Rabu, 15 Desember 2010

Hijrah Melawan Koruptor

Hijrah Melawan Koruptor
Wacana Publik, Radar Banten, Jumat, 10-Desember-2010
Oleh: Hasani Ahmad Said

Imam Syafi`i, anutan mazhab terbesar di Indonesia, menulis syair yang bagus tentang ini Sâfir tajid ‘iwadl-an ‘an man tufâriq-uhu, fa inn-a ‘l-‘ûd bâkî fî ardl-ihi min al-hathâbi (Pergilah maka kamu akan mendapatkan ganti dari yang kamu tinggalkan, lihatlah kayu yang wangi itu [cendana] di tempatnya sendiri cuma sebangsa kayu bakar saja).
Maksudnya, banyak orang yang mungkin tidak berharga kalau masih berada di tempatnya sendiri, dia akan berharga kalau pindah ke tempat lain. Banyak orang yang bisa membuat kreativitas dan karya-karya besar setelah mereka pindah. Sebaliknya, jarang sekali orang yang bisa menjadi besar di tempatnya sendiri, karena terinkografik dari masyarakatnya.
Jadi Hijrah itu merupakan suatu cara untuk memperoleh pelajaran dari Allah dengan memperhatikan masyarakat-masyarakat yang jauh. Itulah sebabnya mengapa umat Islam dulu sangat dinamis; mereka mengembara ke seluruh muka bumi, dan menemukan berbagai hal yang kemudian dirangkum untuk menjadi ramuan dari peradaban Islam. Peradaban Islam adalah peradaban yang sangat kosmopolit, dalam arti bahwa unsur-unsurnya diambil dari seluruh umat manusia.
Tanpa disengaja peringatan Hari Anti Korupsi 9 Desember 2010 kali ini, bertepatan dengan tahun baru Islam, bulan Muharram. Rasanya bukan satu hal kebetulan di tengah goncangan dan gejolak pemberitaan yang merobek hati nurani bangsa mulai kasus Century hingga kasus pajak Gayus, Hari Anti Korupsi tahun 2010 tahun ini bertepatan dengan semangat menggeloranya nilai-nilai hijrah.
Ada hal apa yang menarik dari nilai hijrah yang dijalankan oleh Rasulullah Saw. yang pernah menggugah dari keadaan yang lemah (dh a’if) menuju kondisi yang kuat (qawiy/ superioritas).
L Stoddard dalam The Rising Tide of Colours (Bangkitnya Bangsa-Bangsa Berwarna) mengatakan bahwa Nabi Muhammad seolah-olah telah mengubah padang pasir Timur Tengah menjadi mesiu yang dia sulut dari Madinah dan meledaklah seluruh Timur Tengah. Sebab tidak lama setelah Rasulullah pindah ke Madinah, dalam tempo 10 tahun beliau wafat. Dan beliau menjadi tokoh sejarah yang paling sukses dalam sejarah umat manusia.
Pandangan di atas, tidak jauh berbeda dengan Michael Hart, seorang wartawan Amerika yang menulis buku tentang 100 tokoh yang paling berpengaruh di dalam sejarah umat manusia, dengan jujur mengakui bahwa di antara 100 tokoh itu, kalau dilihat efeknya, maka Muhammad-lah yang paling berpengaruh di dalam sejarah umat manusia.
Menilik perjalanan hijrah, kemudian saya akan mencoba memaknai untuk kemudian mencari titik terang kesepahaman nilai hijrah merubah dan menggugah kesadaran kehidupan sosial yang baik. Hijrah artinya secara bahasa berarti pindah. Dalam bahasa Inggris, hijrah lebih tepat sepadan dengan kata migration.
Dalam beberapa literature, orang-orang Barat menerjemahkan hijrah dengan flight, padahal flight itu artinya melarikan diri. Dengan bermigrasi dari Makkah ke Madinah, Nabi Muhammad tidak bermaksud melarikan diri, akan tetapi memang pindah, dan kepindahannya bukan atas kemauan sendiri melainkan atas petunjuk dari Allah swt.
Madinah dalam bahasa Arab sama dengan polis dalam bahasa Yunani. Maka ada Konstantinopolis, Miniapolis, Indianapolis, Parsipolis, dan lain-lain. Seandainya Rasulullah dulu berbahasa Yunani, maka Madinah itu akan memperoleh nama Prophetopolis, kota Nabi. Dari polis inilah kemudian terambil kata-kata politik; jadi perkataan politik itu sendiri sudah menunjuk kepada konsep kehidupan teratur dalam sebuah kota. Maka tidak heran bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mendirikan negara (Madinah).
Negara yang didirikan Nabi itu mula-mula adalah sebuah negara kota (city state), kemudian diperluas meliputi seluruh Jazirah Arabia. Kelak bahkan diperluas lagi oleh para sahabat menjadi suatu imperium dunia, yang jauh lebih luas daripada kekaisaran Romawi atau kekaisaran Byzantium pada zaman keemasannya.
Secara sosiologis historis memang ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hijrah Nabi, yaitu antara lain didahului dengan adanya baiat (janji setia) yang diikuti oleh orang-orang dari Madinah (waktu itu namanya Yatsrib, yang dalam naskah-naskah Yunani kuna dikenal sebagai Yathroba).
Tidak banyak yang diketahui oleh orang-orang luar mengenai Arabia, karena Arabia memang merupakan daerah yang tidak begitu menarik bagi bangsa-bangsa lain. Karena itu tidak ada usaha untuk, misalnya, menaklukkan daerah tersebut. Orang Arab sendiri menyadari hal itu, karenanya disebut jazirah. Dalam bahasa Arab, jazirah itu bukan semenanjung, tetapi pulau.
Di zaman Rasulullah Muhammad SAW, pernah terjadi suatu fase di mana moral beberapa sahabat mengalami penurunan. Ketika itu kemenangan demi kemenangan di medan peperangan berhasil diraih pasukan Islam. Rampasan perang sangat melimpah berupa berbagai macam barang berharga. Segelintir oknum sahabat ada yang tergoda melakukan tindak korupsi dengan mengambil barang pampasan perang sesukanya sendiri tanpa seizin Rasulullah.
Atas tindakan melanggar hukum itu, Allah segera menurunkan peringatan keras seperti yang bisa kita baca dalam surah Ali Imran. Barangsiapa yang berkhianat (korupsi?) dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianati itu. (QS 3:161).
Peringatan Allah yang keras itu kemudian dijabarkan lebih jauh oleh hadis, seperti yang disabdakan Nabi Muhammad. Maka demi zat yang diri Muhammad di dalam genggaman-Nya, tidaklah tindakan khianat/korupsi salah seorang dari kalian atas sesuatu, kecuali dia akan datang pada hari kiamat nanti dengan membawa di lehernya. Kalau yang dikorupsi itu adalah unta, maka ia akan datang dengan melenguh. (HR Bukhari-Muslim).
Korupsi adalah kejahatan pengambilan kekayaan dan hak orang lain secara tidak sah untuk memperkaya diri sendiri. Oleh karenanya, Islam mengharamkan tindak korupsi termasuk memakan hasil dari tindak korupsi.
Beberapa ulama berpendapat, Islam mengkategorikan tindak pidana korupsi dalam beberapa jenis perbuatan, yaitu; sariqah (pencurian), ikhtilaf (menjambret), khiyanah (menggelapkan), ikhtilas (mencopet), al-nahb (merampas), dan al-ghasb (menggunakan tanpa seizin).
Dalam batasan pengertian korupsi sebagai tindak kejahatan sariqah (pencurian dan suap), Allah SWT tegas sekali mengutuk perbuatan tersebut, seperti firman-Nya dalam surah Al-Anfal (harta pampasan perang). Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS 8:27).
Rasulullah SAW mengingatkan kita lewat sabdanya, Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara. (HR Ahmad dan Hakim). Korupsi dalam batasan pengertian sebagai tindak penggelapan (khiyanah), dan merampas harta dan hak orang lain (al-nahb). Rasulullah SAW memperjelas dalam sabdanya, Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan yang diambilnya selebih dari itu, berarti suatu penipuan. (HR Abu Daud).
Dari penegasan Allah SWT dan Nabi Muhammad tersebut maka jelas, bahwa agama Islam melarang tindak korupsi-suap dalam berbagai batasan tersebut di atas, dan mengategorikannya dalam tindakan yang haram. Islam juga memandang bahwa tindak pidana korupsi telah merendahkan martabat manusia di mata Allah. Oleh karenanya kita dilarang mendekatinya, apalagi melakukannya.
Apa yang diingatkan oleh Allah SWT tentang korupsi seperti termaktub dalam ayat-ayat Al-Quran di surah Harta Pampasan Perang (Al-Anfal), sesungguhnya sebuah isyarat bahwa manusia memang cenderung berlaku korup. Korupsi merupakan penyakit masyarakat dari bangsa apapun. Maka, pantaslah bila secara mondial kita memperingati Hari Anti Korupsi yang jatuh pada tanggal 9 Demseber yang lalu.
Era Reformasi mengamanatkan perang terhadap korupsi. Genderang perang itu kemudian dituangkan dalam KUHP maupun UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Namun, secara kasat mata, kita melihat bahwa praktik korupsi kian menjadi-jadi di negeri ini.
Tahun 2003 dan 2004, China ditetapkan sebagai negara paling korup di dunia disusul kemudian Indonesia, India, Brasil dan Peru. Peringkat Indonesia dalam bidang negara terkorup terkoreksi di tahun 2009 ini. Menurut lembaga riset Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, kini Indonesia berada di peringkat ke-79 negara terkorup di dunia. Memang ada kemajuan.
Memang, betapa malunya kita atas predikat menjadi negara yang tergolong terkorup di seluruh dunia. Di luar sana, bangsa-bangsa lain juga sudah lama membicarakan bangsa kita yang mayoritasnya beragam Islam, tetapi kenapa tingkat tindak sariqah-nya (korupsi dan suap) tergolong tinggi. Rasanya bangsa lain itu hendaknya kita jadikan bahan introspeksi diri. Dan, sebaiknya marilah kita mulai dari diri kita sendiri masing-masing untuk patuh dan taat kepada ajaran Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW untuk tidak melakukan tindak korupsi dalam bentuk apapun sekecil apapun. Karena yang demikian itu sesungguhnya adalah ukuran dan indikator dari salah satu takwa yang berkualitas.
Beberapa upaya telah ditempuh untuk memberantas korupsi, saat ini dilakukan oleh beberapa institusi: Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kepolisian, Kejaksaan, BPKP, Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW).
Sesungguhnya bila dibandingkan dengan era Orde Baru, pada zaman reformasi ini pemberantasan korupsi di Indonesia sudah sangat berkembang, namun hingga kini hasilnya belum menunjukkan titik terang, mungkin karena sumber oknum korupsi justru berada di dalam institusi penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan). Hal itu yang membikin pemberantasan korupsi susah diuraikan. Mungkin yang paling tepat pemberantasan korupsi itu dimulai dari diri sendiri.
Tanggal 9 Desember telah ditetapkan sebagai Hari Anti Korupsi se-Dunia. Sebagai orang muslim harus menanggapi sebagai aksi gerakan moral yang cukup baik untuk memulai mengetuk pada diri sendiri, dan terus menjaga kebenciannya terhadap korupsi. Maka, momen hijrah sejatinya bukan hanya bermakna pindah belaka, akan tepai lebih jauh dari itu, hijrah yang actual sesungguhnya mampu mereformasi keberpindahan dari yang tidak baik menuju kebaikan.
Semoga tulisan ini menjadi penyadaran akan pentingnya berhijrah untuk kebaikan, hijrah untuk kemaslahatan dan hijrah untuk kepentingan bersama yang hanya dirasakan untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Hasani Ahmad Said
Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan, Lampung, Alumni Pendidikan Kader Mufassir & Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jumat, 26 November 2010

Reformulasi Ritual Haji

Reformulasi Ritual Haji
Oleh Hasani Ahmad Said
*Tulisan dimuat di Wacana Publik, Radar Banten, Jumat, 19-November-2010

Thomas F Oídea (1990), seorang sosiolog mecirikan dan memaknai agama sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab.
Setiap agama memiliki sistem ritual dan sistem nilai, tak terkecuali Islam. Haji merupakan salah satu sistem ritual dalam Islam dan menjadi rukun dalam Islam. Pelaksanaan haji tanpa menyelami nilai-nilai haji hanya akan menjadikan haji sebagai tamasya biasa, sehingga tidak memberikan pengaruh apa-apa yang kuat sepulang haji kepada pelaku haji tersebut.
Janganlah heran jika banyak orang yang sudah haji, tetapi masih melakukan korupsi, masih membuat keputusan yang tidak adil, masih suka mendzalimi dan lain-lain. Itu semua akibat dari tidak adanya penghayatan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam ritual haji.
Haji merupakan satu di antara lima pilar Islam. Allah berfirman: “Serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS al-Hajj [22]: 27).
Dalam ayat ini, Allah menyeru untuk mengerjakan haji, meskipun dengan bersusah payah yang disebut oleh ayat di atas, meskipun berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Tujuan diwajibkan haji adalah memenuhi panggilan Allah untuk memperingati serangkaian kegiatan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim sebagai penggagas syariat Islam seperti tergambar dalam Q.S. Ibrahim ayat 37. Keinginan Ibrahim ditanggapi Allah dengan menyuruh orang-orang untuk menziarahi tempat Nabi Ibrahim tersebut, seperti tergambar pada ayat di atas.
Setiap tahun, pada bulan Dzulhijjah, jutaan kaum Muslim mendatangi Baitullah di kota Makkah. Mereka rela bepergian meskipun Baitullah amat jauh jaraknya dari negeri tempat mereka tinggal dan iklim di kota Makkah sangat berbeda dengan iklim di negeri mereka hidup. Mereka bersedia meninggalkan keluarga, karib-kerabat, kesibukan, dan pekerjaannya untuk memenuhi panggilan Allah.
Satu di antara do’a yang sering dipanjatkan adalah “Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu-Mu. Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan. Dan semua kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada ada sekutu bagi-Mu. Do’a ini akan selalu berkumandang pada secara serempak dilantunkan ditengah terik padang pasir. Lantunannya seakan menjadikan tanah Arab menjadi dingin serta hati para Hujjaj lelap dalam ritual warisan Ibrahim.
Tingginya animo masyarakat dari tahun ke tahun untuk melaksanakan ibadah haji secara statistik menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sehingga membuat tabungan untuk berhaji dilakukan dengan berbagai cara, seperti dipaksakan untuk menabung setiap bulan, mengadakan arisan haji, membuat investasi di mana-mana, baik tanah, emas, sawah, dan lain-lain.
Bahkan, kuota haji untuk lima tahun ke depan sudah terisi secara penuh. Sehingga bagi yang berniat mendaftarkan diri berangkat seketika tentu tidak akan mungkin dengan sistem komputerisasi yang sulit untuk dimainkan mengingat data setiap calon haji sudah sesuai dengan urutan pendaftaran dan pelunasan ONH-nya. Kecuali jika terjadi emergency dari salah seorang calon haji sehingga digantikan oleh urutan di bawahnya.
Farid Esack dalam On Being a Muslim, di dalam haji (perjalanan ke Makah), terdapat pertemuan akar umat Islam yakni akar geneologis, akar religius dan akar spiritual. Akar geneologis karena Adam dan Hawa bertemu di padang Arafah, yang dilambangkan oleh pasak yang menjulang di atas Jabal Rahmah yang terletak di Makah, setelah perpisahan mereka dengan surga. Lalu, akar religius karena Gua Hira, tempat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu, merupakan aspek fisik permulaan Islam sebagai agama. Dan terakhir akar spiritual karena Ka’bah merupakan simbol kehadiran Allah.
Dengan demikian, ketika ritual haji sudah dilaksanakan sesuai tuntunan agama, maka seorang jamaah pun berhak menyandang predikat haji saat wukuf di Arafah tepat pukul 12 siang (setelah salat dan mendengarkan khutbah). Dan pada saat itu gelar haji akan dimiliki. Namun yang lebih penting lagi adalah makna haji yang harus melekat dalam diri pelakunya setelah kembali ke kampung halaman masing-masing. Dan harapan menjadi haji mabrur akan dapat disandang jika seorang haji taat menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya berdasarkan pada Alquran dan as-Sunnah.
Ibadah haji memiliki keistimewaan tersendiri, sebab haji merupakan paduan antara ibadah jasmaniah dan maliyah (harta). Ini menunjukan seolah-olah haji merangkum dari semua rukun Islam. Lebih jauh, haji sendiri secara terminologi mempunyai arti menuju Baitullah guna menunaikan perbuatan yang diwajibkan, seperti tawaf dan wukuf di Arafah dalam keadaan ihram disertai dengan niat haji.
Di antara simbol-simbol haji yang perlu dimaknai, paling tidak, adalah ka’bah, ihram, sa’i, dan wukuf di ‘Arafah. Ihram adalah menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan lembaran kain putih tak berjahit. Menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Tak heran ada yang menyebut haji sebagai gladi resik kematian.
Apa sebenarnya makna pakaian ihram yang berwarna putih itu? Para pelaku haji (hujjaj) adalah tamu-tamu Allah (duyufullah). Mereka mendatangi baitullah (Rumah Allah) dengan berpakaian putih. Putih adalah simbol kesucian yang utuh. Oleh karena itu, menghadap kepada-Nya harus dilandasi kesucian hati dan niat, sehingga tidak ada tendensi apapun kecuali hanya memenuhi panggilan Allah.
Di dalam berpakaian ihram, para jamaah hajipun dikenai peraturan yang ketat, misalnya, tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh memotong atau mencabut tanam-tanaman, tidak boleh menggunakan parfum, tidak boleh bersetubuh, tidak boleh melakukan kekerasan dan lain-lain (wala rafatsa wala fusuqa wala jidala fil hajj). Larangan-larangan itu pada hakikatnya mengajarkan hujjaj tentang pembatasan konsumsi, pengekangan hawa nafsu dan menjauhi tamak. Sebab kata ihram itu sendiri memiliki makna batas, larangan atau tabu.
Kemudian ritual sa’i (lari-lari kecil di antara bukti Safa dan Marwa) merupakan dinamika hidup, yakni sebuah usaha tak kenal lelah demi mempertahankan hidup, sebagaimana Hajar ketika kehauasan dan tidak menemukan adanya tanda-tanda air di sekitarnya. Dia tidak hanya duduk diam menunggu mukjizat datang, namun dia berlari-lari dari bukit Safa ke Marwa hingga akhirnya mendapatkan sumber mata air.
Sa’i dilakukan secara bolak-balik hingga tujuh kali dimulai dari bukit Safa. Safa artinya cinta kasih kepada sesama dan diakhiri di bukit Marwa (Muruwwah), yang berarti bentuk ideal kemanusiaan. Sehingga pada hakikatnya Sa’i mengajarkan manusia untuk mencintai dan menyanyangi sesama hingga muncullah kedamaian kemanusiaan yang ideal.
Simbol penting lainnya adalah wukuf di Arafah. Seperti yang diungkapkan oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang. Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Maha Esa. Tidak ada perbedaan sama sekali, yang ada, persamaan dari sisi kemanusiaan, persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama.
Di Arafah, hujjaj dianjurkan untuk berdoa seharian penuh pada hari ke sembilan bulan Dzulhijjah. Arafah berarti pengetahuan (ma’rifah). Saat wukuf di Arafah adalah saat musyahadah atau ma’rifah, yakni suatu kondisi keimanan yang sempurna dan kehangatan cinta yang membara kepada-Nya. Dengan keterbakaran cinta, Hujjaj dalam bahasa tasawwuf akan mengalami fana’ (lebur dirinya dan hilang sama sekali) sehingga tidak ada yang disaksikannya kecuali siapa yang dicintainya.
Hujjaj akan iri kepada segala sesuatu walaupun kepada matanya sendiri. Berangkat menuju Arafah berarti berangkat menuju keasyikan berdialog dengan Allah. di sinilah komunikasi terbangun antara hujjah dan Allah sehingga hujjaj bisa mengetahui ‘kehendak-kehendak’ Allah yang kemudian dijalankan di muka bumi.
Makna ritual haji yang begitu dalam yang telah diurai di atas bukan sekedar ritual belaka tanpa makna. Namun ritual haji yang disyariatkan oleh Nabi Ibrahim yang kemudian dijalankan oleh jutaan umat manusia itu adalah ritual dan simbol haji yang erat kaitannya dengan dimensi sosial. Dengan kata lain, haji mabruru adalah haji yang mampu mensinergikan amalan ibadah dengan amaliyah. (*)

Hasani Ahmad Said
Dosen IAIN Raden Intan & Kandidat Doktor UIN Jakarta, Alumni MA. Al-Khairiyah Karang Tengah, Tinggal di Pabean.

Senin, 15 November 2010

Pemilukada, Harapan Baru Warga Tangsel

Pemilukada, Harapan Baru Warga Tangsel
Oleh Hasani Ahmad Said
*Dimuat di kolom Wacan Publik, Radar Banten, Sabtu, 13-November-2010

Di tengah Indonesia yang sedang diselimuti musibah, di balik semaraknya pemberitaan kedatangan Barack Husein Obama dan sesaat lagi akan tiba Hari Raya Idul Adha 1431 H, masyarakat Tangerang Selatan akan menggelar pemungutan suara Pemilukada hari ini.
Dari sekian banyak warga Tangerang Selatan, telah terpilih menjadi kandidat Walikota dan Wakil Walikota yang telah terkukuhkan menjadi empat pasangan kandidat. Sebagaimana dimaklumi, Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang Selatan telah menetapkan empat pasangan calon walikota dan wakil walikota Tangerang Selatan yang akan bertarung dalam pemilihan Walikota Tangerang Selatan ini. Keempat bakal calon itu adalah Airin Rahmi Diany-Benyamin Davnie, Arsid-Andre Taulany, Yayat Sudrajat-Moch Norodom Soekarno dan Rodiyah Najibah-Sulaiman Yasir.
Ibarat laga permainan sepak bola, empat tim inilah yang baru masuk dan dipastikan untuk dipilih. Dari empat kandidat ini pula, nantinya tentu akan ada yang masuk ke babak semi final, final dan menjadi sang juara (the champion). Dan kalau dicermati, para tim sepak bola itu, menarik untuk dicermati dari sekian banyak peserta yang berguguran adalah mereka itu semua menjunjung tinggi nilai sportivitas.
Kajian ini menarik untuk dikupas sekaligus dijadikan bahan analisa dalam laga politik kita yang kian hari kian menunjukkan keberingasannya. Terlebih, maraknya, pilkada di beberapa daerah yang menyisakan banyak persoalan dan persengketaan yang belum terselesaikan. Sehingga, beritanya terus seru dan sayang untuk dilewatkan.
Kerusuhan yang berbuntut saling menyerang yang dikabarkan terjadi akibat kurang puasnya dengan layanan publik dan tatanan yang berlaku. Belum lagi politik uang (money politics) yang mewabah dan menggejala, yang mengakibatkan mati surinya demokrasi, seolah-olah suara hanya milik orang yang ber-uang.
Dengan meletakkan sportivitas, maka daya tarik dan pikat kepada pemilihnya mestinya akan mencuat. Sekarang bukan zaman lagi dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan semata. Daya pikat dan daya tawar masyarakat mestinya sudah mengacu kepada kekuatan program-program unggulan dari apa yang ditawarkan. Tentunya program yang sesuai dengan pro-rakyat dan lebih mengedepankan pencerdasan masyarakat dibanding program yang hanya membikin ”bodoh” publik.
Analisis ini bisa saja dituangkan oleh para kandidat yang akan berlaga di ranah politik praktis menuju kursi kepemimpinan. Kalau sudah demikian paradigm dan pola pikirnya, harapan mencipyakan pemerintah yang baik (good governance) agar segera terlaksana. Dimulai dari perekrutan sampai kemudian terpilih dengan nilai kualifikasi yang baik dan membanggakan di mata masyarakat. Bukan hanya kebahagiaan ”sesaat” yang dirasahan masyarakat.
Di sinilah peran panwas, KPU, sampai di tingkat KPPS mempunyai iktikad baik dalam menegakkan dan menciptakan pemeritah yang baik. Dalam mewujudkan ini semua memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi paling tidak adanya keinginan yang kuat dari masing-masing pemilih akan menegaakkan cita-cita mulia itu.
Tidak jarang tujuan pragmatis dari oknum yang tidak bertanggung jawab bisa menjungkirbalikkan fakta di masyarakat. Kalupun demikian, dibutuhkan kesadaran yang tinggi untuk menjunjung tinggi nilai demokratisasi, bukan malah memangkas demokrasi demi kepentingan pribadi dan golongan. Maka semboyan jujur dan adil dalam setiap pemilu senantiasa didengung-dengungkan. Reformasi yang telah selama ini diperjuangkan menuntut adanya keterbukaan dalam lini apa pun. Keterbukaan mengeluarkan pendapat, keterbukaan informasi yang pada akhirnya melerai persengketaan menuju kesepahaman.
Harus diakui keragaman suku, bangsa dan agama di Indonesia, terkadang memicu dan memacu perselisihan dan gesekan antar sesama. Namun para pejuang setengah abad yang lalu telah merumuskan bahwa keragaman tapi satu jua (Bhineka Tunggal Ika). Kita harus akui pula, bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang untuk memilih dan dipilih. Tetapi bukan berarti memilih yang asal-asalan.
Memilih juga harus mempunyai seni, dilihat dari kemampuan dan keikhlasan yang dipilih. Begitupun sebaliknya bukan berarti semuanya boleh maju tanpa memiliki kapabilitas di bidangnya, akan tetapi yang berhak dipilih adalah orang-orang pilihan yang memiliki kredibilitas dan skill yang cukup. Maka, dari pemahaman itu, terlahir jiwa-jiwa yang handal, bukan jiwa yang kerdil.
Setelah memenuhi persyaratan di atas, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah wujudkan dan junjung nilai sportivitas . Hal ini penting, ternyata jiwa ksatria dalam berlaga di kancah politik adalah siap kalah dan siap menang. Kalau belum siap kalah, maka tidak usah mencalonkan diri. Sikap inilah yang bisa jadi selama ini menimbulkan pengakhiran yang tidak baik. Sehingga, rusuh di mana-mana, pembakaran karena calonnya tidak masuk verifikasi calon, dan bermacam-macam alasannya, selain karena boleh cerdasnya masyarakat dalam berpolitik. Buktinya mudah tersulut dengan emosi. Yang dikedepankan adalah otot, bukan otak. Demikianlah halnya pendewasaan pola pikir.
Saya kira pembelajaran perpolitikan di negeri kita semakin lama semakin pula baik dan dewasa. Misalnya, belum lama ini sudah digelar debat kandidat yang disiarkan langsung oleh televisi swasta yang bisa pula dilihat dan diakses oleh warga Tangerang Selatan, atau bahkan Indonesia. Sehingga, dari pembelajaran yang baik ini, masyarakat tidak kembali “membeli kucing dalam karung”, akan tetapi masyarakat bisa melihat kualitas kandidat pemimpinnya yang akan dicoblos.
Menyimak secara serius debat kandidat calon Walikota dan wakil walikota Tangerang selatan selasa malam 9 November 2010 kemarin di Metro TV, ada yang menarik dari peryataan para kandidat pemimpin Tangerang Selatan ketika menyampaikan visi dan misinya, hampir semua kandidat mempunyai sikap legowo untuk siap menang dan siap kalah. Nah, sikap ini sebagaimana dicatat sebagai janji kepada masyarakat.
Sebagaimana di awal telah disinggung bahwa perlagaan Pemilukada laksana perhelatan sepak bola yang setiap timnya akan berguguran, dan pada akhirnya akan menemukan dan terpilih satu tim yang menjadi sang juara. Begitupun dengan pada pemilukada, maka, mau tidak mau harus siap kalah dan siap pula menang. Kalau di awal sudah memiliki tekad demikian, diharapkan tidak ada lagi kisruh sebagai buntut dari Pemilukada.
Rasanya sudah saatnya, setiap pemilukada di mana dan kapanpun lebih mengedepankan Pemilu yang aman, tanpa di akhiri dengan kisruh. Kalaupun ada masalah, maka salurkanlah melalui aturan UU yang telah berlaku. Para kandidat diharapkan dapat dan mampu meredam amarah sesaat para pendukungnya. Nah, aman atau tidaknya Pemilukada, tergantung pada masyarakat dan kandidatnya.
Disadari atau tidak, tujuan akhir dari sebuah perlagaan adalah diawali dengan yang baik, maka diharapkan peng-akhirannyapun dengan baik pula. Demikian tatakrama dalam berbangsa dan bernegara. Pendek kata, sportivitas ini diperlukan dalam hal apa pun. Dalam berpolitik, dalam berkarir, berkarya, dan lain-lain. Tanpa sportivitas, maka akan terjadi sikut-sikutan. Karena sudah tidak ada teposaliro. Pemimpin kedepan butuh pemimpin yang menjunjung tinggi sportivitas, salah dibilang salah, benar dibilang benar, kalah menjunjung tinggi yang menang, dan yang menang merangkul yang kalah.
Kita berharap semua sebagai warga Tangerang Selatan khususnya, dan warga Banten pada umumnya, semoga pemilukada Tangsel berjalan dengan aman dan lancar tanpa kendala apa pun. (*)

Hasani Ahmad Said
Kandidat Doktor UIN Jakarta dan Dosen IAIN Raden Intan Lampung, Tinggal di Komplek Dosen UIN, Ciputat Timur.

Sabtu, 06 November 2010

Menakar Musibah di Indonesia

Menakar Musibah di Indonesia
Oleh Hasani Ahmad Said
Wacana Publik, Radar Banten, Sabtu, 06-November-2010

Dewasa ini, kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di Indonesia, negeri berpenduduk muslim terpadat di dunia.
Tercatat dari tahun 2007 terjadi beberapa bencana besar, misalnya Kapal Senopati karam di Perairan Mandalika, Jawa Tengah, kecelakaan pesawat Adam Air KL 574. Musibahnya ini mulai dari bulan Desember 2006 sampai dengan bulan Januari 2007.
Bisa disebut juga sebagai pembuka tahun 2007, dimulai dengan berita hilangnya pesawat Adam Air di sekitar daerah Sulawesi. Kecelakaan Kapal Levina. Kapal Motor Levina terbakar di perairan kepulauan Seribu, Jakarta, sekitar 200 orang lebih dapat diselamatkan. 15 orang diperkirakan meninggal, dan 20 orang lebih menghilang.
Gempa skala 5,8 di Sumatera Barat. Gempa di Sumatera Barat, Padang ini terjadi pada pagi hari, dengan kekuatan 5,8 SR. Gempa ini merenggut 79 korban jiwa. Gempa ini membuat beberapa tempat umum terganggu aktivitasnya, bahkan bangunan -bangunan pun rusak. Gempa ini juga terasa di negara tetangga kita, yaitu Singapura dan Malaysia.
Belum lagi misalnya mengutip pendapat Kementerian ESDM. ”Catatan kita ada 18 gunung yang berstatus waspada, 2 siaga dan 1 berstatus awas,” kata Kepala Sub-Bidang Pengamatan Gunung Berapi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM,) Agus Budianto.
18 Gunung yang berstatus waspada itu adalah: Gunung Sinabung (Karo, Sumut), Gunung Talang (Solok, Sumbar), Gunung Kaba (Bengkulu), Gunung Kerinci (Jambi), Gunung Anak Krakatau (Lampung), Gunung Papandayan (Garut, Jabar), Gunung Slamet (Jateng), Gunung Bromo (Jatim), Gunung Semeru (Lumajang, Jatim), Gunung Batur (Bali), Gunung Rinjani (Lombok, NTB), Gunung Sangeang Api (Bima, NTB), Gunung Rokatenda (Flores, NTT), Gunung Egon (Sikka, NTT), Gunung Soputan (Minahasa Selatan, Sulut), Gunung Lokon (Tomohon, Sulut), Gunung Gamalama (Ternate, Maluku Utara), Gunung Dukono (Halmahera Utara, Maluku Utara).
Sedangkan 2 Gunung yang berstatus siaga adalah : Gunung Karangetang (Sulut), Gunung Ibu (Halmahera Barat, Maluku Utara) dan 1 Gunung bersatus awas yakni Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta.
Belum selesai mengurus musibah, dua kecelakaan kereta api sekaligus di awal Oktober, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter diikuti tsunami hebat di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Dari analisa US Geological Survey dan juga BMKG, sebagaimana Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi Arief, dalam rilisnya, Rabu (27/10/2010). “Gempa ini disebabkan oleh pergerakan patahan pada Sunda megathrust, yaitu pada bidang batas tumbukan Lempeng Hindia-Australia terhadap Lempeng Sunda.”
Pada 15 Oktober 2009, Direktur EOS, Prof Dr Kerry Sieh menyatakan, gempa bumi kolosal (sangat besar) diperkirakan akan menghantam Pulau Sumatera dalam waktu 30 tahun ke depan. Ahli ilmu bumi memperingatkan bahwa tsunami besar dan gempa bumi mematikan yang terjadi sebelumnya merupakan suatu peringatan. ”Kami memperkirakan akan terjadi dengan kekuatan 8,8 SR, kurang atau lebihnya sekitar 0,1 poin,” ujarnya.
Belakangan ini media berusaha membangun opini masyarakat bahwa perilaku salah seorang yang telah menjadi korban tewas di saat meletusnya Gunung Merapi merupakan tokoh yang patut diteladani. Dialah sang “juru kunci” Gunung Merapi. Ia patut diteladani karena kegigihannya menjalankan tugas sebagai kuncen Gunung Merapi hingga saat terakhir sehingga rela mengorbankan nyawanya demi menjalankan tugas tersebut.
Menyikapi musibah beruntun yang menimpa bangsa, kita niscaya mengedepankan kearifan dan kekritisan. Alam memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak bersikap angkuh baik terhadap alam maupun kepada sesama, apalagi kepada Tuhan. Terbukti, di hadapan alam manusia nyaris tidak berdaya. Manusia dengan segala atribut yang disandangnya tidak berkuasa menolak sunnatullah, hukum alam.
Kita perlu sepakat, bencana adalah bencana, yang dapat menimpa siapa saja dan kelompok apa pun. Karena itu komunikasi yang setara, solidaritas dan kerjasama adalah dari dan untuk siapa saja, tanpa harus memilahnya dengan atau untuk kelompok ini atau umat agama tertentu, termasuk juga dengan alam. Oleh karena bencana bagian dari kehidupan, sikap dan pola semacam itu pula yang perlu kita tumbuh-kembangkan dalam menyikapi kehidupan saat ini dan seterusnya.
Sebagai orang yang percaya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tetap memandang apapun gejala alam ini dengan kacamata syari’ah. Sebab apapun yang terjadi tidak luput dari kehendak Allah SWT.
Salah satu doa yang Nabi Muhammad ajarkan kepada kita ialah sebuah doa panjang yang di dalamnya menyebutkan persoalan musibah. Dan sangat menarik untuk dicatat bahwa ternyata jenis musibah yang Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan Allah dalam menghadapinya ialah musibah yang menyangkut urusan dien (agama). “Dan janganlah Engkau (Ya Allah) jadikan musibah kami pada agama kami”. (HR. Tirmidzi).
Sungguh, hidup di negeri Indonesia dewasa ini kita sangat perlu mencamkan pesan Allah berikut ini: Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf [7] : 99).
Allah mengajarkan kepada kita bahwa perilaku alam sangat berkaitan dengan perilaku kumpulan manusia yang tinggal di lingkungan alam tersebut. Bila masyarakatnya baik di mata Allah, yakni beriman dan bertaqwa, maka Allah akan limpahkan banyak keberkahan kepada masyarakat tersebut dari langit maupun bumi. Tapi sebaliknya, bila mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah akan timpakan hukumanNya kepada mereka melalui beragam bencana yang bisa datang di waktu siang maupun malam hari.
Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (QS. Al-A’raf [7] : 96-98).
Dalam dimensi lain, Allah mengingatkan dengan firman-Nya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3).
Dalam perspektif itu kita juga perlu memaknai bencana alam sebagai petanda tentang urgensi melakukan komunikasi yang lebih intens, berkelanjutan dan bersahabat dengan alam, Tuhan dan sesama. Pengembangan komunikasi yang dilandasai dengan kerendahatian dan kesabaran akan mengantarkan bangsa untuk memahami karakteristik kehidupan yang tidak dapat dilepaskan dari keragaman dan perbedaan, sekaligus harmonisasi antara unsur yang saling berbeda tersebut akan berkembang subur.
Sejalan dengan itu, bangsa ini akan lebih bersahabat dengan alam, sehingga bencana alam akibat ulah manusia dapat ditekan seminim mungkin. Demikian pula kita akan lebih memahami dan menghormasti atas sesama –terlepas dari perbedaan yang ada –yang dapat memberikan peluang besar untuk membangun solidaritas sosial yang lebih langgeng dan kerjasama antar-sesama yang lebih kokoh dan lestari. (*)


Hasani Ahmad Said
Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung.

Musibah dan Kepekaan Sosial

Musibah dan Kepekaan Sosial
Hasani Ahmad Said
Dosen Syariah IAIN Lampung, kandidat doktor UIN Jakarta
Opini, Lampung Post, Sabtu, 6 Nov 2010
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia diguyur musibah beruntun yang tak henti-hentinya. Bencana besar kembali datang menegur bangsa. Dimulai sejak tsunami Desember 2004 lalu yang menghantam Aceh, nyaris setiap tahun Indonesia mengalami bencana alam. Pada 2010 ini kembali banjir bandang menimpa Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, dengan korban jiwa 100 orang lebih.
Beberapa pekan terakhir, tidak henti-hentinya berita tentang musibah dan bencana dalam skala besar, mulai dari banjir bah di Wasior, Gunung Merapi meletus, gempa dan tsunami di Mentawai dan tampaknya bencana seperti ini tidak ada henti-hentinya.
Ini semakin membuktikan ada yang salah dengan bangsa ini, jujur rakyat sudah begitu penat melihat dagelan atau panggung sandiwara para elite politik. Sepertinya, inilah para elite politik terburuk yang pernah ada di Indonesia, ya mereka ternyata sudah buta dan peka terhadap apa yang menjadi keinginan masyarakat serta dalam mengayominya.
Sebagian besar masyarakat kita berduka atas semua kejadian yang terus-terusan beruntun menimpa kita, entah apa yang salah. Di saat kita mulai berbenah atas kejadian sebelumnya ternyata Tuhan sudah memperingatkan kita kembali dengan musibah lainnya.
Pelajaran itu sangat signifikan untuk diangkat karena fenomena yang menggejala akhir-akhir ini memperlihatkan kecenderungan menguatnya sikap arogan dan egois pada beberapa elemen bangsa. Mereka terjebak ke dalam keangkuhan untuk menundukkan orang dan kelompok lain di bawah keinginan dan kepentingan kita sendiri. Dalam bingkai itu, mereka menentukan kebenaran dan kebatilan berdasarkan kriteria subjektivitas yang mereka bangun.
Wajar dan bersyukurlah kita melihat begitu banyaknya pihak yang bersegera mengulurkan tangan dengan memberikan aneka bentuk bantuan. Dan sudah barang tentu bantuan yang paling minim tetapi sekaligus paling bermakna ialah bantuan doa.
Dari bencana kita harus belajar banyak. Selain belajar bersabar, tidak bersikap angkuh dan mengedepankan keberingasan, serta mementingkan diri dan kelompok sendiri, kita dituntut membangun solidaritas sosial yang kokoh. Kekerasan—dilihat dari perspektif mana pun tidak akan pernah menyelesaikan persoalan karena ia bagian dari persoalan.
Sekilas melongok dogma agama, ada yang bisa dipetik dari berbagai kejadian yang selama ini menimpa. Pertama, menjadi ujian kesabaran seorang mukmin karena di saat musibah datang terlihat sekali sikap seorang hamba yang sebenarnya, apakah berbaik sangka atau justru sebaliknya berburuk sangka atau bahkan menyalahkan dan mencaci maki Allah swt. (baca: Q.S. Al Baqarah: 214).
Dalam sebuah hadis Shahihain dikatakan: "Tidak beriman seseorang di antara kamu, sebelum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (H.R. Bukhari-Muslim).
Musibah yang kian terus terjadi, justru diharapkan dapat meningkatkan gravitasi langit sekaligus mengurangi gravitasi bumi. Pada gilirannya orang yang merasakan maupun yang menyaksikannya dilatih menumbuhkan sikap empati terhadap penderitaan orang lain, sehingga lahirlah sikap kedermawanan dalam dirinya, karena ia menyadari bahwa dalam harta yang dimilikinya, ada hak fakir miskin dan orang-orang lain yang wajib dikeluarkan.
Kedua, masyarakat kita dituntut memiliki kepekaan dan rasa tanggung jawab sosial di mana pun berada. Kepedulian sosial tersebut penting diwujudkan sebagai bentuk pengabdian terhadap umat. Sejatinya, kepekaan sosial itulah intisari perubahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat kita menyaksikan saudara yang lain tertimpa musibah.
Dengan kepekaan sosial, kita akan mampu menyumbang sebagai agen perubahan. Peka berarti tanggap atas kebutuhan masyarakat. Dengan kepekaan sosial, masyarakat mampu menciptakan strategi perubahan sebagai jawaban atas perubahan masyarakat. Bagaimana pun anak bangsa dituntut untuk ikut andil mengatasinya.
Maka, dalam kondisi sekarang yang paling penting diingatkan kepada siapa pun, terlebih khusus korban bencana, ialah agar bersabar menghadapi musibah kehilangan berbagai harta dunia sambil mengokohkan iman dan takwa mereka. Sebab, iman dan takwa merupakan harta utama yang tidak boleh sampai lepas betapa pun telah lepasnya berbagai harta dunia.

Quo Vadis Pilkada Tangsel?

Quo Vadis Pilkada Tangsel?

Oleh Hasani Ahmad said

*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Radar Banten, Selasa, 19-Oktober-2010



Tidak lama lagi Pemlukada Kota Tangerang Selatan akan digelar. Perhelatan akbar itu akan digelar serentak di beberapa kecamatan yang ada si bawah wilayah Tangsel.

Sebuah simbol yang sifatnya seremonial akan tetapi dampaknya sangat berpengaruh terhadap lancarnya roda pemerintahan, dan tentunya akan menentukan arah ke mana warga Tangsel dibawa.

Oleh sebab itu, Pemilukada menjadai barometer terhadap kesejahteraan rakyat daerah 5 tahun mendatang. Banyak pengamat mengutarakan opini dan gagasannya baik melalui media cetak maupun dalam ceramahnya. Namun demikian, masih sangat sedikit untuk mengatakan tidak ada penulis maupun pengamat yang mengantar prospek pemimpin ke depan.

Termasuk di dalamnya, memberikan sumbangan pemikiran yang mengarah kepada menjadikan Kota Tangasel madani.

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana tugas KPU, Panwas, PPK mengantar Pemilukada aman? Ada dua jawaban yang saya akan angkat di tulisan ini. Pertama, secara de facto dan de jure tugas mereka tinggal menghitung hari akan segera ditunaikan. Kedua, tugas yang paling mahaberat sesungguhnya adalah bagaimana pemimpin terpilih bisa amanah menjalankan kepemimpinannya.

Dan tidak kalah pentingnya adalah pertanyaan mendasar adalah mampukah membawa kesejahteraan masyarakat dalam 5 tahun yang akan datang sesuai dengan amanat undang-undang yang mensejahterakan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratn Keadilan, dan pada pamungkasnya adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Maka, ketika belum mampu menjawab pertanyaan ini semua, lebih baik instropeksi diri untuk menjadi pemimpin ke depan. Pemimpin terpilih bukan hanya berhenti pada janji politiknya saja, tetapi yang lebih penting dari itu adalah aplikasi program yang telah dikampanyekan. Kalau sudah demikian adanya, maka akan lahir pemimpin seperti kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Kemenangan Rakyat

Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pemilih, jika “jagoan” yang dipilihnya terpilih menjadi pemimpin. Akan tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah tokoh yang dipilih sudah mewakili suara rakyat? Sudahkah sesuai dengan aspirasi dan hati nurani kita? Bukan karena “kenikmataan sesaat”, suara yang mestinya menjadi keterwakilan aspirasi kita dalam hitungan detik tergadaikan? Ada sebuah ibarat bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Ingat, jangan bohongi hati nurani. Siapakah calon pemimpin yang amanah? Siapakah calon pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat? Siapakah pemimpin yang ketika menjabat kelak bukan politik “balas budi” atau yang hanya dipikirkan bagaimana mengembalikan modal kampanye? Jawaban semua ini terletak pada hati nurani. Maka, satukan gerak dan langkah perbuatan sesuai dengan batin nurani kita. Pertanyaan ini hendaknya telah pandani dijawab oleh kandidat yang terpilih.

Saat ini dan kedepan sudah semestinya yang hanya kita pikirkan adalah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), bukan hanya diwacanakan tetapi saatnya diaplikasikan bersama. Pemerintahan yang baik (good governance) tidak akan terwujud dengan sempurna tanpa sumber daya manusia (SDM) yang memadai, kemudian diimbangi oleh menjunjung tinggi nilai kejujuran. Kejadian yang negatif dikabarkan di beberapa media cetak maupun elektronik selama ini terjadi akibat setiap orang merasa paling benar akibat ketidakjujuran dan matinya hati nurani.

Kalau dilustrasikan permainan bola, maka, jadilah pemain dan penonton yang baik, boleh mendukung kepada salah satu peserta, ketika terjadi gol, maka boleh bersorak sorak merayakan kemenangan saat terjadi pertandingan itu, tetapi di hari berikutnya sudah lupa lagi dengan masuknya peserta turnamen yang lain. Rasanya begitupun dengan Pemilukada yang telah kita laksanakan, yang kalah mestinya legowo menerima kekalahannya dan penuh kesatria menyampaikan ucapan selamat bahkan menyalami kepada peserta pemenang, begitupun peserta yang menang tidak serta merta sombong dan lupa diri dengan kemenangannya, yang harus diingat adalah kemenangannya adalah kemenangan rakyat, dan kemenangan dia adalah kemenangan bersama.

Amanat Rakyat: Quo Vadis Pemilukada

Tidak muluk-muluk permintaan rakyat hanya pada nilai normatifitas. Misalnya dipermudah pengurusan bikin KTP, dan mengurus surat-surat yang lain, akses jalan bagus, masyarakat pinggiran dan miskin terperhatikan, biaya pendidikan murah bahkan kalau bisa gratis, mudah cari kerja, dan lain-lain. Dalam pengamatan saya, sudah terjadi peralihan paradigma masyarakat, dari masyarakat yang berfikir praktis misalnya asal ada duit, maka saya akan pilih.

Pada ranah ini, masyarakat sudah mulai bosan dengan janji-janji palsu dari para kandidat, kandidat yang bermodal tampang, ternyata dalam pengamatan saya, paradigma yang tidak baik sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan realita di masyarakat dan dengan pesatnya kemajuan teknologi dan informasi. Meskipun pengamatan ini tidak selamanya benar. Bagaimanapun kecerdasan lebih dipentingkan dibanding dengan program yang muluk-muluk tanpa dibarengi dengan sumber daya manusia yang memadai.

Dalam hal ini masyarakat mulai “melek” terhadap dampak ketidaknyamanan mereka terhadap realitas yang menimpanya selama ini. Belajar dari pengalaman semuanya akan menjadi baik.

Maka kuncinya adalah pada pucuk pimpinan yang seantiasa mendengar keluh kesah warganya. Kalau sudah demikian, maka tidak mustahil pemerintah sekarang dan akan datang akan segera mewujudkan masyarakat yang reigius, amanah, mensejahterakan rakyat, berbuat demi kepentingan rakyat. Hal ini gambaran masyarakat madani (civil society). (*)



*Hasani Ahmad Said, Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Lampung. Tinggal di Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon.

Rabu, 27 Oktober 2010

MENYOAL KETAHANAN PANGAN

MENYOAL KETAHANAN PANGAN
Oleh: Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Pengajar Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung)
*Tulisan ini dimuat di Koran Banten Raya Post (Baraya Post), Jum’at, 22 Oktober 2010

Slogan “One day no rice” (satu hari tanpa nasi) yang diusung pemerintah, seolah meneguhkan sekaligus memberi “Lampu kuning” yang menginformasikan bahwa beberapa tahun ke depan, Indonesia akan kehabisan stok pangannya. Dan bisa jadi, tidak banyak yang tahu, bahwa tanggal 16 Oktober adalah Hari Pangan Dunia.
Telisik tulisan ini akan menyorot bagaimana Indonesia yang nota bene manganut Negara agraris, kini, “termangsa” oleh kejamnya “Tangan-tangan” manusia, yang menggunduli hutan, pembalakan liar, bahkan merampas hak para petani. Sejatinya petani sejahtera, rakyat makan beras sendiri bukan impor. Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi di beberap daerah, tanah yang dulu tumbuh subur, kini telah berganti dengan bangunan pencakar langit, mall, swalayan dan lain-lain. Sehingga posisi petani kian termakan zaman oleh kebijakan pejabat yang “Menggendutkan” sepihak.
Kalaupun masih ada sawah dan ladang, bisa dipastikan hasil panennya tidak sesuai dengan ongkosnya, seperti yang terjadi di perkampungan, tepatnya di Kelurahan Pabean, kelahiran penulis. Hal ini tentu ironis, bahkan sangat menyedihkan ditengah para “Penghisap” uang para petani dengan mega proyek pebrik yang siap menggerus bahkan secara perlahan “Mem-PHK/Pensiunkan” para petani di wilayahnya sendiri.
Ungkapan RA. Kartini “Habis gelap terbitlah terang”, seolah tidak berlaku lagi bagi Negara tercinta ini, bahkan malah terbalik menjadi “Habis terang terbitlah gelap”. Ironis, Negara yang dikenal dulu dengan ketahan pangan, di karuniai keberkahan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah, bahkan ada ungkapan indah “Tongkat saja bisa jadi ditanaman”.
Dalam Buku World In Figure, 2003, Penerbit The Economist, seperti yang dikutip PPT Migas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara terluas no 15 didunia, berpenduduk terbanyak nomor empat di dunia, penghasil biji-bijian terbesar nomor enam, penghasil teh terbesar nomor enam, penghasil kopi nomor empat, penghasil cokelat nomor tiga, penghasil minyak sawit (cpo) nomor dua, penghasil natural gas nomor enam, lng nomor satu, penghasil lada putih nomor satu. lada hitam nomor dua, penghasil puli dari buah pala nomor satu, penghasil karet alam nomor dua,karet sintetik nomor empat, penghasil kayu lapis nomor satu, penghasil ikan nomor enam, penghasil timah nomor dua, penghasil batu bara nomor sembilan, penghasil tembaga nomor tiga, penghasil minyak bumi nomor sebelas, dan juga termasuk 10 besar negara penghasil SDA di dunia yang memiliki 325.350 jenis flora & fauna.
Analisa ini memungkinkan untuk dijadikan pengambilan kebijakan untuk selanjutnya. Bukan malah mempolitisasi untuk menenangkan masyarakat bawah sejenak agar tidak terjadi gejolak sesaat. Dan hasilnya memang cukup efektif, lepas dari sorotan para pengkritik pemerintah. Namun mestinya tidak demikian, kontrol terhadap kebijakan pemerintah juga perlu untuk melihat lajunya kepemimpinan saat ini agar pengambilan kebijakan tepat waktu dan sasaran. Selama ini, income masyarakat jauh di atas negara-negara lain, bahkan negara tetangga sekalipun, akan tetapi kebijakannya ingin memosisikan dan mensejajarkan dengan negara lain.
Para intelektual sering mengungkapkan, seandainya pengelolaan sumber daya alam di Indonesia ini dilakukan secara baik dan benar, maka mestinya tidak akan ada berita kekurangan pasokan listrik, dan berita lain yang mengkerdilkan negaranya sendiri. Para ahli mestinya saling bahu membahu dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dari SDA yang dimiliki, bukan malah mengekploitasi alam. Sungguhpun demikian keadaannya, sejatinya harus adanya kesadaran dari masing-masing pribadi sebagai warga Negara untuk menjaga dan meningkatkan kualitas serta memikirkan bangsa ke depan sampai anak cucu generasi penerus selanjutnya.
Akan tetapi pertanyaannya kemudian, mengapa Negara yang dikenal dengan slogan “Gemah ripah loh jinawi” menjadi Negara yang tidak atau belum mampu mengoptimalkan SDA yang dibarengi dengan SDM yang baik? Ada yang salahkah? Jawabannya tentu ada dalam benak masing-masing hati kita. Memang tidak mudah laksana mudahnya membalikkan telapak tangan, tentunya perlu ada keseriusan dari masing-masing insane bangsa, selain tidak bisa ditawar-tawar lagi keinginan kuat atas kebijakan pemerintah dari level bawah sampai presiden.
Kita saksikan kabar terbaru beberapa hari ini, baik dimedia masa, elektronik, maupun cetak ramai diberitakan bahwa kebutuhan pokok harganya kian melambung bahkan mencekik masyarakat bawah, sehingga seolah tidak ada artinya uang 50.000. Padahal, untuk mendapatkan uang sebanyak itu rakyat kecil harus banting tulang. Ini artinya “Besar pasak daripada tiangnya”. Tidak adakah sikap mental yang tidak membebani masyarakat lagi? Tidak adakah upaya pengelolaan SDA yang melimpah ruah yang terhampar di hampir di setiap daerah? Yang kita saksikan justru pengekploitasi SDA yang dilakukan oleh anak bangsa sendiri, yang lebih menyedihkan sekaligus memilukan hampir pengerukan SDA baik nikel, tambang, timah, emas, minyak bumi, dilakukan oleh Negara raksasa dan adi daya, Negara hanya pengekor yang hanya menerima “uang bersih” sebagai uang upeti “membantu” pengelolaan sekaligus “pengeboran “ yang membabi buta.
Disadari atau tidak imbas beratnya harga itu, tentu akan semakin memusingkan para pelaku pasar tradisional, kususnya Usaha Kecil Menengah. Pada gilirannya, yang dikhawatirkan adalah pengurangan hasil produksi dan lebih dari itu, pada gilirannya akan ada PHK yang akan menambah lagi pengangguran. Walaupun belum sampai pada dampak yang signifikan, kejadian itu bisa saja akan terjadi pada ranah paling gawat bagi pelaku usaha kecil menengah. Kekhawatiran ini sesuatu hal yang wajar, bagaimana tidak, hal yang tidak pernah dialami oleh para pengambil kebijakan atau dalam hal ini pemerintah pusat pemegang kebijakan.
Hal yang menarik dari beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan anggota DPR RI dan menteri terjun langsung ke pasar tradisional yang memulai dialog dan melakukan sidak langsung ke pasar induk Jakarta. Mestinya, hal ini tidak hanya dalam waktu tertentu atau sesaat saja, tapi bisa dirancang berkelanjutan. Karena dengan begitu pemerintah langsung menyaksikan bagaimana jeritan dan penderitaan rakyat bawah.
Pertanyaan besarnya kemudian mengapa negara kaya raya rakyatnya miskin, tertinggal dan terpuruk? Memang tidak saatnya lagi mencari kesalahan, atau siapa yang salah? Kesadaranlah yang akan mampu membangkitkan kembali nilai kebangsaan yang dulu sudah dibangun baik oleh para pejuang pendahulu kita. Ternyata tidak semudah yang kita bayangkan, menukar kemerdekaan yang pernah dikuasai dan terkungkung dalam kuasa Belanda dan Jepang. Ada pengorbanan dari insan Indonesia yang menginginkan dan merindukan kemerdekaan. Bentuk harta, bahkan nyawa siap mereka pertaruhkan kemerdekaan bangsa yang berdaulat tanpa penindasan dari bangsa lain.
Masyarakat dulu terjajah telah mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk senantiasa mengisi kemerdekaan yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Separuh abad sudah Negara berjalan, dari mulai terseok-seok, terjajah, Negara disegani, sampai detik hari ini yang kian hari kian terpuruk. Rupanya makna kemerdekaan yang di peringati belum mampu disaring dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini bukan pesimistis, tetapi lebih kepada mengingatkan akan makna kemerdekaan bangsa, membuka mata, mengurai tabir, menuju pencerdasan baik secara konseptual maupun tatanan aplikasi.
Bukan hal yang kebetulan, tetapi memiliki nilai dan symbol yang kuat untuk mengenang sekaligus menjalankan amanat kemerdekaan. Tidak ada kata terlambat, untuk memperbaiki bangsa ini. Mulailah dari diri, keluarga, sampai kemudian sampai pada tataran tertinggi. Tancapkan kembali nilai patriotisme. Semoga kembali akan menggapai “Habis terang kemudian tambah terang”.

*Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Dosen Tetap IAIN Raden Intan, Lampung. Tinggal di Pabean, Purwakarta, Cilegon Banten. No. rekening Bank Muamalat 921 4414599 / Bank BCA 6090204376 a.n. Hasani Ahmad

Quo Vadis Pilkada Tangsel?

Quo Vadis Pilkada Tangsel?
Oleh Hasani Ahmad said
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Radar Banten, Selasa, 19-Oktober-2010

Tidak lama lagi Pemlukada Kota Tangerang Selatan akan digelar. Perhelatan akbar itu akan digelar serentak di beberapa kecamatan yang ada si bawah wilayah Tangsel.
Sebuah simbol yang sifatnya seremonial akan tetapi dampaknya sangat berpengaruh terhadap lancarnya roda pemerintahan, dan tentunya akan menentukan arah ke mana warga Tangsel dibawa.
Oleh sebab itu, Pemilukada menjadai barometer terhadap kesejahteraan rakyat daerah 5 tahun mendatang. Banyak pengamat mengutarakan opini dan gagasannya baik melalui media cetak maupun dalam ceramahnya. Namun demikian, masih sangat sedikit untuk mengatakan tidak ada penulis maupun pengamat yang mengantar prospek pemimpin ke depan.
Termasuk di dalamnya, memberikan sumbangan pemikiran yang mengarah kepada menjadikan Kota Tangasel madani.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana tugas KPU, Panwas, PPK mengantar Pemilukada aman? Ada dua jawaban yang saya akan angkat di tulisan ini. Pertama, secara de facto dan de jure tugas mereka tinggal menghitung hari akan segera ditunaikan. Kedua, tugas yang paling mahaberat sesungguhnya adalah bagaimana pemimpin terpilih bisa amanah menjalankan kepemimpinannya.
Dan tidak kalah pentingnya adalah pertanyaan mendasar adalah mampukah membawa kesejahteraan masyarakat dalam 5 tahun yang akan datang sesuai dengan amanat undang-undang yang mensejahterakan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratn Keadilan, dan pada pamungkasnya adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Maka, ketika belum mampu menjawab pertanyaan ini semua, lebih baik instropeksi diri untuk menjadi pemimpin ke depan. Pemimpin terpilih bukan hanya berhenti pada janji politiknya saja, tetapi yang lebih penting dari itu adalah aplikasi program yang telah dikampanyekan. Kalau sudah demikian adanya, maka akan lahir pemimpin seperti kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kemenangan Rakyat
Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pemilih, jika “jagoan” yang dipilihnya terpilih menjadi pemimpin. Akan tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah tokoh yang dipilih sudah mewakili suara rakyat? Sudahkah sesuai dengan aspirasi dan hati nurani kita? Bukan karena “kenikmataan sesaat”, suara yang mestinya menjadi keterwakilan aspirasi kita dalam hitungan detik tergadaikan?
Ada sebuah ibarat bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Ingat, jangan bohongi hati nurani. Siapakah calon pemimpin yang amanah? Siapakah calon pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat? Siapakah pemimpin yang ketika menjabat kelak bukan politik “balas budi” atau yang hanya dipikirkan bagaimana mengembalikan modal kampanye? Jawaban semua ini terletak pada hati nurani. Maka, satukan gerak dan langkah perbuatan sesuai dengan batin nurani kita. Pertanyaan ini hendaknya telah pandani dijawab oleh kandidat yang terpilih.
Saat ini dan kedepan sudah semestinya yang hanya kita pikirkan adalah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), bukan hanya diwacanakan tetapi saatnya diaplikasikan bersama. Pemerintahan yang baik (good governance) tidak akan terwujud dengan sempurna tanpa sumber daya manusia (SDM) yang memadai, kemudian diimbangi oleh menjunjung tinggi nilai kejujuran. Kejadian yang negatif dikabarkan di beberapa media cetak maupun elektronik selama ini terjadi akibat setiap orang merasa paling benar akibat ketidakjujuran dan matinya hati nurani.
Kalau dilustrasikan permainan bola, maka, jadilah pemain dan penonton yang baik, boleh mendukung kepada salah satu peserta, ketika terjadi gol, maka boleh bersorak sorak merayakan kemenangan saat terjadi pertandingan itu, tetapi di hari berikutnya sudah lupa lagi dengan masuknya peserta turnamen yang lain.
Rasanya begitupun dengan Pemilukada yang telah kita laksanakan, yang kalah mestinya legowo menerima kekalahannya dan penuh kesatria menyampaikan ucapan selamat bahkan menyalami kepada peserta pemenang, begitupun peserta yang menang tidak serta merta sombong dan lupa diri dengan kemenangannya, yang harus diingat adalah kemenangannya adalah kemenangan rakyat, dan kemenangan dia adalah kemenangan bersama.
Amanat Rakyat: Quo Vadis Pemilukada
Tidak muluk-muluk permintaan rakyat hanya pada nilai normatifitas. Misalnya dipermudah pengurusan bikin KTP, dan mengurus surat-surat yang lain, akses jalan bagus, masyarakat pinggiran dan miskin terperhatikan, biaya pendidikan murah bahkan kalau bisa gratis, mudah cari kerja, dan lain-lain. Dalam pengamatan saya, sudah terjadi peralihan paradigma masyarakat, dari masyarakat yang berfikir praktis misalnya asal ada duit, maka saya akan pilih.
Pada ranah ini, masyarakat sudah mulai bosan dengan janji-janji palsu dari para kandidat, kandidat yang bermodal tampang, ternyata dalam pengamatan saya, paradigma yang tidak baik sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan realita di masyarakat dan dengan pesatnya kemajuan teknologi dan informasi. Meskipun pengamatan ini tidak selamanya benar. Bagaimanapun kecerdasan lebih dipentingkan dibanding dengan program yang muluk-muluk tanpa dibarengi dengan sumber daya manusia yang memadai.
Dalam hal ini masyarakat mulai “melek” terhadap dampak ketidaknyamanan mereka terhadap realitas yang menimpanya selama ini. Belajar dari pengalaman semuanya akan menjadi baik.
Maka kuncinya adalah pada pucuk pimpinan yang seantiasa mendengar keluh kesah warganya. Kalau sudah demikian, maka tidak mustahil pemerintah sekarang dan akan datang akan segera mewujudkan masyarakat yang reigius, amanah, mensejahterakan rakyat, berbuat demi kepentingan rakyat. Hal ini gambaran masyarakat madani (civil society). (*)

*Hasani Ahmad Said, Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Lampung. Tinggal di Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon.

Minggu, 24 Oktober 2010

MENGENANG 1000 HARI PAK HARTO

MENGENANG 1000 HARI PAK HARTO
Oleh: Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Syariah IAIN Lampung)
*Tulisan ini dimuat di Opini Kabar Banten, Senin, 25 Oktober 2010

Pak Harto dikenal dengan gaya senyumnya yang khas, dimana dan kapanpun dia selalu menyapa rakyatnya. Pada satu kesempatan, tahun 2005, penulis ketika diundang ke kediamannya, di jalan Cendana untuk bertugas memimpin gema takbir, tahmid, dan tahlil sekaligus Shalat Idul Fithri, sosok Soeharto, meskipun dalam keadaan sakit dengan dipapah, dia masih menyempatkan untuk menyapa dan melambaikan tangan dengan gaya senyumannya yang menyejukkan.
Tidak terasa, seolah waktu begitu cepat, sehingga, sepekan ini media kita kembali dihiasi oleh pemberitaan mengenang 1000 hari bapak HM. Soeharto, mantan Presiden RI ke 2 yang berkuasa selama 32 tahun. Sosok ramah diwarnai dengan senyum yang mengembang dan kharismatik ini, bukan hanya dipuja oleh pendukungnya, tapi disegani oleh beberapa lawan politiknya. Pada peringatan 1000 hari wafatnya pak Harto yang diadakan di tiga tempat yang berbeda, terlihat mulai dari tokoh politik, pejabat, ulama hingga masyarakat kecil, banyak menyesaki tempat penyelenggaraannya.
Meskipun demikian, pro-kontra menyoal layak tidaknya pak Harto menyandang gelar pahlawan terus bergulir bak bola salju yang siap menggelinding dan terus membesar. Anhar Gonggong, pakar sejarah, menilai pak Harto “Sebagai bapak pembangunan yang digulirkan melalui program pelita”. Politisi senior, Akbar Tanjung, mengungkapkan bahwa “Pak Harto telah merubah Negara dari paham komunis menuju paham pancasila”. Ketua umum Hanura, Wiranto, mengatakan bahwa “Setiap orang mempunyai jasa kepada Negara”. Ungkapan bijak juga terlontar dari pakar tafsir, HM. Quraish Shihab, dengan mengatakan “Soal pemberian gelar pahlawan, biarlah diserahkan kepada tim penilai gelar nasional”.
Sebagaimana kita tahu, rencana penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden kedua RI, (alm) HM Soeharto, mendapat kritik. Soeharto dinilai tak pantas dijadikan pahlawan nasional mengingat segala pelanggaran dan kasus korupsi selama 32 tahun masa kepemimpinan beliau. Pada sisi lain, ada sekelompok orang yang “ngotot” pula untuk mengusung beliau sebagai pahlawan nasional. Tentu, pro-kontra ini butuh penyegaran akan penyelesaiannya, agar tidak terjadi kesalahpahaman pencernaan informasi masyarakat.
Ibarat pepatah ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”. Ungkapan ini tepat kirannya untuk menakar arah kebijakan apakah layak tidaknya Soeharto menyandang gelar pahlawan. Dalam UU nomor 20 Tahun 2009, pasal 15 dan 26 tentang syarat-syarat umum dan syarat khusus, pencalonan pahlawan nasional. Syarat umum dan khususnya itu adalah sebagai berikut: Warga Negara Indonesia (WNI) atau mereka yang berjuang di wilayah yang sekarang disebut NKRI, sedang syarat khususnya adalah berjuang jelas untuk melawan penjajah baik dalam perjuangan politik, pendidikan dan lainnya.
Menilik syarat umum dan khusus di atas, rasanya HM. Soeharto memenuhi kriteria tersebut. Sebagian kalangan menilai, bisa diusung sebagai pahlawan nasional, namun selesaikan dulu kasus-kasusnya. Kalau begitu adanya, secara undang-undang, pengusulannya menjadi salah satu pahlawan nasional sejatinya tidak terus diperdebatkan. Analisis ini memungkinkan meredam polemic yang selama ini terus bergulir. Dengan kata lain, pengusulan menjadi pahlawan nasional secara undang-undang sangat kuat.
Pada sisi lain, para penentangnya juga sama-sama mempunyai dasar yang kuat. Fadjroel Rachman, Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan, mengungkapkan dalam salah satu stasiun televise swasta bahwa “Gelar itu menghina akal sehat dan hati nurani".
Alasan penolakan ini bisa jadi lantaran keberadaan penetapan terhadap Soeharto sebagai koruptor nomor satu dunia berdasarkan program Global Stolen Asset Recovery Initiative di Markas Besar PBB, New York, pada 17 September 2005. Soeharto disebut-sebut sebagai pemimpin terkorup nomor satu di dunia dengan harta senilai 15 miliar dollar AS-35 miliar dollar AS. Sedang di urutan kedua adalah Ferdinand E Marcos (Filipina) dan terakhir Josep Estrada (Filipina).
Kalau melihat data ini, memang sungguh mecengangkan, sangat ironis bahkan menyedihkan. Selain dugaan di atas, Soeharto banyak terlibat pelanggaran HAM berat, seperti beberapa tahun lalu banyak diusung dan disoal melalui pengadilan. Sisi inilah menjadi titik berat bagi yang mengatasnamakan pengusung dan penegak keadilan. Di balik segudang persoalan yang di angkat, ternyata Soeharto memiliki sejuta kebaikan pula. Kalau mau diungkap kebaikannya satu persatu, maka tentu akan menghabiskan berjilid-jilid buku, begitupun sebaliknya.
Bisa jadi, pro-kontra antara tarik ulur mungkinkah presiden ke-2 ini, menyandang gelar pahlawan dijegal oleh korban-korban akibat pelanggaran HAM pada zamannya. Harus diakui bahwa meninggalnya mantan Presiden Soeharto membuat kita mencoba merefleksikan ulang, bahwa negeri ini pernah berada pada titik puncak keberhasilan pembangunan. Jujur kita katakan bahwa di jamannya memerintah, bangsa kita pernah menikmati betapa mudahnya hidup kala itu. Bisa dibayangkan bagaimana para eranya, ada masa-masa indah berkebangsaan.
Meskipun tidak selamanya demikian, akan tetapi bagi sebagian masyarakat, di zaman Soeharto, kehidupan memang tidak sesulit sekarang seperti banyak dikeluhkan oleh banyak kalangan terkhusus masyarakat lapisan bawah. Sekilas melongok kondisi saat ini, misalnya kebutuhan pokok amat mahal. Seraya flash back antara tahun 80-an sampai 90-an dampak kemakmuran kian terasa. Belum lagi, pada masa itu pemerintah terlihat mampu untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi yang berimbas secara jelas, misalnya, masyarakat bisa membeli segala sesuatu dengan murah dan inflasi berhasil dikendalikan.
Selain hal ini, yang terlihat kental pada masanya adalah menerapkan pertumbuhan ekonomi melalui hadirnya berbagai unit usaha bagi masyarakat kecil, sebagian besar masyarakat di pedesaan memang menikmati hasilnya. Keberhasilan yang tidak bisa dilupakan selain jasa-jasa di tahun 80-an di atas adalah bagaimana dia mampu membawa Indonesia berhasil mengubah diri dari negara terbesar dalam mengimpor beras, akhirnya menjadi negara berswasembada pangan. Lebih dari 3 juta ton padi dihasilkan setiap tahunnya.
Dari sisi ini cukup fantastis, kalau membincangkan kesuksesan dalam memimpin. Memang tidak tepat sekiranya membandingkan dengan sekarang yang justru defisit lebih dari 1 juta ton setiap tahun. Yang menarik justru, Soeharto dalam menakhodai rakyatnya mempunyai perhatian lebih terhadap pertanian dan pembangunan di daerah-daerah. Dia nampaknya menyadari akan keberadaan awal bangsa Indonesia yang berada di wilayah yang nota bene agraris. Maka, atas dasar itu, seolah ingin mengembalikan pada kodrat Negara sebagai “Lumbung padi” terbesar di dunia, yang bukan hanya mencukupi kebutuhan negerinya, akan tetapi mampu pula menjadi Negara yang berswawembada.
Maka tidak heran, dulu sangat sering pak Harto berada di sawah dengan topi pak tani yang khas. Tidak hanya petani, yang diperhatikan, para nelayan juga dipompa untuk selalu meningkatkan hasil tangkapannya. Pendek kata, pak Harto sangat identik dengan kedekatan rakyatnya, atau dalam bahasa lain Presiden yang merakyat. Keadaan ini, tidak justru membuat rendah sebagai pemimpin Negara, tapi justru dalam beberapa kesempatan dia mengenalkan pada rakyatnya bahwa dia adalah lahir dari anak petani.
Dalam bidang lain, adalah dalam bidang kesehatan dan KB. Sebagaimana telah banyak diketahui, Indonesia termasuk berpenduduk terbesar di dunia, sehingga laju pertumbuhan jiwa meningkat pesat. Akan tetapi pada masanya, dengan program KB seolah menjadi rem cakram yang menyadarkan \warganya untuk menahan laju pertumbuhan penduduk. Meskipun pada awalnya program ini tidak lepas dari pro dan kontra. Namun, pada akhirnya program ini dianggap telah berhasil menahan laju pertumbuhan penduduk yang makin membludak.
Dalam bidang kesehatan, rasanya melekat kata Posyandu (Pos pelayanan terpadu), ya kata itu begitu pupuler yang memasarkan akan pentingnya kesehatan bagi masyarakat bawah sekalipun. Program ini sesungguhnya berupaya mengintegrasikan antara program pemerintah dengan kemandirian masyarakat. Hasilnya, banyak ibu yang peduli akan kesehatan dan kecerdasan anak-naknya. Di bidang pendidikan, dikenal pula istilah Wajar (Wajib belajar), sehingga mendengar kata wajib seolah masyarakat berbondong-bondong untuk memasukkan anaknya paling tidak ketingkat sekolah dasar, sampai pula wajib belajar Sembilan tahun, yakni dari SD-SMP.
Di bidang pertahanan keamanan, rasanya tidak sempat terdengar bagaimana Negara tetangga berani mengambil lahan atau mengakui produk budaya Negara kita. Hal ini dikarenakan Negara kita masih sejajar dengan Negara berkembang lainnya. Sehingga, setidaknya Negara lain tidak berani menginjak-injak hak dan martabat bangsa Indonesia.
Keberhasilan yang sederet ini, memang tidak terbantahkan, meskipun pada akhirnya pada era 90-an pemerintahan Soeharto meski ditumbangkan pula karena keserakahannya dalam berkuasa. Era reformasi merupakan babak baru sekaligus babak akhir bagi pemerintahan pak Harto. Banyak orang yang menyayangkan maju kembalinya pak Harto menjadi calon Presiden, dari semua itu ternyata harus dibayar mahal olehnya.
Dengan bergulirnya era reformasi, ternyata sedikit demi sedikit kejahatannya kian terkuat, dan yang lebih menyakitkannya, kejahatan yang telah lama itu, ternyata seolah telah menghapus segudang kebaikannya pula. Tapi, kini sang tokoh kharismatik yang dianggap oleh sebagian orang sebagai pemimpin otoriter itu telah tiada. Sikap yang baik adalah memaafkannya. Sehingga, kalau menimbang baik dan buruknya, hanya kita yang bisa menjawabnya?
Dari berbagai tinjauan di atas, pertanyaan yang mesti dimunculkan adalah sanggupkah pemerintah sekarang mengembalikan masa kejayaan seperti dulu? Pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab oleh para pengemban kebijakan dalam hal ini pemerintah saat ini? Intinya belajar mengejar yang baik, dan meninggalkan yang buruk. Selamat jalan pak Harto.

*Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Syariah IAIN Raden Intan, Lampung.

Kemenag Buka Penerimaan CPNS 2010

Kemenag Buka Penerimaan CPNS 2010
Hari ini Senin 25 Oktober 2010 adalah dibukanya pendaftaran penerimaan CPNS 2010 yang diselenggarakan Kementerian Agama di unit kerja seluruh indonesia. Untuk lebih jelasnya dibawah ini kami lampirkan pengumuman resmi dari kemenag termasuk Persyaratan Pendaftaran. Pendaftaran ditutup tanggal 03 November 2010.


PENGUMUMAN
Nomor : BII/I-a/Kp.00.3/15774/2010

TENTANG
PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA
TAHUN 2010
Kementerian Agama Republik Indonesia membuka kesempatan kepada Warga Negara Indonesia untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dengan ketentuan dan persyaratan sebagai berikut :

CARA MENDAFTAR

* Pendaftaran CPNS dilaksanakan berdasarkan domisili KTP setempat untuk pelamar pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN), Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN), Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN), dan Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN), kecuali pelamar pada Unit Eselon I Pusat, Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).
* Pengumuman dan pendaftaran CPNS di lingkungan Kementerian Agama secara on-line melalui internet/website dengan alamat www.kemenag.go.id dengan subdomain cpns.kemenag.go.id.
* Bagi pelamar yang kesulitan menggunakan aplikasi internet/website dapat melakukan pendaftaran/registrasi yang ditujukan langsung kepada panitia pengadaan CPNS masing-masing melalui kantor pos tanpa melampirkan print out entry data pendaftaran.
* Lamaran ditulis oleh tangan sendiri dengan tinta hitam dan ditandatangani oleh pelamar disertai dengan:
* Print out entry data pendaftar;
* Foto copy sah ijazah yang telah dilegalisir sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan;
* Pas photo ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar;
* Foto copy KTP yang masih berlaku.
* Surat lamaran dikirim melalui jasa pos, ditujukan kepada panitia Panitia Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil CPNS Pusat/Panitia Pengadaan CPNS Unit Eselon I/Panitia Pengadaan CPNS Daerah dan stempel pos terakhir tanggal 3 November 2010;
* Pelamar wajib melampirkan amplop balasan yang telah ditempel perangko kilat dengan menuliskan nama dan alamat serta kode pos, bagi pelamar yang tidak melampirkan amplop balasan dinyatakan gugur sebagai peserta.
* Pada amplop lamaran agar dicantumkan satuan kerja yang dituju dan pekerjaan yang dilamar pada sudut kiri atas contoh terlampir.
* Lamaran dibuat menurut contoh terlampir. (Download dokumen)

PERSYARATAN UMUM

1. Warga Negara Indonesia;
2. Berusia serendah-rendahnya 18 Tahun dan setinggi-tingginya 35 tahun (pada tanggal 1 Januari 2011).
3. Bagi pelamar yang berusia lebih dari 35 Tahun sampai dengan 40 Tahun agar melampirkan bukti wiyata bakti sampai dengan tanggal 1 Januari 2011 minimal 13 Tahun 9 bulan secara terus menerus dan tidak terputus pada instansi pemerintah atau yayasan yang berbadan hukum;
4. Bagi pelamar lulusan Perguruan Tinggi Swasta yang belum terakreditasi sebelum berlakunya Keputusan Mendiknas Nomor 184/U/2001 tanggal 23 November 2001 harus sudah disahkan oleh Kopertis /Kopertais;
5. Bagi pelamar lulusan Perguruan Tinggi Luar Negeri atau Lembaga Pendidikan Luar Negeri, harus melampirkan Surat Keputusan Penetapan dan Penyetaraan hasil penilaian ijazah lulusan Perguruan Tinggi Luar Negeri dari Ditjen Pendidikan Tinggi /Ditjen Pendidikan Agama Islam;
6. Foto copy ijazah Universitas /Institut dilegalisir oleh Rektor, Dekan atau Pembantu Dekan Bidang Akademik, sedangkan foto copy ijazah Sekolah Tinggi dilegalisir Ketua atau Pembantu Ketua Bidang Akademik;
7. Tanggal penetapan ijazah harus sebelum tanggal pelamaran, sedangkan surat keterangan atau pernyataan lulus tidak diperkenankan;
8. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
9. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil /PegawaiSwasta;
10. Tidak berkedudukan sebagai Calon Pegawai Negeri /Pegawai Negeri;
11. Bersedia ditempatkan di seluruh Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh P emerintah;
12. Tidak menjadi anggota /pengurus PARPOL;
13. Bersedia memenuhi peraturan /ketentuan yang berlaku dalam lingkungan Kementerian Agama.

WAKTU PENDAFTARAN
Waktu pendaftaran pelamar melalui website/internet tanggal 25 Oktober 2010 sampai dengan tanggal 3 November 2010.
KETENTUAN LAIN
Penerimaan pendaftaran dilaksanakan pada unit kerja sebagai berikut :

* Sekretariat Jenderal
* Inspektorat Jenderal
* Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah
* Ditjen Pendidikan Islam
* Ditjen Bimas Islam
* Ditjen Bimas Kristen
* Ditjen Bimas Katolik
* Ditjen Bimas Hindu
* Ditjen Bimas Buddha
* Badan Litbang dan Diklat
* Kanwil Kementerian Agama Provinsi seluruh Indonesia
* Universitas Islam Negeri (UIN) seluruh Indonesia
* Institut Agama Islam Negeri (IAIN) seluruh Indonesia
* Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar
* Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) seluruh Indonesia
* Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN)
* Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN)

* Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN)

Jakarta, 22 Oktober 2010
PANITIA PENGADAAN CPNS
KEMENTERIAN AGAMA RI
K E T U A,

..................

Sumber : Kemenag RI

Rabu, 20 Oktober 2010

Cermin Carut Marutnya Bangsa

Cermin Carut Marutnya Bangsa
Hasani Ahmad Said, M.A.
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Syariah IAIN Raden Intan Lampung)
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini koran Kabar Banten, Selasa, 19 Oktober 2010

Imam Ali RA berpesan “Jadikanlah dirimu neraca dalam hubunganmu dengan orang lain. Sukailah orang lain sebagaimana engkau menyukai dirimu, dan sebaliknya. Jangan menganiaya sebagaimana engkau enggan dianiaya. berbuat baiklah sebagaimana engkau suka orang berbuat baik kepadamu. Jangan berucap satu katapun yang engkau tidak sukai kata itu diucapkan padamu”.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pesan moral ini bisa saja dijadikan ‘ibrah bahwa jadikanlah negaramu menjadi neraca dalam hubungan dengan Negara lain. Dalam arti kata lain, kemampuan Negara lain mengelola kekayaan Negara yang berimbas pada kesejahteraan rakyatnya, sejatinya menjadi contoh untuk memajukan Negara ini. Kalau mau jujur, problematika kekinian Negara kita kian hari kian menunjukkan kerapuhannya.
Mulai dari kasus adegan banjir, gunung meletus, tabung meledak, perjudian dan prostitusi, kemiskinan, ancaman keretakan bangsa (disintegrasi), mengguritanya korupsi, janda pahlawan melawan pemerintah, penculikan anak, eksploitasi infotaimen, eksploitasi dan penjualan bayi, dan seabreg rapot merah lainnya, yang satu persatu permasalahannya bukan terselesaikan, malah kasusnya tenggelam digerus oleh silihberganti pemberitaan.
Ada sisi yang terlupakan dalam pengurusan bangsa ini yakni pentingnya generasi penerus. Generasi ini bisa terdiri dari anak, pemuda, dan generasi penerus lainnya. Kalau ada pengistilahan “Shubbanul yaum rijalul Ghadd” (pemudia hari ini adalah cermin pemuda masa akan dating), kalau pemuda hari ini di kasih “amunisi/gizi” baik dengan wawsan yang memadai, maka seperti itulah generasi 10 atau 50 tahun yang akan datang.
Satu sisi misalnya, di Indonesia, peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli ternyata berbeda-beda pada tiap negara. Hari anak yang benar-benar dirayakan oleh seluruh dunia adalah pada tanggal 20 November. Tanggal tersebut diumumkan oleh PBB sebagai hari anak-anak sedunia. Organisasi anak di bawah PBB, yaitu UNICEF untuk pertama kali menyelenggarakan peringatan hari anak sedunia pada bulan Oktober tahun 1953. Tanggal 14 Desember 1954, Majelis Umum PBB lewat sebuah resolusi mengumumkan satu hari tertentu dalam setahun sebagai hari anak se-dunia yaitu pada tanggal 20 November.
Sejarah hari nasional bermula dari gagasan di era Soeharto yang melihat anak-anak sebagai aset kemajuan bangsa, sehingga mulai tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkanlah setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Kegiatan Hari Anak Nasional (HAN) dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, hingga daerah, bahkan di luar negeri juga. Namun, belakangan ini berita hari-hari yang diperingati semisal hari anak nasional, telah tertutupi oleh pemberitaan media, baik politik, kompor gas meledak, berita perselingkuhan, dan seabreg berita lainnya. Semestinya diselenggarakan kegiatan bermacam-macam, mulai dari Seminar, lomba penelitian, Kongres anak, Perayaan Puncak HAN, lomba kreativitas, pameran, hingga pemecahan rekor melukis harapan anak.
Beberapa pekan ini, mungkin belum lama dalam ingatan kita nama Ridho ramai diberitakan di media. Ridho adalah potret masyarakat yang tidak mampu yang sedang memperjuangkan haknya sebagai warga Negara. Yang dituntut satu agar warga kelas bawah diperhatikan, jeritannya ini ternyata membuat nekad ibunya untuk membawa Ridho sampai ke istana Negara. Alasan kedatangan Ridho, mungkin sebagian “pejabat” kita menganggap sepele yaitu akibat terkena tabung gas yang meledak, tapi sesungguhnya dampaknya sangat besar terhadap keberlangsungan Ridho ke depan.
Inilah potret anak bangsa yang sedang memperjuangkan nasibnya. Padahal, di antara hak-hak asasi manusia adalah hak untuk memperoleh kesejahteraan, kebebasan, keadilan dan kedamaian di dunia. Dalam hal ini, anak-anak lebih memerlukan perhatian, dukungan dan keamanan di banding kelompok umur yang lain. Masa depan dunia yang lebih baik memerlukan dukungan kesehatan mental dan keamanan anak-anak. Berkenaan dengan ini, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah piagam yang disebutnya sebagai Konvensi Hak Anak-anak Se-Dunia. Seluruh negara di dunia selain Amerika dan Somalia ikut dalam konvensi tersebut.
UNICEF dengan pengesahan piagam tersebut berarti telah mengambil tindakan penyamaan seluruh anak di dunia dengan berbagai ragam ras dan etnisnya. Unicef menegaskan, tanpa diskriminasi apapun, anak-anak di dunia harus diberi perlindungan khusus oleh seluruh negara di dunia. Meskipun pengesahan piagam tersebut, merupakan langkah yang cukup berarti dalam merealisasikan hak anak-anak, akan tetapi para pemimpin dunia masih merasa perlu untuk menandatangani kesepakatan mengenai perbaikan kondisi anak-anak dunia dalam sidang tahun 1991.
Namun demikian, sampai awal milineum ketiga ini, kondisi kehidupan anak-anak dunia masih belum menunjukkan perbaikan yang memuaskan termasuk potret Ridho. Sebelum ini, masyarakat dunia telah menjanjikan akan menjadikan dekade pertama awal abad 21, sebagai dasawarsa budaya perdamaian dunia dan menolak kekerasan terhadap anak-anak. Namun, justru pada dasawarsa ini setiap harinya terdengar berita perang dan kekerasan yang memakan korban anak-anak. Perang-perang yang meletus akibat dendam dan permusuhan itu telah merampas rasa aman, penghormatan, kasih sayang dan perhatian dari anak-anak.
Sangat memiriskan hati, semestinya Undang-undang yang telah mengatur yang menjamin terjamin dan terlindunginya anak dari eksploitasi yang selama ini kita saksikan, sejatinya tidak terjadi lagi di Negara yang terkenal dengan keramahan dan melimpahnya kekayaan alamnya, justru malah memelintir kebijak tersebut dengan berbagai macam alas an. Belum lagi dengan sibuknya anggota dewan, wakil rakyat itu yang memperjuangkan pribadi dan kelompoknya membuat kepekaan terhadap masyarakat bawah semakin terpinggirkan. Sosok Ridho, sejatinya bisa dijadikan pelajaran, bahwa masih banyak Ridho-ridho lain yang saya kira nasibnya lebih tragis, bisa jadi akibat kebijakan pemerintah yang kurang populis.
Anak-anak merupakan penerus bangsa, pengganti para pemimpin sekarang, seandaainya salah dalam pengurusannya, maka generasi berikutnya akan terpangkas dan tidak akan menutup kemungkinan, sepuluh tahun yan g akan datang, atau bisa jadi pulhan tahun ke depan Negara kita tinggal namanay saja. Maka, kegelisahan ini bisa saja beralasa, dengan era globalisasi yang tidak bisa dibendung, teknologi yang kian membunuh karakter anak bnagsa karena salah mengurusnya.
Pada posisi ini, terletak pada orang tuanyalah pundak mereka ketika di rumah, tugas gurunyalah ketika berada di sekolah. Semoga dengan pengurusan yang baik, akan lahir kader-kader tangguh, cerdah, benar, yang dibarengi keimanan dan ketakwaan. Semoga anak Indonesia maju terus.!!!

* Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen IAIN Raden Intan Lampung. Tinggal di Pabean, Purwakarta, Cilegon, Banten.

Jumat, 15 Oktober 2010

CV: Mengenal Lebih Dekat

CURICULUM VITTAE

A. Identitas Diri
Nama : Hasani Ahmad Syamsuri, S.Th.I., M.A.
Jenis Kelamin : laki-laki
Tempat/Tgl Lahir : Pulomerak, Cilegon, 21 Februari 1982
Alamat : Jl. Pabean, Link. Pabean, Kel. Pabean No 10 Rt/Rw 01/01, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon, Prop. Banten, 42437
Agama : Islam
E-mail : elhasan_ahsyamsun@yahoo.co.id
hasani_banten@yahoo.com

B. Pendidikan Formal
1. 2008- sekarang : Mahasiswa Program Doktor / Kandidat Doktor Islamic
Studies Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Sedang dalam Penulisan Disertasi.
2. 2005-2007 : S-2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Program Studi Kajian Islam, Konsentrasi Tafsir
Hadis;
3. 2005-2007 : Setara S-2 Mahasiswa Pendidikan Kader Ulama (PKU)
Angkatan Ke VIII, MUI (Majlis Ulama Indonesia) DKI
Jakarta;
4. 2001-2005 : S-1 UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis;
5. 1998-2001 : MA (Madrasah Aliyah) al-Khairiyah Karangtengah,
Cilegon Banten;
6. 1995-1998 : MTs (Madrasah Tsanawiyah) al-Khairiyah Karangtengah,
Cilegon Banten;
7. 1989-1995 : SDN (Sekolah Dasar Negeri) Pecinan Cilegon, Banten;
8. 1989-1995 : MI (Madrasah Ibtidaiyah) al-Khairiyah Karangtengah
Cilegon, Banten.

C. Pendidikan Non Formal
1. 1995-2000 : Pondok Pesantren Salafi Banu al-Qamar Cilegon Banten;
2. 2002 : Kursus Komputer dan Internet INMADA Jakarta;
3. 2003 : Kursus computer semua program di Computer Café Jakarta
4. 2005 : Kursus Bahasa Inggris di Oxford Cours Indonesia.
5. 2007-2008 : Kursus Bahasa di Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
6. 2010 : Pendidikan Kader Mufassir (PKM), Pusat Studi Alquran, Jakarta.
D. Pelatihan, Seminar, dan Lokakarya
1. 2010 : Peserta Seminar Nasional: “Terorisme Vs Penegakan Syariah di Indonesia; Akar Masalah dan Opini Publik & Integrasi Keilmuan di Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” Milad ke-43 dan Bulan Syariah Fakultad Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 4-5 Mei 2010;
2. 2010 : peserta Liqâ Markaz al-Dirâsât al-Qur’âniyyah ma’a al-Ustâdz al-Duktûr ‘Abd al-Hay Husain al-Farmâwî, Ustâdz bi Jâmi’ah al-Azhhar bi al- Qâhirah, Jakarta, Pusat Studi Alquran, April 2010;
3. 2010 : Panitia Seminar Pendidikan dan Pengembangan Karir Islami, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 10 Maret 2010;
4. 2010 : Peserta Seminar Hukum dan Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dengan MGMP se DKI Jakarta, 2010;
5. 2010 : Peserta One Day Seminar ‘A Conversation with Modernity, Auditorium SPs UIN Jakarta, March 30, 2010;
6. 2009 : peserta International Conference Islamic Law in The Modern World, Faculty Sharia and Law, Syarif Hidayatullah, State Islamic University (UIN), Jakarta, December, 18-20 2009 M./ Muharram 01-03 1431 H.;
7. 2009 : Peserta International Seminar, Urgency of Solidarity and Unity in The Islamic World, Jakarta, 19-20 December 2009, PBNU, Sultan Hotel;
8. 2009 : Peserta Pelatihan Penulisan karya Ilmiah Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung, 1 Desember 2009;
9. 2009 : Peserta Pembibitan/Pembekalan Calon Dosen dilingkungan IAIN Raden Intan Lampung, 26-27 Oktober, 2009;
10. 2008 : Peserta international conference Freedom and Right of Return; Palestina and 60 Yerars of Ethnic Cleansing, VOP (Voice of Palestina, International NGO’s Union for Supporting Palistinians Right, dan Universitas of Indonesia Centre for Midle East and Islamic Studies, di Makara Hotel UI Depok;
11. 2008 : peserta Pelatihan Training ESQ Ekskutif angkatan 73, di Menara 165
Jakarta;
12. 2006 : Peserta Seminar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, “Menggali Potensi Anak Usia Dini dalam Perspektif Pendidikan Islam, IAIA al- Aqidah Jakarta, Aula masjid Istiqlal, 25 Mei 2006;
13. 2006 : Peserta Seminar dan Launcing Buku Fiqih Aborsi “Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan;
14. 2006 : Peserta Sarasehan Ulama Jabodetabek dengan Tema “Ekonomi Syariah dan Perbangkan Syariah”, Wisma Tugu Jakarta, PKES, Muamalah Institut, dan MUI;
15. 2005 : Panitia Pelatihan Training Menejemen Organisasi Himpunan Qari’ dan Qori’ah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatulah Jakarta;
16. 2004 : Peserta Dialog Publik “Penyatu Peradilan Upaya Penegakan Supremasi
Hukum di Indonesia”, BEMJ Peradilan Agama UIN Jakarta;
17. 2004 : Peserta Seminar Nasional “Mengembangkan Wacana Tafsir Kontemporer Hermeneutika Sebagai Metodologi;
18. 2004 : Peserta Seminar Nasional Islam dan Politik “Peluang Partai dan Politisi
Islam di Tengah Hegemoni Nasional dalam Pemilu 2004”;
19. 2003 : Peserta Seminar Tafsir “Menggagas Tafsir Emansipatoris: Antara Doktrin dan Realitas”;
20. 2003 : Peserta Semiloka dan Mukernas “Rekonstruktualisasi Al-Quran di Indonesia, Sebuah Gagasan Menuju Masyarakat Transformatif”;
21. 2003 : Peserta Aliansi Solidaritas Perempuan Indonesia “Damailah Acehku, Damai Sejahtera Indonesia”;
22. 2003 : Peserta Seminar Nasional “Mengurai Benang Kusut Relasi Jender, Antara Nature dan Nurture”;
23. 2003 : Peserta Semiloka Kurikulum dan Silabi Ekonomi Islam;
24. 2003 : Panitia Pelatihan Training Menejemen Organisasi Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an;
25. 2003 : Peserta Seminar Nasional “Tafsir Misoginis Dalam Kajian Tekstual dan
Kontekstual”;
26. 2003 : Peserta Seminar Hukum “Upaya Membangun Masyarakat Tentram dan
Tertib” (Mengkaji Ulang Perda DKI no 11/1998 Tentang
Kamtibnas);
27. 2003 : Peserta Seminar Peringatan Hari Kartini “Perempuan Dalam Tantangan dan Perubahan”;
28. 2003 : Peserta Diskusi Publik “Membincang Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib”;
29. 2003 : Peserta Seminar dan Bedah Buku “Huru-Hara Akhir Zaman”;
30. 2003 : Peserta Kongres V dan Dialog Nasional “Humanisme dalam Islam”
FORMASI (Forum Mahasiswa Syariah Se-Indonesia);
31. 2003 : Peserta Milad III LTTQ “Menyoal Dimensi Spiritual al-Quran dalam
Keilmuan”;
32. 2002 : Peserta Seminar Nasional “Telaah Pendidikan Agama dalam RUU
Sisdiknas”, BEM FITK, FAJAR, dan JIL, UIN Jakarta;
33. 2002 : Peserta Pelatihan Jurnalitik PMII KOMFAKSYA HUM, Cab. Ciputat, UIN Jakarta;
34. 2002 : Peserta Seminar Nasional “Penegakan HAM dan Gencatan Senjati di Aceh, BEM UIN Syahid”;
35. 2002 : Peserta Seminar Perguruan Tinggi Se-Jakarta “Membedah Pemikiran Fiqih Sosial KH.Ali Yafie” Pencarian Wacana Baru Fiqih Kontekstual, Solusi Problematika Kekinian;
36. 2002 : Peserta Seminar Nasional “Menggagas Teologi Perdamaian: Upaya
Rekonstruksi Pemahaman Keagamaan Berperadaban”;
37. 2001 : Peserta Pelatihan Training Kader “Membangun Etos Intelektual dan
Spiritualitas, Melalui Pengembangan Potensi dan Kreatifitas Seni Islami Berdasarkan Paradigma al-Quran” Himpunan Qori’ dan Qori’ah Mahasiswa (HIQMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
38. 2001 : Peserta Pelatihan Kader HMI (LK I) HMI Cabang Ciputat;
39. 2001 : Peserta Masa Orientasi Anggota Baru “Menjamah Bahasa, Menggenggam Dunia” Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bahasa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
40. 2001 : Peserta Training Manjemen Organisasi “Improfisasi Profesionalistis dalam Berorganisasi” HIQMA UIN Jakarta;

E. Pengalaman Organisasi
1. 1998-1999 : Ketua OSIS MA Al-Khairiyah Karang Tengah;
2. 2003-2004 : Ketua I Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Quran;
3. 2003-2004 : Ketua koordinator bidang Tilawah al-Qur’an Himpunan Qori’dan Qori’ah Mahasiswa UIN Jakarta
4. 2004-2005 : Ketua koordinator divisi Tahsin al-Qur’an Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qura’an Masjid Fathullah UIN Syahid Jakarta
5. 2004-2005 : Pengurus Cabang HMI Ciputat;
6. 2004-2005 : Wakil Ketua HIQMA UIN Syahid Jakarta
7. 2003-Sekarang : Sekretaris Forum Silaturrahmi Jama’ah Masjid (FOSMA) Fathullah UIN Syahid Jakarta
8. 2005-Sekarang : Dewan Alumni HIQMA UIN Syahid Jakarta dan Dewan Pertimbangan Organisasi HIQMA UIN Jakarta;
9. 2006-2007 : Dewan Pertimbangan Organisasi pada LTTQ (Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an) Masjid Fathullah UIN Jakarta;
10. 2007-2008 : Direktur Public Relation pada LTTQ (Lembaha Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an) Masjid Fathullah UIN Jakarta;
11. 2008- sekarang : Instruktur tahsin Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Prestasi-Prestasi
1. 1999 : Juara III MTQ Tingkat Kecamatan Pulo Merak Cilegon Banten
2. 2003 : Juara III MSQ Tingkat Kabupaten Bekasi
3. 2004 : Juara I MTQ Tingkat Nasional Oxford Cours Indonesia bekerjasama
dengan DEPAG RI
4. 2004 : Juara III MSQ Tingkat Kabupaten Bekasi
5. 2004 : Juara II MSQ PIONIR Tingkat Nasional antar Mahasiswa se-IAIN
dan PTAIN di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung
6. 2004 : Juara I MTQ se-UIN BEMJ PBA UIN Syahid Jakarta
7. 2004 : Juara I MTQ GEBYAR HIQMA se-Jabodetabek
8. 2004 : Juara I MTQ se-Jabodetabek di Masjid al-Azhar
9. 2004 : Juara III MTQ se-Jabodetabek di Masjid Sunda Kelapa
memperebutkan Piala Menteri Agama RI, DEPAG RI
10. 2004 : Juara III MSQ Tingkat Kabupaten Tangerang
11. 2005 : Juara II MSQ Tingkat Kota Tangerang
12. 2005 : Juara I MSQ Tingkat Kabupaten Bekasi

G. Pengalaman Mengajar dan Pengabdian Masyarakat
1. 2009- sekarang : Dosen Tetap Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung ;
2. 2008- sekarang : Asisten Profesor di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. 2008- sekarang : Asisten Profesor di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. 2008-sekarang : Dosen di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
5. 2008-sekarang : Koordiator Laboratorium Ibadah dan Fatwa di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ;
6. 2007 : Pengajar pelatihan seni baca al-Qur’an di di Yayasan Pesantren Nurul Iman, Pondok Aren, Tangerang, Banten.
7. 2005-sekarang : Pengajar Tilawah al-Qur’an di HIQMA (Himpunan Qari’ dan Qari’ah Mahasiswa) UIN Syahid Jakarta;
8. 2005-2006 : Pengajar Pelatihan Seni Baca al-qur’an di YPI al-Khairiyah Kebon Jeruk Jakarta;
9. 2004-2005 : Pengajar Tilawah al-Qur’an di SMP 87 Pondok Pinang Jaksel;
10. 2002- sekarang : Imam tetap Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ;
11. 2001 :Tenaga Pengajar Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ;
12. 2000-sekarang :Tenaga Pengajar Pendidikan Agama, Tilawah Al-Qur’an dan Tafsir ;

H. Karya-Karya Ilmiah
1. Eksistensi Manusia Perspektif al-Qur’an dan Hadis, Paper Madrasah Aliyah al-Khairiyah Cilegon, Banten, tahun 2001
2. Hadis tentang Azan Ditinjau dari Segi Sejarah; Kajian Masalah Azan Subuh dan Jumat, 2005, Skripsi S1 UIN Jakarta ;
3. Amstal dalam al-Qur’an, Makalah, makalah diseminarkan pada PPs S2 UIN Jakarta, 2006,;
4. Kajian Deskriptif terhadap Tafsir al-Hijri Karya K.H. Didin Hafiduddin, makalah diseminarkan pada PPs S2 UIN Jakarta, 2006;
5. Embriologi dalam al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Moderen, 2007;
6. Wawasan al-Qur’an tentang Musibah, 2007;
7. Wanita dalam al-Qur’an, makalah PKU MUI DKI Jakarta, 2006;
8. Makna Tahun Baru Hijriah, makalah disampaikan pada Studium General di MA al-Khairiyah, Cilegon, Prop. Banten, 2006;
9. Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath al-Qâdîr; Telaah Atas Pemikiran al-Syaukânî Bidang Teologi Islam., Tesis S-2 SPs UIN Jakarta, 2007;
10. Syair-syair Cinta: Kajian tahlil terhadap Corak Kasidah Burdah karya al-Bushiri, Editor, Jakarta: Puspita Press, 2009;
11. Kepribadian Qur’ani, Editor, Jakarta: WNI, 2009;
1. Caknur di Mata Anak Muda, Kontributor Tulisan, Jakarta: Paramadina, 2008; Menimbang Perbankkan Syari’ah di Indonesia, Jurnal Bimas Islam, Vol. 2 no. 3, Tahun 2009;
2. Kesetaraan Jender dalam Perspektif Hukum Waris, Jurnal Bimas Islam, Tahun 2010;
3. Dimensi Ruhani Manusia dalam Al-Qur’an dan Tasawuf, Jurnal Bimas Islam, Tahun 2010;
12. Diskursus Munasah Alquran dalam Tafsir al-Mishbah: Upaya Kontekstualisasi Penafsiran Alquran di Indonesia, disertasi UIN Jakarta sedang dalam penggarapan, 2010- sekarang;
13. Sportifitas Politik; Berlaga di Kancah Pilkada, opini Radar Lampung, 30 Juni 10;
14. Kisruh Meledaknya Tabung Gas, Opini Radar Banten, 7 Juli 10;
15. Meledaknya Tabung Gas, Opini Lampung Post, 8 Juli 10;
16. Meninjau Ulang Kenaikan TDL, Opini lamung Post, 20 Juli 10;
17. Bom Waktu Tabung Gas, Opini Kabar Banten, 26 Juli 10;
18. Ramadhan dan Renungan Kematian, Opini Kabar Banten, Agustus 2010;
19. Ramadan dan Tabir Kehidupan, Opini lampung Post, Jum'at, 20 Agustus 2010;
20. Tradisi Pulang Kampung, Opini Kabar Banten, 7 September 2010;
21. Halal Bihalal; Pribumisasi Ajaran Islam, Opini Kabar Banten, Sabtu 18 September 2010;
22. Halalbihalal Meneguhkan Pluralisme, Opini Lampung Post, Senin 20 September 2010;
23. Banten “Primadona Ibu Kota RI, Opini Kabar Banten, Rabu, 22 September 2010;
24. Meluruskan Makna Jihad (1), Opini Radar Banten, Sabtu 25 September 10;
25. Meluruskan Makna Jihad (2), Opini, Kabar Banten, 25 September 10;
26. Memaknai Fungsi Masjid, Opini Kabar Banten, Jumat 31 September 2010;
27. Masjid, Simbol Peradaban Islam, Opini, Lampung Post, Jum'at, 8 Oktober 2010;
28. Dimensi Ruhani Manusia, Opini Kabar Banten, Sabtu, 9 Oktober 10.

Menghidupkan Filologi di Banten

Menghidupkan Filologi di Banten
Oleh: Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen IAIN Raden Intan Lampung, Tinggal di Pabean, Cilegon)
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Kabar Banten, Kamis, 14 Oktober 2010

Pekan ini, mulai marak pemberitaan yang mulai melongok situs bersejarah, tempat ziarah yang berkedudukan di Banten Lama, yang kian hari kian tidak terurus dan bahkan memprihatinkan keadaannya.
Bukan itu saja, di daerah pemakaman yang sudah tidak asing lagi bagi awak media Televisi yang selalu mengabadikan situs-situs sejarah. Kini, pemandangan sehasri-hari disesaki dengan para pengemis dan Gepeng yang terkadang “Memaksa” sedekah, atau sekedar menawarkan jasa kantong plastik.
Situs sejarah selalu akan bersentuhan dengan kajian arkeologi dan filologi. Saat ini, kajian filologi belum banyak di minati oleh beberapa kalangan, bahkan peneliti sekalipun, termasuk di Banten. Meskipun ilmu ini, tidak dikatan baru, tetapi gaungnya belum terasa, bisa jadi di beberapa perguruan tinggi belum memasukkan studi filologi dalam sebuah silabus untuk diajarkan paling tidak setingkat mahasiswa, termasuk di dalamnya di Banten.
Sekilas meninjau sejarah Banten, secara geografis maupun teritorial, Banten telah lama bersentuhan sekaligus bersinggungan dengan masuknya kerajaan besar Islam, budaya Hindu, Budha, mistisime, dan lain sebagainya. Terlihat misalnya terpampang dengan jelas terdapat benteng bekas kerajaan Islam dengan relif ukiran-ukiran kaligrafi Arab, batu nisan, peninggalan “Batu Qur’an” yang bernuansa artistic.
Ini artinya, peninggalan itu bukan barang mati belaka, sesungguhnya peninggalan itu bisa dihidupkan dengan kajian pernaskahan (filologi).
Seminar sehari tentang “Filologi dan penguatan kajian Islam Indonesia” yang pernah diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama Puslitbang Lektur Keagamaan Balai Diklat Kementerian Agama RI pada beberapa pecan yang lalu perlu disambut dengan baik.
Dalam seminar ini menghadirkan beberapa pembicara. Di antaranya, Prof. Azyumardi Azra, sebagai keynot speech, Prof. Atho Mudzhar, Prof. Hendri-Chambert Loir, Dr. Oman Fathurrahman, dan Dr. Fuad Jabali. Yang menarik dari seminar ini berupaya untuk menghidangkan sekaligus menjelaskan kajian naskah (filologi) bukan terbatas pada sumber-sumber sejarah, sastra dan tasawuf, akan tetapi bukan hanya berhenti pada tataran itu saja bisa juga dalam karya lain semisal sumber fiqih, syariah (hukum Islam), tafsir, bahkan tidak jarang ditemukan juga naskah-naskah kuno yang bersumber dari budaya.
Penekanannya pada bagaimana mengupayakan penemuan sumber primer yang dianjurkan kepada para pengajar, peneliti, dan praktisi pendidikan melalui seminar, kuliah dan kajian ilmiah lainnya. Bila merujuk ke belakang, tradisi tulis menulis telah lama berjalan dalam kancah wacana lokal Islam (Islamic local discourse) di Indonesia.
Banyak faktor pendukung yang menjadi media, bukan hanya pada media kertas saja, tetapi sudah dilakukan pula pada batu, kulit binatang, tulang, bahkan daun. Kajian pernaskahan nusantara di bilang masih awal di Indonesia. Dalam kajian awal, Prof. Azyumardi Azra mengatakan bahwa kajian pernaskahan di nusantara telah di mulai dari tahun 80-an.
Di antara para pengkaji adalah Prof. Peunoh Dali yang mengkaji teks naskah “Mir’ah al-thullâb”, selanjutnya pernah dilakukan oleh Prof. Salman Harun yang mengkaji teks “Tafsir Tarjuman al-Mustafid” keduanya karya Syaikh Abdurrauf Singkel, Prof. Moh. Ardani membahas kajian teks-teks jawa, yang menarik mereka tidak dikatakan atau tidak bergelar filolog.
Selanjutnya, kajian filologi secara khusus di dalami oleh Prof. Nabilah Lubis sebagai peletak awal pengembangan filologi di IAIN kemudian sampai berubah menjadi UIN Jakarta. Salah satu muridnya adalah Dr. Oman Fathurrahman, dialah kemudian yang melanjutkan estafet pelanjut kajian ini dengan mengambil program S-3 dengan mengambil konsentrasi Filologi di UI.
Ilmu filologi yang selama ini mungkin dianggap sebagai kajian yang sukar, sudah mulai bergeliat menjadi reformulasi keilmuan. Bahkan saat ini, di SPs UIN Jakarta sendiri sudah membuka program khusus kajian filologi, atas kerjasama Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang dan Diklat Kemenag RI.
Bahkan sebelum kajian di atas, Syekh Imam Nawawi Banten (w. 1314 H./ 1897 M.) memiliki banyak kitab baik dalam bentuk manuskrip maupun yang telah naik cetak yang sayangnya tidak sampai ke Indonesia, apalagi tidak ada kesadaran dari masyarakat Banten untuk melestarikan, atau dalam bahasa lain, karya-karyanya adalah kekayaan intelektual karya asli wong Banten.
Sehingga generasi penerusnya, tidak tahu karya asli tersebut, atau bisa jadi sebagian masyarakat Banten mengenalpun tidak sosok Nawawi. Forum kajian Kitab Kuning (FK3) menyebutkan beliau menulis 100 kitab lebih dalam berbagai bidang. Di antara sekian banyak karya Syekh Nawai yang dikenal dan terlacak adalah Tijan al-Durar, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majid, Tafsir al-Munir, Qami’ al-Tughyan, Tanqih al-Qaul, Sullam al-Munajat, Nihayah al-Zain, kasyifah al-Syaja’, nashaih al-‘Ibad, Minhaj al-Raghibun, dan Uqud al-Lujain fi bayan Huquq al-Jauzayn.
Kalau mau melacak, tidak menutup kemungkinan banyaknya pesantren di Banten, juga melahirkan banayk manuskrip yang terserak di beberapa Ponpes, yang hanya dinikmati oleh pesantren dan santri setempat saja sebagai benda “pusaka dan keramat”.
Ada sebuah catatan penting meminjam bahasa Edwar Said seorang orientalis Kristen berkebangsaan Palestina “from with in” bahwa dalam menjelaskan dan mengkaji Islam, kita harus mengkaji dari dalam, bukan sebaliknya “from with out”. Maksudnya adalah mengkaji tentang Islam sejatinya belajar dari diri dan dari penulis para pengkaji Islam sendiri, bukan dari non Islam.
Hal ini dimungkinkan dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman tentang kajian tersebut, atau paling tidak akan terjaga keobjektifitasan dari pengkaji. Begitupula dalam mengkaji naskah-naskah Islam. Walupun teori ini bisa saja dipatahkan dan di kritik, agar tidak terjadi pengungkapan terhadap pola pikir dan paradigma.
Pendek kata, naskah yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah makhtûthât merupakan budaya dan warisan intelektual yang merefleksikan keadaan ketika itu, baik dari sisi sosial, keagamaan, pemikiran, dan termasuk kemajuan dari peradaban masyarakat lokal sekitar.
Kalau demikian halnya, kajian atas pernaskahan menjadi sebuah keniscayaan dan kajian ini menjadi penting. Di beberapa daerah masih banyak terdapat aksara pegon yang bertuliskan Arab, atau tepatnya aksara Arab. Bahkan bisa dimungkin naskah yang ada di nusantara ada ketekaitan dengan Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia. Dan Banten menjadi salah satu Provinsi yang bersentuhan dengan kesejarahan itu.
Saya kira masih sangat banyak naskah yang belum tergarap, baik naskah Jawi, Banten, Sunda, Melayu, Bugis, dan lain-lain. Selain itu, seperti telah disinggung di pembahasan awal, bahwa pernaskahan bukan hanya ditulis di atas kertas saja, akan tetapi banyak juga media naskah termasuk yang tertulis di tembok bahkan nisan-nisan.
Memang filologi terpaku pada kerumitan pembacaan teks, tetapi bukan berarti kerumitan ini akan menenggelamkan semangat keingintahuan kajian terhadap teks. Belum lagi dengan problem sejarah lampau nusantara yang banyak merelakan naskah-naskah nusantara yang banyak diboyong ke Negara lain.
Selain banyak pula karya manuskrip (makhtûthât) yang masih dianggap sakral oleh beberapa kalangan yang ada di beberapa tempat semisal keraton dan tempat-tempat suci lainnya. Problem yang lain adalah banyak karya naskah karya ulama Indonesia yang tinggal di Negara lain. Dan pada intinya kajian ini merefleksikan kembali dalam rangka menghidupkan khazanah intelektual bangsa yang kian ditinggalkan peminatnya.
Pada akhirnya, kajian filologi atas pernaskahan nusantara sejatinya mulai digagas untuk dimasukkan dalam kurikulum perguruan tinggi, agar penyebarannya lebih meluas pada tataran masyarakat luas, seperti kajian keislaman lainnya seperti kajian fikih, syariah, ushuluddin, dan lain-lain. Bahkan sejatinya menjadi tanggung jawab pemerintah juga untuk melestarikan dan menjada kekayaan intelektual yang tidak ternilai harganya. Kalau bukan kita siapa lagi.!!!.[Wallâhu a’lam bi al-shawâb]


*Penulis adalah kandidat Doktor Islamic Studies Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen IAIN Fakultas Syariah Raden Intan, Lampung, tinggal di kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Cilegon, Banten. Email: elhasan_ahsyamsun@yahoo.co.id