Minggu, 10 Oktober 2010

DIMENSI RUHANI MANUSIA

DIMENSI RUHANI MANUSIA
Oleh: Hasani Ahmad Said*
*Tulisan ini pernah dimuat di Opini Koran Kabar Banten,Sabtu,9 Okt 2010

Manusia secara fisik tak ubahnya seperti belalang kecil yang hinggap di pohon-pohon. Tetapi dalam diri yang kecil itu terdapat arsy Tuhan, yang luasnya lebih luas dari bumi dan langit, demikian ungkapan Jalaludin Rumi.
Manusia pada hakikatnya terdiri atas dua dimensi. Dimensi jasmani dan ruhani. Dua dimensi itu selayaknya harus tersentuh proses pembelajaran dalam hidup manusia. Dimensi ruhani ada dan terdapat dalam qalbu, ruh, nafs, dan aqal yang pada gilirannya membawa ketentraman baik jiwa manusia di tengah kegelisahan kehidupan dunia modern sekarang, atau malah sebaliknya.
Baiklah coba satu persatu diuraikan dalam tulisan ini untuk menemukan eksistensi manusia sesungguhnya sebagai manusia yang diposiskan sesempurnanya ciptaan. Pertama Qalb yang bermakna membalik, kembali, maju-mundur, naik turun, berubah-ubah. Kata ini digunakan untuk menamai bagian dalam dari manusia yang menjadi sentral diri manusia itu sendiri, yang kita terjemahkan dengan hati.
Qalb yang suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih dan tampak titik apinya, tempat bertemunya minyak dan api, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman sedangkan di dalamnya diterangi cahaya ruh suci; sehingga terberkatilah dua rumah: rumah jiwa dan rumah jasad oleh cahaya-cahaya tersebut
Al-Ghazali (w. 505 H.), dari kalangan sufi, mencoba menjelaskan pengertian qalb dengan terlebih dahulu membuat kategori yakni qalb dalam pengertian fisik, yaitu segumpal daging sebagian organ tubuh yang terletak pada bagian kiri ronga dada, dan merupakan sentral peredaran darah; di mana darah itu yang membawa kepada kehidupan. Al-Ghazali mengatakan, hati dalam kategori ini adalah hati biologis yang menjadi obyek kajian para ahli kesehatan.
Kedua adalah ruh, kata ruh berasal dari akar kata r w h. Dalam hal ini, makna resmi kata tersebut yang berarti nyawa yang menggerakkan makhluk hidup, dapat dipahami secara intuitif sebagai udara yang menggerakkan jasad manusia. Karena udara tidak dapat dilihat, maka demikian pula ruh, yang hanya dapat dirasakan keberadaannya yang seperti angin itu.
Ruh mengantar pada ilahi, jasad membawa pada keduniawian. Ruhani adalah yang mengendalikan, memberikan visi dan nilai-nilai bimbingan kepada jiwa-jiwa nabati, hewani dan insani. Ruh kita sesungguhnya perwujudan arsy Tuhan. Jangkauannya lebih luas dari bumi.
Jadi, kalau kita mencintai dunia berarti kita memenjarakan ruh kita di sangkar yang kecil. Mana mungkin burung elang itu bisa bahagia di dalam sangkar yang kecil. Bebaskan ruh kita dari sangkar dunia.
Dalam kalangan sufi, ruh tidak mereka definisikan, tetapi mereka melihatnya dari sisi bahwa ruh adalah alat bagi manusia dalam berhubungan dengan Tuhan. Ruh iru erat hubungannya dengan jantung, di mana ia beredar bersama peredaran darah, sehingga kalau detak jantung sudah berhenti, maka berakhir pulalah ruh itu.
Akan tetapi, ruh yang menjadi sasaran tasawuf adalah ruh lathifah al-‘Alimah al-mudrikah min al-insan (sesuatu yang halus, yang mengetahui dan mempersepsi, yang terdapat dalam diri manusia), atau sama pengertiannya hati dalam kategori kedua di atas.
Ketiga, nafs, istilah nafs dalam al-Qur’an yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), di samping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.
Mengungkap tentang al-nafs tidak dapat dipisahkan dengan ruh; sejatinya keduanya harus didudukkan sapu paket. Ruh itu dari Allah (Qul al-ruhu min amri Rabbi), sedangkan Allah itu maha suci dan immateri. Maka ruh itupun bersifat immateri dan suci.
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian, emosi yang ada pada manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi.
Nafsu menempati bagian jantung manusia, sedang akal menempati otak manusia.
Al-Qur’an juga menyebut “Fakasauna al-idzama lahma” lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging (Q.S. Al Mu’minun [23]:14). Tatkala usia kandungan sembilan puluh hari proses pembentukan tubuh mulai berlangsung.
Maka nafs (jiwa), sebaiknya dipahami sebagai totalitas daya-daya ruhani berikut interaksinya dan aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Quraish Shihab cenderung memahami nafs sebagai sesuatu yang merupakan hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia. Perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia lainnya.
Keempat, ‘Aql yang berarti ikatan, batasan, atau menahan. Al-Ghazali meng-kategorikan akal atas dua pengertian. Pertama akal dikaitkan dengan pengetahuan tentang suatu realitas, kedua akal diartikan sama dengan kalbu. Jadi hati tak berbeda dengan akal. Meski demikian, kaum sufi menempatkan akal identik dengan dzawk (perasaan batin). Oleh karena itu, mereka berkeyakinan bahwa akal yang mampu mempersepsi sesuatu, sehingga menjadi sebuah konsep.
Dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa manusia tidak terlepas dari empat dimensi di atas. Kemudian, hati, ruh, nafsu, dan akal akan membawa kepada manusia yang sesungguhnya. Dalam artian bahwa dengan empat dimensi itu, manusia akan menjadi posisi/kedudukan yang terhormat, juga sebaliknya, bisa juga dalam posisi tersungkur atau hina.
Alquran menggambarkan mengenai penciptaan manusia sebaik-baik ciptaan (fî ahsani taqwîm). Akan tetapi posisi yang Allah berikan dalam posisi terbaik itu, bisa juga berbalik 180 derajat karena ulah manusia, yang kemudian digambarkan oleh Alquran sebagai sehina-hinanya manusia. Bahkan, manusia akan terlempar ke dasar kerak neraka.
Tepatlah kiranya, dua potensi yang Allah gambarkan dalam Q.S. al-Syams yakni Allah mengilhamkan kejelekan dan ketakwaan. Pertanyaannya tinggal pilih yang mana? Maka, dalam hal ini keempat dimensi di atas yang akan membawa manusia kelembah ke-takwaan atau kejelekan.


* Penulis adalah Dosen tetap Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan, Lampung & Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini tinggal di Pabean, Purwakarta, Cilegon, Banten.

Masjid, Simbol Peradaban Islam

Masjid, Simbol Peradaban Islam
Oleh: Hasani Ahmad Said
Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Syariah, IAIN Bandar Lampung
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Lampung Post, Jum'at, 8 Oktober 2010

Menengok sejarah klasik Islam, masjid yang pertama kali dibangun adalah Masjid Nabawi pascahijrah. Dikisahkan, sesampainya rombongan Nabi saat hijrah dari Mekah menuju Madinah, setelah unta tunggangan Rasulullah saw. berhenti di suatu tempat di Madinah, maka kaum muslimin menjadikannya sebagai tempat untuk menunaikan salat.
Tempat itu merupakan tempat penjemuran kurma milik Suhail dan Sahl, dua anak yatim dari Bani Najjor, yang berada dalam pemeliharaan As’ad bin Zurarah.
Babak hijrah tersebut ditandai oleh sebuah gagasan untuk membangun masjid, yang kelak akan menjadi saksi bisu tentang gemerlapnya peradaban Islam. Masjid menjadi sebuah magnet bagi peradaban Islam saat itu dan di situlah Rasulullah mampu membangun sebuah episentrum sebuah peradaban.
Konsep masjid pusat peradaban tersebut menjadikan masjid lebih dari sekadar tempat sujud. Secara leksikologi, seperti akar kata masjid terambil dari kata Sajada-yasjudu-Sajdan yang kesemuanya mengandung arti bersujud, patuh, taat, serta tunduk penuh hormat dan takzim. Sedangkan untuk menunjukan suatu tempat kata Sajada menjadi kata masjidun (Isim makan) yang artinya tempat sujud menyembah Allah swt.
Allah berfirman: "Orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (At Taubah (9): 18)
Ayat ke-18 ini dapat dipahami dari dua sudut pandang yang berbeda tentang pelaku pemberdayaan masjid. Pertama, yang benar-benar memberdayakan masjid dalam arti memakmurkannya hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Kedua, jaminan Allah bagi para pelaku pemberdayaan masjid bahwa mereka adalah orang-orang yang akan senantiasa dijaga keimanannya oleh Allah.
Masjid Agung Banten, termasuk The oldest mosques in Indonesia 10 masjid tertua di Indonesia. Sepuluh masjid tua itu adalah Masjid Tua Palopo (1604), Masjid Al Hilal Katangka (1603), Masjid Mantingan (1559 AD), Masjid Agung Banten (1552-1570), Masjid Menara Kudus (1537), Masjid Sultan Suriansyah (1526), Masjid Agung Demak (1474), Masjid Ampel (1421), Masjid Wapauwe (1414), Masjid Saka Tunggal (1288).
Masjid Agung Banten didirikan oleh Sultan pertama Kasultanan Demak Maulana Hasanuddin ketika menjabat sebagai Sultan Banten pada 1552—1570. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati.
Melihat dari sisi ini, Banten tentunya memiliki nilai sejarah tersendiri dalam penyebaran agama Islam di Banten. Selain itu, Masjid Agung Banten merupakan salah satu peninggalan kebudayaan terbesar di antara manuskrip-manuskrip lain.
Masjid bagi sebagian kalangan masih menjadi masjid yang disakralkan. Terlihat misalnya pada tanggal 12 Maulud sudah menjadi tradisi selalu diadakan peringatan maulid (kelahiran) Nabi di Masjid Agung Banten. Saat inilah biasanya, jemaah membludah “ngalap” berkah. Masjid Agung Banten hingga kini masih berdiri kokoh, oleh karena itu tak heran Masjid Agung Banten memiliki nilai historis yang cukup tinggi, khususnya dalam proses penyebaran Islam di Tanah Banten. Di beberapa kota/kabupaten juga berdiri tegak Masjid Agung yang menjadi simbol peradaban sekaligus kebanggaan daerahnya.
Kalau berkaca pada zaman Rasulullah, seperti telah diungkapkan di atas, pada zaman Rasul di masjid tempat menyusun strategi perang dan pembangunan ekonomi umat. Maka, masjid pada zaman sekarang, sejatinya bukan hanya dijadikan tempat ibadah semata, melainkan tepatnya masjid sudah mempunyai peranan yang multifungsi atau yang dikenal sekarang sebagai pusat Islam (Islamic center/markaz al-islam) seperti tempat menuntut ilmu, pembinaan jemaah, pusat dakwah dan kebudayaan Islam, pusat pengaderan dan basis kebangkitan Islam.
Tidak terelakkan lagi, di mana ada pusat pendidikan, perkantoran, perbelanjaan, pembinaan ummat, di situ pula ada masjid megah yang menjadi payung dari semua aktivitas semua itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pembinaan remaja masjid yang akan menjadi pilar pengganti para generasi tua yang didasari dan dilandasi dengan akidah dan akhlak yang kokoh.
Kalau semua sudah berangkat dari masjid, sebelum kerja melakukan salat duha dulu, saatnya menjelang azan zuhur atau asar segala aktivitas dihentikan untuk salat berjemaah, dan selalu menjaga silaturahmi melalui berjamaan. Maka, insya Allah negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan terlaksana. Semoga. n