Jumat, 26 November 2010

Reformulasi Ritual Haji

Reformulasi Ritual Haji
Oleh Hasani Ahmad Said
*Tulisan dimuat di Wacana Publik, Radar Banten, Jumat, 19-November-2010

Thomas F Oídea (1990), seorang sosiolog mecirikan dan memaknai agama sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab.
Setiap agama memiliki sistem ritual dan sistem nilai, tak terkecuali Islam. Haji merupakan salah satu sistem ritual dalam Islam dan menjadi rukun dalam Islam. Pelaksanaan haji tanpa menyelami nilai-nilai haji hanya akan menjadikan haji sebagai tamasya biasa, sehingga tidak memberikan pengaruh apa-apa yang kuat sepulang haji kepada pelaku haji tersebut.
Janganlah heran jika banyak orang yang sudah haji, tetapi masih melakukan korupsi, masih membuat keputusan yang tidak adil, masih suka mendzalimi dan lain-lain. Itu semua akibat dari tidak adanya penghayatan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam ritual haji.
Haji merupakan satu di antara lima pilar Islam. Allah berfirman: “Serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS al-Hajj [22]: 27).
Dalam ayat ini, Allah menyeru untuk mengerjakan haji, meskipun dengan bersusah payah yang disebut oleh ayat di atas, meskipun berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Tujuan diwajibkan haji adalah memenuhi panggilan Allah untuk memperingati serangkaian kegiatan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim sebagai penggagas syariat Islam seperti tergambar dalam Q.S. Ibrahim ayat 37. Keinginan Ibrahim ditanggapi Allah dengan menyuruh orang-orang untuk menziarahi tempat Nabi Ibrahim tersebut, seperti tergambar pada ayat di atas.
Setiap tahun, pada bulan Dzulhijjah, jutaan kaum Muslim mendatangi Baitullah di kota Makkah. Mereka rela bepergian meskipun Baitullah amat jauh jaraknya dari negeri tempat mereka tinggal dan iklim di kota Makkah sangat berbeda dengan iklim di negeri mereka hidup. Mereka bersedia meninggalkan keluarga, karib-kerabat, kesibukan, dan pekerjaannya untuk memenuhi panggilan Allah.
Satu di antara do’a yang sering dipanjatkan adalah “Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu-Mu. Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan. Dan semua kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada ada sekutu bagi-Mu. Do’a ini akan selalu berkumandang pada secara serempak dilantunkan ditengah terik padang pasir. Lantunannya seakan menjadikan tanah Arab menjadi dingin serta hati para Hujjaj lelap dalam ritual warisan Ibrahim.
Tingginya animo masyarakat dari tahun ke tahun untuk melaksanakan ibadah haji secara statistik menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sehingga membuat tabungan untuk berhaji dilakukan dengan berbagai cara, seperti dipaksakan untuk menabung setiap bulan, mengadakan arisan haji, membuat investasi di mana-mana, baik tanah, emas, sawah, dan lain-lain.
Bahkan, kuota haji untuk lima tahun ke depan sudah terisi secara penuh. Sehingga bagi yang berniat mendaftarkan diri berangkat seketika tentu tidak akan mungkin dengan sistem komputerisasi yang sulit untuk dimainkan mengingat data setiap calon haji sudah sesuai dengan urutan pendaftaran dan pelunasan ONH-nya. Kecuali jika terjadi emergency dari salah seorang calon haji sehingga digantikan oleh urutan di bawahnya.
Farid Esack dalam On Being a Muslim, di dalam haji (perjalanan ke Makah), terdapat pertemuan akar umat Islam yakni akar geneologis, akar religius dan akar spiritual. Akar geneologis karena Adam dan Hawa bertemu di padang Arafah, yang dilambangkan oleh pasak yang menjulang di atas Jabal Rahmah yang terletak di Makah, setelah perpisahan mereka dengan surga. Lalu, akar religius karena Gua Hira, tempat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu, merupakan aspek fisik permulaan Islam sebagai agama. Dan terakhir akar spiritual karena Ka’bah merupakan simbol kehadiran Allah.
Dengan demikian, ketika ritual haji sudah dilaksanakan sesuai tuntunan agama, maka seorang jamaah pun berhak menyandang predikat haji saat wukuf di Arafah tepat pukul 12 siang (setelah salat dan mendengarkan khutbah). Dan pada saat itu gelar haji akan dimiliki. Namun yang lebih penting lagi adalah makna haji yang harus melekat dalam diri pelakunya setelah kembali ke kampung halaman masing-masing. Dan harapan menjadi haji mabrur akan dapat disandang jika seorang haji taat menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya berdasarkan pada Alquran dan as-Sunnah.
Ibadah haji memiliki keistimewaan tersendiri, sebab haji merupakan paduan antara ibadah jasmaniah dan maliyah (harta). Ini menunjukan seolah-olah haji merangkum dari semua rukun Islam. Lebih jauh, haji sendiri secara terminologi mempunyai arti menuju Baitullah guna menunaikan perbuatan yang diwajibkan, seperti tawaf dan wukuf di Arafah dalam keadaan ihram disertai dengan niat haji.
Di antara simbol-simbol haji yang perlu dimaknai, paling tidak, adalah ka’bah, ihram, sa’i, dan wukuf di ‘Arafah. Ihram adalah menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan lembaran kain putih tak berjahit. Menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Tak heran ada yang menyebut haji sebagai gladi resik kematian.
Apa sebenarnya makna pakaian ihram yang berwarna putih itu? Para pelaku haji (hujjaj) adalah tamu-tamu Allah (duyufullah). Mereka mendatangi baitullah (Rumah Allah) dengan berpakaian putih. Putih adalah simbol kesucian yang utuh. Oleh karena itu, menghadap kepada-Nya harus dilandasi kesucian hati dan niat, sehingga tidak ada tendensi apapun kecuali hanya memenuhi panggilan Allah.
Di dalam berpakaian ihram, para jamaah hajipun dikenai peraturan yang ketat, misalnya, tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh memotong atau mencabut tanam-tanaman, tidak boleh menggunakan parfum, tidak boleh bersetubuh, tidak boleh melakukan kekerasan dan lain-lain (wala rafatsa wala fusuqa wala jidala fil hajj). Larangan-larangan itu pada hakikatnya mengajarkan hujjaj tentang pembatasan konsumsi, pengekangan hawa nafsu dan menjauhi tamak. Sebab kata ihram itu sendiri memiliki makna batas, larangan atau tabu.
Kemudian ritual sa’i (lari-lari kecil di antara bukti Safa dan Marwa) merupakan dinamika hidup, yakni sebuah usaha tak kenal lelah demi mempertahankan hidup, sebagaimana Hajar ketika kehauasan dan tidak menemukan adanya tanda-tanda air di sekitarnya. Dia tidak hanya duduk diam menunggu mukjizat datang, namun dia berlari-lari dari bukit Safa ke Marwa hingga akhirnya mendapatkan sumber mata air.
Sa’i dilakukan secara bolak-balik hingga tujuh kali dimulai dari bukit Safa. Safa artinya cinta kasih kepada sesama dan diakhiri di bukit Marwa (Muruwwah), yang berarti bentuk ideal kemanusiaan. Sehingga pada hakikatnya Sa’i mengajarkan manusia untuk mencintai dan menyanyangi sesama hingga muncullah kedamaian kemanusiaan yang ideal.
Simbol penting lainnya adalah wukuf di Arafah. Seperti yang diungkapkan oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang. Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Maha Esa. Tidak ada perbedaan sama sekali, yang ada, persamaan dari sisi kemanusiaan, persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama.
Di Arafah, hujjaj dianjurkan untuk berdoa seharian penuh pada hari ke sembilan bulan Dzulhijjah. Arafah berarti pengetahuan (ma’rifah). Saat wukuf di Arafah adalah saat musyahadah atau ma’rifah, yakni suatu kondisi keimanan yang sempurna dan kehangatan cinta yang membara kepada-Nya. Dengan keterbakaran cinta, Hujjaj dalam bahasa tasawwuf akan mengalami fana’ (lebur dirinya dan hilang sama sekali) sehingga tidak ada yang disaksikannya kecuali siapa yang dicintainya.
Hujjaj akan iri kepada segala sesuatu walaupun kepada matanya sendiri. Berangkat menuju Arafah berarti berangkat menuju keasyikan berdialog dengan Allah. di sinilah komunikasi terbangun antara hujjah dan Allah sehingga hujjaj bisa mengetahui ‘kehendak-kehendak’ Allah yang kemudian dijalankan di muka bumi.
Makna ritual haji yang begitu dalam yang telah diurai di atas bukan sekedar ritual belaka tanpa makna. Namun ritual haji yang disyariatkan oleh Nabi Ibrahim yang kemudian dijalankan oleh jutaan umat manusia itu adalah ritual dan simbol haji yang erat kaitannya dengan dimensi sosial. Dengan kata lain, haji mabruru adalah haji yang mampu mensinergikan amalan ibadah dengan amaliyah. (*)

Hasani Ahmad Said
Dosen IAIN Raden Intan & Kandidat Doktor UIN Jakarta, Alumni MA. Al-Khairiyah Karang Tengah, Tinggal di Pabean.