Jumat, 26 November 2010

Reformulasi Ritual Haji

Reformulasi Ritual Haji
Oleh Hasani Ahmad Said
*Tulisan dimuat di Wacana Publik, Radar Banten, Jumat, 19-November-2010

Thomas F Oídea (1990), seorang sosiolog mecirikan dan memaknai agama sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab.
Setiap agama memiliki sistem ritual dan sistem nilai, tak terkecuali Islam. Haji merupakan salah satu sistem ritual dalam Islam dan menjadi rukun dalam Islam. Pelaksanaan haji tanpa menyelami nilai-nilai haji hanya akan menjadikan haji sebagai tamasya biasa, sehingga tidak memberikan pengaruh apa-apa yang kuat sepulang haji kepada pelaku haji tersebut.
Janganlah heran jika banyak orang yang sudah haji, tetapi masih melakukan korupsi, masih membuat keputusan yang tidak adil, masih suka mendzalimi dan lain-lain. Itu semua akibat dari tidak adanya penghayatan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam ritual haji.
Haji merupakan satu di antara lima pilar Islam. Allah berfirman: “Serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS al-Hajj [22]: 27).
Dalam ayat ini, Allah menyeru untuk mengerjakan haji, meskipun dengan bersusah payah yang disebut oleh ayat di atas, meskipun berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Tujuan diwajibkan haji adalah memenuhi panggilan Allah untuk memperingati serangkaian kegiatan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim sebagai penggagas syariat Islam seperti tergambar dalam Q.S. Ibrahim ayat 37. Keinginan Ibrahim ditanggapi Allah dengan menyuruh orang-orang untuk menziarahi tempat Nabi Ibrahim tersebut, seperti tergambar pada ayat di atas.
Setiap tahun, pada bulan Dzulhijjah, jutaan kaum Muslim mendatangi Baitullah di kota Makkah. Mereka rela bepergian meskipun Baitullah amat jauh jaraknya dari negeri tempat mereka tinggal dan iklim di kota Makkah sangat berbeda dengan iklim di negeri mereka hidup. Mereka bersedia meninggalkan keluarga, karib-kerabat, kesibukan, dan pekerjaannya untuk memenuhi panggilan Allah.
Satu di antara do’a yang sering dipanjatkan adalah “Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu-Mu. Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan. Dan semua kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada ada sekutu bagi-Mu. Do’a ini akan selalu berkumandang pada secara serempak dilantunkan ditengah terik padang pasir. Lantunannya seakan menjadikan tanah Arab menjadi dingin serta hati para Hujjaj lelap dalam ritual warisan Ibrahim.
Tingginya animo masyarakat dari tahun ke tahun untuk melaksanakan ibadah haji secara statistik menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sehingga membuat tabungan untuk berhaji dilakukan dengan berbagai cara, seperti dipaksakan untuk menabung setiap bulan, mengadakan arisan haji, membuat investasi di mana-mana, baik tanah, emas, sawah, dan lain-lain.
Bahkan, kuota haji untuk lima tahun ke depan sudah terisi secara penuh. Sehingga bagi yang berniat mendaftarkan diri berangkat seketika tentu tidak akan mungkin dengan sistem komputerisasi yang sulit untuk dimainkan mengingat data setiap calon haji sudah sesuai dengan urutan pendaftaran dan pelunasan ONH-nya. Kecuali jika terjadi emergency dari salah seorang calon haji sehingga digantikan oleh urutan di bawahnya.
Farid Esack dalam On Being a Muslim, di dalam haji (perjalanan ke Makah), terdapat pertemuan akar umat Islam yakni akar geneologis, akar religius dan akar spiritual. Akar geneologis karena Adam dan Hawa bertemu di padang Arafah, yang dilambangkan oleh pasak yang menjulang di atas Jabal Rahmah yang terletak di Makah, setelah perpisahan mereka dengan surga. Lalu, akar religius karena Gua Hira, tempat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu, merupakan aspek fisik permulaan Islam sebagai agama. Dan terakhir akar spiritual karena Ka’bah merupakan simbol kehadiran Allah.
Dengan demikian, ketika ritual haji sudah dilaksanakan sesuai tuntunan agama, maka seorang jamaah pun berhak menyandang predikat haji saat wukuf di Arafah tepat pukul 12 siang (setelah salat dan mendengarkan khutbah). Dan pada saat itu gelar haji akan dimiliki. Namun yang lebih penting lagi adalah makna haji yang harus melekat dalam diri pelakunya setelah kembali ke kampung halaman masing-masing. Dan harapan menjadi haji mabrur akan dapat disandang jika seorang haji taat menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya berdasarkan pada Alquran dan as-Sunnah.
Ibadah haji memiliki keistimewaan tersendiri, sebab haji merupakan paduan antara ibadah jasmaniah dan maliyah (harta). Ini menunjukan seolah-olah haji merangkum dari semua rukun Islam. Lebih jauh, haji sendiri secara terminologi mempunyai arti menuju Baitullah guna menunaikan perbuatan yang diwajibkan, seperti tawaf dan wukuf di Arafah dalam keadaan ihram disertai dengan niat haji.
Di antara simbol-simbol haji yang perlu dimaknai, paling tidak, adalah ka’bah, ihram, sa’i, dan wukuf di ‘Arafah. Ihram adalah menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan lembaran kain putih tak berjahit. Menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Tak heran ada yang menyebut haji sebagai gladi resik kematian.
Apa sebenarnya makna pakaian ihram yang berwarna putih itu? Para pelaku haji (hujjaj) adalah tamu-tamu Allah (duyufullah). Mereka mendatangi baitullah (Rumah Allah) dengan berpakaian putih. Putih adalah simbol kesucian yang utuh. Oleh karena itu, menghadap kepada-Nya harus dilandasi kesucian hati dan niat, sehingga tidak ada tendensi apapun kecuali hanya memenuhi panggilan Allah.
Di dalam berpakaian ihram, para jamaah hajipun dikenai peraturan yang ketat, misalnya, tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh memotong atau mencabut tanam-tanaman, tidak boleh menggunakan parfum, tidak boleh bersetubuh, tidak boleh melakukan kekerasan dan lain-lain (wala rafatsa wala fusuqa wala jidala fil hajj). Larangan-larangan itu pada hakikatnya mengajarkan hujjaj tentang pembatasan konsumsi, pengekangan hawa nafsu dan menjauhi tamak. Sebab kata ihram itu sendiri memiliki makna batas, larangan atau tabu.
Kemudian ritual sa’i (lari-lari kecil di antara bukti Safa dan Marwa) merupakan dinamika hidup, yakni sebuah usaha tak kenal lelah demi mempertahankan hidup, sebagaimana Hajar ketika kehauasan dan tidak menemukan adanya tanda-tanda air di sekitarnya. Dia tidak hanya duduk diam menunggu mukjizat datang, namun dia berlari-lari dari bukit Safa ke Marwa hingga akhirnya mendapatkan sumber mata air.
Sa’i dilakukan secara bolak-balik hingga tujuh kali dimulai dari bukit Safa. Safa artinya cinta kasih kepada sesama dan diakhiri di bukit Marwa (Muruwwah), yang berarti bentuk ideal kemanusiaan. Sehingga pada hakikatnya Sa’i mengajarkan manusia untuk mencintai dan menyanyangi sesama hingga muncullah kedamaian kemanusiaan yang ideal.
Simbol penting lainnya adalah wukuf di Arafah. Seperti yang diungkapkan oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang. Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Maha Esa. Tidak ada perbedaan sama sekali, yang ada, persamaan dari sisi kemanusiaan, persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama.
Di Arafah, hujjaj dianjurkan untuk berdoa seharian penuh pada hari ke sembilan bulan Dzulhijjah. Arafah berarti pengetahuan (ma’rifah). Saat wukuf di Arafah adalah saat musyahadah atau ma’rifah, yakni suatu kondisi keimanan yang sempurna dan kehangatan cinta yang membara kepada-Nya. Dengan keterbakaran cinta, Hujjaj dalam bahasa tasawwuf akan mengalami fana’ (lebur dirinya dan hilang sama sekali) sehingga tidak ada yang disaksikannya kecuali siapa yang dicintainya.
Hujjaj akan iri kepada segala sesuatu walaupun kepada matanya sendiri. Berangkat menuju Arafah berarti berangkat menuju keasyikan berdialog dengan Allah. di sinilah komunikasi terbangun antara hujjah dan Allah sehingga hujjaj bisa mengetahui ‘kehendak-kehendak’ Allah yang kemudian dijalankan di muka bumi.
Makna ritual haji yang begitu dalam yang telah diurai di atas bukan sekedar ritual belaka tanpa makna. Namun ritual haji yang disyariatkan oleh Nabi Ibrahim yang kemudian dijalankan oleh jutaan umat manusia itu adalah ritual dan simbol haji yang erat kaitannya dengan dimensi sosial. Dengan kata lain, haji mabruru adalah haji yang mampu mensinergikan amalan ibadah dengan amaliyah. (*)

Hasani Ahmad Said
Dosen IAIN Raden Intan & Kandidat Doktor UIN Jakarta, Alumni MA. Al-Khairiyah Karang Tengah, Tinggal di Pabean.

Senin, 15 November 2010

Pemilukada, Harapan Baru Warga Tangsel

Pemilukada, Harapan Baru Warga Tangsel
Oleh Hasani Ahmad Said
*Dimuat di kolom Wacan Publik, Radar Banten, Sabtu, 13-November-2010

Di tengah Indonesia yang sedang diselimuti musibah, di balik semaraknya pemberitaan kedatangan Barack Husein Obama dan sesaat lagi akan tiba Hari Raya Idul Adha 1431 H, masyarakat Tangerang Selatan akan menggelar pemungutan suara Pemilukada hari ini.
Dari sekian banyak warga Tangerang Selatan, telah terpilih menjadi kandidat Walikota dan Wakil Walikota yang telah terkukuhkan menjadi empat pasangan kandidat. Sebagaimana dimaklumi, Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang Selatan telah menetapkan empat pasangan calon walikota dan wakil walikota Tangerang Selatan yang akan bertarung dalam pemilihan Walikota Tangerang Selatan ini. Keempat bakal calon itu adalah Airin Rahmi Diany-Benyamin Davnie, Arsid-Andre Taulany, Yayat Sudrajat-Moch Norodom Soekarno dan Rodiyah Najibah-Sulaiman Yasir.
Ibarat laga permainan sepak bola, empat tim inilah yang baru masuk dan dipastikan untuk dipilih. Dari empat kandidat ini pula, nantinya tentu akan ada yang masuk ke babak semi final, final dan menjadi sang juara (the champion). Dan kalau dicermati, para tim sepak bola itu, menarik untuk dicermati dari sekian banyak peserta yang berguguran adalah mereka itu semua menjunjung tinggi nilai sportivitas.
Kajian ini menarik untuk dikupas sekaligus dijadikan bahan analisa dalam laga politik kita yang kian hari kian menunjukkan keberingasannya. Terlebih, maraknya, pilkada di beberapa daerah yang menyisakan banyak persoalan dan persengketaan yang belum terselesaikan. Sehingga, beritanya terus seru dan sayang untuk dilewatkan.
Kerusuhan yang berbuntut saling menyerang yang dikabarkan terjadi akibat kurang puasnya dengan layanan publik dan tatanan yang berlaku. Belum lagi politik uang (money politics) yang mewabah dan menggejala, yang mengakibatkan mati surinya demokrasi, seolah-olah suara hanya milik orang yang ber-uang.
Dengan meletakkan sportivitas, maka daya tarik dan pikat kepada pemilihnya mestinya akan mencuat. Sekarang bukan zaman lagi dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan semata. Daya pikat dan daya tawar masyarakat mestinya sudah mengacu kepada kekuatan program-program unggulan dari apa yang ditawarkan. Tentunya program yang sesuai dengan pro-rakyat dan lebih mengedepankan pencerdasan masyarakat dibanding program yang hanya membikin ”bodoh” publik.
Analisis ini bisa saja dituangkan oleh para kandidat yang akan berlaga di ranah politik praktis menuju kursi kepemimpinan. Kalau sudah demikian paradigm dan pola pikirnya, harapan mencipyakan pemerintah yang baik (good governance) agar segera terlaksana. Dimulai dari perekrutan sampai kemudian terpilih dengan nilai kualifikasi yang baik dan membanggakan di mata masyarakat. Bukan hanya kebahagiaan ”sesaat” yang dirasahan masyarakat.
Di sinilah peran panwas, KPU, sampai di tingkat KPPS mempunyai iktikad baik dalam menegakkan dan menciptakan pemeritah yang baik. Dalam mewujudkan ini semua memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi paling tidak adanya keinginan yang kuat dari masing-masing pemilih akan menegaakkan cita-cita mulia itu.
Tidak jarang tujuan pragmatis dari oknum yang tidak bertanggung jawab bisa menjungkirbalikkan fakta di masyarakat. Kalupun demikian, dibutuhkan kesadaran yang tinggi untuk menjunjung tinggi nilai demokratisasi, bukan malah memangkas demokrasi demi kepentingan pribadi dan golongan. Maka semboyan jujur dan adil dalam setiap pemilu senantiasa didengung-dengungkan. Reformasi yang telah selama ini diperjuangkan menuntut adanya keterbukaan dalam lini apa pun. Keterbukaan mengeluarkan pendapat, keterbukaan informasi yang pada akhirnya melerai persengketaan menuju kesepahaman.
Harus diakui keragaman suku, bangsa dan agama di Indonesia, terkadang memicu dan memacu perselisihan dan gesekan antar sesama. Namun para pejuang setengah abad yang lalu telah merumuskan bahwa keragaman tapi satu jua (Bhineka Tunggal Ika). Kita harus akui pula, bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang untuk memilih dan dipilih. Tetapi bukan berarti memilih yang asal-asalan.
Memilih juga harus mempunyai seni, dilihat dari kemampuan dan keikhlasan yang dipilih. Begitupun sebaliknya bukan berarti semuanya boleh maju tanpa memiliki kapabilitas di bidangnya, akan tetapi yang berhak dipilih adalah orang-orang pilihan yang memiliki kredibilitas dan skill yang cukup. Maka, dari pemahaman itu, terlahir jiwa-jiwa yang handal, bukan jiwa yang kerdil.
Setelah memenuhi persyaratan di atas, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah wujudkan dan junjung nilai sportivitas . Hal ini penting, ternyata jiwa ksatria dalam berlaga di kancah politik adalah siap kalah dan siap menang. Kalau belum siap kalah, maka tidak usah mencalonkan diri. Sikap inilah yang bisa jadi selama ini menimbulkan pengakhiran yang tidak baik. Sehingga, rusuh di mana-mana, pembakaran karena calonnya tidak masuk verifikasi calon, dan bermacam-macam alasannya, selain karena boleh cerdasnya masyarakat dalam berpolitik. Buktinya mudah tersulut dengan emosi. Yang dikedepankan adalah otot, bukan otak. Demikianlah halnya pendewasaan pola pikir.
Saya kira pembelajaran perpolitikan di negeri kita semakin lama semakin pula baik dan dewasa. Misalnya, belum lama ini sudah digelar debat kandidat yang disiarkan langsung oleh televisi swasta yang bisa pula dilihat dan diakses oleh warga Tangerang Selatan, atau bahkan Indonesia. Sehingga, dari pembelajaran yang baik ini, masyarakat tidak kembali “membeli kucing dalam karung”, akan tetapi masyarakat bisa melihat kualitas kandidat pemimpinnya yang akan dicoblos.
Menyimak secara serius debat kandidat calon Walikota dan wakil walikota Tangerang selatan selasa malam 9 November 2010 kemarin di Metro TV, ada yang menarik dari peryataan para kandidat pemimpin Tangerang Selatan ketika menyampaikan visi dan misinya, hampir semua kandidat mempunyai sikap legowo untuk siap menang dan siap kalah. Nah, sikap ini sebagaimana dicatat sebagai janji kepada masyarakat.
Sebagaimana di awal telah disinggung bahwa perlagaan Pemilukada laksana perhelatan sepak bola yang setiap timnya akan berguguran, dan pada akhirnya akan menemukan dan terpilih satu tim yang menjadi sang juara. Begitupun dengan pada pemilukada, maka, mau tidak mau harus siap kalah dan siap pula menang. Kalau di awal sudah memiliki tekad demikian, diharapkan tidak ada lagi kisruh sebagai buntut dari Pemilukada.
Rasanya sudah saatnya, setiap pemilukada di mana dan kapanpun lebih mengedepankan Pemilu yang aman, tanpa di akhiri dengan kisruh. Kalaupun ada masalah, maka salurkanlah melalui aturan UU yang telah berlaku. Para kandidat diharapkan dapat dan mampu meredam amarah sesaat para pendukungnya. Nah, aman atau tidaknya Pemilukada, tergantung pada masyarakat dan kandidatnya.
Disadari atau tidak, tujuan akhir dari sebuah perlagaan adalah diawali dengan yang baik, maka diharapkan peng-akhirannyapun dengan baik pula. Demikian tatakrama dalam berbangsa dan bernegara. Pendek kata, sportivitas ini diperlukan dalam hal apa pun. Dalam berpolitik, dalam berkarir, berkarya, dan lain-lain. Tanpa sportivitas, maka akan terjadi sikut-sikutan. Karena sudah tidak ada teposaliro. Pemimpin kedepan butuh pemimpin yang menjunjung tinggi sportivitas, salah dibilang salah, benar dibilang benar, kalah menjunjung tinggi yang menang, dan yang menang merangkul yang kalah.
Kita berharap semua sebagai warga Tangerang Selatan khususnya, dan warga Banten pada umumnya, semoga pemilukada Tangsel berjalan dengan aman dan lancar tanpa kendala apa pun. (*)

Hasani Ahmad Said
Kandidat Doktor UIN Jakarta dan Dosen IAIN Raden Intan Lampung, Tinggal di Komplek Dosen UIN, Ciputat Timur.

Sabtu, 06 November 2010

Menakar Musibah di Indonesia

Menakar Musibah di Indonesia
Oleh Hasani Ahmad Said
Wacana Publik, Radar Banten, Sabtu, 06-November-2010

Dewasa ini, kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di Indonesia, negeri berpenduduk muslim terpadat di dunia.
Tercatat dari tahun 2007 terjadi beberapa bencana besar, misalnya Kapal Senopati karam di Perairan Mandalika, Jawa Tengah, kecelakaan pesawat Adam Air KL 574. Musibahnya ini mulai dari bulan Desember 2006 sampai dengan bulan Januari 2007.
Bisa disebut juga sebagai pembuka tahun 2007, dimulai dengan berita hilangnya pesawat Adam Air di sekitar daerah Sulawesi. Kecelakaan Kapal Levina. Kapal Motor Levina terbakar di perairan kepulauan Seribu, Jakarta, sekitar 200 orang lebih dapat diselamatkan. 15 orang diperkirakan meninggal, dan 20 orang lebih menghilang.
Gempa skala 5,8 di Sumatera Barat. Gempa di Sumatera Barat, Padang ini terjadi pada pagi hari, dengan kekuatan 5,8 SR. Gempa ini merenggut 79 korban jiwa. Gempa ini membuat beberapa tempat umum terganggu aktivitasnya, bahkan bangunan -bangunan pun rusak. Gempa ini juga terasa di negara tetangga kita, yaitu Singapura dan Malaysia.
Belum lagi misalnya mengutip pendapat Kementerian ESDM. ”Catatan kita ada 18 gunung yang berstatus waspada, 2 siaga dan 1 berstatus awas,” kata Kepala Sub-Bidang Pengamatan Gunung Berapi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM,) Agus Budianto.
18 Gunung yang berstatus waspada itu adalah: Gunung Sinabung (Karo, Sumut), Gunung Talang (Solok, Sumbar), Gunung Kaba (Bengkulu), Gunung Kerinci (Jambi), Gunung Anak Krakatau (Lampung), Gunung Papandayan (Garut, Jabar), Gunung Slamet (Jateng), Gunung Bromo (Jatim), Gunung Semeru (Lumajang, Jatim), Gunung Batur (Bali), Gunung Rinjani (Lombok, NTB), Gunung Sangeang Api (Bima, NTB), Gunung Rokatenda (Flores, NTT), Gunung Egon (Sikka, NTT), Gunung Soputan (Minahasa Selatan, Sulut), Gunung Lokon (Tomohon, Sulut), Gunung Gamalama (Ternate, Maluku Utara), Gunung Dukono (Halmahera Utara, Maluku Utara).
Sedangkan 2 Gunung yang berstatus siaga adalah : Gunung Karangetang (Sulut), Gunung Ibu (Halmahera Barat, Maluku Utara) dan 1 Gunung bersatus awas yakni Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta.
Belum selesai mengurus musibah, dua kecelakaan kereta api sekaligus di awal Oktober, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter diikuti tsunami hebat di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Dari analisa US Geological Survey dan juga BMKG, sebagaimana Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi Arief, dalam rilisnya, Rabu (27/10/2010). “Gempa ini disebabkan oleh pergerakan patahan pada Sunda megathrust, yaitu pada bidang batas tumbukan Lempeng Hindia-Australia terhadap Lempeng Sunda.”
Pada 15 Oktober 2009, Direktur EOS, Prof Dr Kerry Sieh menyatakan, gempa bumi kolosal (sangat besar) diperkirakan akan menghantam Pulau Sumatera dalam waktu 30 tahun ke depan. Ahli ilmu bumi memperingatkan bahwa tsunami besar dan gempa bumi mematikan yang terjadi sebelumnya merupakan suatu peringatan. ”Kami memperkirakan akan terjadi dengan kekuatan 8,8 SR, kurang atau lebihnya sekitar 0,1 poin,” ujarnya.
Belakangan ini media berusaha membangun opini masyarakat bahwa perilaku salah seorang yang telah menjadi korban tewas di saat meletusnya Gunung Merapi merupakan tokoh yang patut diteladani. Dialah sang “juru kunci” Gunung Merapi. Ia patut diteladani karena kegigihannya menjalankan tugas sebagai kuncen Gunung Merapi hingga saat terakhir sehingga rela mengorbankan nyawanya demi menjalankan tugas tersebut.
Menyikapi musibah beruntun yang menimpa bangsa, kita niscaya mengedepankan kearifan dan kekritisan. Alam memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak bersikap angkuh baik terhadap alam maupun kepada sesama, apalagi kepada Tuhan. Terbukti, di hadapan alam manusia nyaris tidak berdaya. Manusia dengan segala atribut yang disandangnya tidak berkuasa menolak sunnatullah, hukum alam.
Kita perlu sepakat, bencana adalah bencana, yang dapat menimpa siapa saja dan kelompok apa pun. Karena itu komunikasi yang setara, solidaritas dan kerjasama adalah dari dan untuk siapa saja, tanpa harus memilahnya dengan atau untuk kelompok ini atau umat agama tertentu, termasuk juga dengan alam. Oleh karena bencana bagian dari kehidupan, sikap dan pola semacam itu pula yang perlu kita tumbuh-kembangkan dalam menyikapi kehidupan saat ini dan seterusnya.
Sebagai orang yang percaya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tetap memandang apapun gejala alam ini dengan kacamata syari’ah. Sebab apapun yang terjadi tidak luput dari kehendak Allah SWT.
Salah satu doa yang Nabi Muhammad ajarkan kepada kita ialah sebuah doa panjang yang di dalamnya menyebutkan persoalan musibah. Dan sangat menarik untuk dicatat bahwa ternyata jenis musibah yang Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan Allah dalam menghadapinya ialah musibah yang menyangkut urusan dien (agama). “Dan janganlah Engkau (Ya Allah) jadikan musibah kami pada agama kami”. (HR. Tirmidzi).
Sungguh, hidup di negeri Indonesia dewasa ini kita sangat perlu mencamkan pesan Allah berikut ini: Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf [7] : 99).
Allah mengajarkan kepada kita bahwa perilaku alam sangat berkaitan dengan perilaku kumpulan manusia yang tinggal di lingkungan alam tersebut. Bila masyarakatnya baik di mata Allah, yakni beriman dan bertaqwa, maka Allah akan limpahkan banyak keberkahan kepada masyarakat tersebut dari langit maupun bumi. Tapi sebaliknya, bila mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah akan timpakan hukumanNya kepada mereka melalui beragam bencana yang bisa datang di waktu siang maupun malam hari.
Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (QS. Al-A’raf [7] : 96-98).
Dalam dimensi lain, Allah mengingatkan dengan firman-Nya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3).
Dalam perspektif itu kita juga perlu memaknai bencana alam sebagai petanda tentang urgensi melakukan komunikasi yang lebih intens, berkelanjutan dan bersahabat dengan alam, Tuhan dan sesama. Pengembangan komunikasi yang dilandasai dengan kerendahatian dan kesabaran akan mengantarkan bangsa untuk memahami karakteristik kehidupan yang tidak dapat dilepaskan dari keragaman dan perbedaan, sekaligus harmonisasi antara unsur yang saling berbeda tersebut akan berkembang subur.
Sejalan dengan itu, bangsa ini akan lebih bersahabat dengan alam, sehingga bencana alam akibat ulah manusia dapat ditekan seminim mungkin. Demikian pula kita akan lebih memahami dan menghormasti atas sesama –terlepas dari perbedaan yang ada –yang dapat memberikan peluang besar untuk membangun solidaritas sosial yang lebih langgeng dan kerjasama antar-sesama yang lebih kokoh dan lestari. (*)


Hasani Ahmad Said
Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung.

Musibah dan Kepekaan Sosial

Musibah dan Kepekaan Sosial
Hasani Ahmad Said
Dosen Syariah IAIN Lampung, kandidat doktor UIN Jakarta
Opini, Lampung Post, Sabtu, 6 Nov 2010
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia diguyur musibah beruntun yang tak henti-hentinya. Bencana besar kembali datang menegur bangsa. Dimulai sejak tsunami Desember 2004 lalu yang menghantam Aceh, nyaris setiap tahun Indonesia mengalami bencana alam. Pada 2010 ini kembali banjir bandang menimpa Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, dengan korban jiwa 100 orang lebih.
Beberapa pekan terakhir, tidak henti-hentinya berita tentang musibah dan bencana dalam skala besar, mulai dari banjir bah di Wasior, Gunung Merapi meletus, gempa dan tsunami di Mentawai dan tampaknya bencana seperti ini tidak ada henti-hentinya.
Ini semakin membuktikan ada yang salah dengan bangsa ini, jujur rakyat sudah begitu penat melihat dagelan atau panggung sandiwara para elite politik. Sepertinya, inilah para elite politik terburuk yang pernah ada di Indonesia, ya mereka ternyata sudah buta dan peka terhadap apa yang menjadi keinginan masyarakat serta dalam mengayominya.
Sebagian besar masyarakat kita berduka atas semua kejadian yang terus-terusan beruntun menimpa kita, entah apa yang salah. Di saat kita mulai berbenah atas kejadian sebelumnya ternyata Tuhan sudah memperingatkan kita kembali dengan musibah lainnya.
Pelajaran itu sangat signifikan untuk diangkat karena fenomena yang menggejala akhir-akhir ini memperlihatkan kecenderungan menguatnya sikap arogan dan egois pada beberapa elemen bangsa. Mereka terjebak ke dalam keangkuhan untuk menundukkan orang dan kelompok lain di bawah keinginan dan kepentingan kita sendiri. Dalam bingkai itu, mereka menentukan kebenaran dan kebatilan berdasarkan kriteria subjektivitas yang mereka bangun.
Wajar dan bersyukurlah kita melihat begitu banyaknya pihak yang bersegera mengulurkan tangan dengan memberikan aneka bentuk bantuan. Dan sudah barang tentu bantuan yang paling minim tetapi sekaligus paling bermakna ialah bantuan doa.
Dari bencana kita harus belajar banyak. Selain belajar bersabar, tidak bersikap angkuh dan mengedepankan keberingasan, serta mementingkan diri dan kelompok sendiri, kita dituntut membangun solidaritas sosial yang kokoh. Kekerasan—dilihat dari perspektif mana pun tidak akan pernah menyelesaikan persoalan karena ia bagian dari persoalan.
Sekilas melongok dogma agama, ada yang bisa dipetik dari berbagai kejadian yang selama ini menimpa. Pertama, menjadi ujian kesabaran seorang mukmin karena di saat musibah datang terlihat sekali sikap seorang hamba yang sebenarnya, apakah berbaik sangka atau justru sebaliknya berburuk sangka atau bahkan menyalahkan dan mencaci maki Allah swt. (baca: Q.S. Al Baqarah: 214).
Dalam sebuah hadis Shahihain dikatakan: "Tidak beriman seseorang di antara kamu, sebelum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (H.R. Bukhari-Muslim).
Musibah yang kian terus terjadi, justru diharapkan dapat meningkatkan gravitasi langit sekaligus mengurangi gravitasi bumi. Pada gilirannya orang yang merasakan maupun yang menyaksikannya dilatih menumbuhkan sikap empati terhadap penderitaan orang lain, sehingga lahirlah sikap kedermawanan dalam dirinya, karena ia menyadari bahwa dalam harta yang dimilikinya, ada hak fakir miskin dan orang-orang lain yang wajib dikeluarkan.
Kedua, masyarakat kita dituntut memiliki kepekaan dan rasa tanggung jawab sosial di mana pun berada. Kepedulian sosial tersebut penting diwujudkan sebagai bentuk pengabdian terhadap umat. Sejatinya, kepekaan sosial itulah intisari perubahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat kita menyaksikan saudara yang lain tertimpa musibah.
Dengan kepekaan sosial, kita akan mampu menyumbang sebagai agen perubahan. Peka berarti tanggap atas kebutuhan masyarakat. Dengan kepekaan sosial, masyarakat mampu menciptakan strategi perubahan sebagai jawaban atas perubahan masyarakat. Bagaimana pun anak bangsa dituntut untuk ikut andil mengatasinya.
Maka, dalam kondisi sekarang yang paling penting diingatkan kepada siapa pun, terlebih khusus korban bencana, ialah agar bersabar menghadapi musibah kehilangan berbagai harta dunia sambil mengokohkan iman dan takwa mereka. Sebab, iman dan takwa merupakan harta utama yang tidak boleh sampai lepas betapa pun telah lepasnya berbagai harta dunia.

Quo Vadis Pilkada Tangsel?

Quo Vadis Pilkada Tangsel?

Oleh Hasani Ahmad said

*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Radar Banten, Selasa, 19-Oktober-2010



Tidak lama lagi Pemlukada Kota Tangerang Selatan akan digelar. Perhelatan akbar itu akan digelar serentak di beberapa kecamatan yang ada si bawah wilayah Tangsel.

Sebuah simbol yang sifatnya seremonial akan tetapi dampaknya sangat berpengaruh terhadap lancarnya roda pemerintahan, dan tentunya akan menentukan arah ke mana warga Tangsel dibawa.

Oleh sebab itu, Pemilukada menjadai barometer terhadap kesejahteraan rakyat daerah 5 tahun mendatang. Banyak pengamat mengutarakan opini dan gagasannya baik melalui media cetak maupun dalam ceramahnya. Namun demikian, masih sangat sedikit untuk mengatakan tidak ada penulis maupun pengamat yang mengantar prospek pemimpin ke depan.

Termasuk di dalamnya, memberikan sumbangan pemikiran yang mengarah kepada menjadikan Kota Tangasel madani.

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana tugas KPU, Panwas, PPK mengantar Pemilukada aman? Ada dua jawaban yang saya akan angkat di tulisan ini. Pertama, secara de facto dan de jure tugas mereka tinggal menghitung hari akan segera ditunaikan. Kedua, tugas yang paling mahaberat sesungguhnya adalah bagaimana pemimpin terpilih bisa amanah menjalankan kepemimpinannya.

Dan tidak kalah pentingnya adalah pertanyaan mendasar adalah mampukah membawa kesejahteraan masyarakat dalam 5 tahun yang akan datang sesuai dengan amanat undang-undang yang mensejahterakan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratn Keadilan, dan pada pamungkasnya adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Maka, ketika belum mampu menjawab pertanyaan ini semua, lebih baik instropeksi diri untuk menjadi pemimpin ke depan. Pemimpin terpilih bukan hanya berhenti pada janji politiknya saja, tetapi yang lebih penting dari itu adalah aplikasi program yang telah dikampanyekan. Kalau sudah demikian adanya, maka akan lahir pemimpin seperti kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Kemenangan Rakyat

Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pemilih, jika “jagoan” yang dipilihnya terpilih menjadi pemimpin. Akan tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah tokoh yang dipilih sudah mewakili suara rakyat? Sudahkah sesuai dengan aspirasi dan hati nurani kita? Bukan karena “kenikmataan sesaat”, suara yang mestinya menjadi keterwakilan aspirasi kita dalam hitungan detik tergadaikan? Ada sebuah ibarat bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Ingat, jangan bohongi hati nurani. Siapakah calon pemimpin yang amanah? Siapakah calon pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat? Siapakah pemimpin yang ketika menjabat kelak bukan politik “balas budi” atau yang hanya dipikirkan bagaimana mengembalikan modal kampanye? Jawaban semua ini terletak pada hati nurani. Maka, satukan gerak dan langkah perbuatan sesuai dengan batin nurani kita. Pertanyaan ini hendaknya telah pandani dijawab oleh kandidat yang terpilih.

Saat ini dan kedepan sudah semestinya yang hanya kita pikirkan adalah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), bukan hanya diwacanakan tetapi saatnya diaplikasikan bersama. Pemerintahan yang baik (good governance) tidak akan terwujud dengan sempurna tanpa sumber daya manusia (SDM) yang memadai, kemudian diimbangi oleh menjunjung tinggi nilai kejujuran. Kejadian yang negatif dikabarkan di beberapa media cetak maupun elektronik selama ini terjadi akibat setiap orang merasa paling benar akibat ketidakjujuran dan matinya hati nurani.

Kalau dilustrasikan permainan bola, maka, jadilah pemain dan penonton yang baik, boleh mendukung kepada salah satu peserta, ketika terjadi gol, maka boleh bersorak sorak merayakan kemenangan saat terjadi pertandingan itu, tetapi di hari berikutnya sudah lupa lagi dengan masuknya peserta turnamen yang lain. Rasanya begitupun dengan Pemilukada yang telah kita laksanakan, yang kalah mestinya legowo menerima kekalahannya dan penuh kesatria menyampaikan ucapan selamat bahkan menyalami kepada peserta pemenang, begitupun peserta yang menang tidak serta merta sombong dan lupa diri dengan kemenangannya, yang harus diingat adalah kemenangannya adalah kemenangan rakyat, dan kemenangan dia adalah kemenangan bersama.

Amanat Rakyat: Quo Vadis Pemilukada

Tidak muluk-muluk permintaan rakyat hanya pada nilai normatifitas. Misalnya dipermudah pengurusan bikin KTP, dan mengurus surat-surat yang lain, akses jalan bagus, masyarakat pinggiran dan miskin terperhatikan, biaya pendidikan murah bahkan kalau bisa gratis, mudah cari kerja, dan lain-lain. Dalam pengamatan saya, sudah terjadi peralihan paradigma masyarakat, dari masyarakat yang berfikir praktis misalnya asal ada duit, maka saya akan pilih.

Pada ranah ini, masyarakat sudah mulai bosan dengan janji-janji palsu dari para kandidat, kandidat yang bermodal tampang, ternyata dalam pengamatan saya, paradigma yang tidak baik sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan realita di masyarakat dan dengan pesatnya kemajuan teknologi dan informasi. Meskipun pengamatan ini tidak selamanya benar. Bagaimanapun kecerdasan lebih dipentingkan dibanding dengan program yang muluk-muluk tanpa dibarengi dengan sumber daya manusia yang memadai.

Dalam hal ini masyarakat mulai “melek” terhadap dampak ketidaknyamanan mereka terhadap realitas yang menimpanya selama ini. Belajar dari pengalaman semuanya akan menjadi baik.

Maka kuncinya adalah pada pucuk pimpinan yang seantiasa mendengar keluh kesah warganya. Kalau sudah demikian, maka tidak mustahil pemerintah sekarang dan akan datang akan segera mewujudkan masyarakat yang reigius, amanah, mensejahterakan rakyat, berbuat demi kepentingan rakyat. Hal ini gambaran masyarakat madani (civil society). (*)



*Hasani Ahmad Said, Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Lampung. Tinggal di Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon.