Senin, 11 Januari 2010

RASIONALITAS TAFSIR FATH AL-QADÎR IMAM AL-SYAUKÂNI

RASIONALITAS TAFSIR FATH AL-QADÎR IMAM AL-SYAUKÂNI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KIK (Kajian Islam Komprehensif)
Team Teaching : Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. (koord.)




Oleh :
Hasani Ahmad Syamsuri
NIM: 08.3.00.1.05.01.0016



SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M./ 1430 H.

RASIONALITAS TAFSIR FATH AL-QADÎR IMAM AL-SYAUKÂNI
Oleh Hasani Ahmad Syamsuri

Pengantar kajian
Perbincangan rasionalitas selalu menarik utk dikaji, dari tulisan dan sistematika yang bermula dari tulisan Harun Nasution, kemudian marak dipakai untuk meninjau sejauh mana latar belakang penulis dan anutan madzhabnya dalam percikan penafsiran yang dipakai dalam menungkap makna terdalam dari mutiara al-Qur’an.
Islam sumber ajaran dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits . Allah berfirman bahwa al-Qur’an adalah cahaya (Q.S. 6: 174), petunjuk (Q.S. 1: 2), penyembuh penyakit yang ada dalam dada (Q.S. 10: 57), pembela terhadap kitab dan syari’at terdahulu (Q.S. 5: 48), yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai undang-undang yang adil dan syariat yang kekal, sebagai pelita yang bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Orang yang berkata berdasarkan al-Qur’an adalah benar; orang yang mengamalkannya akan mendapat pahala; orang yang menghakimi dengannya adalah adil; dan siapa yang mengajak orang lain untuk mengimaninya akan diberi petunjuk kejalan yang lurus.
Setiap muslim, wajib memahami ajaran-ajaran dasar itu. Oleh karena itu, al-Qur’an dan Hadits perlu ditafsirkan. Kata tafsîr (exegesis) berasal dari bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian menyingkap (al-Kasyfu), memperjelas (izhâr) atau menjelaskan. Ibnu Manzûr dalam kamus besar Lisân al-‘Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu lafaz yang susah dan pelik. A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr merupakan bentuk masdar yang berarti menjelaskan, memberi komentar, menterjemahkan atau mentakwilkan. Ibn Faris ibn Zakariya menjelaskan bahwa secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin, dan ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.
Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur’an sepanjang kemampuan manusia. Pengertian senada diberikan Muhammad Badruddîn al-Zarkâsyi (745-749 H./1344-1391 M.) yang mendefinisikan ilmu tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah (al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna hukum dan hikmah (yang terkandung di dalamnya).
Kata tafsîr dalam al-Qur’an disebut satu kali, yaitu dalam Q.S. al-Furqân (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan dengan tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali. Dan di antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya, namun ada juga yang membedakannya. Kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqânî.
Muhammad Husein al-Dzahabî dalam pendahuluan al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr yang berkembang, secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (al-laun al-‘ilmî)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak madzhab (al-laun al-‘madzhabî)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî)”, yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun al-adabî al-ijtimâ‘î)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan berpijak pada realitas sosial.
Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al-Imâm Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab dalam hal ini adalah madzhab Syiah Zaidiyah. Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebut kurang lebih 13 kitab yang membahas tentang syiah imamiah, dan 1 kitab tafsir tentang Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr. Selain itu, al-Dzahabi juga menyebut 6 kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini fikih. Salah satu dari sekian banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî dari madzhab Syi’ah Zaidiyah.
Pada makalah ini, penulis mencoba mengangkat karya tafsir al-Syaukânî yakni tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr kajian terhadap corak kalamnya. Kitab tafsir yang diperbincangkan disini terdiri dari lima jilid, terbitan Dâr al-Hadits, Kairo-Mesir, tahun 2007.
Alasan kedua ialah, al-Imâm al-Syaukânî adalah seorang ulama Syi’ah Zaidiyah. Sekte ini disebut dengan Syi’ah Zaidiyah karena pengikut sekte ini berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang ditimbulkan oleh al-Imâm Zaid ibn ‘Ali Zainal Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali Alaih al-Salam ibn Abi Talib (80-122 H.).
Ketika membicang kalam maka yang ingin dicapai dari makalah ini adalah sejauh mana rasionaltitas tafsir Fath al-Qadir yang menaungi dalam percikan tafsirnya. Sosok syiahnya al-Syaukani tentunya berpengaruh terhadap penafsirannya.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik dan memandang perlu melakukan penelitian tentang Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath al-Qadîr: Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî Dalam Teologi Islam.
Sosok al-Syaukani
Al-Syaukânî (1172 H.-1250 H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berfikir maju dalam tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18 M.) dan memasuki awal abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78 tahun, al-Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath al-Qadîr adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental. Al-Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang ulama yang terkenal di Yaman.
Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan, sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup. Lalu, pada usia kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya.
Dalam hal ini, al-Syaukani banyak menulis beberapa karya baik dalam volume besar maupun kecil. al-Syaukani menulis beberapa kitab atau karya, antara lain: al-Durr al-Nadid Fî Ikhlas Kalimat al-Tauhîd; al-Tuhaf fî Madzâhib al-Salâf, Syarh al-Sudûr fî Tahrîm Raf‘ al-Qubûr, dan lain-lain. Adapun karya-karyanya secara lengkap bisa dilihat pada pendahuluan kitab tafsirnya.
Prof. Dr. Harun Nasution dalam buku Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan membagi sejarah Islam dalam tiga periode besar, yaitu: pertama klasik , kedua pertengahan , dan ketiga moderen .
Melihat pembagian yang diuraikan oleh Prof. Dr. Harun Nasution di atas, Imâm al-Syaukânî (1173 H. / 1760 M. – 1250 H. / 1837 M. ) termasuk dalam periode pertengahan dalam zaman kemunduran (1700 – 1800 M.) dan masa modern (1800 M. - dan seterusnya).
Sejak permulaan abad ke-12 H. (18 M.) dunia Islam telah memasuki fase kemunduran, pada waktu itu, tiga kerajaan besar: Turki Usmani, Safawi, dan Mughal telah mulai mengalami masa surutnya masa kejayaannya. Sehabis masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni (1566 M.), kerajaan Turki Usmani telah memasuki masa kemundurannya, sultan-sultan yang memerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kerajaan yang luas itu, bahkan mereka banyak dipengaruhi oleh para putri di istana, sementara di berbagai wilayah dalam kerajaan muncul berbagai pemberontakan, seperti di Suriyah timbul pemberontakan Kurdi Jumbulat, di Mesir terjadi pemberontakan ‘Ali Bek al-Kabir yang diteruskan oleh Muhammad ‘Ali, di Libanon terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Druze Amir Fakhruddin dan kemudian muncul pula gerakan al-Syihabiyah, di Palestina gerakan pemberontakan dipimpin oleh Damir al-Amr. Janissary, tentara Usman sendiri, juga berontak terhadap kerajaan.
Pada masa itu pula, beberapa peperangan dengan negara-negara tetanggapun terjadi, sehingga mengakibatkan kerajaan Turki Usmani semakin terpojok. Yunani memperoleh kemerdekaannya kembali pada tahun 1829 M., Rumania lepas pada tahun 1856, begitu pula dengan Bulgaria pada tahun 1878 M., Albania, dan Macedonia. Dalam pada itu, kerajaan Syafawi di Persia yang menganut paham Syi’ah, mulai mengalami kemunduran. Penyebabnya adalah penyerangan yang dilakukan oleh Afghan yang menganut paham Sunni, di bawah pimpinan Mir Ways pada tahun 1709 M. setelah itu, terjadilah pemberontakan besar-besaran yang dilakukan oleh Afghan. Dengan demikian, tamatlah kerajaan Syafawi di Persia.
Sementara itu, di India, kerajaan Mughal yang berada di bawah kekuasaan Aurangzeb sedang mengalami tantangan dari golongan Hindu yang merupakan mayoritas penduduk India. Dalam kondisi demikian, Inggris turut campur dalam konflik politik di India, dan akhirnya India dapat dikuasai pada tahun 1857 M.
Hal di atas, gambaran kondisi dunia Islam ketika al-Syaukani hidup. Melihat kondisi dunia Islam yang semakin tidak menentu, Yaman adalah salah satu bagian dari kerajaan Turki Usmani, di bawah kepemimpinan al-Qasim ibn Muhammad, memberontak melawan Turki Utsmani, pada tahun 1598 M. dan mendirikan dinasti Qasimiyah. Setelah al-Qasim meninggal (1009 H.), ia diganti oleh putranya, al-Mu’ayyad Muhammad ibn al-Qasim (1009-1054 H.), yang telah sanggup mempertahankan Yaman dari serangan bangsa Turki.
Setelah itu, berkali-kali serangan bangsa Turki di arahkan ke Yaman, namun tidak menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan para imam Zaidiyah di Yaman. Al-Syaukani sendiri merekam cerita tentang kepahlawanan kakeknya, yaitu Abdullah al-Syaukani, yang ketika usianya telah mencapai 110 tahun masih mampu dengan gagah perkasa berjuang bersama para putra Yaman melawan bangsa Turki dan mengusir mereka dari tanah Yaman.
Sekalipun demikian, para sultan Turki Utsmani tetap memandang Yaman sebagai bagian dari wilayah mereka , yang membangkang terhadap pemerintah pusat. Oleh sebab itu, selama pemerintahan Dinasti Qasimiyah senantiasa terjadi konfrontasi antara Yaman dan Turki Utsmani.
Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya, perkembangan ilmu pengetahuan di Yaman, sekalipun tidak seburuk di wilyah lain, tidak dapat dikatakan telah mencapai kemajuan yang berarti. Diakui oleh al-Syaukani bahwa kebekuan dan taklid yang melanda kaum muslim sejak abad ke-4 yang mempengaruhi akidah mereka, mereka telah banyak dibuai oleh bid’ah dan khurafat, sehingga terjauh dari tuntunan Islam yang sebenarnya. Dalam situasi dan kondisi seperti itulah al-Syaukani di lahirkan.
Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah al-Syaukânî al-San’anî al-Yamanî. Beliau lahir di Syaukan, Yaman Utara, pada hari Senin tanggal 28 Dzu al-Qa’dah tahun 1172 H. dan meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 27 Jumâd al-Akhîr tahun 1250 H. dalam usia sekitar 78 tahun. Al-Syaukânî dimakamkan di pemakaman Khuzaimah San‘a. sebelum kelahirannya, orang tuanya tinggal di San’a . ketika musim gugur, mereka pulang ke Syaukan, kampung asalnya dan pada waktu itulah al-Syaukani lahir. Tidak berapa lama setelah itu, ia dibawa oleh orang tuanya kembali ke San’a.
Ayahnya, Ali al-Syaukânî (1130-1211 H.), adalah seorang ulama yang terkenal di Yaman, yang bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintahan imam-imam Qasimiyah, sebuah dinasti Zaidiyah di Yaman, untuk memegang jabatan Qâdi (hakim). Ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut dua tahun menjelang ajalnya. Dalam lingkungan keluarga inilah al-Syaukani dibesarkan. Pada masa kecilnya, ia belajar al-Qur’an pada beberapa guru, yang diselesaikannya pada al-Faqih Hasan ibn Abdullah al-Habi. Kemudian, ia meneruskan pelajarannya dengan mempelajari ilmu tajwid pada beberapa guru (masyayikh) di San’a. Sehingga ia menguasai bacaan al-Qur’an dengan baik.
Dalam Majalah Al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006, yang merupakan Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Ansari al-Yamani. Dikatakan bahwa Beliau tumbuh di bawah asuhan ayahandanya dalam lingkungan yang penuh dengan keluhuran budi dan kesucian jiwa. Beliau belajar al-Qur'an di bawah asuhan beberapa guru dan dikhatamkan di hadapan al-Faqih Hasan bin Abdullah al-Habi dan beliau perdalam kepada para masyâyikh al-Qur'an di San'a. Kemudian beliau menghafal berbagai matan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti: al-Azhar oleh al Imâm al-Mahdi, Mukhtasar Faraidh oleh al-Usaifiri, Malhah al-Harm, al-Kafiyah al-Syafiyah oleh Ibn al-Hajib, at-Tahdzîb oleh al-Tifazani, al-Talkhis fi ‘Ulum al-Balâghah oleh al-Qazwaini, al-Ghayah oleh Ibn al-Imam, Mamhumah al-Jazâri fi al-Qira'ah, Mamhumah al-Jazzar fi al-'Arud, Adâb al-Bahs wa al-Munazarah oleh al-Imâm al-' Adud.
Pada awal belajarnya beliau banyak menelaah kitab-kitab tarikh dan adab. Kemudian beliau menempuh perjalanan mencari riwayat hadits dengan sama’ (mendengar) dan talaqqi (bertemu langsung) kepada para masyâyikh hadis hingga beliau mencapai derajat imamah dalam ilmu hadits. Beliau senantiasa menggeluti ilmu hingga berpisah dari dunia dan bertemu Rabbnya.
Pada tahun 1209 H. menin¬ggallah Qadi Yaman, Syaikh Yahya bin Salih al-Syajari al¬-Sahuli. Maka Khalifah al-Man¬sur meminta kepada al-Imâm al-Syaukani agar mengganti¬kan Syaikh Yahya sebagai qadi negeri Yaman. Pada awalnya beliau menolak jabatan tersebut karena takut akan disibukkan dengan jabatan tersebut dari ilmu. Maka datan¬glah para ulama San'a kepada beliau meminta agar beliau me-nerima jabatan tersebut, karena jabatan, tersebut adalah rujukan syar'i bagi para penduduk negeri Yaman yang dikhawatirkan akan diduduki oleh seseorang yang ti-dak amanah dalam agama dan keilmuannya. Akhirnya beliau menerima jabatan tersebut. Be¬liau menjabat sebagai Qadi Ya¬man hingga beliau wafat pada masa pemerintahan tiga khali¬fah: al-Mansur, al-Mutawak¬kil, dan al-Mahdi.
Berkenaan jabatan al-Syaukani sebagai hakim, Ahmad Atiyatullah dalam kitab al-Qâmus al-Islâmî menegaskan bahwa al-Syaukânî menjabat sebagai hakim, ketika berusia kira-kira 45 tahun. Tugas sebagai hakim dijabatnya pada tahun 1299 H. di San’a. rupanya jabatan sebagai hakim ini, dipegangnya sampai akhir hayatnya. Kemudian, jabatan sebagai hakim dilimpahkan kepada anaknya yakni Ahmad Muhammad ‘Ali (1229 H. / 1813 M.), yang ketika ayahnya wafat, Ahmad Ali berusia 21 tahun dan meninggal dunia tahun tahun 1281 H. / 1864 M.
Manhaj Dan Metode Tafsir Fath Al-Qadîr
Tafsir Fath al-Qadîr merupakan sumber utama dalam bidang tafsir dan referensi penting. Karena tafsir ini menggabungkan antara dirâyah dan riwâyah, membahas secara komprehensip masalah-masalah dirâyah dan riwâyah. Sebagaimana diterangkan pada pendahuluan tafsir ini, bahwa tafsir Fath al-Qadîr disusun pada bulan Rabiul Awal tahun 1223 H.. Dalam penyusunannya beliau merujuk kepada Abu Ja’far al-Nuhas, Atiyyah al-Dimasyqi, Ibnu Atiyyah al-Andalusi, Qurtubi, Zamakhsyari dan ulama-ulama lainnya.
Mengenal sosok al-Syaukani tidak bisa terluput dari perhatian kita terhadap kitab tafsîr Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr adalah kitab tafsir yang dikarang oleh ulama besar bernama al-Imâm Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukânî al-San‘any (W. 1250 H.).
Al-Syaukânî termasuk salah seorang ulama Yaman yang banyak menulis dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti seperti tafsîr, hadîts, fiqh, usul fiqh, sejarah, ilmu kalâm, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain sebagainya.
Selanjutnya penulis mencoba mengenal kitab tersebut lebih jauh, dan sebagai langkah awal kita harus harus mengingat pendapat al-Syaukani sendiri tentang kitabnya.
Menurut keterangan al-Syaukani, penulisan tafsîr Fath al-Qâdîr ini dilatarbelakangi oleh keinginan al-Syaukânî untuk menjadikan al-Qur’an sebagai jawaban bagi penentang, menjadi penjelas bagi yang ragu, dan menjelaskan dan sesuatu yang halal dan haram. hal ini seperti yang diungkapkan al-Syaukânî sendiri dalam kata pengantar tafsîr Fath al-Qadîr sebagai berikut:
الحمد لله الذي جعل كتابه المبين كافلا ببيان الآحكام, شاملا لما شرعه لعباده من الحلال والحرام, مرجعا للآعلام عند تفاوت الآفهام وتباين الآقدام وتخالف الكلام, قاطعا للخضام شافيا للسقام مرهما للآوهام, فهو العروةالوثقى التي من تمسك بها فازبدرك الحق القويم, والجادةالواضحه التي من سلكها فقد هدى الى الصراط المستقيم...
”Segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang mencakup tentang hal yang haram dan halal, yang menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang, obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini merupakan pegangan hidup yang kokoh, siapa yang bepegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan yang lurus...”
Berdasarkan data di atas, nampaknya al-Syaukânî cukup bersemangat dalam menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya. Karena melihat kemuliaan dan keagungan akan al-Qur’an sebagai firman Allah. Al-Syaukani mengandalkan kitabnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar jika beliau senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti untuk mempergunakan kitab tersebut sebagai acuan dalam rangka mencari kebenaran dan kepastian hukum.
Di antara kelebihan kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh al-Syaukani sendiri yaitu ditemukan penyebutan sahih, hasan, daif, bahkan ditemukan kritik, komparasi dan penunjukkan pendapat yang paling kuat. Kitab tafsir ini karena besar dan banyak, sudah pasti banyak sekali ilmu yang yang terkandung di dalamnya, telah sampai kepada kebenaran yang dimaksud, mengandung sekian banyak manfaat. Jika hendak membuktikan kebenaran itu, coba perhatikan tafsir-tafsir yang menggunakan metodologi dirâyah (kontekstual), kemudian perhatikan kitab ini, jelas sekali bahwa kitab ini merupakan sumber inspirasi, yang merupakan keajaiaban dan rujukan para pencari ilmu. Sehingga, kitab ini diberi nama Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fanny al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr.
Rasionalitas tafsir Fath al-Qadir karya al-Syaukani
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak rasional. Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna harfiyah, dan banyak memakai arti majâzi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiyah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup Fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyah Bukhara
Ada beberapa alasan yang bisa dimunculkan mengapa tafsir Fath al-Qadîr dan kenapa pula penulis mengangkat corak kalam? Pertama, al-Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam menganalisa ayat-ayat al-Qur’an. al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada Jama’ah Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah, Zaidiyah sesuai dengan Mu’tazilah.
Ayat-ayat Rasional Imam al-Syaukani
Sebagaimana diketahui, munculnya pemikiran kalam dalam Islam, pada hakekatnya merupakan upaya sungguh-sungguh para pakar memikirkan dan memahami dengan tepat dan benar kandungan al-Qur’an. Hal ini berarti, pemikiran dalam Islam selalu bertitik tolak atau mendapat topangan dari al-Qur’an. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat kalam, yakni ayat-ayat yang dipergunakan oleh para mutakallimîn sebagai dalil bagi pendapat-pendapat yang mereka ajukan dalam bidang kalam.
Untuk penelitian lebih lanjut tentang corak pemikiran kalam tafsîr Fath al-Qadîr, maka upaya yang penulis lakukan adalah: pertama, pengelompokan ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mutakallimîn dalam membicarakan masalah kalam. Arti penting pengelompokan ayat-ayat tersebut untuk memberikan kemudahan bagi penulis untuk meneliti masalah-masalah kalam dalam tafsîr Fath al-Qadîr. Kedua, penulis kemukakan pendangan-pandangan aliran kalam dalam hal ini corak rasional yang diwakili oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand , dan corak tradisioanal diwakili oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara, dan ketiga, penulis kemukakan penafsiran al-Syaukani berkenaan dengan pandangannya mengenai ayat-ayat kalam, yang kemudian penulis lakukan analisa dari segi corak kalam al-Syaukani.
Paling tidak penulis menggunkan tiga sampel untuk membidik kerasionalitasan al-Syaukani. Dalam menafsirkan ayat 75 surat Sâd (38) yang di dalamnya terdapat kata bi yaday, al-Syaukani mengatakan dalam penafsirannya yaitu:
"قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي" أي ما صرفك وصدك عن السجود لما توليت خلقه من غير واسطة، وأضاف خلقه إلى نفسه تكريماً له وتشريفاً، مع أنه سبحانه خالق كل شيء أضاف إلى نفسه الروح، والبيت، والناقة، والمساجد.
“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” yakni apa yang membuat kamu enggan dan membangkang untuk berusujud terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan kami bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemulyaan, sebagaimana Allah adalah sang Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa, rumah, onta serta masjid-masjid.”
Setelah ayat yang sebelumnya yang mengurai keengganan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam as., ayat di atas mengurai kecaman Allah kepada Iblis. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman : "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku”. Kata “yadai” (dengan kedua tangan) menurut Quraish Shihab, sebagai berikut:
“Kalimat khalaqtu bi yadai, diperbincangkan oleh para ulama Ada yang mengambil jalan pintas, lantas berkata ada sifat khusus yang disandang Allah dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat kebendaan dan keserupaan makhluk. Ada juga yang memahami kata tangan dengan arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekedar untuk menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau menjadi isyarat tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu, tanah, dan juga ruh Ilahi. ”

Al-Syaukani dalam keterangannya di atas, memahami kata yadayya nampaknya lebih kepada isyarat tentang betapa manusia memperoleh pegangan khusus dan penghormatan dari Allah Swt. Dari sini pula sehingga ayat di atas, tidak menggunakan kata tunggal untuk kata yadai/tangan tetapi bentuk dual yakni yadayya/kedua tangan-Ku.
Kemudian dalam menafsirkan ayat 67 surat al-Zumar (39) yang didalamnya terdapat kata biyamînih, al-Syaukani mengatakan bahwa Allah bertangan kanan, maksud utamanya ialah mendekatkan pahamnya kepada kita. Namun hakikat sebenarnya, demikian kata al-Syaukani yaitu bersangkut paut dengan qudrat Ilahi yang mutlak, yang tidak terikat oleh bentuk dan tidak terbatas. Sebagaimana al-Syaukani menafsirkannya sebagai berikut:
"والسموات مطويات بيمينه" فإن ذكر اليمين للمبالغة في كمال القدرة كما يطوي الواحد منا الشيء المقدور له طيه بيمينه، واليمين في كلام العرب قد تكون بمعنى القدرة والملك.
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam kekuasaanya, sebagaimana seseorang menggulungkan sesuatu dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya dalam bahasa Arab bermakna kekuasaan dan kerajaan.
Ayat di atas, mengecam kaum musyrikin dengan menyatakan sesungguhnya mereka telah melakukan kedurhakaan yang besar yakni mempersekutukan Allah padahal bumi dan beserta isinya adalah dalam genggaman tangan-Nya. Al-Syaukani memahami yamînih nampaknya secara metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Agaknya yang dimaksud di sini adalah kekuasaan Allah Swt. Penggalan ayat di atas, adalah salah satu di antara, yang menggambarkan sebagian dari hakikat kuasa Allah yang mutlak, yang tidak terikat oleh satu bentuk, tidak juga memerlukan tempat atau dibatasi oleh batas-batas apapun. Demikian al-Syaukani
Dan akhirnya kata jâ’a Rabbuka (telah datang Tuhanmu) dalam ayat 22 surat al-Fajr (89), juga diberi ta’wil oleh al-Syaukani dengan ketentuan Tuhan. Al-Syaukani menulis sebagai berikut:
"وجاء ربك" أي جاء أمره وقضاؤه وظهرت آياته، وقيل المعنى: أنها زالت الشبه في ذلك اليوم وظهرت المعارف وصارت ضرورية كما يزول الشك عند مجيء الشيء الذي كان يشك فيه، وقيل جاء قهر بك وسلطانه وانفراده بالأمر والتدبير من دون أن يجعل إلى أحد من عباده شيئاً من ذلك "والملك صفاً صفاً" انتصاب صفاً صفاً على الحال: أي مصطفين، أو ذي صفوف
“Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan ketentuannya dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang mengartikan “bahwasannya hilanglah keragu-raguan pada hari itu dan jelaslah keterangan-keterangan itu sebagaimana hilangngnya keragu-raguan itu ketika datang sesuatu yang membuat dia ragu, dan ada juga yang menafsirkan datanglah yang memaksamu atas perintahnya “dan sedang malaikat berbaris-baris” kata “ saf safa” dinasabkan karena sebagai hal posisinya. Memiliki makna yaitu berbaris-baris.
Ayat di atas merupakan kecamana terhadap ayat sebelumnya yang mengaku memberikan kemuliaan dan memberi makan anak yatim, al-Syaukani memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu, yakni datang dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya atau hadirlah ketetapannya, serta nampak dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya.
Uraian di atas, menunjukkan bahwa secara kuantitatif al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-tradisioanl. Dikatakan rasional yakni memahami nash-nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam makna metaforisnya. Dari lima kasus yang disebut di atas, yakni: ‘alâ al-‘arsyi istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis. Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf di atas.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakekatnya al-Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut, cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.
Ru’yatullah.
Dalam menghadapi masalah ru’yatullah (melihat Tuhan), al-Syaukani adalah penganut faham akidah Salafiyah, oleh karena itu setiap kali al-Syaukani menemukan ayat-ayat mutasyâbih selalu membawanya kepada makna dzahir.
Sebagaimana diketahui bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang dipergunakan sebagai dalil dalam membicarakan masalah melihat Tuhan ini, dalam ilmu kalam adalah ayat 103 surat al-An‘âm, ayat 143 surat al-A‘râf, ayat 26 surat Yûnus, dan ayat 23-24 surat al-Qiyâmah.
Ayat 103 surat al-An‛âm (6), ditafsirkan oleh al-Syaukani dengan penjelasan sebagai berikut:
"لا تدركه الأبصار" الأبصار: جمع بصر، وهو الحاسة، وإدراك الشيء عبارة عن الإحاطة به."وهو يدرك الأبصار" أي يحيط بها ويبلغ كنهها لا تخفى عليه منها خافية، وخص الأبصار ليجانس ما قبله."وهو اللطيف" أي الرفيق بعباده: يقال لطف فلان بفلان: أي رفق به، واللطف في العمل الرفق فيه، واللطف من الله التوفيق والعصمة، وألطفه بكذا: إذا أبره: والملاطفة: المبارة، هكذا قال الجوهري وابن فارس، و "الخبير" المختبر بكل شيء بحيث لا يخفى عليه شيء.
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” kata “al-abshar” adalah bentuk jama dari kata ”bashar” artinya penglihatan, yakni mengetahui sesuatu yang diperlihatkan. “sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan” yakni mengetahuinya segala sesuatu dan tidak bisa disembunyi-bunyikan, mengkhususkan dengan menggunakan kata “al-Abshar” untuk kesesuaian dengan kalimat sebelumnya. “dan Dialah yang Maha halus” yakni maha lembut terhadap hamba-hambanya, dikatakan seseorang berbuat lembut terhadap sesamanya, yakni berbuat halus, kata “halus” dalam amal adalah berbuat lembut, sementara halus dalam dalam pandangan Allah adalah taufiq dan perlindungan, dia berbuat halus jika berbuat baik kepadanya, Sementara kata “Saling berbuat halus” artinya adalah “saling berbuat baik”, ini pendapat Imam Jauhari dan Ibnu Faris. “lagi Maha Mengetahui” maha mengetahui terhadap segala sesuatu yang tidak bisa seseorangpun menyembunyikannya.
Kata al-absâr dalam penafsiran al-Syaukani di atas, adalah bentuk jama’ dari kata basar yang menyatakan bahwa Dia, yakni Allah tidak dapat dijangkau dalam bentuk apapun oleh penglihatan mata makhluk, sedang Dia dapat menjangkau, yakni melihat dan menguasai segala apa yang dapat terlihat. Jika demikian, ketidakmampuan makhluk melihat Allah dengan mata kepala disebabkan oleh kelemahan potensi penglihatan makhluk itu sendiri. Kemudian lanjut al-Syaukani, kata al-latîf yang mengandung arti lembut, halus, mengindikasikan tentang penyucian Allah dari persamaannya dengan mahluk serta uraian tentang ketidakmampuan indera dan akal manusia untuk menjangkau Dzat dan sifat-Nya. Atas dasar itulah kata al-Latîf di sini lebih baik dipahami dalam arti Maha Tersembunyi.
Lebih jauh al-Syaukani mengatakan, bahwa jangankan melihat Tuhan yang Mahagaib, alam raya sekalipun banyak yang tidak mampu di capai oleh mata, baik itu yang berada di luar diri manusia, ataupun yang berada di dalam diri manusia. Namun lebih dari itu, bahwa sesungguhnya Allah mampu mengetahui segala sesuatu dan tidak seorangpun mampu menyembunyikan dari rekaman Allah.
Tafsir yang diberikan oleh al-Syaukani terhadap Surat al-A‛râf (7) ayat 143 adalah sebagai berikut:
"وكلمه ربه" أي اسمعه كلامه من غير واسطة. قوله: "أرني أنظر إليك" أي أرني نفسك أنظر إليك: أي سأله النظر إليه اشتياقاً إلى رؤيته لما أسمعه كلامه. وسؤال موسى للرؤية يدل على أنها جائزة عنده في الجملة، ولو كانت مستحيلة عنده لما سألها، والجواب بقوله: "لن تراني" يفيد أنه لا يراه هذا الوقت الذي طلب رؤيته فيه، أو أنه لا يرى ما دام الرائي حياً في دار الدنيا. وأما رؤيته في الآخرة فقد ثبتت بالأحاديث المتواترة تواتراً لا يخفى على من يعرف السنة المطهرة، والجدال في مثل هذا والمراوغة لا تأتي بفائدة، ومنهج الحق واضح، ولكن الاعتقاد لمذهب نشأ الإنسان عليه وأدرك عليه آباءه وأهل بلده مع عدم التنبه لما هو المطلوب من العباد من هذه الشريعة المطهرة يوقع في التعصب. والمتعصب وإن كان بصره صحيحاً فبصيرته عمياء. وأذنه عن سماع الحق صماء، يدفع الحق وهو يظن أنه ما دفع غير الباطل ويحسب أن ما نشأ عليه هو الحق غفلة منه وجهلاً بما أوجبه الله عليه من النظر الصحيح وتلقي ما جاء به الكتاب والسنة بالإذعان والتسليم. وما أقل المنصفين بعد ظهوره هذه المذاهب في الأصول والفروع فإنه صار بها باب الحق مرتجاً، وطريق الإنصاف مستوعرة، والأمر لله سبحانه، والهداية منه: يأبى الفتى إلا اتباع الهوى ومنهج الحق له واضح وجملة "قال لن تراني" مستأنفة لكونها جواباً لسؤال مقدر كأنه قيل: فما قال الله له؟ والاستدراك بقوله: "ولكن انظر إلى الجبل فإن استقر مكانه فسوف تراني" معناه أنك لا تثبت لرؤيتي ولا يثبت لها ما هو أعظم منك جرماً وصلابة وقوة، وهو الجبل فانظر إليه "فإن استقر مكانه" ولم يتزلزل عند رؤيتي له "فسوف تراني" وإن ضعف عن ذلك فأنت منه أضعف، فهذا الكلام بمنزلة ضرب المثل لموسى عليه السلام الجبل، وقيل: هو من باب التعليق بالمحال، وعلى تسليم هذا فهو في الرؤية في الدنيا لما قدمنا. وقد تمسك بهذه الآية كلا طائفتي المعتزلة والأشعرية: فالمعتزلة استدلوا بقوله: "لن تراني"، وبأمره بأن ينظر إلى الجبل، والأشعرية قالوا: إن تعليق الرؤية باستقرار الجبل يدل على أنها جائزة غير ممتنعة، ولا يخفاك أن الرؤية الأخروية هي بمعزل عن هذا كله، والخلاف بينهم هو فيها لا في الرؤية في الدنيا فقد كان الخلاف فيها في زمن الصحابة وكلامهم فيها معروف. قوله: "فلما تجلى ربه للجبل جعله دكاً" تجلى معناه: ظهر، من قولك جلوت العروس: أي أبرزتها، وجلوت السيف: أخلصته من الصدأ، وتجلى الشيء: انكشف. والمعنى: فلما ظهر ربه للجبل جعله دكاً، وقيل المتجلي هو أمره وقدرته، قاله قطرب وغيره والدك مصدر بمعنى المفعول: أي جعله مدكوكاً مدقوقاً فصار تراباً، هذا على قراءة من قرأ دكاً بالمصدر، وهم أهل المدينة وأهل البصرة، وأما على قراءة أهل الكوفة "جعله دكاء" على التأنيث، والجمع دكاوات كحمراء وحمراوات، وهي اسم للرابية الناشزة من الأرض أو للأرض المستوية، فالمعنى: أن الجبل صار صغيراً كالرابية أو أرضاً مستوية. قال الكسائي: الدك: الجبال العراض واحدها أدك، والدكاوات جمع دكاء، وهي رواب من طين ليست بالغلاظ، والدكادك: ما التبد من الأرض فلم يرتفع، وناقة دكاء: لا سنام لها "وخر موسى صعقاً" أي مغشياً عليه مأخوذاً من الصاعقة: والمعنى: أنه صار حاله لما غشي عليه كحال من يغشى عليه عند إصابة الصاعقة له.
“Dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya” yakni Allah mendengarkan pembicaraan Musa tanpa ada hijab dan fiman-Nya “Ya Tuhanku nampakkanlah (diri Engkau) agar aku dapat melihat kepada Engkau” yakni nampakkanlah bentuk diri Engkau agar aku dapat melihat langsung kepada Engkau, yakni memohon kepada Tuhan untuk memperlihatkan diri-Nya karena Musa rindu ingin melihat apa yang didengar dalam isi pembicaraanya. Dan permohonan Musa untuk melihat ini, mengindikasikan adanya kebolehan baginya untuk melihat diri Tuhan, walaupun, itu adalah hal yang mustahil baginya untuk melihat sesuai apa yang dia minta. Sementara jawaban atas pertanyaan itu adalah firman-Nya “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku” ini menunjukan bahwa Musa tidak bisa melihat apa yang di mohon pada saat itu, ataupun dia tidak bisa melihat selagi yang melihat itu hidup di muka bumi. Adapun penglihatannya kepada Tuhannya nanti pada hari kiamat sudah ditetapkan pada hadits mutawatir yang tidak bisa diragukan lagi bagi orang yang mengetahui hadits yang agung, dan bagi orang mempermasalahkanya atau orang yang menghindarinya yang sudah tahu kebenarannya, tetapi keyakinan itu berlaku bagi madzhab yang diikuti oleh orang banyak, serta sudah dikenal oleh nenek moyangnya, serta penduduk kampungnya tanpa adanya perhatian khusus terhadap apa yang diharapkan dari hambanya atas syariah yang agung yang akan mengakibatkan fanatisme. Dan orang yang fanatic walaupun penglihatannya itu sehat padahal penglihatannya itu adalah tuli, dan telinganya untuk mendengarkan kebaikan adalah gagap, menolak kebenaran dia mengira bahwa apa yang dia tolak itu adalah tidak salah, juga memperkirakan yang terjadi selama ini adalah benar, padahal dia itu adalah bodoh dan tidak mengetahui akan apa yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk melihat yang benar serta menerima apa yang telah dijelaskan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan penuh ketundukan dan kepasrahan. Adapun untuk meminimalisir perbedaan setelah lahirnya beberapa madzhab ini baik dalam masalah ushuliyyah maupun furu’iyyah, maka sudah dikategorikan dalam pembahasan tentang kebenaran secara absolut, dan cara pemisahannya dengan cara akurat. Perintah Allah SWT serta petunjuk-Nya: ditelantarkan oleh sebuah kaum. Karena mereka mengikuti hawa nafsu walaupun sudah tau bahwa itu adalah benar “Tuhan berfirman: Kamu sekali-sekali tidak akan sanggup melihatku” diawali dengan adanya jawaban atas pertanyaan kurang lebih seperti ini: Maka apa yang Allah katakan kepadanya? Sesuai dengan firman-Nya ”tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatku” maknanya adalah bahwa kamu tetap tidak bisa melihatku, maka lihatlah!”maka jika ia tetap di tempatnya (Sebagai sediakala)” tidak berpindah-pindah “maka niscaya kamu akan melihatku” jika susah juga, maka kamu tidak akan bisa, inilah perumpamaan dialog Musa AS di atas bukit.
Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal di antara mereka.
“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh”, kata “tajalla” artinya menampakkan/memperlihatkan, seperti kutampakkan pedang, dan kata “menampakkan sesuatu” berarti membukanya, jadi maknanya sama dengan “takala Tuhanmu memperlihatkan diri kepada gunung itu” sementara kata “al-dakk” adalah bentuk masdar tetapi memiliki makna maf’ul, yakni “dijadikannnya hancur luluh” dan akhirnya menjadi “tanah” pendapat ini bagi mereka yang membaca kata “ad-dakk” sebagai bentuk “mashdar”, diantaranya orang-orang Madinah dan Bashrah.
Permintaan Musa untuk melihat wajah Tuhan itu disambut oleh Allah dengan cinta kasih. Pada ayat di atas, Allah menyatakan bahwa sekali-kali (Dia) Allah tidak dapat dilihat. Hal ini tidak dapat diterangkan. Lihat saja ke bukit Tursina. Jika nanti bukit itu tetap tempatnya, maka Musa nanti akan melihat wajah Allah di sana. Namun, apa yang terjadi, tatkala Tuhan menampakkan diri pada gunung itu, maka hancurlah ia, dan tersungkurlah Musa. Dialog di atas antara Musa dan Allah mengindikasikan bahwa Tuhan memang tidak bisa dilihat dengan mata kepala.
Ayat di atas, menjadi bahasan panjang lebar, khususny di kalangan para teolog tentang bisa tidaknya Tuhan dilihat manusia di dunia atau di ahirat nanti. Dalam penafsiran al-Syaukani juga dikatakan, bahwa ayat di atas menjadi pegangan dan perdebatan antara As’ariyah dan Mu’tazilah dengan alasan masing-masing. Sebagaimana al-Syaukani memaparkan:
Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal diantara mereka.
Sementara itu, kata ziyadah dalam Surat Yûnus (10) ayat 26 di tafsirkan oleh al-Syaukani dengan Allah akan memberi tambahan pahala dengan keutamaan atau bertemu langsung dengan hadirat Allah. Untuk lebih jelasnya penafsiran tersebut sebagai berikut:
"للذين أحسنوا الحسنى وزيادة" أي الذين أحسنوا بالقيام بما أوجبه الله عليهم من الأعمال والكف عما نهاهم عنه من المعاصي، والمراد بالحسنى المثوبة الحسنى. وقيل: المراد بالحسنى الجنة، وأما الزيادة فقيل المراد بها ما يزيد على المثوبة من التفضل كقوله: "ليوفيهم أجورهم ويزيدهم من فضله" وقيل: الزيادة النظر إلى وجهه الكريم
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” yaitu orang-orang yang berbuat baik dengan cara melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka serta menjauhi segala seuatu yang berbau maksiat, yang dimaksud dengan kata “al-husna” adalah pahala yang terbaik, atau ada yang mengatakan adalah “surga” sementara yang dimaksud dengan “ziyadah” adalah Allah akan memberi tambahan pahala dengan keutamaan seperti dalam firman-Nya “Allah akan mencukupi pahala mereka dan menambahkannya dengan keutamaan” dan ada juga yang mengatakan bahwa “al-ziyadah” adalah bertemu langsung dengan hadirat Allah.
Penafsiran di atas, di akhiri oleh al-Syaukani dengan mengatakan “bahwa “al-ziyadah” adalah bertemu langsung dengan hadirat Allah.”. Agaknya tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa, walaupun al-Syaukani secara tidak tegas menyebut melihat dengan mata kepala, memberikan pemahaman bahwa dalam penafsiran al-Syaukani yakni, Tuhan dapat dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala.
Selanjutnya surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 di tafsirkan oleh al-Syaukani sebagai berikut:
"وجوه يومئذ ناضرة" أي ناعمة غضة حسنة، يقال: شجر ناضر وروض ناضر: أي حسن ناعم، ونضارة العيش حسنه وبهجته.
"إلى ربها ناظرة" هذا من النظر: أي إلى خالقها ومالك أمرها ناظرة: أي تنظر إليه، هكذا قال جمهور أهل العلم، والمراد به ما تواترت به الأحاديث الصحيحة من أن العباد ينظرون ربهم يوم القيامة كما ينظرون إلى القمر ليلة البدر.

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri” yakni mendapatkan kenikmatan yang indah, dikatakan pepohonan terlihat indah laksana rumput terlihat indah, yakni begitu indah dan penglihatan terhadap alam kehidupan begitu indah dan menyenangkan.
“Kepada Tuhannyalah mereka Melihat” ini termasuk pandangan mata, yaitu merasa melihat terhadap sang pencipta dan terhadap sang pemilik penglihatan, inilah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat ini sesuai dengan masksud hadits sahih bahwa hamba-hamba Allah yang akan melihat Rabbnya di hari kiamat nanti laksana mereka melihat bulan di malam bulan purnama.
Ayat di atas, menjelaskan bahwa ada wajah-wajah pada hari akhirat itu berseri-seri, yakni wajah orang-orang yang tidak lengah akan kehidupan akhirat dan mempersiapkan diri menghadapnya. Kemudian ilâ Rabbihâ/kepada Tuhan-Nya bertujuan membatasi penglihatan itu hanya kepada Allah. Seakan-akan mereka tidak melihat kepada selain-Nya. Nampaknya al-Syaukani ketika menafsirkan kata nâdirah dalam arti melihat dengan mata kepala, walau dalam konteks ayat ini banyak di antara mereka yang menggarisbawahi bahwa melihat yang dimaksud itu adalah dengan pandangan khusus.
Selanjutnya dalam menafsirkan surat al-Kahfi (18) ayat 110, al-Syaukani menafsirkan ayat ini dengan memberikan hukum sebab akibat, dengan mengatakan barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Allah maka hendaknya ia beriman dan beramal salih, maka buah dari iman dan amal salih akan memberikan pahala bagi yang mengerjakannya. Jelasnya sebagai berikut:
"فمن كان يرجو لقاء ربه" الرجاء توقع وصول الخير في المستقبل، والمعنى: من كان له هذا الرجاء الذي هو شأن المؤمنين "فليعمل عملاً صالحاً" وهو ما دل الشرع على أنه عمل خير يثاب عليه فاعله

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya” harapan itu akan menghasilkan kebaikan pada masa akan datang, maknanya adalah barang siapa yang mengharap apa yang dikehendaki orang-orang beriman “maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh” kalimat ini mengindikasikan segala sesuatu yang menurut syariat itu adalah perbuatan baik maka akan mendapatkan pahala bagi orang yang mengerjakannya
Penafsiran dari ayat di atas, menggambarkan bahwa siapa yang hendak bertemu dengan Allah, maka hendaknya beramal yang baik. Hal ini menjadikan amal yang dimaksud sebagai natîjah (hasil) dari keimanan kepada Allah. Dan ayat di atas, menyatakan harapan akan pertemuan dengan Allah, yakni walaupun belum sampai kepada tingkat keyakinan, sudah cukup dengan melakukan kebajikan. Memang dengan harapanpun seseorang sudah terdorong untuk beramal saleh, apalagi kalau dia sepenuhnya yakin.
Dari beberapa penafsiran al-Syaukani di atas, jelas terlihat bahwa al-Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan dengan kalam rasional, yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi bukan dengan mata kepala.

Khalq al-Qur’ân.
Masalah yang mengemuka adalah, apakah al-Qur’an itu makhluq (diciptakan), ataukah qadîm (abadi), al-Syaukani mencoba menghindarkan diri dari perdebatan yang hebat dan sangat tajam berkenaan dengan masalah ini. Hal ini bisa di pahami dari pendapatnya yang menyatakana bahwa:
Al-Syaukani tidak menyenangi sikap ahli sunnah, dan juga sikap Mu’tazilah tentang masalah penciptaan al-Qur’an, dia bersikap koperatif terhadap ulama yang memilih diam (tawaqquf) dalam masalah ini. Dia mengecam orang yang memutuskan bahwa al-Quran itu qodim dan Makhluk
Dalam rangka memperoleh pemahaman terhadap pemikiran al-Syaukani, untuk lebih jelasnya baiklah akan di kemukakan penafsiran al-Syaukani berkenaan dengan penciptaan al-Qur’an.
Sikap tawaqqufnya al-Syaukani bisa dilihat melalui penafsiran Surat al-Anbiya’ (21) : 2 sebagai berikut:

"ما يأتيهم من ذكر من ربهم محدث" من لابتداء الغاية، وقد استدل بوصف الذكر لكونه محدثاً على أن القرآن محدث، لأن الذكر هنا هو القرآن. وأجيب بأنه لا نزاع في حدوث المركب من الأصوات والحروف، لأنه متجدد في النزول. فالمعنى محدث تنزيله، وإنما النزاع في الكلام النفسي، وهذه المسألة: أعني قدم القرآن وحدوثه قد ابتلي بها كثير من أهل العلم والفضل في الدولة المأمونية والمعتصمية والواثقية، وجرى للإمام أحمد بن حنبل ما جرى من الضرب الشديد والحبس الطويل، وضرب بسببها عنق محمد بن نصر الخزاعي، وصارت فتنة عظيمة في ذلك الوقت وما بعده، والقصة أشهر من أن تذكر، ومن أحب الوقوف على حقيقتها طالع ترجمة الإمام أحمد بن حنبل في كتاب النبلاء لمؤرخ الإسلام الذهبي. ولقد أصاب أئمة السنة بامتناعهم من الإجابة إلى القول بخلق القرآن وحدوثه وحفظ الله بهم أمة نبيه عن الابتداع، ولكنهم رحمهم الله جاوزوا ذلك إلى تكفير من قال لفظي بالقرآن مخلوق، بل جاوزوا ذلك إلى تكفير من وقف، وليتهم لم يجاوزوا حد الوقف وإرجاع العلم إلى علام الغيوب، فإنه لم يسمع من السلف الصالح من الصحابة والتابعين ومن بعدهم إلى وقت قيام المحنة وظهور القول في هذه المسألة شيء من الكلام، ولا نقل عنهم كلمة في ذلك، فكان الامتناع من الإجابة إلى ما دعوا إليه، والتمسك بأذيال الوقف، وإرجاع علم ذلك إلى عالمه هو الطريقة المثلى، وفيه السلامة والخلوص من تكفير طوائف من عباد الله، والأمر لله سبحانه.
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru dari Tuhan mereka” ini mengindikasikan sifat Al-Qur’an adalah baru, dan yang dimaksud “al Dzikr” di sini adalah Al-Qur’an. Terjawab bahwa tidak ada yang membantah bahwa susunan al-Qur’an adalah baru baik suara maupun huruf-hurufnya, karena turunnya al-Qur’an juga adalah baru. Dan yang menjadi perdebatan adalah mengenai firman-Nya itu sendiri, permasalahan ini mengemuka: bahwa lama barunya Al-Qur’an itu telah menjadi perhatian para ulama pada masa daulah Ma’muniyah, Muktasimiyyah serta pada masa Watsiqiyyah. Dan ini terjadi pada imam Ahmad Bin Hanbal yang mendapatkan hukuman berat serta lama dipenjara, juga mengakibatkan di hukum gantungnya imam Muhammad bin Nashr al-Khoza’I sehingga pada masa itu dan masa setelah itu menjadi fitnah yang dahsyat, dan sejarah yang monumental adalah dengan munculnya terjemahan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “An-Nubla” karangan sejarawan muslim Imam Al-Dzahaby. Dan telah terdengar oleh Imam-imam Ahli Sunnah dengan melarangnya mereka dengan menjawab perkataan orang yang menganggap bahwa al-Qur’an itu adalah makhluq serta al-Qur’an itu adalah baru. Mereka juga membolehkan kepada orang yang mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an itu adalah makhluq, bahkan mereka juga sangat menghargai kepada orang yang tidak mengeluarkan pendapat (tawaquf). Tetapi mereka juga melarang untuk membatasi lamanya berdiam/tawaquf, karena tidak ditemukan pendapat dari ulama shalih, baik kalangan sahabat, tabiin maupun orang-orang setelah mereka sampai waktu terjadinya fitnah yang dahsyat serta mencuatnya masalah ini ke permukaan, maka larangan itu muncul lagi sebagai jawaban terhadap apa yang mereka hadapi, dan tetap berpegang untuk tidak mengeluarkan pendapat/diam dan kembalinya ilmu itu kepada orangnya adalah cara yang ideal, dan itu adalah cara yang damai serta pamrih sesuai dengan perintah Allah.
Dari penjelasan di atas, nampaknya al-Syaukani juga tidak sependapat dengan paham Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai makhluk dan bersifat baharu. Sementara pendapat al-Asy’ariyah yang memandang al-Qur’an sebagai Qadim juga ditolaknya. Menurut al-Syauknai, Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan umumnya para ulama salaf tidak pernah membicarakan hal ini. Maka, jalan yang paling selamat di sini ialah bersifat tawaqquf (berdiam diri).
Menurut al-Syaukani, jika masalah kebaharuan atau keqadiman al-Qur’an dibicarakan, ada dua bahaya yang muncul. Pertama, karena masalah ini tidak pernah dibicarakan oleh Nabi Saw, dan para ulam salaf, maka membicarakannya adalah bid’ah. Melakukan bid’ah adalah perbuatan terkutuk dan pelakunya masuk neraka. Kedua, jika masalah ini dibicarakan, maka tidak terelakkan akan muncul pertentangan, yang berjuang pada saling mengkafirkan. Kalau sudah saling mengkafirkan, maka akan terjadi keretakan dalam tubuh umat Islam.
Dari penafsiran al-Syaukani di atas, menggambarkan betapa permaslahan al-Qur’an qadim atau makhluq, mengakibatkan ulam besar Imam Ahmad bin Hanbal di penjara, dan Imam Muhammad bin Nasr al-Khaza’I harus di hukum gantung karena memperdebatkan al-Qur’an qadim atau makhluq.
Inilah pembahasan penting yang terdapat di dalam tafsir Fath al-Qadîr yang telah memberikan kepada diri al-Syaukani kebebasan yang luas dalam mengkritisi pendapat-pendapat umum, ajaran-ajaran Mu’tazilah dan sikap diamnya Ahlussunnah. penulis kira setiap orang mempunyai potensi untuk mencela menghakimi suatu golongan, tinggal bagaimana menyikapi dengan arif tentunya dengan dalil-dalil yang kuat.











DAFTAR PUSTAKA
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952

al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, Jakarta: Rajawali Press, 1994

al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000

Atiyatullah, Ahmad, al-Qâmus al-Islâmî, Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976

Bawadi, Abdurrahman, Mazhab al-Islâmiyyin, Dâr al-‘Ilm al-Malayyin, 1984

Hanbal, Imâm Ahmad Ibn, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.

Imâm Mâlik, al-Muwatta’, Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th.

Ibnu Manzûr al-Afrîqi, Lisân al-‘Arâb, Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.

al-Jurjani, al-Ta’rifât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H.

A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984

Muhamad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Maktabah Wahbah, 1985

Badruddîn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Bairut-Libanon: Isa al-Bab al-Halabi, t.th.

Bâqî, Muhammad Fu’ad ‘Abdul, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987

Gibb, H. A.R., et.all. The Enciclopedy of Islam, Leiden: Ej. Brill, 1960

al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, h173-174 .

al-Ghurâbi, Mustafa, al-Firâq al-Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al -Kalâm ‘Inda al-Muslimin, Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib, tt.

Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, Kairo: Dâr al-Kutub al-Haditsah, t.th.

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 13-14.

_______, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1979

Syalabi, A., Mausu’ah al-Tarîkh wa al-Hadarah al-Islamiyah, (Mesir: al-Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979

al-‘Amiri, Mi‘ah ‘Am min Tarikh al-Yaman al-Hadits, Damaskus, Dâr al-Fikr, t.th.

Atiyatullah, Ahmad, al-Qâmus al-Islâmî, Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976

C. Brockelmen, History of The Islamic Peoples, London: Routledge dan Kegan Paul

Hanafi, A., Pengantar Theologi Islam, Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995

Ma‘luf, Luis, al-Munjid, Beirut: Dâr al-Masyrîq, tt.

al-Khâlidî, Salâh ‘Abdul Fattâh, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn, Damsyik, Dâr al-Qalam, tt.

al-Syaukani, Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Ali, Kitâb al-Sail al-Jarâr al-Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq al-Azhâr, Kairo: tp. 1982

_______, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.

_______, Tafsîr Fath al-Qadîr, Mesir: Dâr al-Fikr, 1973

_______, Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1961

_______, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.

_______, al-Rasâ’il al-Dawa’ al-‘ajil fî Daf al-‘Aduw al-Sail dalam al-Rasa’il al-Rasa’il al-Salafiyyah fi Ihya Sunnah Khair al-Bariyyah Sallallah ‘Aliah wa Sallam, Beirut: Matba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1347 H.

al-Khâlidî, Salâh ‘Abdul Fattâh, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn, (Damsyik, Dâr al-Qalam, tt.

Kahhalah, Umar Muhammad Rida, Mu‘jam al-Mu’allifîn, Beirut: Maktabah al-Musanna, t.th.

Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006, Tarjamah al-Imâm al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Anshari al-Yamani
.
http://kisahislam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=4
Imarah, Muhammad, Tayarrat al-Fikr al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Syuruq, 1911

Utsmân, al-Tsabt, Khalid, Qawâ’id al-Tafsîr Jam‘an wa Dirâsatan, al-Mamlakah al-‘Arâbiyyah al-Su‘ûdiyyah: Dâr ibn ‘Affan, 1999

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002

Zakariya, Abi al-Husein ahmad ibn Faris ibn, Maqâyis al-Lughah, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1970

al-Zarqânî, Al-Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Adim, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

al-Zarkâsyi, Muhammad bin Abdullah, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Bairut-Libanon: ‘Isa al-Bab al-Halabi, t.th.

MAKTABAH HADIS

MAKTABAH HADIS: Analisa Terhadap Kitab-Kitab Hadis

Oleh : Hasani Ahmad SYamsuri

NIM : 05.2.00.1.05.01.0011

Dosen Pembimbing : Dr. H.Ahmad Luthfi Fathullah, M.A.

1. Kasyfu Adzunun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun

Kitab Kasyfu Adzunun ini, dikarang oleh Al-Maula Mustafa bin Abdullah Al-Qusthanthany Ar-Rumy al-Hanafy (1017 M.-1067 M.) kitab ini dicetak di Beirut, Libanon di percetakan Daar al-Fikr.

Kitab ini berjumlah enam jilid yang pada bab satu dan dua hanya memuat tentang nama-nama kitab beserta penulisnya; pada jilid tiga sampai empat memuat tentang nama-nama kitab tanbahan dari Dr. Ismail Basya dan pada jilid lima dan enam menulis tentang nama-nama pengarang serta ada tambahan ta’liq dari As-Syayyah Ugabizrik Al-Dzuhrany.

2. Al-fihrist

Kitab al-Fihrist di karang oleh Abi al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’kub Ishaq al-Ma’ruf bi an-Nadim (W. 380 H.). kitab ini di syarah dan di ta’liq oleh Dr. Yusuf ‘ali thawil dan dicetak oleh Dar Al-Kutub al-Ilmiyyah di Beirut –Libanon. Kitab ini dicetak pertama kali pada tahun 1996 M.-1416 H.

Kitab ini mengungkap tentang kitab-kitab termasuk dari arab dan ajam baik balagah arab dan pengarang-pengarang ilmu. Menceritakan tentang para pengarang, cetakan, keturunan, sejarah lahir termasuk lahir dan wafatnya. Kitab ini dalam sistematika penulisannya membagi menjadi beberapa maqalah. Pengarang kitab ini membagi maqalah menjadi sepuluh bagian. Pada bagian awal mengungkap tentang banyak kalam diantaranya kalam Suryani, Paris, Arabi, Rumi dan lain sebagainya. Selain itu, ditulis juga mengungkap kitab-kitab para pengarang dalam bidang-nidang ilmu yang ada.

Pada bagian yang ke dua mengambil kajian pada para ahli nahwu, bahasa beserta nama-nama kitabnya. Bagian ketiga menulis ahli hadis dan sastra, kemudian pada bagian seterusnya pengarang kitab ini menyebutkan nama-nama kitab dan pengarang; misalkan bidang fiqih dan filsafat.

3. Tarikh Al-Adab Al-Araby

Kitab ini dikarang oleh Karel Brokleman yang ditulisnya dalam bahasa Jerman. Kemudian dialih bahasakan oleh Dr. Abdul Halim al-Bukhary, yang dalam bahasa Arab dengan judul Tarikh Al-Adab Al-Araby cetakan Daar al-Ma’arif.

kitab Tarikh Al-Adab Al-Araby ini, mencoba mengungkap sejarah sastra Arab yang pengarang gunakan dalam rangka melakukan penelitian. Kitab ini sangat penting bagi peneliti yang ingin mengungkap sejarah dari segi sejarah penulis sastra. Karena dengan cara ini bias diketahui kapan tulisan Arab itu ditulis dan pada tahun berapa.

4. Subh al-A’sya fi Sina’ah al-Insya

Kitab ini ditulis oleh Ahmad bin Ali al-Qaqasandy (W. 821 H./1418 M.). kitab ini dicetak di Dar al-Fikr. kitab Tarikh Al-Adab Al-Araby ini mengungkap tentang nama-nama kitab yang ditulis secara al-Fabetis (system Qamus), sehingga akan memudahkan para pembacanya untuk menbaca dan mencari berbagai rujukan yang dikehendaki. Pengarang, selain menulis tentang nama kitab, juga ditulis nama pengarang, nama percetakan dan kota terbit.

MAKTABAH HADIS

Oleh : Hasani

NIM : 05.2.00.1.05.01.0011

Dosen Pembimbing : Dr. H.Ahmad Luthfi Fathullah, M.A.

1. Kasyfu Adzunun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun

Kitab Kasyfu Adzunun ini, dikarang oleh Al-Maula Mustafa bin Abdullah Al-Qusthanthany Ar-Rumy al-Hanafy (1017 M.-1067 M.) kitab ini dicetak di Beirut, Libanon di percetakan Daar al-Fikr.

Kitab ini berjumlah enam jilid yang pada bab satu dan dua hanya memuat tentang nama-nama kitab beserta penulisnya; pada jilid tiga sampai empat memuat tentang nama-nama kitab tanbahan dari Dr. Ismail Basya dan pada jilid lima dan enam menulis tentang nama-nama pengarang serta ada tambahan ta’liq dari As-Syayyah Ugabizrik Al-Dzuhrany.

2. Al-fihrist

Kitab al-Fihrist di karang oleh Abi al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’kub Ishaq al-Ma’ruf bi an-Nadim (W. 380 H.). kitab ini di syarah dan di ta’liq oleh Dr. Yusuf ‘ali thawil dan dicetak oleh Dar Al-Kutub al-Ilmiyyah di Beirut –Libanon. Kitab ini dicetak pertama kali pada tahun 1996 M.-1416 H.

Kitab ini mengungkap tentang kitab-kitab termasuk dari arab dan ajam baik balagah arab dan pengarang-pengarang ilmu. Menceritakan tentang para pengarang, cetakan, keturunan, sejarah lahir termasuk lahir dan wafatnya. Kitab ini dalam sistematika penulisannya membagi menjadi beberapa maqalah. Pengarang kitab ini membagi maqalah menjadi sepuluh bagian. Pada bagian awal mengungkap tentang banyak kalam diantaranya kalam Suryani, Paris, Arabi, Rumi dan lain sebagainya. Selain itu, ditulis juga mengungkap kitab-kitab para pengarang dalam bidang-nidang ilmu yang ada.

Pada bagian yang ke dua mengambil kajian pada para ahli nahwu, bahasa beserta nama-nama kitabnya. Bagian ketiga menulis ahli hadis dan sastra, kemudian pada bagian seterusnya pengarang kitab ini menyebutkan nama-nama kitab dan pengarang; misalkan bidang fiqih dan filsafat.

3. Tarikh Al-Adab Al-Araby

Kitab ini dikarang oleh Karel Brokleman yang ditulisnya dalam bahasa Jerman. Kemudian dialih bahasakan oleh Dr. Abdul Halim al-Bukhary, yang dalam bahasa Arab dengan judul Tarikh Al-Adab Al-Araby cetakan Daar al-Ma’arif.

kitab Tarikh Al-Adab Al-Araby ini, mencoba mengungkap sejarah sastra Arab yang pengarang gunakan dalam rangka melakukan penelitian. Kitab ini sangat penting bagi peneliti yang ingin mengungkap sejarah dari segi sejarah penulis sastra. Karena dengan cara ini bias diketahui kapan tulisan Arab itu ditulis dan pada tahun berapa.

4. Subh al-A’sya fi Sina’ah al-Insya

Kitab ini ditulis oleh Ahmad bin Ali al-Qaqasandy (W. 821 H./1418 M.). kitab ini dicetak di Dar al-Fikr. kitab Tarikh Al-Adab Al-Araby ini mengungkap tentang nama-nama kitab yang ditulis secara al-Fabetis (system Qamus), sehingga akan memudahkan para pembacanya untuk menbaca dan mencari berbagai rujukan yang dikehendaki. Pengarang, selain menulis tentang nama kitab, juga ditulis nama pengarang, nama percetakan dan kota terbit.

METODOLOGI KONTEMPORER PENAFSIRAN AL-QURAN (Telaah atas Pemikiran Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun)

METODOLOGI KONTEMPORER PENAFSIRAN AL-QURAN (Telaah atas Pemikiran Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah MPSI
Team Teaching : Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD (koord.)







Oleh :
Hasani Ahmad Syamsuri
NIM: 08.3.00.1.05.01.0016








SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M./ 1430 H.

METODOLOGI KONTEMPORER PENAFSIRAN AL-QURAN (Telaah atas Pemikiran Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun)
Oleh : Hasani Ahmad Syamsuri
A. Pendahuluan
Stagnasi pemikiran yang dialami oleh umat Islam saat ini, salah satu factor penyebabnya adalah sulitnya mendialogkan realitas teks-teks keagamaan yang mereka warisi dengan realitas kehidupan yang mereka hadapi. Ada kesenjangan yang begitu lebar antara keduanya. Islam yang diyakini secara normatif sebagai rahmatan li al-alamin, dalam realitas empirisnya ternyata jauh dari apa yang diidealkan itu. Hal inilah yang mendorong para sarjana-sarjana muslim kontemporer untuk melakukan perenungan kembali khazanah intelektual yang mereka warisi dari ulama-ulama klasik ( at-turots ). Dalam proses perenungan dan pembacaan ulang atas at-turots itu, di barat berkembang dengan pesat metode pemahaman teks yang jitu yang disebut hermeneutika . Metode inipun lantas menarik perhatian sarjana-sarjana muslim kontemporer untuk diaplikasikan dalam membaca, memahami dan menafsirkan at-turots . Sebagai metode baru yang asing bagi umat Islam, metode ini mendapatkan reaksi yang berbeda-beda. Ada kelompok sarjana yang dengan agresif memaksakan aplikasi metode ini secara total, sebaliknya banyak kelompok yang menolak mentah-mentah aplikasi metode ini, dan ketiga ada kelompok yang menerima mengoperasionalkan metode ini dengan penuh hati-hati dan pertimbangan.
Bahasa tidak semata-mata terdiri dari pernyataan makna yang terdengar, bukan pula sekedar wacana. Ia lebih merupakan tanda dan pembawa makna dalam pengertian aktif, sebagaimana dikatakan Ernst Fuch bahwa where meaning is, there is also language. Oleh karena itu, suatu kajian teks dapat ditempatkan dalam dua wilayah epistemologi, yaitu bidang analisis wacana (‘ilm tahlîl al-khitâb) dan bidang semiologi atau semiotik ( ‘ilm al-alâmah). Dalam semiotik konsep teks bermakna luas, mencakup sistem tanda yang dapat memproduksi makna umum. Bagi konsep ini, teks linguistik termasuk di dalamnya, sebagaimana teks-teks yang non-linguistik.
Perhatian yang diberikan oleh para pengkaji Islam dalam menelaah tradisi Arab-Islam dari dulu sampai dewasa ini, banyak difokuskan kepada pembacaan teks-teks tersebut. Ini dilatarbelakangi suatu asumsi—meminjam Nasr Hâmid Abû Zaid—bahwa peradaban dunia dapat diandaikan kepada tiga kategori yaitu peradaban Mesir Kuno yang disebut “peradaban (yang muncul) pasca kematinya” (hadlârah mâ ba’da al-maut ), peradaban Yunani disebut “peradaban akal” (hadlârah al-‘aql) , sedangkan peradaban Arab-Islam dikategorikan sebagai “peradaban teks” ( hadlârah an-nash).
Peradaban Arab-Islam disebut peradaban teks dalam pengertian sebagai peradaban yang menegakkan asas-asas epistemologi dan tradisinya atas suatu sikap yang tidak mungkin mengabaikan peranan teks di dalamnya. Kendati demikian, ini tidak berarti bahwa teks itu sendiri yang menumbuhkembangkan peradaban atau meletakan asas-asas kebudayaan dalam sejarah masyarakat Muslim. Sesungguhnya faktor utama yang melandasi dan menjadi asas epistemologi dari suatu kebudayaan adalah proses dialektika antara manusia dengan realitasnya ( jadal al-insân ma’a al-wâqi’i) yang meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya pada satu sisi, dan proses dialog kreatif manusia yang terjalin dengan teks ( wa hiwâruhu ma’a an-nash) pada sisi yang lain.
Realitas sebagai sebuah “teks” seperti konteks kesejarahan manusia, begitu pula teks-teks liturgis keagamaan yang lain seperti Alquran, hadis, kitab tafsir, syarah hadis, fiqih, tasawuf dan falsafah telah berperan sebagai instrumen yang melengkapi lahirnya kebudayaan dan peradaban masyarakat Arab-Islam. Studi interpretasi Alquran kontemporer tidak saja terbatas pada bentuk interpretasi yang menekankan pada pencarian makna dari segi narasi belaka. Akan tetapi, perspektifnya sudah berkembang pesat yaitu dengan menempatkan teks Alquran sebagai teks yang bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk pada analisis “status ontologis teks” dan relasi antar konteks melalui interpretasi kebudayaan dengan menggunakan pisau analisis linguistik dan semiotik yang terbingkai dalam hermeneutika teks.
Tugas hermeneutika teks dalam pengertian yang paling sederhana adalah upaya untuk memahami teks. Sedangkan pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa, pemikiran dan sejarah. Melalui bahasa manusia berkomunikasi dan melalui bahasa pula mereka bisa salah arti, salah paham dan salah interpretasi. Itu semua dapat terjadi tergantung kepada bagaimana manusia memaknai sebuah “peristiwa bahasa”. Kritisisme terhadap teks dengan menggunakan pendekatan linguistik tidaklah serta merta mengabaikan pendekatan lainnya. Dalam pada itu, linguistik, semiotik dan hermeneutik memang tidaklah sama, masing-masing memiliki objek kajian yang berbeda-beda. Namun ketiganya memiliki relasi yang cukup kuat—khususnya di bidang interpetasi—, terkait secara berkelindan, satu sama lain sulit untuk dipisah-pisahkan secara dikhotomis antagonistik.
Bahasa tidak semata-mata terdiri dari pernyataan makna yang terdengar, bukan pula sekedar wacana. Ia lebih merupakan tanda dan pembawa makna dalam pengertian aktif, sebagaimana dikatakan Ernst Fuch bahwa where meaning is, there is also language. Oleh karena itu, suatu kajian teks dapat ditempatkan dalam dua wilayah epistemologi, yaitu bidang analisis wacana ( ‘ilm tahlîl al-khitâb) dan bidang semiologi atau semiotik ( ‘ilm al-alâmah). Dalam semiotik konsep teks bermakna luas, mencakup sistem tanda yang dapat memproduksi makna umum. Bagi konsep ini, teks linguistik termasuk di dalamnya, sebagaimana teks-teks yang non-linguistik. Istilah teks dalam analisis wacana terbatas hanya pada sistem tanda bahasa yang dapat memproduksi makna umum. Itu dikarenakan bahwa ilmu tanda (semiotik) adalah ilmu yang menyeluruh yang menganggap analisis wacana adalah bagiannya. Alasannya, karena bahasa merupakan sistem tanda, sehingga kajiannya dianggap sebagai cabang semiotik.
Sedangkan kritisisme dapat diartikan sebagai upaya untuk memahami teks dengan melihat berbagai kemungkinannya yang ditinjau dari segi tujuan teks itu sendiri. Dalam dunia sastra, kritisisme seringkali digunakan para kritikus sastra ketika melakukan kritik sastra. Bidang hermeneutika teks ternyata memiliki peranan besar dalam kajian ini ketika terdapat bagian yang terkait dengan bahasa dan pemikiran sebagai sebuah wacana yang akan dimaknai dan diinterpretasikan. Memahami teks dalam hermeneutika kritis, tidaklah sekedar memahami makna teks itu sendiri, melainkan mencakup kepada wilayah pembongkaran persepsi dari sebuah pengetahuan, interpretasi, maupun metode interpretasi yang sudah dianggap mapan, dalam hal ini adalah tentang hakikat teks Alquran. Selain itu mencoba menyingkap distorsi dan ketimpangan yang mungkin terjadi ketika menimbang dan melakukan kegiatan interpretasi. Apabila dikaitkan dengan teks Alquran, maka sesungguhnya kajian kritis dari hermeneutika ini adalah terfokus pada analisis dan kritik wacana teks Alquran.
Pada umumnya, status ontologis teks Alquran tidak banyak diulas para ulama. Alquran acapkali dipahami dalam defenisi dan “etika teologis” yaitu sebagai wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril. Sedangkan menurut definisi dan “etika liguistik”, Alquran terdiri dari kata, kalimat, paragraf dan tanda-tanda baca yang sarat makna. Karenanya dilihat dari aspek ini, ia setara dan dapat didekati sebagaimana teks-teks yang lain. Oleh karena itu, untuk mendukung telaah ini para pengkaji dari kalangan Muslim tentunya harus terlebih dahulu memiliki kesepahaman bahwa dengan kajian teks model ini tidaklah serta merta menafikan inspirasi Alquran yang bersifat Illahi. Karena sakralitas atau kesucian sebuah kitab—meminjam Frihtjof Schuon—tidak terletak pada level ontologisnya dalam bentuk teks, melainkan pada aspek inspirasinya. Sehingga yang membedakan antara kitab suci (Alquran, Injil, Taurat) dengan karya yang lain berada pada wilayah inspirasinya.
Kritisisme terkait dengan pemahaman seseorang terhadap Alquran dan bagaimana memperlakukannya. Paham ini berlaku sebatas digunakan untuk mengikis pemahaman distorsif terhadap konsep teks Alquran. Lebih lebih pada aspek kebekuan metodologi dan perspektif yang digunakan yang cenderung menepikan pendekatan ilmu-ilmu humaniora. Karenanya salah satu karakteristik dari kritisisme adalah membongkar model pembacaan repetitif, tautologi, yang cenderung menutup pendekatan lain di luar pendekatan yang digunakan para ulama yang beraliran salaf. Kritisisme dibangun dengan menitikberatkan kepada model pembacaan yang akan mendekatkan kepada “kesadaran ilmiah” (baca: bukan sekedar kesadaran teologis), tanpa melakukan pengingkaran terhadap spirit dan inspirasi kitab suci sebagai wahyu Tuhan.
Jika dipahami selintas saja, pendekatan ini seakan menenggelincirkan kepada pemahaman yang sekularistik atau akan jatuh pada corak Marxisme yang cenderung anti suprarasional. Namun di balik itu, pandangan-pandangan semacam itu justru merupakan menjadi tantangan besar dari ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam bidang linguistik. Karena betapapun juga, perubahan dan perkembangan yang terjadi terus menerus pada nalar dan ilmu pengetahuan modern harus senantiasa berbanding lurus dengan sikap mental dan intelektual kaum Muslim, yang pada tataran ini berfungsi untuk mengimbangi prinsip-prinsip pembaharuan pemikiran keislaman. Hal ini senada dengan suatu prinsip yang menyatakan bahwa "modernitas" sesungguhnya dapat dijadikan perspektif untuk “membaca” tradisi, bukan sebaliknya tradisi belaka yang membaca modernitas tanpa diselingi dengan proses dialektis. Kritisisme melalui pembacaan teks-teks keagamaan identik dengan pembacaan tradisi, karena teks dapat dikatakan sebagai fiksasi atau pemadatan dari suatu wacana maupun tuturan. Di sinilah “teks sebagai realitas” maupun “realitas sebagai teks” dapat ditempatkan. Keduanya sama-sama hadir untuk ditelaah, dipahami, diinterpretasikan sampai kemudian dicari signifikansinya dalam berbagai konteks.
Memperbincangkan historisitas teks tidaklah dimaksudkan sebagai pembahasan “sejarah” teks, namun lebih mengedepankan sisi Alquran pada aspek ontologisnya. Peristiwa pewahyuan sebagai titik awal lahirnya Alquran merupakan kata kunci untuk menyatakan bahwa ketika inspirasi Illahi itu disampaikan kepada manusia dengan menggunakan bahasa kaum tertentu, bahasa Arab ( al-lisân al-’Arabî ), maka hal itu sekaligus menandakan sifat kesejarahannya, sebab wahyu tersebut sudah termanusiakan. Historisitas ini berperan untuk mengulas “peristiwa bahasa” yang dapat berpengaruh terhadap sistem pemaknaan pada satu sisi, dan menempatkan otoritas teks pada sisi yang lain. Kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah mengawali perdebatan mengenai historisitas ini melalui sebuah pertanyaan “apakah Alquran itu diciptakan dan baharu ataukah azali dan qadim? Untuk menjembatani dua arus besar pemikiran kalam klasik di atas sebenarnya dapat ditengarai melalui pendekatan linguistik modern sebagaimana yang pernah dikonseptualisasikan oleh Ferdinand de Saussure.
Menurut Paradigma Saussurian, khususnya yang terumuskan dalam Cours de Linguistique Gênêrale, konsepsi kalâm dibedakan dengan konsep lughah. Konsep lughah atau lisân dapat disetarakan dengan konsep langue dalam linguistik Saussure, yaitu keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa yang memungkinkan penutur-penerima dapat saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat. Sedangkan kalâm identik dengan parole yaitu manifestasi individu tentang bahasa ( al-istikhrâj al-fard li al-lughah). Jadi, telaah terhadap historisitas teks Alquran tidaklah dilekatkan pada wilayah “teologis” yang bertali-temali dengan konsep kalâm, akan tetapi berada dalam wilayah bahasa dalam pengertian lughah dan lisân atau langue sebagaimana dimaknai Saussure, yaitu bahasa sebagai realitas historis yang bersifat manusiawi dan merupakan aksioma masyarakat bahasa, sehingga dengan sendirinya lughah atau lisân merupakan bagian dari kebudayaan.
Ketika pesan-pesan ketuhanan direpresentasikan wahyu dalam realitas kultural dan berada dalam sistem bahasa melalui peristiwa bahasa yang bersifat manusiawi, maka pengandaian akan otoritas makna teks terdapat pada unsur kesejarahannya. Menurut Komaruddin Hidayat, pada akhirnya setiap interpretasi makna teks harus memiliki sumber otoritas. Mengenai otoritas ini kelihatannya muncul beragam pendapat. Adakah sumber otoritas itu berupa wahyu, hasil pembuktian empiris, tradisi yang telah mapan, ataukah kekuatan penalaran manusia? Pada kenyataannya semua faktor tersebut saling mengisi dan berinteraksi secara dialektis yang kemudian terawetkan dalam sebuah tradisi. Dalam Islam, misalnya, otoritas tradisi demikian kuat. Posisi tradisi keagamaan dan pendapat ulama sangat vital sebagai sumber justifikasi dan sekaligus juga pengikat komunitas keberagamaan sejak dari level peribadatan sampai dengan bangunan keilmuan. Bahkan dalam konteks tertentu, otoritas teks itu semakin besar seiring dengan urgensi teks. Oleh karena itu, dari sudut pandang transendentalisme hermeneutik, kebenaran yang lebih konsisten justru tertuang dalam teks, bukannya dalam diri pengarang yang kadang kala labil dan situasional. Di sinilah kritisisme tentang historisitas teks dapat dimaknai untuk kemudian dapat memasuki wilayah otoritas teks dan relasi interkontektualitas.
Berkaitan dengan masalah otoritas teks, Nasr Abû Zaid, salah seorang sarjana Muslim Mesir yang kontroversial, berpendapat bahwa pada dasarnya “teks” tidak memiliki wewenang, kuasa atau otoritas apapun selain otoritas epistemologis ( as-sulthah al-ma’rifiyyah). Yakni otoritas yang diupayakan sebuah teks dalam posisinya sebagai teks untuk dimanifestasikan dalam wilayah epistemologi tertentu. Seluruh teks berusaha memunculkan otoritas epistemologinya secara baru dengan asumsi bahwa ia memperbaharui teks-teks yang mendahuluinya. Akan tetapi, otoritas tekstual ini tidak akan bermetamorfosis menjadi otoritas kultural-sosiologis, kecuali melalui kelompok yang mengadopsi teks tersebut dan mengubahnya menjadi kerangka ideologi. Dalam pada itu—dan ini juga berlaku terhadap interpretasi teks Alquran—perlu dibedakan, bahwa teks-teks yang memiliki otoritas tertentu adalah disusupkan oleh pemikiran manusia, otoritas tersebut tidak muncul dari dalam teks itu sendiri. Sehingga “pembebasan dari kekuasaan teks” ( at-tuharrir min sulthah an-nash) sebenarnya berarti pembebasan dari otoritas mutlak dan hegemoni yang mempraktikkan pemaksaan dan penguasaan dengan menyelipkan indikasi-indikasi dan makna-makna di luar masa, ruang, dan kondisi ke dalam teks. Paparan ini sesungguhnya merupakan ajakan untuk memahami, menganalisis dan melakukan interpretasi berdasarkan analisis bahasa terhadap teks tersebut dalam kompleksitas konteksnya, yang pada gilirannya akan melahirkan kontekstualisasi makna teks.
Lahirnya makna tidaklah berasal dari teks itu semata-mata, akan tetapi melalui proses dialektika antara teks dengan manusia sebagai objek teks, seperti juga yang terjadi dari relasi antara teks dengan kebudayaan sebagai relasi dialektis yang saling menguatkan, dan satu sama lain mengkombinasikan dirinya pada saat memunculkan wacana, pemikiran dan ideologi. Akal pikiran manusialah yang melahirkan makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak berbicara. Sehingga otoritas itu dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.
Para pengkaji Islam pada umumnya—terutama dari kalangan Muslim—, secara dominan mengasosiasikan otoritas tersebut kepada teks primer dan teks sekunder. Teks primer ( an-nash al-ashlî) dalam bingkai warisan tradisi Islam adalah Alquran. Teks primer berposisi sebagai teks yang menampilkan realitas pertama dalam suatu runtutan teks yang muncul kemudian. Sedangkan teks sekunder ( an-nash as-sanawî) berasal dari teks yang kedua, yaitu berupa Sunnah atau Hadis, berperan sebagai pengurai ( syarh) dan penjelas (bayân) dari teks primer. Apabila Sunnah atau Hadis dikatakan sebagai teks sekunder (tingkatan kedua), maka terlebih lagi dengan ijtihad dan pendapat para ulama, baik di kalangan ahli fiqih maupun tafsir, dapatlah diandaikan sebagai teks sekunder, atau bahkan "tersier". Sebab ijtihad-ijtihad para ulama itu merupakan uraian atau penjelasan terhadap teks primer yang pertama (an-nash al-ashlî al-awwal, Alquran) atau teks sekunder yang kedua ( an-nash as-sânî as-sanawî, Hadis).
Sejarah panjang pemikiran Islam menunjukkan bahwa—karena faktor sosial, politik, ekonomi dan kultural tertentu—telah terjadi pergeseran otoritas dari teks sekunder menjadi teks primer. Bahkan teks sekunder telah memberikan otoritas bagi dirinya sendiri. Untuk itu, dalam memahami teks Alquran tidaklah sekedar didasarkan kepada pendekatan dari segi narasi dan pemaknaan saja, lebih dari itu terdapat beragam konteks dalam kajian ini yang setidaknya dapat memposisikan pemaknaan intersubjektivitasnya, yaitu dengan memetakan unsur relasi interkontekstualitas.
Dalam pandangan Abu Zayd, al-Quran hanyalah fenomena sejarah yang tunduk pada peraturan sejarah. Maka sebagai ‘suatu’ yang sudah mensejarah dan terealisasi dalam dunia yang temporal-terbatas, al-Qur’an juga bersifat temporal-historis dan harus dipahami dengan pendekatan historis. Abu Zayd juga memandang al-Quran sebatas teks linguistik yang tidak dapat melepaskan dirinya dari aturan bahasa Arab yang dipengaruhi oleh kerangka kebudayaan yang melingkupinya.
Dengan demikian pemaknaannya selalu tunduk pada latar belakang zaman, ruang historis dan latar belakang sosialnya. Di samping itu, dia juga menganggap al-Quran bukan lagi teks Tuhan yang sakral, tapi telah bergeser menjadi teks manusia yang nisbi (samar) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relatif.
Dengan begitu, dia memisahkan al-Quran secara total antara lafadz dan maknanya. Yang mutlak dan sakral adalah al-Quran yang mentah di alam metafisika (Lawh Mahfuzh), yang tidak pernah diketahui sedikit pun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri. Lalu al-Quran tersebut dipahami dari sudut pandang manusia yang berubah dan nisbi. Sejak turun, dibaca dan dipahami Nabi, al-Quran telah bergeser kedudukannya dari Teks Tuhan menjadi teks manusia. Hal ini disebabkan al-Quran telah berubah dari wahyu menjadi interpretasi”. Kemudian Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia) dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia. Dikarenakan al-Qur’an sudah tidak lagi mutlak dan telah berubah menjadi makna yang relatif, maka bagi kalangan liberal Islam, hermeneutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi teks keagamaan.
Moch. Nur Ichwan, salah satu murid Abu Zayd, menguatkan bahwa dalam konteks Islam, hermeneutika dimaknai sebagai teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikatakan problem, mengingat sejak awal diwahyukannya, al-Qur’an dirasa sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem tersebut semakin rumit manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yang menggantikannya. Oleh sebab itu penggunaan hermeneutika dalam studi al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini, hermeneutika al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas. Abu Zayd juga memandang al-Qur’an secara dikhotomis yang memiliki dua dimensi; dimensi historis (nisbi) dan dimensi ketuhanan (mutlak), Abu Zayd mempertanyakan: Apakah setiap yang termaktub dalam al-Quran adalah firman Allah yang harus diaplikasikan? Pertanyaannya ini dijawabnya dengan menganalogikannya pada Bibel dalam pandangan Kristen, tulisnya: “According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man”. Pada akhirnya, pemutlakan nisbinya penafsiran bermuara pada seruan Abu Zayd untuk meninggalkan kekuasaan teks-teks agama (al-Qur’an dan Hadits) karena dianggap membelenggu kebebasan berfikir. Ringkasnya, pandangan Abu Zayd tentang al-Quran, kenisbian tafsir dan pemikiran keagamaan dapat dirangkum secara runtut sebagai berikut:Memberikan definisi dikhotomis antara agama dan pemikiran keagamaan yang berbeda total antara satu dengan lainnya sebagai pintu masuk.Meragukan satu persatu kedudukan agama dan pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis. Agama yang dimaknai sekedar kumpulan teks suci, kemudian direlatifkan eksistensi kemutlakannya. Teks yang mutlak dan suci (dalam hal ini adalah al-Qur’an), hanyalah yang berada di Lawhul Mahfuzh. Teks suci tersebut tidak pernah diketahui oleh seorang muslim pun. Sehingga pada akhirnya, hanya menyisakan kenisbian dan meragukan kedudukan al-Quran.
Setelah meragukan eksistensi al-Quran (atau keberadaan agama itu sendiri) sebagai kitab yang mutlak dan suci, kemudian Abu Zayd mengebiri fungsi dan perannya sebagai solusi akhir bagi manusia. Sebab teks-teks yang dipandang suci dan mutlak tersebut pada hekekatnya adalah teks atau agama sejarah, yang muncul pada suatu bangsa, pada suatu waktu dan identik dengan budaya bangsa tersebut pada saat itu. Sehingga sebagai agama atau teks sejarah, ia akan terus berkembang sesuai dengan tempat dan zamannya, relatif dan tidak bisa diklaim sebagai aturan yang mutlak dan tetap.Merombak dan menolak pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis dengan agama dalam poin pertama, sehingga pada akhirnya baik agama maupun pemikiran keagamaan sama-sama ditolak, direduksi dan didekonstruksi (dirombak).
Penolakan Abu Zayd terhadap pemikiran keagamaan ini tentunya berdasarkan adanya warna suatu dogma dan ideologi terhadap pemikiran keagamaan. Indikasi dogma dan ideologi yang mewarnai pemikiran keagamaan adalah selalu menjadikan Allah sebagai hakim dalam memahami teks dan menelantarkan posisi manusia sebagai makhluk yang historis dalam membaca teks menurut ruang dan waktu ia berada. Maka Abu Zayd pun terjebak dengan ideologi lainnya, yaitu mengutamakan manusia sebagai pembaca teks dan menelantarkan Allah SWT sebagai Sang Pemilik dalam memaknai sebuah teks.Terakhir, seruan meninggalkan agama (kitab suci): “Telah tiba saatnya menganalisa dan melangkah ke era pembebasan –tidak hanya sekedar dari kekuasaan teks-teks agama— tetapi juga dari setiap kekuasaan yang mengekang ruang gerak manusia di dunia ini. Kita harus bertindak sekarang dan cepat, sebelum disapu oleh banjir bandang.
Seperti umumnya tokoh-tokoh liberal lainnya yang menyuarakan kesamaan gender (gender equality), baik dalam hak waris bagi perempuan, mengharamkan poligami, menolak pembatasan pakaian (jilbab) dan isu-isu feminisme lainnya, Abu Zayd pun tidak ketinggalan mengambil peran dalam memperkuat faham ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa feminisme adalah bagian dari liberalisasi agama.
Dalam mensikapi poligami, Abu Zayd berpendapat bahwa sebenarnya solusi yang ditetapkan oleh al-Qur’an adalah solusi sementara, tidak bersifat permanen dan tidak berarti membenarkan keberadaan poligami. Poligami hanyalah solusi terhadap problem anak yatim yang sesuai untuk diterapkan pada abad ke-7. Di mana pada saat itu poligami telah dipraktekkan secara luas, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa poligami adalah hukum al-Qur’an. Akan tetapi di zaman sekarang ini, Abu Zayd berpendapat bahwa poligami tidak lagi dibolehkan, bahkan dilarang. Sebab pada saat ini, poligami adalah penistaan bagi wanita, sebagaimana juga terhadap anak-anak yang lahir di tengah-tengah keluarga mereka. (polygamy is insulting to women as well as to the children born into the family). Sedangkan mengenai kewajiban menutup aurat dengan mengenakan jilbab, Abu Zayd secara tegas mengatakan bahwa pandangan seperti ini tidak lain hanyalah simbol pengekangan terhadap akal wanita dan eksistensi sosialnya. Lebih lanjut dia mengatakan:”Sesungguhnya pengekangan wanita dalam busana jilbab adalah simbol penjelmaan pemasungan pada akal dan eksistensi sosialnya, dan pengabaian eksistensi sosialnya ini adalah praktek pembunuhan yang serupa dengan praktek ritual bom bunuh diri yang sewaktu-waktu diarahkan kepadanya untuk pengekangan wanita Mesir”. Adapun tentang pembagian harta waris, Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini. (QS. Al-Nisa’: 11)Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice).
Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-Nisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li l-dzakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li l-untsayayni mitslu hazhi l-dzakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur’an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas. Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al-Qur’an –secara perlahan dan pasti- cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan.Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context). Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7 M, seperti halnya saat dia menafsiran ayat-ayat hudud (jenis hukum kriminal). Tentang ayat hudud ini, dia berpendapat bahwa semua jenis hukuman yang tertera dalam al-Qur’an menggambarkan pesan realitas sosial (reflect a historical reality) dan tidak berarti menggambarkan bentuk spesifik perintah Tuhan (Divine imperatives) yang harus dijalankan di sepanjang masa. Sebab dalam hal ini, al-Qur’an tidak bermaksud untuk menegakkan jenis hukuman (rajam,qisas, dll) yang disebutkan di dalamnya. Menurut Abu Zayd, penyebutan jenis hukuman yang diambil dari budaya sebelum Islam tersebut tidak lain agar al-Qur’an mempunyai kredibilitas dengan peradaban kontemporer. Pada akhirnya substansi semua jenis hukuman tersebut adalah adanya hukuman untuk sebuah tindak kriminal (punishment for crime). Bila dirunut secara kritis, pendapat Abu Zayd ini tidak sesuai dengan teori proyek penyelidikan yang dikembangkannya dalam pembacaan teks. Sebab dari hasil kesimpulan pendapatnya, -khususnya- tentang jilbab, poligami, pembagian waris dan penerapan jenis hukuman yang tertera dalam al-Qura’an (hudud) di atas, tidak ditemui satu pun bukti tertulis dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang menguatkan pendapatnya. Padahal dalam teori proyek penyelidikannya, dia menganjurkan sebuah pendekatan yang memegang prinsip-prinsip objektif-ilmiah dan demitologisasi (penghapusan mitos) agar tidak terjebak dalam sebuah ideologi. Karena Abu Zayd tidak menemukan bukti tertulis dari al-Qur’an maupun Hadits, maka sebagai gantinya dia menyebutkan “yang tidak terkatakan” (al-maskut ‘anhu) dan memperkuatnya dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab saat itu (historical context).Tentunya teori “al-maskut ‘anhu” ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolah-olah Abu Zayd lebih mengerti “maksud Tuhan” yang tidak difirmankan-Nya. Padahal dia sendiri mengingkari al-Qur’an dalam bentuknya yang mutlak di lawh mahfuzh, karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Apalagi dia juga cenderung berpendapat bahwa manusia yang relatif tidak akan pernah mengetahui maksud Tuhan yang mutlak. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa pendapatnya ini sangat kontradiktif antara satu dengan lainnya. Lebih aneh lagi, ketika Abu Zayd berdalih dengan historical context untuk memperkuat teori “al-maskut ‘anhu”-nya ini. Sebab alasan ini hanyalah bertujuan untuk menampilkan “ideologi”nya dan menggeser ideologi yang bertentangan dengannya. Ideologi Abu Zayd yang ingin ditampilkannya adalah ideologi anti kemapanan dengan mendasarkan pada latar belakang historical context. Sehingga dengan sendirinya dia menolak segala formalisasi jenis hukuman yang termaktub dalam al-Qur’an. Dan sebagai konsekwensinya adalah setiap bentuk hukuman (the particular form of punishment) dalam al-Qur’an tidak bersifat final dan senantiasa berubah menurut kondisi sejarah, waktu dan tempat. Karena itu, semua jenis hukum yang termaktub dalam al-Qur’an tidak lain hanya diperuntukkan untuk kondisi waktu itu (specific punishment for particular time).Di sisi lain teori “al-maskut ‘anhu” tidak lain dari kelanjutan teori kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadriji) versi al-Thahir al-Haddad. pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia muda. Dalam bukunya, “al-Mar’ah fi Khithabi l-Azmah” (Wanita dalam Wacana Krisis), Abu Zayd banyak menukil pemikiran al-Thahir dan menguatkannya. Pada saat yang sama, kaum Muslim sejak awal kelahirannya sudah sibuk dan memperhatikan bagaimana penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran diterapkan terhadap kitab suci. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai literature yang masih ada hingga sekarang. Di samping berbagai disiplin keilmuan yang berkembang dalam sejarah Islam dan kaum Muslim, disiplin Studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân) merupakan salah satu disiplin yang marak dipelajari.
Penting dibedakan antara hermeneutika dengan tidakan penafsiran (exegese). Tindakan penafsiran berkaitan dengan komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan heremeneutika berkaitan dengan metodologi yang dipakai dalam tindakan penafsiran. Dalam terminologi pesantren, tindakan penafsiran adalah sebagaimana bisa ditemukan dalam kitab-kitab tafsir (yang paling umum ditemui adalah kitab Tafsîr al-Jalâlain), sedangkan hermeneutika adalah Ulûm al-tafsîrnya.
Dalam pengertian yang demikian, Farid Esack menyatakan bahwa hermeneutika sebenarnya sudah diterapkan dalam tradisi studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân) klasik dalam Islam. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa metodologi penafsiran yang melibatkan konteks pewahyuan Al-Qur’an seperti Nasikh-Mansukh dan Asbab al-Nuzul. Di samping itu, sudah ada kesadaran kategorisasi penafsiran-penafsiran sesuai dengan latar ideologis, bidang pengetahuan dan spesifikasi. Terlihat misalnya Tafsir Kalâmî (Mu’tazilah, Syî’ah, Asy’ariyah, dll.), Tafsir Fiqhî (Syafî’iyah, Hambaliyah, Hanâfiyah, dll.), Tafsir Ilmî (Biologi, Fisika, Kimia, Astronomi, Embriologi, dll.), Tafsir Falsafî, Tafsir Adabî-Ijtima’î dan lain sebagainya. Sehingga, tindakan menolak hermeneutika pada dasarnya adalah tindakan yang ahistoris.
Tindakan penafsiran Al-Qur’an yang bersifat hermeneutis sudah dilakukan oleh beberapa reformis Muslim. Nama-nama seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan kawan-kawan pada hakekatnya sudah melakukan kerja-kerja hermeneutis, walaupun secara terminologis mereka sendiri tidak menyebutnya demikian dan persentuhan ilmiah dengan Barat masih belum segencar sekarang. Namun bisa dikatakan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh hermeneutika Al-Qur’an Modern fase awal.
Setelah memasuki perkembangan terkini, Studi Al-Qur’an mengalami persentuhan dengan beberapa pemikiran yang berkembang di Barat. Beberapa pemikir yang concern terhadap studi Al-Qur’an mulai memasukkan beberapa metodologi Barat, termasuk heremeneutika dalam pemaknaannya yang spesifik. Upaya ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an mampu dan bisa menjawab isu-isu kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Beberapa nama bisa disebutkan di sini, seperti Fazlurrahman, Muhamed Arkoun, Farid Esack, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Bintu Syathi’, dan lain-lain.
Nama Muhammad Arkoun yang terpilih dalam tulisan ini disebabkan karena pemikiran Arkoun menawarkan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran Islam. Menempatkan pemikirannya, khususnya dalam bidang membaca Al-Qur’an, dalam jajaran pemikiran kontemporer menjadi tepat karena persinggungannya dengan pemikiran-pemikiran kontemporer sangat kentara sekali.
Dalam tulisan ini akan disinggung mengenai dua persoalan epistemologis dalam studi Alquran, khususnya masalah problem interpretasi dan mekanisme pemahaman konteks. Dalam hal ini, permasalahannya difokuskan pada: Sejauhmana kontribusi paradigma linguistik (strukturalisme) dan semiotika terhadap model pembacaan Alquran; Konteks seperti apakah yang harus ditampilkan dalam memahami Alquran sebagai sebuah representasi kebudayaan? Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi baik yang bersifat teoretik maupun praksis. Yang pertama mencoba mengetengahkan teori-teori modern sebagai sebuah perspektif baru dalam mendekati Alquran. Sedangkan kontribusi praksisnya akan memudahkan para pengkaji Alquran memetakan konteks dalam melakukan interpretasi Alquran. Dua hal tersebut sangat signifikan dalam kajian keagamaan kontemporer seiring terjadinya ledakan-ledakan besar teori ilmu pengetahuan yang melompati tapal batas teologis.
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis. Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme itu untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter-, tak- dan di-pikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme.
Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa: 1) mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku; 2) Menetapkan suatu kriteriologi yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.
Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan-sebisa mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment): 1). suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak. 2). Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis. 3). Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.
Tulisan ini sengaja hanya fokus pada dua orang tokoh saja karena banyaknya pemikir dan tokoh muslim yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an. Teori-teori yang muncul dalam hal penafsiran Al-Qur’an pun juga sangat kaya. Sehingga, bukan tempatnya untuk memaparkan dan menyajikan semua pemikiran tokoh-tokoh itu.
B. Permasalahan
Pendekatan hermeneutika yang membawa ruh relativisme kebenaran dan saat ini dicoba untuk diterapkan menafsirkan teks-teks keagamaan (baik al-Qur’an maupun Hadits), tidak dapat disebut sebagai bagian dari ijtihad atau pembaharuan dalam koridor khazanah keilmuan Islam. Paham relativisme berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat yang mendominasi semua bidang kehidupan dewasa ini. Paham yang berujung pada penolakan terhadap segala pemikiran yang telah mapan ini adalah bagian dari paham post-modernisme yang selalu ingin melakukan perombakan (deconstruction). Sebab dalam relativisme, hal-hal yang paling mendasar dalam agama, -seperti kedudukan wahyu al-Qur’an, kekuatan Mushaf Utsmani, aturan hukum waris, pernikahan, larangan homoseksual dsb-, tidak luput dari dekonstruksi. Semua hukum dan ajaran agama bisa berubah sesuai dengan kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi yang melatarbelakangi si penafsir dan teks, seperti yang menjadi sasaran pendekatan konteks historis (historical context).
Kritisisme dan relasi interkontekstualitas sebagaimana diulas di atas merupakan salah satu perpektif yang berkembang dalam studi interpretasi. Telaah ini memberikan peta baru dalam model analisis yang digunakan untuk membaca konteks-konteks dalam suatu kegiatan interpretasi. Objektivitas dan kebenaran interpretasi hanya dapat berlaku ketika produk interpretasi itu tidak keluar dari kerangka makna asli (al-ma’nâ) dari suatu teks dan juga tidak lepas dari makna yang dikehendaki (al-maghzâ) oleh teks yang bersifat kontekstual. Karenanya, dalam pembacaan Alquran perlu ditradisikan model pembacaan produktif ( al-qirâ’ah al-muntijah) yang dapat menepikan model pembacaan repetitif ( al-qirâ’ah at-tikrâriyyah) maupun pembacaan tendensius ( al-qirâ’ah al-mughridlah). Setidaknya dengan kritisisme dan pemetaan interkontekstualitas yang dipaparkan di atas, upaya untuk mendekati "makna objektif" dari suatu teks dapat ditimbang kembali.
Dalam diosertasi ini, akan diungkap dua persoalan epistimologis dalam studi al-Qur’an, khususnya problem interpretasi dan mekanisme pemahaman konteks yang dipakai kedua tokoh yang akan dibahas yakni Nasr hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikumakakan di atas,dapat diabatasi permasalahannya sebagai berikut: bagaimana metode tafsir kontemporere dalam pemikiran Nasr hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun dan bagaimanapula mekanisme penalarannya? Pokok permasalahan ini, selanjutnya dirinci menjadi beberapa persoalan sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi pemikiran tafsir kontemporer tersebut?
2. Bagaimana perumusan metode penafsirannya?
3. Bagaimana aplikasi terhadap penerapan metodenya itu?
4. Dan sejauhmana kontribusi paradigm linguistic dan semiotic terhadap model pembacaan al-Qur’an?
C. Penelitian Terdahulu Yang Relefan
Sepanjang pengamatan penulis, belum ditemukan adanya studi yang secara spesifik dan komperehensif mengkaji selakigus merumuskan secara khusus metodologi penafsiran yang dipakai oleh kedua tokoh di atas. Sejumlah tulisan-tulisan yang menghiasi pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid misalnya, penulis temukan dalam karya Disertasi Dr. yusuf rahman, yang kemudian percikan pemikirannya itu dituangkan kembali dalam jurnal Jauhar Majallah Fikriyyah Islamiyyah Siyaqiyyah, vol. 3, no.1, juni 2003, Sps UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari tulisan Dr. Yusuf rahman, penulis mendapati rujukan peneliti yang mengkaji Nar hamid Abu Zaid, Abd Rauf, Jabir ashfur, Muhammad Awadh, Dr. Muhammad Amara,Boudoun Depret, fazi M. Najjar, dan lain-lain.
Di laur semua itu, metodologi dan pemikiran Nasr hamid Abu zaid tertuang melalui karya-karyanya yang brilian. Begitu pula Syahrur metodologi dari sebuah pikirannya sudah barang tertentu terserak dalam buah tulisan-tulisannya. Untuk itu, penulis lebih banyak mengambil dari poin-poin penting dari karyanya tersebut.
D. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang kehadiran metode tafsir Nasr hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun;
2. Ingin mengungkap proses dan mekanisme penerapan metodenya;
3. Ingin menjelaskan kontribusi konkret dari sebuah metodologi yang didisainnya.
E. Manfaat / signifikansi Penelitian
Realisasi penelitian ini akan bermanfaat dan sinifikan paling tidak: pertama, memperluas kajian penafsiran al-Qur’an tentang metodologi kontemporer secara konseptual. Kedua, dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena ilmu al-Qur’an bukanlah disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja, akan tetapi juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman manusia dalam setiap zamannya. ketiga Memberikan sumbangan kajian pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun kepada para pembaca agar tidak terlalu apriori terhadap metodologi tafsir; Dan terakhir, kajian ini dapat memberikan arah bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif di belakang hari. Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain dapat mengurangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa menjadi koreksi bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru sebagai antisipasi atas persoalan-persoalan yang dihadapi zamannya.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian tesis ini dilakuakn melalui riset kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca karya-karya Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun sebagai data primer dan meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun sebagai data sekunder. Dan kajiannya secara deskriptif dan analitis, yakni penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahaman masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Deskriptif analitis yakni analitis dalam pengertian historis dan filosofis. Sebagai suatu analisa filosofis terhadap seorang tokoh yang hidup pada suatu zaman yang lalu, maka secara metodologis menggunakan pendekatan sejarah (historical approach), yang mengungkap hubungan seorang tokoh dengan masyarakat, sifat, watak pemikiran dan ide seorang tokoh.
Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah berasal dari data primer (primary resources) dan skekunder (secondary resources). Adapun teknis penulisan dalam tesis ini, penulis berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II, tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam membahas tesis ini, maka karya ilmiah ini ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang terkait antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas biografi dan kesarjanaan nasr hamid abû zaid dan Muhammad Arkoun, meliputi biografi singkat dan potret kehidupan awal, latar belakang pendidikan, peranan Nasr Hamid Abû Zaid Dan Muhammad Arkoun dalam kancah intelektualisme masyarakat muslim dan barat.
Bab ketiga membahas tentang metodologi tafsir al-qur’an kontemporer dalam berbagai perspektif; yang meliputi mengenal, Pengertian Metodologi Tafsir Kontemporer, Klasifikasi Metogologi Tafsir, dan Pendekatan Hermeneutika dalam Tafsir.
Bab keempat membahas metodologi nasr hamid abû zaid dalam penafsiran al-qur’an, meliputi: Al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abû dan Muhammad Arkoun, Latar Belakang dan Rumusan Metode Tafsir Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun, metode hermeneutika dan mekanisme penerapannya, dan analisis kritis atas metode tafsir nasr hamid abû zaid dan muhammad arkoun.
Bab kelima adalah bab penutup, yang berisi kesimpulan yang di tarik dari pembahasan dari sub-sub sebelumnya, dalam rangka menjawab masalah pokok yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan dan juga memuat saran-saran konstruktif.










DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Mohammed, “Metode Kritik Akal Islam“, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994

_______, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur’an, Jakarta: INIS, 1997

Asysyaukani, Luthfi, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998

Atho’, Nafisul, dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003

Bakker, Anton, dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990

Braaten, Carl, History of Hermeneutics, Philadelphia: Fortress, 1966

Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosopy and Critique, London: Routledge and Kegal Paul, 1980

Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005

Eco, Umberto, The Limits of Interpretation, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 1990

Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, England: Oneworld Publication, 1997

Fais, Fakharuddin, Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005

Gatje, Helmut, The Qur’ân and it’s Exegesis: Selected Text with Classical and Modern Interpretation, terj: Alford T. Welch, California: California University Press, 1976

Hanafî, Hassan, Dirâsah Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Mishriyyah, 1981

Harahap, Syahrin, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam Bidang Pemikiran Islam, Medan: IAIN Press, 1995

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 2001

Jâbirî, Muhammad ‘Abid al-, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1991

Izutsu, Toshihiko, God and Man in the Koran: a Semantical Analysis of the Koranic Weltanschauung, Tokyo: Keio University Press, 1964

Ichwan, Moch. Nur, Meretas kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, cetakan I, Teraju, kelompok Mizan, Jakarta:2003

Jansen, J.J.G., The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, Leiden: E.J. Brill, 1974

Rippin, Andrew, Muslim Their Religious Beliefs and Practices, Volume 2: The Contemporary Period, London: Routledge, 1995

Palmer, Richard E., Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Nortwestern: Nortwestern University Press, 1996

McNight, Edgar, Meaning in Text: Historical Shaping of a Narrative Hermeneutics, Philadelphia: Fortress, 1978)

Solomon, Jack, dari Umberto Eco dalam The Sign of Our Time, Semiotics: The Hidden Messages of Environment, Object and Cultural Images, Los Angeles: Jeremy P. Tar cher, INC, 1988

Sajiman, Panuti, dan Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotik, Jakarta: Gramedia, 1996

Sayyib, Ahmad, Ushûl an-Naqd al-Adabî, Kairo: Maktabah an-Nahdlah al-Mishriyyah, 1964

Schuon, Frihtjof, Understanding Islam, terj: D.M. Matheson, London: George Allen & Umwin LTD., 1972

Syahrûr, Muhammad, Al-Kitâb wa Alquran: Qirâ`ah Mu’âsyirah, Dimisyqa: Dâr al-Ahâlî li Thabâ’ah wa an-Nasyir, 1990

Detweiler, R., “What is Sacred Text”, dalam: Semia, 1989

Jâbirî, Muhammad ‘Abid al-, “Isykaliyât al-Ashlah wa al-Mu’âshirah fî al-Fikr al-‘Arabî al-Hadîs wa al-Mu’âshir: Sîrah Thabaqî am Musykil as-Saqâfî:, dalam At-Turâs wa at-Tahaddiyât al-‘Ashr, Beirut: Markaz Dirâsah Wihdah al-‘Arabiyyah, 1987

Syaukanie, A. Luthfy, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol.I, No. 1, Juli-Desember 1998

Salvatore, Armando, “The Rational Autentication of Turâs in Contemporary Arabic Thought: Muhammmad ‘Abid al-Jâbirî and Hassan Hanafî, dalam The Muslim World, Vol. LXXXV, No. 3-4, Juli-Oktober, 1995

Recoeur, Paul, Interpretation Theory, California: The Texas University Press, 1976

T. Borhgrevink & M. Melthuus, “Text as reality-reality as text”, dalam Studia Theologica, 1989

Kridalaksana, Harimurti, Mongin Ferdinand de Saussure (1857-1913) Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme”, pengantar dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj: Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993

Zaid, Nasr Hamid Abû, An-Nash as-Sulthah al-Haqîqah: Al-Fikr al-Dînî Bain Irâdah al-Ma’rifah wa Irâdah al-Haiminah, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-’Arabî, 1995

At-Thabarî, Târîkh ar-Rasûl wa al-Mulûk, Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim (ed.), Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1979

al-Haddad, al- Thahir, Imra’atuna fi l-Syari’ah wa l-Mujtama’, al-Dar al-Tunisiyyah li l-nasyr: 1992

Putro, Suadi, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1996

Meuleman, Haji Johan H., Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993

Komaruddin, Kamus Riset, Bandung: Angkasa, 1984

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003



Nizar, M., Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988
Wieland, Routrand, “Wurzeln der Schwierigkeit innerislami schen Gerpracchs Uber Neue Hermeneutiche Zungange zum Korantext”, dalam Stefan Wild (ed.), The Qoran as Text, Leiden: E.J. Brill, 1996
Wieland, Berichtvon Almut, Internationale Symposion “Der Koran als Text”, dalam: Juhrbuch fûr Religionwissenschaft und der Religionen, Bonn: Freinburg, 1994

Zaid, Nasr Hâmid Abû, Mafhûm an-Nash: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1994

_______, al-Tafkir fi zaman al-Takfir, dhiddu l-jahl wa l-zayf wa l-kharafah, Maktabah Madbuli, Kairo: 2003

_______, al-Khithab wa l-Ta’wil, (al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut: 2000

_______, al-Nashsh wa l-Sulthah wa l-Haqiqah: Iradatu l-Ma‘rifah wa Iradatu l-Haymanah, al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut: 2000

_______, Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-khithab, Sina li l-Nasyr, Kairo: 1992

_______, & Esther R. Nelson, Voice of an Exile Reflections on Islam, Connecticut/London, Praeger: 2004

_______, al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aidiyulujiyyah al-Wasathiyyah, Maktabah Madbuli, Kairo:2003

_______, Al-Imâm as-Syâfi’i wa Ta’sîs al-Aidiûlûjiyyah al-Wasathiyyah, Kairo: Maktabah al-Madbûlî, 1996

_______, Isykaliyât al-Qirâ`ah wa Aliyât at-Ta’wîl, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1992

Zoest, Aart Van, “Interpretasi dan Semiotik”, terj: Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari dari judul asli “Interpretation et Semiotique” dalam A. Vivoldi Verga (ed.) Theorie de la Litêrature, Paris: A. CTJ. Picard, 1981


OUT LINE


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalah
C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
D. Tujuan penelitian
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
F. Metodologi Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II BIOGRAFI DAN KESARJANAAN NASR HAMID ABÛ ZAID
A. Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal
B. Latar Belakang Pendidikan
C. Peranan Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun dalam Kancah Intelektualisme Masyarakat Muslim dan Barat
BAB III METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN KONTEMPORER DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
A. Pengertian Metodologi Tafsir Kontemporer
B. Klasifikasi Metogologi Tafsir
C. Pendekatan Hermeneutika dalam Tafsir
BAB IV METODOLOGI NASR HAMID ABÛ ZAID DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A. Al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abû dan Muhammad Arkoun
B. Latar Belakang dan Rumusan Metode Tafsir Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun
C. Metode Hermeneutika dan Mekanisme Penerapannya
D. Analisis Kritis atas Metode Tafsir Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun
BAB V Kesimpulan
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA