Selasa, 07 September 2010

Ramadhan dan Renungan Kematian

Ramadhan dan Renungan Kematian
Oleh Hasani Ahmad Said, M.A.
Kader Mufassir Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) & Kandidat Doktor UIN Jakarta)

Ramadhan tiba, tidak terasa bulan Ramadhan telah mengampiri kita.
Suka cita dan gegap gempita setiap muslim dan muslimah menyambut bulan yang
penuh dengan berkah, rahmat dan ampunan ini.
Ekspresi ini bisa jadi terilhami oleh teks hadis yang terdapat dalam
kitab Durrat al-Nâsihîn karya Utsman al-Kubbani yang berbunyi “Siapa yang
bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan haramkan jasadnya masuk neraka”. Hadis ini tidak ditemukan siapa perawi (penyampai) hadis dan apa kualitasnya, sehingga bisa terkategorikan hadisnya bermasalah.
Bahkan jauh-jauh sebelum Ramadhan tiba Rasul mengajarkan doa
Allâhumma bâriklana fî Rahab wa Sya’bân wa ballighnâ Ramadhân (Ya allah berilah keberkahan kepada kami di bulan rajab dan Sya’ban, dan sampikanlah kami (menuju) bulan Ramadhan).
Meskipun demikian, keberkahan Ramadhan yang begitu besar, ternyata
tidak semua orang mampu menikmati keberkahan itu. Satu hari yang lalu, saya
mendapatkan sms yang berbunyi “Inna lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn, ayahanda si
Fulan di panggil oleh Allah, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah”.
Pada kesempatan malam harinya, bertepatan dengan 5 Ramadhan, saya
menyampaikan kultum di sebuah jamaah tarawih yang bertemakan “Keberkahan
Ramadhan kaitannya dengan kesempatan hidup di dunia”. Di dalam isi kultum itu
saya sampaikan bahwa betapa keberkahan Ramadhan itu sangat kita rasakan. Akan tetapi tidak semua orang mereguk manisnya keberkahan Ramadhan.
Bisa jadi, hari ini kita masih puasa, tetapi tidak ada satu
makhlukpun yang bisa menjamin esok harinya kita masih bisa berpuasa kembali.
Terbukti, pagi harinya, saya kembali menerima sms yang berbunyi “Kepada Yth
Bapak dosen, telah meninggal dunia mahasiswi UIN yang bernama si fulanah, mhn dimaafkan kesalahannya dan semoga diterima amal ibadahnya”, belum selesai membaca sms, di masjid Fathullah dan sekitarnya terdengar pengumuman meninggal dunia, suami dari ibu fulanah, karyawan masjid Fathullah.
Dari beberapa kisah di atas kemudian timbul pertanyaan siapa yang
mampu mengetahui rahasia kematian itu? dan kapan akan menghampiri kita? Pasti jawabannya adalah tidak ada seorangpun yang mengetahui. Kalau demikian, mengapa kita masih melakukan hal yang dilarang Allah? Pintu taubat akan selalu terbuka. Maka, dibulan Ramadhan 1431 H kali ini, sejatinya dimanfaatkan sebaik dan semanfaat mungkin. Kuncinya, banyak berdzikir, sedekah, baca Qur’an, dan amalan shalih lainnya. Saatnya kita mereformasi keburukan kita dengan kebaikan.
Tepalah kiranya untuk dijadikan perumpamaan, bahwa dunia itu adalah
lading akhirat (al-Dunyâ mazra’at al-âkhirah), begitu sabda Rasul. Maka,
tanamilah ladang dunia ini dengan biji kebajikan, maka kelak engkau akan menuai
kebajikan. Sebaliknya, jika menanam biji keburukan, maka siap-siap pula memanen kaburukannya. Ramadhan merupakan bulan pelipatgandaan pahala, maka jangan sia-siakan Ramadhan tanpa amal shaleh.
Allah juga menegaskan dalam Q.S. al-Isra (17) ayat 8: “Jika kamu
berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu
berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri… (In
ahsantumahsantun lianfusikum wa in as’tum falaha…).
Atas dasar hal di atas, sejatinya Ramadhan 1431 H yang sedang kita
lalui ini, dijalankan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah, agar kita
mampu menuai indahnya bersama Ramadhan. Bukan untuk saat ini saja, tetapi akan memberikan efek juga pada saat yang akan datang seperti sabda Rasul “Siapa berpuasa di bulan Ramadhan yang didasari dengan keimanan dan mengharap (ridha Allah), maka akan diampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang”.
Tepat pulalah kiranya Allah memanjakan bagi orang-orang yang
berpuasa yang diundang atas seruan keimanan, dengan menggunakan redaksi wahai orang yang beriman (Yâ ayyuha al-ladzina âmanû..), seperti difirmankan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 183 “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa”.
Terlihat dengan jelas dari ayat di atas, bahwa tujuan akhir dari
puasa adalah membentuk manusia yang mempunyai karakter takwa. Dalam artian
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah.
Ketakwaan di sini sifatnya kontinyu. Ketakwaan yang bukan hanya di bulan
Ramadhan, tetapi jauh dari itu, ketakwaan juga di implementasikan dalam
bulan-bulan selain Ramadhan. (Wallâhu a’lam bi al-shawâb).

* Penulis adalah Kader Mufassir Pusat Studi al-Quran, Jakarta, Dosen IAIN Raden Intan & Kandidat Doktor UIN Jakarta
* Tulisan ini pernah dimuat di koran harian KABAR BANTEN.
Jakarta, 15 Agustus 2010

Efek Ramadhan Sampai Masa Depan

Efek Ramadhan Sampai Masa Depan
Oleh Hasani Ahmad Said

Jauh-jauh sebelum Ramadhan tiba, Rasul mengajarkan doa: Allâhumma bâriklana fî Rajab wa Sya’bân wa ballighnâ Ramadhân (Ya allah berilah keberkahan kepada kami di bulan rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami (menuju) bulan Ramadhan).

Meskipun demikian, keberkahan Ramadhan yang begitu besar, mungkin tidak semua orang mampu menikmati keberkahan itu. Bisa jadi, hari ini kita masih puasa, entahlah kalau esok hari. Tidak ada satu makhlukpun yang bisa menjamin esok harinya kita masih bisa berpuasa kembali. Secara tiba-tiba, terkadang kita mendapat berita duka bahwa orang-orang terdekat meninggal dunia saat bulan Ramadhan. Timbul pertanyaan, siapa yang mampu mengetahui rahasia kematian itu? dan kapan akan menghampiri kita? Pasti jawabannya adalah tidak ada seorangpun yang mengetahui. Kalau demikian, mengapa kita masih melakukan hal yang dilarang Allah?

Pintu taubat akan selalu terbuka. Maka, bulan Ramadhan kali ini, sejatinya kita bisa memanfaatkannya sebaik mungkin. Kuncinya, banyak berdzikir, sedekah, membaca al-Qur’an, dan amalan shalih lainnya. Saatnya kita mereformasi keburukan kita dengan kebaikan. Tepalah kiranya hal ini dijadikan perumpamaan, bahwa dunia itu adalah ladang akhirat (al-Dunyâ mazra’at al-âkhirah), begitu sabda Rasul. Maka, tanamilah ladang dunia ini dengan biji kebajikan, maka kelak engkau akan menuai kebajikan. Sebaliknya, jika menanam biji keburukan, maka siap-siap pula memanen kaburukannya. Karena Ramadhan merupakan bulan pelipatgandaan pahala, maka jangan sia-siakan bulan suci ini tanpa amal shaleh.

Allah juga menegaskan dalam Q.S. al-Isra (17) ayat 8: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri… (In ahsantumahsantun lianfusikum wa in as’tum falaha…)”.

Atas dasar hal tersebut , sejatinya kita menjalankan Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah, agar kita mampu menuai keindahan dan keberkahannya. Manfaat ramadhan tidak hanya berlaku pada momen ramadhan itu sendiri, tetapi juga bisa memberikan efek juga pada saat yang akan datang, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hirairah, bahwasannya Rasul sabda “Siapa berpuasa di bulan Ramadhan yang didasari dengan keimanan dan mengharap (ridha Allah), maka akan diampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang”.

Karena itu, tak mengherankan Allah memanjakan bagi orang-orang yang berpuasa yang diundang atas seruan keimanan, dengan menggunakan redaksi wahai orang yang beriman (Yâ ayyuha al-ladzina âmanû..), seperti difirmankan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 183 “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa”.

Terlihat dengan jelas dari ayat tersebut , bahwa tujuan akhir dari puasa adalah membentuk manusia yang mempunyai karakter takwa yang berkesinambungan. Ketakwaan yang bukan hanya di bulan Ramadhan. Lebih dari itu, ketakwaan sejatinya diimplementasikan dalam bulan-bulan selain Ramadhan. Wallâhu a’lam bi al-shawâb. (Hasani Ahmad Said, M.A./ Kader Mufassir Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) & Kandidat Doktor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Foto:pactradio.com)

* Facebook
* Google Gmail
* Google Buzz
* Twitter
* Yahoo Messenger
* Share

11 Responses to “Efek Ramadhan Sampai Masa Depan”

1.
arifromdhoni says:
19/08/2010 at 12:01 pm

Efek Ramadhan seharusnya terasa hingga setelah Ramadhan berakhir, bahkan hingga akhir hayat. Karena sebaik-baik amalan adalah yang meningkat kualitasnya setiap harinya. Termasuk orang yang merugi apabila amalannya sama seperti hari sebelumnya. Bahkan termasuk orang yang celaka bila amalannya lebih buruk daripada sebelumnya.

Namun, berapa banyak orang yang berpuasa tidak beroleh apapun kecuali lapar dan dahaga? Semoga kita termasuk yang senantiasa meningkat kualitas ketaqwaannya. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bertaqwa.
2.
cool_ramdan says:
22/08/2010 at 12:07 pm

Ramadhan adalah bulan tarbiyah.. Bulan Ramadhan dengan segala kelebihan dan keutamaannya adalah proses tarbiyah yang datangnya langsung dari Allah SWT. Hasil dari proses tarbiyah tersebut adalah lahirnya pribadi mukmin yang bertaqwa. Jika kita sukses menjalani tarbiyah selama bulan Ramadhan, maka dijamin kita akan sukses menjalani kehidupan hingga akhir masa..
3.
Noviana Indah Mustikaningtyas says:
22/08/2010 at 12:08 pm

Tujuan akhir dari puasa adalah membentuk manusia yang mempunyai karakter takwa yang berkesinambungan. Ketakwaan yang bukan hanya di bulan Ramadhan. Lebih dari itu, ketakwaan sejatinya diimplementasikan dalam bulan-bulan selain Ramadhan —> semoga saya bisa mencapai tujuan tersebut. Saya pun tak hentinya berdoa ya Allah, jadikanlah puasaku sebagai puasa orang-orang yang benar-benar berpuasa. Amiin…
Trims, artikelnya. Makin terlecut saya.
4.
Wacy Notalia says:
22/08/2010 at 12:10 pm

Berkah buLan ramadhan yg dirasakan pastinya berbeda..
Perbaiki diri sendiri saja..renungkan setelah ramadhan berlalu apa yg harus dilakukan.kembali mengotori diri atau berjalan dijaLan ALLAH.. Semoga qt semua bs jd makhluk ALLAH yg lbh baik. Amien..
5.
INDRA ALAM says:
22/08/2010 at 12:17 pm

Atagfirullohhaladzim. merinding aq membaca artikel di atas. aku menyadari aq banyak melakukan khilaf dan salah selama ini. aq hanya manusia daif dan tanpa daya, terlalu banyak dosa dan maksiat yang telat aku lakukan, maka dari itu di bulan Ramadhan ini aq coba perbaiki diri aku dengan baik dengan memohon ampunan kpd Allah SWT. Hanya Allah yang berhak menilai usaha setiap mahluknya yg ingin berubah. Semoga masih ada pintu Taubat bagi saya dan kita semua. Kita FULL kan ibadah kita di bulan ini, kesempatan bagi kita yang msh diberi panjang umur sampai Ramadhan ini. Lembutkan hati dan sebarkan berkah Ramadhan. iringi perintah wajib dengan yang sunnah. Semoga Allah memberkahi dan meridhoi amalan kita semua. Amien
6.
Alih Rinaldy says:
22/08/2010 at 12:22 pm

Ramadhan merupakan bulan mulia dimana setiap manusia diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk menjadi individu yang lebih baik secara lahir maupun bathin.

Maka dari itu bulan ini sering dinanti-nanti oleh setiap orang karena mereka ingin melakukan perubahan sebesar-besarnya terhadap diri mereka sendiri. Baik dalam beribadah kepada Allah, cara bersikap terhadap orang lain dan memperbanyak rasa Cinta terhadap keluarga dan orang-orang terkasih. Tentu saja semua dilakukan secara Islami. Dan ini menjadi kebiasaan selama Ramadhan.

Tentu saja perubahan-perubahan ini akan menjadi acuan kita dalam menjalani kehidupan di masa depan. Kehidupan kita selain di bulan Ramadhan. Ramadhan mengajarkan kita bagaimana cara menjalani kehidupan secara seimbang dan semua itu harus di dukung oleh niatan kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan. Semoga kita menjadi orang-orang yang belajar dari Ramadhan. Amin :D
7.
ainun says:
22/08/2010 at 12:24 pm

Efek ramadhan memang harus berlangsung lama.bagai lingkaran bola salju,semakin berputar semakin membesar dimana ramadhan menjadi Awal kita menjadi seorang yang lebih Baik,amalan yang lebih meningkat,ilmu yang lebih tinggi.
Jika ramadhan Ini kita mulai dengan niat baik,coba kita belajar menjadi malaikat yang mencatat amalan,kita ingat amalan kita setiap hari,kita perbaiki kekurangan hari kemarin,kita perbaiki hari Ini.begitu seterusnya. Sampai pada akhirnya kita menjalani kehidupan kita SEMakin baik setiap harinya. Itulah makna ramadhan,dimana bukan ramadhan bulan untuk bertobat,tapi ramadhan Awal langkah
8.
Harnadi says:
22/08/2010 at 12:25 pm

Bulan ramadhan memang tempat buat kita memperbaiki diri agar lebih dekat dengan tuhan, tapi setelah selepas dari bulan ramadhan kita harus tetap beribadah jgn cuma bulan ramadhan aja kita shalat berjamaah dimasjid & rajin mengaji tapi jadikan bulan ramadhan sebagai awal kita mendekatkan diri pada ALLAH
9.
nurulhayat says:
22/08/2010 at 12:28 pm

artikel ini mengingatkan saya untuk memaknai kmbali niat saya beribadah di bulan ini, semoga apa yang saya tanam di bulan ini, segala ibadah yang pastinya berniat baik, akan menuai kebaikan bukan hanya pada kehidupan saya sesudah ramadhan tapi juga untuk kehidupan saya dunia dan akhirat…amin…amin…amin…ya robbal alamin,,,
10.
danny brahmantyo says:
22/08/2010 at 12:31 pm

-Kita sampai karena kita berjalan atau berhenti? Kita sampai karena kita berjalan dan berhenti-

Seperti oase di tengah perjalanan melintasi padang tandus.. itulah Ramadhan bagi saya, pemberhentian sejenak dr penat kehidupan.
Beberapa tahun terakhir membuat saya belajar banyak untuk dapat menghayati makna Ramadhan yg lebih dari sekedar ibadah wajib.
Saya jd lbh memahami kasih sayang Allah pada kita, salah satunya adlh dgn diberikannya kita kesempatan bertemu dgn Ramadhan-bulan penuh ampunan dan penuh berkah-sekali lagi.
Ada perasaan nyaman dan tenteram yg tdk dpt diungkapkan saat jiwa dan raga ini memasuki Ramadhan. Seakan semesta berkolaborasi menciptakan suasana demikian.
Benar adanya kata ulama, bahwa ibadah di bulan Ramadhan adlh pendidikan spiritual yg melembutkan hati; dan hal ini berarti bukan hanya masalah personal antara saya kepada Tuhan, namun jg antara saya dgn sekitar.
Semoga hal tersebut bs mjd bekal melanjutkan perjalanan yg sementara ini.
11.
Muhammad Ibnul Zikri says:
22/08/2010 at 12:34 pm

Dari 12 bulan yg ada hanya Bulan Ramadhan yg di nantikan umat islam, karena di bulan tersebut oleh ALLAH swt di bukakan pintu maaf dan di lipat gandakan pahala yang kita kerjakan selama bulan Ramadhan tersebut. Oleh karena itu janganlah kita sia-siakan waktu kita di bulan Ramadhan ini.

Beri komentar
Click here to cancel reply.


Tulisan ini dimuat di http://www.alifmagz.com/2010/08/18/efek-ramadhan-sampai-masa-depan/, tanggal 18 Agustus 2010

Ramadan dan Tabir Kehidupan

Ramadan dan Tabir Kehidupan
Hasani Ahmad Said
Kader Mufassir Pusat Studi Alquran (PSQ), kandidat Doktor UIN Jakarta

Tidak terasa bulan Ramadan telah menghampiri kita. Sukacita dan gegap gempita setiap muslim dan muslimah menyambut bulan yang penuh dengan berkah, rahmat, dan ampunan ini.
Ekspresi ini bisa jadi terilhami oleh teks Hadis yang terdapat dalam kitab Durrat al-Nasih karya Utsman al-Kubbani yang berbunyi "Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, Allah akan haramkan jasadnya masuk neraka." Pada Hadis ini tidak ditemukan siapa perawi (penyampai) dan apa kualitasnya, sehingga bisa terkategorikan Hadis bermasalah.
Bahkan, jauh-jauh sebelum Ramadan tiba, Rasul mengajarkan doa Allahumma bariklana fi Rajab wa Sya'ban wa ballighna Ramadhana (Ya allah berilah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Syakban, dan sampaikanlah kami (menuju) bulan Ramadan).
Meskipun demikian, keberkahan Ramadan yang begitu besar, ternyata tidak semua orang mampu menikmati keberkahan itu. Satu hari yang lalu, saya mendapatkan pesan pendek yang berbunyi: Inna lillah wa inna ilaihi rajiun, ayahanda si Fulan di panggil oleh Allah, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah."
Pada kesempatan malam harinya, bertepatan dengan 5 Ramadan, saya menyampaikan kultum di sebuah jemaah tarawih yang bertemakan Keberkahan Ramadan kaitannya dengan kesempatan hidup di dunia. Di dalam isi kultum itu saya sampaikan betapa keberkahan Ramadan itu sangat kita rasakan. Akan tetapi tidak semua orang mereguk manisnya keberkahan Ramadan.
Bisa jadi, hari ini kita masih puasa, tetapi tidak ada satu makhluk pun yang bisa menjamin esok harinya kita masih bisa berpuasa kembali.
Terbukti, pagi harinya, saya kembali menerima sms yang berbunyi: Kepada Yth. Bapak Dosen, telah meninggal dunia mahasiswi UIN yang bernama si fulanah, mhn dimaafkan kesalahannya dan semoga diterima amal ibadahnya. Belum selesai membaca pasan pendek, di Masjid Fathullah dan sekitarnya terdengar pengumuman meninggal dunia, suami dari ibu fulanah, karyawan Masjid Fathullah.
Dari beberapa kisah di atas kemudian timbul pertanyaan siapa yang mampu mengetahui rahasia kematian itu? Kapan akan menghampiri kita? Pasti jawabannya adalah tidak ada seorang pun yang mengetahui. Kalau demikian, mengapa kita masih melakukan hal yang dilarang Allah? Pintu taubat akan selalu terbuka. Maka, di bulan Ramadan 1431 H kali ini, sejatinya dimanfaatkan sebaik dan semanfaat mungkin. Kuncinya, banyak berzikir, sedekah, membaca Alquran, dan amalan salih lainnya. Saatnya kita mereformasi keburukan kita dengan kebaikan.
Tepatlah kiranya untuk dijadikan perumpamaan, bahwa dunia itu adalah ladang akhirat (al-Dunya mazra'at al-akhirah), begitu sabda Rasul. Maka, tanamilah ladang dunia ini dengan biji kebajikan, kelak engkau akan menuai kebajikan. Sebaliknya, jika menanam biji keburukan, siap-siap pula memanen kaburukannya. Ramadan merupakan bulan pelipatgandaan pahala, jangan sia-siakan Ramadan tanpa amal saleh.
Allah juga menegaskan dalam Q.S. Al Isra (17) Ayat (8): "Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri (In ahsantumahsantun lianfusikum wa in as’tum falaha…).
Atas dasar hal di atas, sejatinya Ramadan 1431 H yang sedang kita lalui ini dijalankan dengan penuh keimanan dan mengharap rida Allah, agar kita mampu menuai indahnya bersama Ramadan. Bukan untuk saat ini saja, melainkan memberikan efek juga pada saat yang akan datang. Seperti Hadis dari Abu Hirairah, bahwasannya Rasulullah bersabda "Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan yang didasari dengan keimanan dan mengharap (rida Allah), akan diampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang."
Tepat pulalah kiranya Allah memanjakan bagi orang-orang yang berpuasa yang diundang atas seruan keimanan, dengan menggunakan redaksi: Wahai orang yang beriman (Ya ayyuha al-ladzina amanu..), seperti difirmankan dalam Q.S. Al Baqarah (2) Ayat (183): "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa."
Terlihat dengan jelas dari ayat di atas, bahwa tujuan akhir dari puasa adalah membentuk manusia yang mempunyai karakter takwa. Dalam artian, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah. Ketakwaan di sini sifatnya kontinu. Ketakwaan yang bukan hanya di bulan Ramadan, melainkan jauh dari itu, ketakwaan juga di implementasikan dalam bulan-bulan selain Ramadan. Wallahualam bissawab.

Dimuat di kolom opini koran harian Lampung Post, Jum'at, 20 Agustus 2010

Tradisi Pulang Kampung

Tradisi Pulang Kampung

Oleh: Hasani Ahmad Said, M.A.
(Dosen Syariah IAIN Raden Intan, Lampung & Kader Mufassir, Pusat Studi Alquran Jakarta)
Tulisan ini dimuat di harian koran KABAR BANTEN, Senin, 7 Sep 2010

Tradisi pulang kampung bagi sebagian besar bangsa Indonesia, menjadi satu keharusan dan tentunya memiliki kenikmatannya tersendiri. Banyak cara orang meluapkan sehingga tradisi ini dianggap sesuatu yang bila ditinggalkan seolah ada yang tidak lengkap dalam setiap kali datangnya lebaran. Maka, ada sebagian kecil yang beranggapan belum lebaran kalau belum pulang kampung, atau ada lagi ungkapan belum lebaran kalau belum punya baju baru.
Hirup pikuk dan sesaknya kota tempat kerja mereka, seolah lengang, bebas macet karena penghuninya telah meninggalkan sejenak tempat mata pencaharianya. Ada yang mengapresiasikan keberhasilannya hijrah dari kampungnya dengan membawa sera merta hasil kerja selama dalam tanah rantau. Dan kenikmatan yang tidak bisa terbayarkan adalah ketika bertemu dengan sanak saudara yang bisa jadi selama berbulan-bulan tidak bertemu, atau bisa jadi tidak bertemu dalam urutan tahun.
Menarik untuk diulas sekaligus menjadi studi penelitian dan pengamatan kecil-kecilan. Paling tidak ada tiga tujuan orang berbondong-bondong pulang kampung. Pertama, melepaskan kangen; kedua, menunjukkan kepada khal layak akan harta perniagaan yang selama ini telah dihasilkan selama satu tahun; dan ketiga, hanya sekedar berlebaran di kampung sekaligus ajang liburan.
Dari ketiga tujuan di atas, yang jelas pulang kampung memiliki keunikan tersendiri, sehingga sulit untuk digambarkan oleh kata-kata, saking memuncaknya rasa kebahagiaan yang dirasakan oleh pelakunya.
Para pakar Psikologi Agama, banyak menggambarkan pulangkampung, disamakan dengan proses menjemput kematian yang husnul khatimah. Perumpamaan ini tidaklah berlebihan, bagaimana tidak kematian pasti akan menghampiri setiap jiwa yang hidup sebagaimana penggalan Alquran “Kullu nafsin daiqatul maut” (setiap jiwa akan menemui mati).
Komaruddin Hidayat dalam buku Psikologi Kematian menulis bahwa kematian ibarat pulang kampung. Maksud di sini adalah bukan berarti orang yang pulang kampung sedang menjemput maut, akan tetapi maknanya adalah bagaimana kematian bukan sesuatu yang menakutkan. Akan tetapi kematian itu, sejatinya kita yang hendak pulang menuju kampung asal kita. Sesungguhnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah (Inna lillah wa inna ilaihi rajiun). Kalau sudah demikian, bukan kita yang takut mati, tapi kita sudah ingin dijemput oleh malaikat maut.
Gambaran ini tentu memerlukan persiapan dan bekal yang baik laksana orang yang hendak pulang kampung yang menyiapkan harta bendanya sekian tahun untuk dibawa ke kampung. Kemudian, istilah pulang kampung identik dengan lebaran, terutama Idul Fithri. Bekal apakah yang terbaik?
Lalu, bagaimana gambaran Alquran tentang lebaran. Alquran dalam Q.S. al-Baqarah/2 ayat 185 menggambarkan nilai-nilai lebaran dengan ungkapan “…Wa litukabbirullaha ‘ala ma hadakum wa la’allakum tasykurun” (Dan Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersykur). Isyarat ayat ini menunjukkan anjuran untuk berucap takbir, sebagai ungkapan rasa syukur. Nilai itulah yang diyakini sebagai indikasi untuk berlebaran atau dalam bahasa orang Indonesia biasa dikenal dengan takbiran.
sebelumnya, potongan ayat ini berbicara tentang perintah wajibnya puasa yang akan membentuk karakter manusia yang nurut/patuh (taqwa) (ayat 183). Setelah diketahui siapa yang wajib berpuasa dan yang diberi izin untuk tidak melaksanakannya, dijelasknan tentang masa puasa yang sebelum ini dinyatakan bahwa hanya pada hari-hari tertentu 29 atau 30 hari saja selama bulan Ramadhan. Nah, bulan ini diangap mulia dan istimewa karena di dalamnya diturunkan Alquran yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas dan pembeda antara yang hak dan batil
Setelah jelas hari-hari tertentu yang harus diisi dengan puasa, maka ada perintah untuk mencukupkan bilangannya, baru kemudian diperintahkan untuk mengagungkan Allah melalui lantunan tasbih, tahmid dan takbir. Dengan kata lain takbiran atau lebaran. Hal itulah yang dianggap sebagai bukti rasa syukur kepada Allah Swt.
Memang terkesan tidak ada keserasian antara lebaran dan pulang kampung, akan tetapi bagi bangsa Indonesia, tradisi pulang kampung memiliki nilai tersendiri. Sehingga, bisa jadi memiliki nilai besar sebagai bentuk rasa syukur atas begitu banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Sehingga dengan kesadaran seperti ini, wujud syukurnya di implementasikan dengan berbagi dengan sanak, family, dan tetangga di kampung. Ternyata wujud inilah yang membuat setiap orang yang selama ini tinggal di luar kampung halamannya, berlomba-lomba menunjukkan kearifn dan kebjikannya untuk saling berbagi.
Dalam bahasa agama istilah berbagi dikenal dengan zakat, infak dan shadaqah. Tentunya, berinfak dan shadaqah kepada orang yang tepat untuk berbagi. Semoga tulisan ini akan memberikan efek bagi para perantau, bahwa dalam harta anda ada hak orang lain. Maka, saatnyalah berbagi dengan sesame, mulailah deri yang terdekat (dzawil qurba), yatim (yatama), dan fakir miskin. Infak dan shaqadh inilah sebagagai bentuk impelmentasi taqwa hasil didikan ramadhan seperti isyarat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 3. Jadi, begitu serasinya satu ayat dengan ayat yang lain, laksana sebuah bangunan yang kokoh. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Dosen Faultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung, Kader Mufasir, Pusat Studi Alquran, Jakarta & Kandidat Doktor UIN Jakarta. Tinggal di Kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon-Banten.
Email hasani_banten@yahoo.com

Tradisi Pulang Kampung

Tradisi Pulang Kampung

Oleh: Hasani Ahmad Said, M.A.
(Dosen Syariah IAIN Raden Intan, Lampung & Kader Mufassir, Pusat Studi Alquran Jakarta)

Tradisi pulang kampung bagi sebagian besar bangsa Indonesia, menjadi satu keharusan dan tentunya memiliki kenikmatannya tersendiri. Banyak cara orang meluapkan sehingga tradisi ini dianggap sesuatu yang bila ditinggalkan seolah ada yang tidak lengkap dalam setiap kali datangnya lebaran. Maka, ada sebagian kecil yang beranggapan belum lebaran kalau belum pulang kampung, atau ada lagi ungkapan belum lebaran kalau belum punya baju baru.
Hirup pikuk dan sesaknya kota tempat kerja mereka, seolah lengang, bebas macet karena penghuninya telah meninggalkan sejenak tempat mata pencaharianya. Ada yang mengapresiasikan keberhasilannya hijrah dari kampungnya dengan membawa sera merta hasil kerja selama dalam tanah rantau. Dan kenikmatan yang tidak bisa terbayarkan adalah ketika bertemu dengan sanak saudara yang bisa jadi selama berbulan-bulan tidak bertemu, atau bisa jadi tidak bertemu dalam urutan tahun.
Menarik untuk diulas sekaligus menjadi studi penelitian dan pengamatan kecil-kecilan. Paling tidak ada tiga tujuan orang berbondong-bondong pulang kampung. Pertama, melepaskan kangen; kedua, menunjukkan kepada khal layak akan harta perniagaan yang selama ini telah dihasilkan selama satu tahun; dan ketiga, hanya sekedar berlebaran di kampung sekaligus ajang liburan.
Dari ketiga tujuan di atas, yang jelas pulang kampung memiliki keunikan tersendiri, sehingga sulit untuk digambarkan oleh kata-kata, saking memuncaknya rasa kebahagiaan yang dirasakan oleh pelakunya.
Para pakar Psikologi Agama, banyak menggambarkan pulangkampung, disamakan dengan proses menjemput kematian yang husnul khatimah. Perumpamaan ini tidaklah berlebihan, bagaimana tidak kematian pasti akan menghampiri setiap jiwa yang hidup sebagaimana penggalan Alquran “Kullu nafsin daiqatul maut” (setiap jiwa akan menemui mati).
Komaruddin Hidayat dalam buku Psikologi Kematian menulis bahwa kematian ibarat pulang kampung. Maksud di sini adalah bukan berarti orang yang pulang kampung sedang menjemput maut, akan tetapi maknanya adalah bagaimana kematian bukan sesuatu yang menakutkan. Akan tetapi kematian itu, sejatinya kita yang hendak pulang menuju kampung asal kita. Sesungguhnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah (Inna lillah wa inna ilaihi rajiun). Kalau sudah demikian, bukan kita yang takut mati, tapi kita sudah ingin dijemput oleh malaikat maut.
Gambaran ini tentu memerlukan persiapan dan bekal yang baik laksana orang yang hendak pulang kampung yang menyiapkan harta bendanya sekian tahun untuk dibawa ke kampung. Kemudian, istilah pulang kampung identik dengan lebaran, terutama Idul Fithri. Bekal apakah yang terbaik?
Lalu, bagaimana gambaran Alquran tentang lebaran. Alquran dalam Q.S. al-Baqarah/2 ayat 185 menggambarkan nilai-nilai lebaran dengan ungkapan “…Wa litukabbirullaha ‘ala ma hadakum wa la’allakum tasykurun” (Dan Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersykur). Isyarat ayat ini menunjukkan anjuran untuk berucap takbir, sebagai ungkapan rasa syukur. Nilai itulah yang diyakini sebagai indikasi untuk berlebaran atau dalam bahasa orang Indonesia biasa dikenal dengan takbiran.
sebelumnya, potongan ayat ini berbicara tentang perintah wajibnya puasa yang akan membentuk karakter manusia yang nurut/patuh (taqwa) (ayat 183). Setelah diketahui siapa yang wajib berpuasa dan yang diberi izin untuk tidak melaksanakannya, dijelasknan tentang masa puasa yang sebelum ini dinyatakan bahwa hanya pada hari-hari tertentu 29 atau 30 hari saja selama bulan Ramadhan. Nah, bulan ini diangap mulia dan istimewa karena di dalamnya diturunkan Alquran yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas dan pembeda antara yang hak dan batil
Setelah jelas hari-hari tertentu yang harus diisi dengan puasa, maka ada perintah untuk mencukupkan bilangannya, baru kemudian diperintahkan untuk mengagungkan Allah melalui lantunan tasbih, tahmid dan takbir. Dengan kata lain takbiran atau lebaran. Hal itulah yang dianggap sebagai bukti rasa syukur kepada Allah Swt.
Memang terkesan tidak ada keserasian antara lebaran dan pulang kampung, akan tetapi bagi bangsa Indonesia, tradisi pulang kampung memiliki nilai tersendiri. Sehingga, bisa jadi memiliki nilai besar sebagai bentuk rasa syukur atas begitu banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Sehingga dengan kesadaran seperti ini, wujud syukurnya di implementasikan dengan berbagi dengan sanak, family, dan tetangga di kampung. Ternyata wujud inilah yang membuat setiap orang yang selama ini tinggal di luar kampung halamannya, berlomba-lomba menunjukkan kearifn dan kebjikannya untuk saling berbagi.
Dalam bahasa agama istilah berbagi dikenal dengan zakat, infak dan shadaqah. Tentunya, berinfak dan shadaqah kepada orang yang tepat untuk berbagi. Semoga tulisan ini akan memberikan efek bagi para perantau, bahwa dalam harta anda ada hak orang lain. Maka, saatnyalah berbagi dengan sesame, mulailah deri yang terdekat (dzawil qurba), yatim (yatama), dan fakir miskin. Infak dan shaqadh inilah sebagagai bentuk impelmentasi taqwa hasil didikan ramadhan seperti isyarat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 3. Jadi, begitu serasinya satu ayat dengan ayat yang lain, laksana sebuah bangunan yang kokoh. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Dosen Faultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung, Kader Mufasir, Pusat Studi Alquran, Jakarta & Kandidat Doktor UIN Jakarta. Tinggal di Kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon-Banten.
Email hasani_banten@yahoo.com