Selasa, 28 September 2010

Meluruskan Makna Jihad Bag. 2

Oleh: Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Syariah IAIN Lampung)
*Tulisan ini pernah dimuat di kolom Opini Koran Harian Kabar Banten, Sabtu, 25 September 2010

Jihad adalah sebuah istilah yang diperdebatkan (debatable) dan multitafsir (interpretable). Jihad memiliki makna yang beragam, baik makna eksoterik maupun esoterik. Jihad eksoterik biasanya dimaknai sebagai perang suci (the holy war).
Jihad dalam arti perang suci oleh sebagian pakar dipandang sebagai suatu pemaknaan yang terpengaruh oleh konsep Kristen (Perang Salib). Namun, jihad jelas berbeda dengan perang. Maka dalam Alquran banyak redaksi yang mengunkan istilah model ini. Antara lain jiha>d, al-qita>l, dan al-h}arb. Dan kesemuanya itu memiliki arti yang berbeda-beda. Kalaupun ada ayat yang memerintahkan untuk berperang, itu pasti konteksnya adalah mempertahankan diri dari gangguan dan penganiayaan pihak kafir.
Sedang makna esoterik, lebih kepada pemaknaan jihad atau lebih tepatnya muja>hadah yang mempunyai arti suatu upaya sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebagian orang memahami jihad dengan pemahaman yang sangat sempit. Jika disebut jihad, maka yag terbayang di dalam benak adalah peperangan, senjata, darah, dan kematian.
Kewajiban berjihad dimaknai sebagai kewajiban memerangi orang-orang kafir dan munafik hingga mereka masuk Islam. Pemahaman seperti itu jelas tidaklah tepat, karena jihad tidak hanya berperang secara fisik dengan mengangkat senjata, tetapi jihad di sini mempunyai arti yang sangat luas. Kalau ada makna perang, itu adalah salah satu atau sebagian kecil dari bentuk jihad yang dilakukan dalam wujud konkrit, yang dilakukan dalam kondisi tertentu.
Yu>suf Qard{a>wi> dalam buku Fiqh al-Jiha>d, ketika memaknai jihad dalam arti perang dalam Islam, ia membedakan menjadi dua tujuan. Pertama, tujuan jihad defensif (ahda>f jiha>d al-daf‘) dan ofensif (ahda>f jiha>d al-t}alab). Jihad defensif yaitu melawan musuh apabila mereka melakukan agresi terhadap negeri Islam. Maksud jihad defensif adalah jihad perlawanan terhadap musuh-musuh yang melakukan pendudukan terhadap negeri Islam.
Dalam kondisi seperti ini, para ulama fikih mengategorikan jihad model ini sebagai fard} ’ayn. Sedang jihad ofensif adalah jihad yang dilakukan terhadap musuh yang berada di negerinya, tetapi kaum muslim mencari dan memerangi mereka di negeri mereka sendiri.
Lebih lanjut, Qard}a>wi> mengartikan jihad adalah mencurahan usaha (badhl al-juhd), kemampuan dan tenaga, yakni berarti menanggung kesulitan (al-mushaqah) yang terambl dari bentuk mas}da>r dari kata ja>hada-yuja>hidu-jiha>dan-muja>hadah.
Misalnya dengan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim yang telah membagi jihad ke dalam tiga belas tingkatan. Ada jihad hawa nafsu, jihad dakwah dan penjelasannya, dan jihad sabar yang dalam bahasa Qard}a>wi> disebut sebagai jihad sipil (al-jiha>d al-madani>). Kalaupun ada jihad yang diartikan peperangan, sayangnya menurut Qard}awi banyak orang yang mereduksi makna jihad dengan makna peperangan saja.
Selain makna-makna di atas, banyak persepsi mengenai makna jihad. Di antaranya jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad menghadapi orang-orang yang senang berbuat maksiat dan orang-orang yang menyimpang dari kalangan mukmin, jihad melawan orang-orang munafik, dan jihad melawan orang-orang kafir.
Pada pembagian di atas, urutan pertama adalah jihad melawan nafsu. Jihad ini merupakan perjuangan yang dianggap amat besar dan berat, dalam bahasa Hadis disebut jiha>d al-akbar dan kendalinya adalah dengan puasa. Dengan demikian, dapat dikatakan pangkal segala jihad adalah terletak pada bagaimana upaya melawan dan menunduukan hawa nafsu. Maka, ketika sudah mampu menundukkan nafsu, maka itulah upaya yang sesunguhnya dalam berjihad.
Selajutnya, jihad kedua adalah melawan setan. setan sebagaimana diketahui, dari penciptaannya sampai hari kiamat akan senantiasa kekal dan peranannya hanya mengganggu dan menjadi musuh manusia. Bahkan, dalam Alquran Q.S. al-A‘raf/7: 17, ditegaskan setan akan mengganggu manusia dari seluruh penjuru arah untuk menjerumuskan manusia agar menjadi makhluk yang tidak taat pada Tuhannya.
Ketiga jihad menghadapi orang durhaka. Dalam istilah Alquran dan hadis dikenal dengan amar ma‘ruf nahy munkar, tentunya dengan melihat objek dakwah dan menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih mengedepankan hikmah, mau‘idhat al-h}asanah, dan muja>dalah dengan cara terbaik.
Keempat, jihad melawan orang munafik. Kata muna>fiq yang berasal dari na>faqa, jamaknyamuna>fiqu>n dan mas}dar-nya nifa>q mempunyai arti keluar dari keimanan secara diam-diam.
Kelima, jihad melawan orang kafir. Ka>fir merupakan isi fa>‘il (pelaku) dari kafara-yakfuru-kufran yang mengandung banyak makna. Di antaranya: menurutup (Q.S. Ibra>hi>m/14: 7), melepaskan diri (Q.S. Ibra>hi>m/14: 22), para petani atau kuffa>r (Q.S. al-H}adi>d/57: 20), menghapus (Q.S. al-Baqarah/2: 271, al-Anfa>l/8: 29), denda (kaffa>rah) karena melanggar salah satu ketentuan Allah (Q.S. al-Ma>’idah/5: 89 dan 95), kelopak yang menutup buah, tetapi di dalam Alquran juga berarti lain, yakni mata air yang bening, harum, dan gurih di surga (Q.S. al-Insa>n/76: 5). Akan tetapi dalam konteks ini, arti yang mendekati adalah kafir berarti menutupi dan menyembunyikan.
Dari beberapa keterangan di atas, dapat pula diambil benang merah bahwa terlihat sekali nuansa pluralistik makna jihad. Sehingga, kalau dikelompokkan bisa jadi lima pembagian itu masuk dalam dua kategori yakni jihad secara fisik dan jihad non fisik. Empat pengelompokkan masuk ke dalam jihad non fisik dan satu masuk dalam kategori jihad fisik memerangi orang kafir.
Menurut Azyumardi Azra, kesalahpahaman terhadap pengertian jihad terjadi pada berbagai kalangan, dari pengamat Barat (orientalis) ataupun kalangan muslim sendiri. Para orientais mengumandangkan bahwa Isam disebaran dengan pedang.
Bagi mereka, ketika mendengar ungkapan jihad, maka akan muncul dalam ingatan mereka adalah angkatan perang muslim yang menyerbu ke berbagai wilayah dengan tujuan memaksa non muslim untuk memeluk Islam. Pemahaman jihad sebagai perang (konfrontasi fisik) melawan non muslim sampai mereka masuk Islam, juga didapati pada kalanagn para penulis muslim. Dalam pemahaman ini, jihad diidentikkan dengan perang suci (holy war).
Dari beberapa pengertian di atas, makna kata jihad, baik yang berasal dari jahd ataupun juhd, semuanya menggambarkan upaya maksial seseorang dalam menghadapi musuh, baik musuh scara hakiki maupun majazi. Sehingga, berjihad berarti bekerha keras tanpa pamrih, dan untuk menghadapi musuh dan mencapai tujuan maksimal, maka seseorang harus bersungguh-sungguh.
Orang yang bersungguh-sunggh inilah yang masuk dalam kategori jihad. Tepatlah kiranya ungkapan Wahbah Zuhayli yang lebih bersepakat bahwa jihad dalam Islam mengandung pengertian umum. Sehingga, Wahbah Zuhayli> dalam al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh cenderung lebih mengusulkan definisi jihad yang lebih toleran yakni mengerahkan kemampuan dan kekuatan dalam memerangi dan melawan orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan lisan.
Pada perkembangan selanjutnya, dari berbagai makna yang telah diungkapkan di atas, paling tidak ada enam makna jihad dalam Islam. Pertama, jihad bermakna perjuangan individual dalam menghadapi kondisi yang sulit karena perbuatan musuh, seperti pada fase Mekah (610-622) dan juga tergambar dalam Q.S. al-Ma‘a>rij/70: 5; kedua, jihad berkembang menjadi perjuangan individual dan komunal (al-muka>fahah al-dha>tiyah wa jama>’iyah) terhadap kaum musyrik Mekah seperti jihad mengorbankan harta dalam Q.S. al-tawbah/9: 41); ketiga, jihad bermakna perang seperti makna jihad pasca Hijra; keempat, jihad berarti perang mewan kaum musyrikin sampai ia bersyahadat; kelima, jihad bermakna memerangi orang-orang yang mengingkari ajaran agama dari Ahl al-kita>b dan orang yang berkhianat dan melanggar janji; dan keenam, jihad berarti perjuangan spiritual dan moral terhadap kesulitan dan kesukaran.
Uraian di atas sangat jelas, stigma teror yang mengatas namakan agama itu jelas keliru karena jihad bukan hanya bermakna perang, tetapi sangat luas seperti yang digambarkan di atas. Kejadian selama ini yang kita saksikan seolah meligitimasi kebenaran makna jihad padahal itu sangat salah besar. Jadi siapa saja yang masih terbius dengan pengungkpan makna yang ekslusif, sadarlah karena pemahaman yang sempit akan menyempitkan pula pemhaman ajaran agam itu.

* Penulis adalah Dosen fak. syariah IAIN Raden Intan & Kandidat Doktor UIN Jakarta. Saat Tinggal di Kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon.

Meluruskan Makna Jihad Bag. 1

Oleh Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Syariah IAIN Lampung)
*Tulisan ini pernah dimuat di kolom Opini Koran Harian Radar Banten, Sabtu, 25 September 2010.
Diunduh dari http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=58652

Dari segi bahasa, term jihad dalam Alquran berasal dari kata jahd dan juhd. Kata jahd biasanya diterjemahkan dengan sungguh-sungguh atau kesungguhan, letih atau sukar dan sekuat-kuatnya. Adapun kata juhd biasa diterjemahkan dengan kemampuan, kesanggupan, daya upaya, dan kekuatan.
Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad. M Quraish Shihab menyatakan bahwa banyak para pakar yang menilai Islam sebagai ”misunderstood religion”, agama yang disalahpahami. Kesalahpahaman itu bukan saja terjadi pada non-muslim, melainkan juga oleh sementara kaum muslim.
Persoalan yang disalahpahami pun beragam. Penyebabnya dapat bermacam-macam.Yang disepakati untuk segera diluruskan adalah seputar isu kekerasan denganmerujuk kepada ayat Alquran atau hadis yang memerintahkan berjihad danberperang. Persoalan ini tidak jarang mengantar musuh-musuh Islam menamai sebagai agama yang merestui dan menyebarkan teror apalagi ada sementara umat Islam dengan sikap mereka yang keras–melampaui–batas–dijadikan bukti pendukung penilaian yang tidak berdasar itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jihad diartikan tiga persepsi. Pertama,jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; kedua, jihad adalah usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga; dan ketiga jihad mengandung arti perang suci melawan orangkafir untuk mempertahankan agama Islam. Berjihad berarti berperang di jalan Allah. Dari pengertian ini dipahami bahwa jihad membutuhkan kekuaan, baik tenaga,pikiran maupun harta. Pada sisi lain, dipahami bahwa jihad pada umunya mengandung risiko kesulitan dan kelelahan di dalam pelaksanaannya.
Istilah ijtihad merupakan terminologi dalam ilmu fiqih yang berarti mencurahkan pikiran untuk menetapkan hukum agama tentang sesuatu kasus yang tidak terdapathukumnya secara jelas dalam Alquran dan hadis. Sedang mujahadah merupakan istilah dalam ilmu tasawuf yang berarti perjuangan melawan hawa nafsu dengntujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Sedang, dalam terminologi Islam, kata jihad diartikan sebagai perjuangan sungguh-sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan, khususnya dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keluhuran.Tetapi istilah jihad yang berarti perjuangan tidak selalu atau tidak semuanya berjuang di jalan Allah karena banyak ayat pula yang berarti berjuang dan berusaha seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan. Misalnya, Q.S. al-Ankabut/29:8 dan Luqman/31: 15, yang masing-masingnya berbicara tentang konteks hubunganantara anak yang beriman dan orang tuanya yang kafir, dalam hal ini juga menggunakan term jihad.
Jihad yang mengandung pengertian berjuang di jalan Allah, ditemukan pada 33 ayat: 13 kali di dalam bentuk fi’il madi (kata kerja bentuk lampau), limakali di dalam bentuk fi’il mudari’ (kata kerja bentuk bentuk sekarang atau yang akan datang), tujuh kali dalam bentuk fi’il amr (kata kerja perintah), empat kalidalam bentuk mas dar,dan isim fa’il (kata benda yang menunjukkan pelaku). Banyaknya bentuk ini mengindikasikan bahwa begitu luasnya dan beraneka ragam makna jihad, yakni perjuangan secara total yang meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk juga di dalamnya perang fisik atau mengangat senjata terhadap para pembangkang atau terhadap musuh.
Dengan demikian, tidak tepatlah kiranya hanya memaknai jihad sebagai jihad yang mengandung pengertian berjuang di jalan Allah atau dalam bahasa lain tidak selalu jihad berkonotasi perang fisik. Apalagi seperti yang telah sedikit diulas di atas, kalau membincangkan ayat jihad tidak serta merta hanya turun pascahijrahnya Nabi, akan tetapi ayat-ayat yang berbicara tentang jihad juga ternyata turun di Mekah.
Sehingga, kalau melihat sejarah ayat-ayat yang turun di Mekah masih berbicara seputar penanaman akidah dan keimanan. Misalnya, Q.S. al-Ankabut/29: 6 dan 69. Patron kata yang digunakan ayat ini menggambarkan adanya upaya sungguh-sungguh,atau tepatnya jihad di sini bermakna mujahadah. Jihad yang dimaksudkan adalah mencurahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mencapai ridha Allah. Karena itu, orang yang berjihad di jalan Allah tidak mengenal putus asa.
Dengan demikian, jihad yang dimaksud di sini, bukan bukan dalamDengan demikian, jihad yang dimaksud di sini, bukan bukan dalam arti mengangkat senjata, karena berperang dan mengangkat senjata baru diizinkan setelah Nabi berada di Madinah, sedang ayat ini bahkan surah ini turun sebelum Nabi berhijrah.

Halalbihalal Meneguhkan Pluralisme

________________________________________
Hasani Ahmad Said
Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, kandidat doktor UIN Jakarta
*Pernah dimuat di kolom Opini Koran Lampung Post, Senin, 20 September 2010
Kita kembali diramaikan dengan pemberitaan, mulai dari isu pembakaran Alquran dan pendirian masjid di negara adidaya, Amerika Serikat sampai penusukan pendeta akibat buntut dari perseteruan pendirian gereja di Bekasi yang dialami jemaat HKBP. Jelas, ini sangat menodai Idulfitri dan halalbihalal.
Meskipun halalbihalal ini berasal dari bahasa Arab, di kalangan masyarakat Arab kata ini tidak terlalu populer. Istilah ini hemat saya lahir dari hasil kreativitas bangsa. Halalbihalal adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia.
Pengistilahan halalbihalal, biasa dipakai untuk pertemuan setelah Lebaran. Diisi dengan saling bersalaman, silaturahmi, dan bisa koneksi/relasi jabatan, bisnis dan lain-lain setelah beberapa pekan tidak bertemu.
Dalam pengertian yang lebih luas, halalbihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari dan pasca-Lebaran. Lebaran merupakan suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini untuk umat Islam yang telah berpuasa dan puasa mereka dilandasi dengan keimanan.
Dalam Alquran, setidaknya ada nilai-nilai yang mengajarkan halalbihalal. Perhatikan Q.S. Ali Imron ayat 134-135. Ayat ini bertalian dengan nasihat pada waktu peristiwa Perang Uhud. Akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang. Kemudian, karena akibat Perang Uhud itu, banyak orang yang gugur di medan perang yang mengundang banyak penyesalan, bahkan kemarahan. Maka, nasihat petama adalah ajakan berinfak baik di waktu lapang maupun sempit. Nasihat kedua dari ayat di atas, imbauan menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.
Ada tiga tingkatan manusia dalam menghadapi kesalahan orang lain menurut ayat di atas. Pertama, mampu menahan amarah (al-kodzimîn al-ghaidz); kedua, menghapus bekas-bekas luka, seolah tidak pernah terjadi apa-apa; dan ketiga, Allah kembali mengingatkan bukan hanya menahan amarah, atau hanya sekedar memaafkan, tetapi yang lebih disukai oleh Allah adalah berbuat kebaikan kepada orang yang pernah melakukan kesalahan.
Ada terapi pada ayat berikutnya (135), yaitu siapa yang sengaja atau tidak melakukan perbuatn keji, baik itu berbuat dosa besar seperti korupsi, membunuh, berzina atau pelanggaran apapun, hendaklah mengingat Allah (dzakarullah) dan memohon ampunan atas dosa-dosa serta bertekat sekuat tenaga untuk tidak mengulanginya.
Ada makna yang sangat dalam, dari dua ayat di atas, berangkat dari makna halalbihalal seperti tersebut di atas, yang ingin ditonjolkan oleh dua ayat di atas adalah pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik dan mudah memaafkan orang lain. Sikap inilah yang mestinya menjadi warna masyarakat muslim Indonesia dan di negara-negara rumpun lainnya.
Ketika sudah melalui proses sesuai dengan bimbingan ayat di atas, baru kemudian masuk ke tahap berikutnya yang kemudian dikenal dengan istilah Idulfitri. Id artinya kembali, fitri berasal dari bahasa Arab yakni fitrah yang mempunyai arti suci/bersih. Sehingga, idulfitri berarti kembalinya manusia kepada keadaan suci, atau keterbebasan manusia dari segala dosa dan noda sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Kesadaran akan semua kesalahan manusia, akan membawa kedekatan kepada Allah. Ketika manusia sudah bertaubat, itu artinya manusia kembali suci tanpa noda. Sehingga tidak ada pembatas atas makhluk dan Tuhan. Inilah makna Q.S. Al Baqarah: 186, "Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku."
Dalam hadis Qudsi Allah berfirman: "Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari." (H.R. Bukhari dari Anas bin Malik).
Gelar setelah proses di atas, yang kembali disandangkan adalah yang dikenal dengan istilah minal aidzin wal faizin. Kata-kata minal aidin wal faizin adalah penggalan dari doa panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa, yakni “taqabbalallâhu minna wa minkum wa ja'alanallahu minal aidzin wal faizin" (Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan (kemenangan).
Dari uraian di atas dapat ditarik natijah bahwa halalbihalal, Idulfltri, dan minal aidzin wal faizin mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
Sekilas menengok persoalan bangsa kita, di tengah gencatan polemik bangsa yang tidak kunjung usai, belum lagi Malaysia yang selalu berulah, lambannya penangan kasus-kasus nasional seperti hilangnya berita kasus Bank Century, pajak, dan masih banyak PR lain yang melanda bangsa kita. Belum lagi, negara kita kembali diuji dengan letusan gunung berapi, kebebasan beragama kian terusik. Kuncinya adalah lakukan perbaikan (muhsinin), tahan amarah jangan mudah terprovokasi, dan maafkanlah.

Banten Primadona Ibukota RI

Oleh Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & Dosen FS IAIN, Lampung)
*Tulisan pernah dimuat di Koran harian Kabar Banten, Rabu, 22 September 2010

Wacana pengalihan ibu kota terus mengalir deras, bak “Air mengalir sampai jauh” begitu ungkap Gesang dalam satu bait syair lagunya. Setidaknya Koran Kabar Banten melansir isu ini dengan menjadikan berita penting dua hari berturut-turut; pertama, Jum’at, 17 September 2010 dengan memuat opini H. Andika Hazrumy (anggota DPD RI) yang bertajuk Banten Layak Jadi Ibukota RI; kedua, menjadikan headline dengan judul Banten Siap Jadi Ibukota, Sabtu, 18 September 2010.
Hazrumi memberi dua alasan kenapa Banten layak menjadi “primadona” yang perlu dipertimbangkan menjadi Ibukota Negara? Pertama, dari sisi historis antara Banten dan Jakarta (dulu Jayakarta) memiliki keterkaitan erat; kedua, dari sisi ekonomi, lebih efektif dan efisien dibanding memindahkan Ibukota Negara ke Palangkaraya (Kabar Banten, 17 Sep, hal. 8).
Sementara H.M. Masduki menyatakan “Kami tunggu keseriusan pemerintah pusat dulu. Jika memang Banten termasuk daerah yang tepat untuk jadi ibu kota Negara RI, tentu secra pribadi saya akan sambut baik (Kabar Banten, 18 Sep, hal. 1).
Jika dilihat dari potensi, Banten memiliki daerah dan lahan yang sangat luas yang akan memudahkan terhadap penataan daerah Ibu kota, selain juga memiliki Bandara Internasional. Ubaidillah, staf ahli Gubernur Banten mengatakan, ibu kota Negara pindah ke Provinsi Banten dapat mempercepat pembangunan di Banten (Kabar Banten, 18 Sep, hal. 13).
Isu pengalihan Ibu kota Negara pertama kali dirilis oleh Presiden SBY saat membuka Rakernas Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), 2 Desember 2009 di Palangkaraya. Isu ini terus berhembus hingga beberapa bulan belakangan ini, akibat kemacetan di Ibukota Negara (Jakarta). Ternyata, bila menelaah sejarah lebih jauh, hembusan usulan Ibukota Negara pernah terjadi juga pada masa Soekarno dengan mengusulkan Kalimantan Tengah sebagai Ibu kota Negara dan era Soeharto yang menawarkan Jonggol, Jawa Barat sebagai Ibu kota Negara RI.
Dalam usulan SBY, paling tidak ada tiga opsi yang dibeberkan; pertama, dengan melakukan pembenahan Jakarta; kedua, usulan pemindahan Ibu kota Negara di luar dari Jakarta; dan ketiga, dengan melakukan pembangunan ibu kota baru.
Kita coba kaji satu persatu, semoga menemukan solusi yang terbaik, untuk selanjutnya menjadi pertimbangan kuat dalam mengambil kebijakan ke depan. Usulan pertama melakukan pembenahan Jakarta. Mencermati kata-kata ini, kembali kita teringat terhadap jargon salah satu kandidat Gubernur Jakarta kala itu dengan ungkapan “Ayo benahi Jakarta”, tetapi jargon ini nampaknya tidak mampu mendongkrak suara salah satu kandidat Gubernur ketika itu. Malah yang menarikan adalah, justru yang masih mengembankan kepercayaan amanah rakyat adalah yang berjargon “Serahkan Jakarta pada ahlinya”.
Upaya pembenahan Jakarta, pernah dilakukan oleh Sutiyoso dengan melakukan melakukan mega proyek Bus Way dan membangun jalur kereta Mono Reil. Namun, banyak pengamat mengatakan proyek ini justru menambah beban kemacetan Jakarta. Kalaupun memiliki imbas positif, akan tetapi imbasnya tidak terlalu signifikan dibanding dengan biaya yang dikeluarkan. Namun demikian, upaya ini perlu juga diapresiasi dalam rangka mewujudkan Jakarta yang bebas macet. Belum lagi dengan Banjir setiap tahunnya, membuat Jakarta semakin di kepung dengan segudang persoalan.
“Serahkan pada ahlinya”, dalam salah satu TV swasta, Foke (panggilan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta) menafsirkan bahwa maksud dari kata itu adalah menyerahkan kepada ahlinya, bukan hanya pribadinya sebagai Gubernur, akan tetapi menyerahkan kepada ahli sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing. Pendek kata, segala langkah telah diupayakan untuk mengatasi dengan mengatasnamakan pembenahan Jakarta, namun hasilnya masih perlu upaya keras nampaknya. Dari mulai Bus way samau usulan 17 langkag terobosan (jalur ganda kereta api, electronic road pricing, penambahan jalur tol, dll.) ternyata memang Jakarta masih menjadi “Primadona urbanisasi” yang mengakibatkan membludaknya jumlah warga, alih-alih meninggalkan kesan ketidakstabilan antara jumlah penduduk dan luas wilayah.
Opsi kedua dan ketiga pemindahan pusat pemerintahan ke luar Jakarta dan pembangunan ibu kota baru. Kabar yang up to date dan santer, pemerintahan Ibu kota Negara akan dilakukan di Palangkaraya. Secara wilayah territorial, Palangkaraya letaknya sangat jauh dari posisi ibu kota Jakarta. Menanggapi opsi ketiga, kalau pembangunan ibu kota baru tentu menjadi opsi terakhir yang bisa dilakukan apabila opsi pertama dan kedua sudah tidak mempu lagi di tangani.
Sejatinya, yang menjadi pertimbangan dalam mengambil arah kemanakah yang lebih tepat pengalihan ibu kota Negara adalah: pertama, letaknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, sehingga memudahkan akses pemindahan dan bisa jadi tidak terlalu kesulitan untuk pemindahan dan lain-lain; kedua, memiliki potensi wilayah yang akan mengundang investor; ketiga, memiliki SDA dan SDM mumpuni dalam pengembangan menjadi Negara maju dan kaya; dan keempat yang tidak kalah pentingnya, mempunyai nilai historisitas atas bangsa.
Di atas telah dijelaskan bahwa Banten adalah menjadi salah satu Provinsi “Primadona” yang layak dipertimbangkan menjadi Ibu kota Negara RI. Ada beberapa pertimbangan kenapa Banten menjadi “Primadona” yang patut “Dilamar” menjadi Ibu kota Negara RI. Pertama, dari segi infrastruktur yang ada sekarang, Banten, melalui kota Cilegon telah lama dikenal di mancanegara sebagai kota baja terbesar di Dunia. Hal ini tentunya menguntungkan akan datangnya investor. Aat Syafaat (Wali kota Cilegon demisioner) dan Tb. Iman Ariyadi (Walikota Cilegon) dalam beberapa kesempatan menyampaikan akan pentingnya hal ini. Selain itu, Banten memiliki Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang dan Pelabuhan Internasional di Bojonegara, Kab. Serang, yang akan memudahkan akses baik local, regional maupun internasional yang akan langsung bersentuhan dengan banten sebagai Ibu kota.
Kedua, Banten memiliki nilai historis, kedekatan bahkan kota “jiran” (tetangga) dengan Jakarta. Hal ini akan memudahkan akses percepatan pemindahan dan pembangunan. Bahkan, boleh dibilang antara Banten dan Jakarta tidak ada jarak pemisah antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya. Bagaimana tidak, perbatasan antara Banten-Jakarta sudah menyatu, kecuali ditandai dengan pembatas-pembatas yang mengatasnamakn wilayah masing-masing. Misalnya, perbatasan antara Banten, dalam hal ini Tangerang Selatan dan Jakarta Selatan di batasi dengan gerbang pembatas yang terpampang dan bertuliskan “Perbatasan Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta” antara Ciputat dan Pasar Jumat.
Ketiga, sejak dulu Banten sudah dikenal oleh dunia luar melalui jalur perdagangannya. Prof. Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulawan Nusantara Abad XVII dan XVII mencatat bahwa pada tahun 1048/1638 penguasa Banten, ‘Abd al-Qadir (berkuasa 1037-63/1626-51), mendapat gelar sultan dari Syarif Makkah sebagai hasil missi khusus yang dikirimkannya ke tanah suci. Sultan Banten ini juga menerima Bendera dan Pakaian suci dan apa yang dipercayai sebagai bekas jejak kaki Nabi dari penguasa Haramayn. Semua pemberian Syarif Mekkah ini terus berlangsung melui pertukaran surat menyurat dan hadiah di antara istana banten dan penguasa haramayn hingga menjelang akhir abad ke-17.
Bahkan, al-Makassari (w. 1111/1699) yang dilahirkan di Sulawesi sebagai perintis kerajaan Aceh memulai karirnya di kesultanan Banten (Bantam) dalam rangka menyebarkan pembaruan jaringan ulama di kepulauan Nusantara. Selain itu, nama-nama besar yang telah mengharumkan Banten di kalangan internasional misalnya, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang menetapkan sebagai kesultanan pada tahun 1552 M., yang dipimpin pertama kali oleh Adipati Hasanuddin Syarif Hidayatullah dan pada satu tahun kemudian Sunda Kelapa dimasukkan dalam adiminstrasi pemerintahan kesultanan Banten.
Selanjutnya, Sultan Ageng Tirtayasa (1053-96/1652-83 ketika itu orang-orang Banten sudah berniaga dengan para pedagang dari Inggris, Denmark, Cina, Indo-Cina, India, Persia, Filipina, dan Jepang. Kapal-kapal kesultanan Banten berlayar di banyak perairan Nusantara, mewakili kekuatan dagang terakhir dari kerajaan-kerajaan Melayu-Indonesia. Dan yang yang tidak boleh dilewatkan adalah peranan Syekh Muhammad Nawâwî al-Jawî al-Bantâni (1815 M./ 1230 H.- 1314 H./ 1897 M), yang bergelar ulama Hijâz (Master of the teachers of the Hijâz) sebagai symbol kecerdasan warga Banten yang dikenal bukan hanya di Indonesia atau Negara rumpun Melayu lainnya, tetapi dikenal juga sebagai ulama Internasional. Karya monumental sebagai magnum opus yang dikenal dan dinikmati hingga sekarang yaitu Tafsir Marâh Labîd Li Kashfi Ma‘nâ Qur’ân Majîd. (Hasani Ahmad Said, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hal. 57-62).
Dari hasil analisis di atas, tentu hasilnya, Banten menjadi lebih dikenal bukan hanya sebagai salah satu pusat Islam penting di Jawa pada masanya, selain itu juga ternyata Banten pernah menjadi pusat pemerintahan di Negara yang dikenal Republik Indonesia sekarang. Pada akhirnya, sangat mungkin, Banten menjadi “Primadona” Ibu kota Negara RI yang akan “Dipinang” menjadi Ibu kota Negara RI, tinggal bagaimana pemerintah provinsi Banten yang dibantu oleh Bupati dan Walikota mempersiapakn dengan matang lamaran tersebut. [*]

*Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung. Tinggal di Link. Pabean, Kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon-Banten.

Tradisi Pulang Kampung

Oleh: Hasani Ahmad Said, M.A.
(Kandidat Doktor UIN Jakarta, Dosen Syariah IAIN Raden Intan, Lampung & Kader Mufassir, Pusat Studi Alquran Jakarta)
*Pernah dimuat di kolom opini Kabar Banten, Selasa, 07 September 2010

Mudik lebaran ibarat rihlah spiritual pasca proses tarbiyah Ramadhan memberikan kesan damai, penghancur amarah, pelebur dosa dan pembangkit semangat ruhani. Nah, nilai inilah sebagai oleh-oleh terbesar dan terindah untuk ditradisikan di kampong tanah tinggal kita masing-masing.
Tradisi pulang kampung bagi sebagian besar bangsa Indonesia, menjadi satu keharusan dan tentunya memiliki kenikmatannya tersendiri. Banyak cara orang meluapkan sehingga tradisi ini dianggap sesuatu yang bila ditinggalkan seolah ada yang tidak lengkap dalam setiap kali datangnya lebaran. Maka, ada sebagian kecil yang beranggapan belum lebaran kalau belum pulang kampung, atau ada lagi ungkapan belum lebaran kalau belum punya baju baru.
Hirup pikuk dan sesaknya kota tempat kerja mereka, seolah lengang, bebas macet karena penghuninya telah meninggalkan sejenak tempat mata pencaharianya. Ada yang mengapresiasikan keberhasilannya hijrah dari kampungnya dengan membawa sera merta hasil kerja selama dalam tanah rantau.
Kenikmatan yang tidak bisa terbayarkan adalah ketika bertemu dengan sanak saudara yang bisa jadi selama berbulan-bulan tidak bertemu, atau bisa jadi tidak bertemu dalam urutan tahun.
Menarik untuk diulas sekaligus menjadi studi penelitian dan pengamatan kecil-kecilan. Paling tidak ada tiga tujuan orang berbondong-bondong pulang kampung. Pertama, melepaskan kangen; kedua, menunjukkan kepada khal layak akan harta perniagaan yang selama ini telah dihasilkan selama satu tahun; dan ketiga, hanya sekedar berlebaran di kampung sekaligus ajang liburan.
Dari ketiga tujuan di atas, yang jelas pulang kampung memiliki keunikan tersendiri, sehingga sulit untuk digambarkan oleh kata-kata, saking memuncaknya rasa kebahagiaan yang dirasakan oleh pelakunya.
Para pakar Psikologi Agama, banyak menggambarkan pulangkampung, disamakan dengan proses menjemput kematian yang husnul khatimah. Perumpamaan ini tidaklah berlebihan, bagaimana tidak kematian pasti akan menghampiri setiap jiwa yang hidup sebagaimana penggalan Alquran “Kullu nafsin daiqatul maut” (setiap jiwa akan menemui mati).
Komaruddin Hidayat dalam buku Psikologi Kematian menulis bahwa kematian ibarat pulang kampung. Maksud di sini adalah bukan berarti orang yang pulang kampung sedang menjemput maut, akan tetapi maknanya adalah bagaimana kematian bukan sesuatu yang menakutkan. Akan tetapi kematian itu, sejatinya kita yang hendak pulang menuju kampung asal kita.
Sesungguhnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah (Inna lillah wa inna ilaihi rajiun). Kalau sudah demikian, bukan kita yang takut mati, tapi kita sudah ingin dijemput oleh malaikat maut.
Gambaran ini tentu memerlukan persiapan dan bekal yang baik laksana orang yang hendak pulang kampung yang menyiapkan harta bendanya sekian tahun untuk dibawa ke kampung. Kemudian, istilah pulang kampung identik dengan lebaran, terutama Idul Fithri. Bekal apakah yang terbaik?
Lalu, bagaimana gambaran Alquran tentang lebaran. Alquran dalam Q.S. al-Baqarah/2 ayat 185 menggambarkan nilai-nilai lebaran dengan ungkapan “…Wa litukabbirullaha ‘ala ma hadakum wa la’allakum tasykurun” (Dan Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersykur).
Isyarat ayat ini menunjukkan anjuran untuk berucap takbir, sebagai ungkapan rasa syukur. Nilai itulah yang diyakini sebagai indikasi untuk berlebaran atau dalam bahasa orang Indonesia biasa dikenal dengan takbiran. Sebelumnya, potongan ayat ini berbicara tentang perintah wajibnya puasa yang akan membentuk karakter manusia yang nurut/patuh (taqwa) (ayat 183).
Setelah diketahui siapa yang wajib berpuasa dan yang diberi izin untuk tidak melaksanakannya, dijelasknan tentang masa puasa yang sebelum ini dinyatakan bahwa hanya pada hari-hari tertentu 29 atau 30 hari saja selama bulan Ramadhan. Nah, bulan ini diangap mulia dan istimewa karena di dalamnya diturunkan Alquran yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas dan pembeda antara yang hak dan batil
Setelah jelas hari-hari tertentu yang harus diisi dengan puasa, maka ada perintah untuk mencukupkan bilangannya, baru kemudian diperintahkan untuk mengagungkan Allah melalui lantunan tasbih, tahmid dan takbir. Dengan kata lain takbiran atau lebaran. Hal itulah yang dianggap sebagai bukti rasa syukur kepada Allah Swt.
Memang terkesan tidak ada keserasian antara lebaran dan pulang kampung, akan tetapi bagi bangsa Indonesia, tradisi pulang kampung memiliki nilai tersendiri. Sehingga, bisa jadi memiliki nilai besar sebagai bentuk rasa syukur atas begitu banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Sehingga dengan kesadaran seperti ini, wujud syukurnya di implementasikan dengan berbagi dengan sanak, family, dan tetangga di kampung.
Ternyata wujud inilah yang membuat setiap orang yang selama ini tinggal di luar kampung halamannya, berlomba-lomba menunjukkan kearifn dan kebjikannya untuk saling berbagi.
Dalam bahasa agama istilah berbagi dikenal dengan zakat, infak dan shadaqah. Tentunya, berinfak dan shadaqah kepada orang yang tepat untuk berbagi. Semoga tulisan ini akan memberikan efek bagi para perantau, bahwa dalam harta anda ada hak orang lain. Maka, saatnyalah berbagi dengan sesame, mulailah deri yang terdekat (dzawil qurba), yatim (yatama), dan fakir miskin.
Infak dan shaqadh inilah sebagagai bentuk impelmentasi taqwa hasil didikan ramadhan seperti isyarat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 3. Jadi, begitu serasinya satu ayat dengan ayat yang lain, laksana sebuah bangunan yang kokoh. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Dosen Faultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung, Kader Mufasir, Pusat Studi Alquran, Jakarta & Kandidat Doktor UIN Jakarta. Tinggal di Kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon-Banten.