madinah yang nota bene kedua periode ini memiliki perbedaan ciri dan sifat.
Terdapat pujian paradox terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam dewasa ini justeru disebabkan oleh keberhasilannya yang gemilang di masa lalu. Seakan, tidak ada ruang lagi bagi umat Islam dewasa ini untuk melakukan inovasi.[15] Sejak saat itu, berbagai prestasi gemilang telah berhasi diukir oleh Kaum Muslimin. Kaum Muslimin berhasil melakukan berbagai futuhât (pembebasan wilayah dari cengkraman penguasa kufur), mulai dari Fath al-Makkah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. hingga pembebasan kota Konstantinopel di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad al-Fâtih yang telah dijanjikan Allah SWT. Kaum Musliminlah yang pertama kali menciptakan manjaniq sehingga benteng Tha’if dapat diratakan dengan tanah di masa Rasulullah saw. Mereka juga yang pertama kali memproduksi meriam raksasa sehingga Sultan Muhammad al-Fâtih bersama pasukannya berhasil merobohkan dinding kota Konstantinopel dan membebaskannya. Kaum Musliminlah yang pertama kali memproduksi jam mekanik yang membuat kaisar Charlemagne mengira bahwa jam tersebut dibuat oleh jin karena setiap beberapa waktu sekali jam tersebut berdentang. Kaum Muslimin pula yang pertama kali memilih penguasa mereka dengan membai’atnya, sedangkan di saat yang sama para penguasa Eropa bertindak bagaikan Tuhan kepada rakyatnya.[16]
Namun keagungan peradaban Islam di masa lalu nampaknya kini tidak lebih dari sekedar dongeng pengantar tidur. Kaum Muslimin terperangkap dalam lingkup pemikiran ikatan yang sempit nasionalisme, sukuisme, dan fanatisme aliran.[17] Ketaatan kaum Muslimin terhadap Tuhannya kini tidak lagi terjamin mengingat negeri kaum Muslimin kini tidak lagi menjalankan sistem yang dapat menjaga ketakwaan rakyatnya. Kaum Muslimin kini hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan baik karena ulah penguasa kaum Muslimin sendiri. kalau sudah demikian, maka yang dibutuhkan adalah perlunya rekonstruksi peradaban.
Rekonstruksi peradaban dimaksudkan agar dapat meninjau ulang pandangan yang mendasari peradaban. Rekonstruksi peradaban berarti membangun kembali peradaban Islam dalam pengertian, bahwa Islam bukan hanya dipandang sebagai agama saja, ataupun sistim etika dan politik saja, akan tetapi Islam sebagai peradaban. Pengertian Islam sebagai peradaban bukan dengan melihat Islam sebagai peradaban holistic sebagaimana yang dilakukan sebagai umat Islam sebagai romantisme, tetapi sebagai peradaban kontemporer, bahkan peradaban masa depan. Jadi, pentingnya sejarah sebagaimana yang dilakukan Sardar: “Sementara sejarah harus berpihak kepada kita, kita tidak boleh hidup di dalamnya”.[18]
            Di era globalisasi sekarang ini, melakukan rekonstruksi peradaban Islam akan sulit dilakukan. Namun bukan berarti tidak mungkin akan dilakukan, bahkan sangat mungkin ini dilakukan. Hal ini karena nilai-nilai Islam yang universal yang lahir dari peradaban Barat. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar umat Islam yang mayoritas menyadari akan pentingnya rekonstruksi peradabannya, sehingga proyek rekonstruksi ini dilakukan hanya oleh individu-individu tertentu. Ia harus dilakukan secara bersinergi, simultan dan berkesinambungan oleh seluruh lapisan masyarakat Islam, bahkan oleh pihak penguasa, sebagaimana yang terjadi pada jaman kejayaan Islam di Baghdad masa dahulu di mana pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan bukan secara sporadic dan individual, tapi juga didukung oleh kalangan penguasa seperti para khalifah.[19]
            Dalam hal ini diperlukan upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keseluruhan akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari kian berkembang dan maju. Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan pandangan keduniawian, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahwa akhirat itu lebih kekal, oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus menafikan dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam perlu disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak hanya fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Nah, oleh Sardar, hal ini diungkapkan dengan istilah perluasan syariah ke dalam domain-domain kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan perkotaan, kebijakan sains dan penaksiran teknologi, partisipasi masyarakat, dan pembangunan pedesaan.[20]
Di sini peran para da’i dan aktifitas pendidikan sangat strategis di mana merekalah ujung tombak bagi sosialisasi ide-ide rekonstruksi peradaban ini di tengah-tengah masyarakat luas. Sebagaimana dijelaskan Sardar, dalam melakukan upaya rekonstruksi peradaban Islam, ada enam hal penting yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan, yaitu:
1.      Pembangunan peradaban melalui pertumbuhan ekonomi masyarakat;
2.      Pembangunan yang cukup partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi;
3.      Pembangunan ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan Negara-negara maju;
4.      Proses industrialisasi tidak hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial tertentu dari negara-negara maju, ia juga harus disertai dengan penguasaan teknologi;
5.      Tidak semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrastruktur sains dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM) ilmu pengetahuan, keahlian, dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan menghadapi teknologi impor;
6.      Memiliki kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan literatur sains negara-negara maju.
Secara lebih kongkrit, proyek rekonstruksi peradaban Islam ini dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai dan konsep Islam untuk pengembangan ilmu pengetahuana dan teknologi. Dalam hal ini, dana zakat, infak, dan shadaqah misalnya, yang sebelumnya hanya dialokasikan hanya untuk pemberdayaan ekonomi, sejatinyanya juga diberikan porsi yang besar pula untuk upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masjid, yang selama ini hanya diperuntukkan untuk shalat dan pengajian-pengajian, diupayakan untuk dikembangkan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di sini adalah pengembangan teknologi dengan menguasai teknologi informasi dan media masa seperti radio dan televisi serta perangkat yang mendukungnya. Di Indonesia, media-media radio dan televise sekarang ini didominasi oleh budaya konsumtif di mana penontonnya didorong, atau bahkan dijerumuskan ke dalam budaya konsumtif yang mematikan produktifitas dan kreatifitas, sesuatu yang inheren dalam suatu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkenaan dengan informasi dan penguasaan teknologinya, umat Islam perlu mengembangkan Sistim Informasi Nasional (SIN), suatu keseluruhan yang kompleks dengan sejumlah subsistim dan segenap unsur yang membangunnya mesti berfungsi dalam kesalingterkaitan yang tepat satu sama lain. Adapun komponen sitem informasi nasional itu adalah:
1.      Perpustakaan nasional, suatu penyimpan semua publikasi nasional dan bertugas menghimpun semua dokumen yang mungkin diperlukan untuk riset dan kegiatan-kegiatan intelektual lainnya;
2.      Pusat-pusat informasi nasional, untuk bidang-bidang informasi ilmiah, informasi teknologis dan industrial, medis, pertanian, bisnis dan lain-lain;
3.      Pusat alih informasi, untuk pertukaran informasi nasional, seperti telepon-telepon yang menghubungkan para ilmuan dan sarjana terkait dengan kegiatan-kegiatan intelektual seperti seminar-seminar, penelitian, dan lain-lain;
4.      Lembaga standar nasional, untuk upaya-upaya standarisasi kuantitas, kualitas, pola, metode dan satuan-satuan pengukuran dalam sains, teknologi, industri dan kedokteran.[21]
Dalam hal ini diperlukan para “penjaga gawang” informasi yang selain bertugas membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Islam, tetapi juga mengkritisi sumber-sumber informasi yang datang dari luar Islam. Sardar, mengilustrasikan para penjaga gawang ini dengan Janus, dewa penjaga pintu Romawi.[22]
            Terkait dengan masalah pengembangan informasi ini, perlu diupayakan pula secara intensif kerjasama di antara negeri-negeri muslim dengan membangun Jaringan Informasi Muslim Internasional (JIMI). Hal ini yang menjadi penting, sebagaimana diuraikan Sardar, karena tiga hal berikut:
1.      Kesatuan iman, akidah, warisan budaya, perkembangan peradaban, dan kesamaan struktur politik ekonomi;
2.      Kesatuan blok negeri-negeri muslim sebagai negara-negara berkembang yang memiliki kepentingan-kepentingan, problem-problem dan tantangan-tantangan yang sama dalam program pembangunan mereka;
3.      Ada wilayah-wilayah tertentu yang merupakan prerogatif khas dunia muslim.[23]
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, dikarenakan telah terjadi spesialisasi ilmu pengetahuan yang semakin tajam, maka diperlukan adanya saling kerjasama dan bahu membahu antara para pakar Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di sini pengetahuan spesifik tertentu saja yang dibutuhkan, tetapi juga keahlian melihat segala permasalahan dan problem kehidupan manusia secara total dan integral yang dapat memecahkan segala problem umat Islam secara komprehensif dan menyeluruh.
            Dalam hal ini, masalah pendidikan menjadi hal yang sangat penting peranannya sebagai wadah aktualisasi dan sosialisasi ide-ide tentang rekonstruksi peradaban Islam. Di Indonesia, sebenarnya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan adalah sangat positif. Tetapi langkah ini tentu saja belum mencapai angka tersebut. Di samping itu, perlu adanya peningkatan apresiasi di kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan, bukan malah mempersulit pemberian mahasiswa untuk menempuh pendidikan, khususnya untuk ilmu pengetahuan umum dan teknologi harus terus dikembangkan dan digalakkan.
            Lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren, perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembaga semacam inilah yang berperan besar membantu program pemerinta di dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi, serta pemberantasan buta aksara al-Qur’an di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan atau bahkan kampung pedalaman yang nota bene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia, yang butuh sentuhan pendidikan dan teknologi.
            Selain itu, lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren, terutama pesantren salaf perlu mereformasi dirinya dan modernisasi sistim dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melaju begitu pesat. Di Indonesia, orde reformasi ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat saling menghargai, saling memahami dan saling tolong menolong dengan tujuan pasti, yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya para ilmuan yang bermoral.
            Namun, dalam penguasaan teknologi, yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar teknologi yang dikembangkan bukan perpanjangan tangan peradaban Barat, karena jika itu yang terjadi, maka umat Islam akan seterusnya menjadi ketergantungan dan tidak terlepas dari dominasinya. Oleh Karena itu, selain penguasaan teknologi, juga harus memiliki teknologi-teknologi alternativ yang dilahirkan umat Islam sendiri dan mengembangkan untuk keperluan lokal dan domestik.

E.     Penutup
Rekonstruksi peradaban Islam adalah suatu proyek besar yang di era globalisasi dan modernisasi ini sangat mendesak untuk dilakukan karena peradaban Barat yang kini mendominasi dunia telah menyimpang jauh dari nilai-nilai etika, moral dan kemanusiaan di balik jargon-jargon demokrasi, HAM yang mereka gembor-gemborkan. Namun, upaya merekonstruksi ini tidak mungkin dapat dilakukan tanpa dukungan penuh dari segala unsur umat Islam di seluruh dunia dengan membentuk jaringan-jaringan yang saling bekerjasama.
      Meskipun nampak sulit untuk dilakukan, namun upaya ke arah itu harus terus dilakukan dengan pandangan bahwa proyek ini tidak mungkin dapat direalisasikan dalam jangka waktu yang singkat. Ia membutuhkan ketelitian, kesabaran dan keuletan dari segala pihak, baik dalam menguatkan nilai-nilai fundamental Islam dan kehidupan di masyarakat, maupun dalam penguasaan teknologi informasi yang semakin hari semakin maju dan kompleks.
      Satu hal yang juga penting, dalam melakukan rekonstruksi ini adalah bagaimana memperkuat tali persaudaraan di antara umat Islam sendiri, sehingga tidak akan terjadi lagi konflik-konflik yang tidak hanya perlu hanya karena masalah-masalah sepele seperi masalah adzan dalam shalat Jum’at, do’a qunut pada waktu shalat shubuh, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., dan ritual ‘furû‘iyyah lainnya. Wallâhu a‘lam bi al-shawab.





DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muhammad Imaduddin, “Mengapa perlu Dialog?” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996

Alfiyan, Muhammad, Problematika Umat dan Solusinya, diakses dari http://rekonstruksiperadaban.wordpress.com

Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999

Basya, M. Hilaly, ”Rekonstruksi Peradaban Untuk Melawan Terorisme”, didapatkan dari http://terorisme.tripod.com/artikelbahasamelayu/id9.html

Hidayat, Komaruddin, Wahyu Langit Wahyu Bumi: Doktrin Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2003

Faisal Ismail, Ketegangan Kreatif Peradaban Islam Idealis Versus Realisme (Jakarta: Bakti Aksara Persada, 2003

Lewis, Bernard, The Arab In History, Harper London, Colophons Books, 1996

Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992

_______, “Kosmopolitanisme Islam dan terbentuknya Masyarakat Paguyuban” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985

Saman, Abdul Kholik, Rekonstruksi Peradaban Islam, diakses dari http://akhmosa.blogspot.com/2008/07/rekonstruksi-peradaban-islam.html

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta; Prenada Media, 2004

Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1998

_______, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi, Bandung: Mizan, 1998

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004


[1] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 203.
[2] Peradaban adalah hasil-hasil atau usaha-usaha besar yang telah dilakukan oleh bangsa tertentu (dalam semua sisi kehidupan) untuk kepentingan orang banyak. Seperti perkembangan dan kemajuan dalam bidang pendidikan, teknologi, politik, ekonomi, undang-undang, filsafat dan lain lain.
[3] Faisal Ismail, Ketegangan Kreatif Peradaban Islam Idealis Versus Realisme (Jakarta: Bakti Aksara Persada, 2003),, h. 61.
[4] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), h. xviii-xix.
[5] Ibid, h. 203-204.
[6] Nurcholis Madjid, “Kosmopolitanisme Islam dan Terbentuknya Masyarakat Paguyuban” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 37.
[7] Peradaban Barat seakan menyiratkan bahwa kemajuan harus dilandasi dengan penolakan campur tangan Tuhan. Namun dampak negatif dari pandangan tersebut jelas terasa, tersingkirnya kearifan perennial. Kebijakan pemerintah Barat seakan menafikan moralitas, semuanya bermuara pada kepentingan politik kelompok.
[8] Muhammad Imaduddin Abdurrahman, “Mengapa Perlu Dialog?” dalam dalam Agama dan Dialog, h. 180.
[9] Ibid, h. 180.
[10] Sebagian besar umat Islam masih berlandas pada teologi eksklusif, yang meyakini bahwa kebenaran hanya milik Islam dan di luar Islam adalah sesat. Ini tentu juga memunculkan arogansi teologis, sehingga relasi muslim dan non-muslim jadi terganggu. Bahkan eksklusifisme semacam ini akan mendorong untuk melakukan kekerasan. Logikanya akan membenarkan untuk menggunakan kekerasan demi tegaknya kebenaran.
Mereka merujuk pada ajaran Islam hasil konstruksi nalar klasik, yang memandang non-Muslim sebagai warga negara sekunder, yang dibebani kewajiban untuk membayar upeti kepada pemerintahan Islam.
Bahkan memandang non-Muslim sebagai kafir, suatu label yang memiliki beban pejoratif. Sungguh sebuah diskriminasi yang dilatari perbedaan teologi, seakan ada arogansi teologis. Lihat, M. Hilaly Basya, ”Rekonstruksi Peradaban Untuk Melawan Terorisme”, (diakses tanggal 20 November 2011), didapatkan dari http://terorisme.tripod.com/artikelbahasamelayu/id9.html.
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta; Prenada Media, 2004), h. 14-16.
[12] Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 5.
[13] Lihat lebih lanjut, Abdul Kholik Saman, Rekonstruksi Peradaban Islam (diakses tanggal 20 November 2011), didapatkan dari http://akhmosa.blogspot.com/2008/07/rekonstruksi-peradaban-islam.html.
[14] Bernard Lewis, The Arab In History (Harper London, Colophons Books, 1996), h. 25.
[15] Komaruddin Hidayat, Wahyu Langit Wahyu Bumi: Doktrin Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 31.
[16] Lihat, Muhammad Alfiyan, Problematika Umat dan Solusinya (diakses tanggal 20 November 2011), didapatkan dari http://rekonstruksiperadaban.wordpress.com
[17] Rusaknya pemikiran kaum Muslimin saat ini merupakan penyebab utama kemerosotan peradaban Islam di abad ke-21 ini. Pemikiran nasionalisme membuat kaum Muslimin menjadi fanatik terhadap negaranya masing-masing, Sehingga mereka menganggap permasalahan umat Islam seperti kasus Palestina, Irak, Afganistan, dan Turkistan Timur sebagai permasalahan regional yang hanya wajib dihadapi oleh kaum Muslimin setempat, bukan oleh kaum Muslimin sedunia.
[18] Ibid, h. 7.
[19] Lihat lebih lanjut, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 52; lihat pula, Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), h. 70-73.
[20] Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, h. 12.
[21] Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi (Bandung: Mizan, 1998), h. 81-82.
[22] Ibid, h. 174.
[23] Ibid, h. 192-193.