KAJIAN HADIS-HADIS MISOGINIS[1]
Oleh : Hasani Ahmad Syamsuri[2]
Pendahuluan dan Wacana Awal
Akhir-akhir ini kajian keislaman semakin menarik dan banyak bermunculan seiring dengan kehadiran wacana gender dalam studi Islam. Diskursus tersebut merupakan suatu keharusan karena merupakan tuntutan kemanusiaan atas berbagai kebutuhan kehidupan keseharian-nya. Dalam masalah keagamaan hal yang demikian untuk dapat lebih membumikan pesan-pesan yang ada di dalam dasar idealnya (al-Qur’an dan hadis). Perbedaan gender bukan merupakan suatu masalah yang serius manakala tidak menimbulkan berbagai persoalan seperti ke-senjangan keadilan. Namun, pada kenyataannya adanya perbedaan gender acapkali menyebabkan adanya persoalan ketidakadilan baik di pihak laki-laki sendiri dan bahkan juga kebanyakan terjadi terhadap perempuan.
Dalam hal ini, gender merupakan sebuah persoalan sosial budaya yang tentunya tidak semua orang mampu dengan jernih memahami adanya ketidakadilan gender. Persoalan tersebut akan semakin rumit manakala terkait erat dengan doktrin ajaran agama. Untuk memahami sejauh mana ada tidaknya kesenjangan gender, menurut Mansour Fakih paling tidak dapat dilihat dalam bidang: Marginalisasi perempuan, Subordinasi, Streotipe, Kekerasan dan Beban kerja yang berlebihan.
Piranti-piranti dalam melihat adanya ketidakadilan gender di atas dijadikan pedoman dalam menelaah teks-teks ajaran agama. Tujuan tidak lain adalah untuk kemaslahatan umat manusia atau dalam bahasa al-Syatibi adalah li masalih al-ibad fi daraini. yang dapat terwujud manakala dipenuinya kebutuhan daruri manusia yakni menjaga agama, harta, keturunan, jiwa dan akal. Paradigma tersebut saat ini perlu penyempurnaan karena banyak problem kehidupan kemanusiaan yang lebih urgen termasuk adalah ketidakadilan gender. Persamaan (equality), keadilan, HAM dan menjaga lingkungan hidup sekarang ini merupakan suatu yang qat’i yang harus terwujud bagi kemanusiaan. Adapun sarana untuk mencapai hal tersebut dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Dalam berbagai literatur diungkap tentang bagaimana Islam mengentaskan berbagai ketidakadilan terutama jika dikaitkan dengan persoalan kaum perempuan dari penindasan. Adanya pembatasan poligami dan berbagai ajaran Islam lainnya pada masa lalu merupakan suatu hal yang luar biasa dilakukan oleh Islam yang membedakan dengan agama lainnya. Berbagai ajaran tersebut sukses dapat diakses oleh umat Islam berkat adanya penjelasan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dari sini dapat dinyatakan bahwa Rasulullah saw. merupakan mubayyin atas apa yang terdapat dalam al-Qur’an(expounder of the Qur’an).
Kajian masalah hadis mesoginis, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang, yang tak ayal menimbulkan perdebatan.[3]
Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.[4]
Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itupula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil.
Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini.
Sudah menjadi kesepakatan bahwa hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Peranan hadis adalah sangat besar sekali, karena sebagai penjelas atas hal-hal yang terkandung dalam al-Qur’an dan bahkan lebih dari itu dapat menjadi rujukan utama manakala di dalam al-Qur’an tidak ada ketentuannya. Kajian atas hadis Nabi Muhammad saw. dirasa masih ketinggalan dibandingkan dengan kajian dalam al-Qur’an. Padahal, realitas masyarakat Islam telah berubah dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat sehingga memungkinkan adanya pemahaman yang baru dan lebih membumi.
Makalah ini mencoba menganalisa secara objektif beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut. Tulisan ini akan membahas tentang format penelitian hadis-hadis misoginis. Kajian dilakukan sebagaimana penelitian hadis yang ada dengan memberikan nuansa gender maintreaming berikut langkah-langkah yang dilakukan dan contoh-contohnya.
Misoginis, Sebuah Definisi
Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis, liberalis dan lain lain) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”.[5]
Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis di atas.[6] Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan orang yang membenci wanita.[7]
Istilah hadis sebagaimana diketahui adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik ucapan, perbuatan maupun taqrir. Istilah hadis kemudian dikaitkan dengan istilah misoginis.
Istilah “misoginis” yang membenci perempuan masih menimbulkan banyak perdebatan panjang. Fungsi Rasulullah saw. diutus Allah adalah tidak lain mengangkat harkat dan martabat manusia termasuk kaum perempuan. Banyak contoh yang dilakukan Rasulullah saw. dalam konteks semacam hal itu seperti pembatasan perkawinan, perbudakan dan sebagainya. Adanya teks-teks hadis yang “misoginis” merupakan respon atas masyarakat pada saat itu yang berbudaya patriarkhi dan menindas perempuan. Bukankan perempuan pada masa Jahiliyah tidak dihargai sama sekali. Kelahiran anak perempuan merupakan aib dan oleh sebab itu di antara mereka ada yang mengkubur hidup-hidup perempuan dengan harapan tidak menanggung beban malu. Seiring dengan fajar Islam yang ditandai dengan dengan diutusnya Rasulullah saw. secara pelan-pelan bentuk penindasan atas perempuan dihilangkan.
Oleh karena itu, untuk menjembatani adanya yang pro dan kontra maka penulisan istilah misoginis di sini ditulis dalam tanda kutip. Secara luas, kajian atas hadis-hadis “misoginis” perlu dikembangkan untuk memperlihatkan wajah Islam yang sesungguhnya.
Arti Penting Penelitian Hadis
Sejarah panjang penghimpunan (pentadwinan) hadis bukan merupakan suatu pelalaian terhadap hadis. Keberadaan hadis telah didudukkan oleh sahabat dengan baik. Mereka dengan sangat hati-hati dalam mengambilnya dalam menetapkan hujjah. Namun, niat baik tersebut tidaklah disambut baik oleh mereka yang ingin merusak Islam dan mereka yang berusaha menjustifikasi dan melegitimasi pemikirannya. Oleh karena itu, muncullah berbagai upaya pemalsuan hadis dan inkar al-sunnah. Fenomena inkar al-sunnah ada di setiap zamannya dengan bentuk yang berbeda-beda. Mereka ini merasa cukup dengan al-Qur’an saja.
Berbagai penjelasan Rasulullah saw. atas al-Qur’an dan berbagai persoalan kehidupan umat Islam lain yang tidak diakomodir oleh al-Qur’an, maka dimuat dalam hadis dan atau sunnah yang sangat berperan dalam kehidupan umat Islam awal. Pijakan umat pada generasi sesudah Rasulullah saw. adalah terletak pada pengganti Rasulullah saw. Keberadaan hadis terus dijaga oleh sahabat dan generasi sesudahnya.
Seiring dengan luasnya kekuasaan Islam sunnah akhirnya meluas ke berbagai daerah dan disepakati. Oleh karena itu, hadis berkembang luas dan ia ada merupakan suatu fakta yang tidak terelakkan dalam sejarah. Mereka ini sangat hafal terhadap apa yang didengar dan dilihat dari anutan mereka. Melalui fenomena ini Fazlur Rahman menganggap berdosa secara historis. Namun, kontroversi yang muncul adalah kapan hadis dibukukan? Ini merupakan perdebatan yang sengit di kalangan orientalis dan pemikir Islam. Dari sisi kesejarahan inilah memunculan pentingnya penelitian hadis.
Sampai di sini, sunnah sudah menjadi opini publik sampai pada abad ke-2 H. sunnah sudah disepakati oleh kebanyakan ulama dan dipresenstasikan sebagai hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Oleh karena itu, Fazlur Rahman menganggap upaya reduksi sunnah ke hadis ini telah memasung kreativitas sunnah dan menjerat ulama Islam dalam memasang rumusan yang kaku.
Fazlur Rahman lebih jauh mengungkap kekakuan dalam hal ini membuat mereka akan terjerembab pada vonis yang tidak sedap, yaitu inkar al-sunnah. Inilah yang membedakan dengan kajian terhadap al-Qur’an. Penafsiran seseorang terhadap al-Qur’an bagaimanapun keadaannya baik liberal maupun sangat liberal tidaklah dianggap sebagai sebuah penyelewengan sehingga dijuluki sebagai seorang yang ingkar al-Qur’an.
Kaum muslimin sepakat menerima sunnah dan menisbatkannya kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian sunnah tersebut diformulasikan dalam bentuk verbal dan kemudian disebut dengan istilah hadis. Dari sini jelas, bahwa sunnah merupakan proses kreatif yang terjadi terus menerus sedangkan hadis adalah pembakuan secara kaku.
Berbeda dengan pemikiran Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah artikel yang berjudul “Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya?” dimuat dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995) mengemukakan sebaliknya.[8] Ia tidak setuju tentang yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslimin adalah sunnah. Baginya, yang pertama kali adalah hadis. Tesis ini dibuktikan dengan data historis di mana ada sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi Muhammad saw. Dus, sejak awal, hadis memang sudah ada.
Hadis sudah terbukukan dalam berbagai kitab hadis yang jumlahnya banyak dengan ragam metode penulisannya. Dengan berbagai trend besar di dalamnya. Tentu saja, kitab-kitab yang beredar di masyarakat tersebut tidak semuanya bernilai sahih. Masih banyak hadis-hadis yang populer di masyarakat ternyata jika diteliti secara mendalam maka kualitasnya lemah (da’if). Kenyataan tersebut belum menyentuh pada persolan esensial dari sebuah hadis. Karena diskursus penelitian hadis (tahqiq al-hadis) hanya berkutat pada persoalan keabsahan suatu hadis dilihat dari anasirnya. Inilah yang banyak dilakukan ulama terdahulu dan acapkali masih sering dilakukan oleh para pakar sampai saat ini karena tidak samanya paradigma yang digunakan oleh ulama dalam menentukan kualitas hadis.
Menjawab Hadis-Hadis “Misoginis”
Dalam makalah ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks hadis kontroversial sebagai berikut:
1. Hadis tentang wanita diciptakan dari tulang rusuk
حدثنا ابو كريب وموسى بن حزام قالا حدثنا حسين بن علي عن زائدة عن ميسرة الآشجاعي عن أبي حازم عن أبي هريرره رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم استوصوا بالنساء فان المرئة خلقت من ضلع وان اعوج شيءفي الضلع أعلاه فان ذهبت تقيمه كسرته وان تركته لم يزل أعوج فاصتوصوا بالنساء (رواه الشيخان)[9]
Artinya: Abu Kuraib dan Musa bin Hizam menceritakan kepada kami, keduanya berkata: menceritakan kepada kami Husain bin Ali dari Zaid, Maisaroh al-Asyja’I, Abi Hatim dan Abi Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw., bersabda: Berwasiatlah kepada para wanita karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya tulang rusuk itu yang paling bengkok adalah yang paling atas. Bila kamu ingin meluruskannya, maka kamu harus mematahkannya dan bila kamu membiarkannya, maka tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah yang baik kepada wanita. (H.R. Syaikhani[10])
Hadis tersebut di atas tampaknya dipahami oleh para ulama terdahulu secara harfiah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metaforik, bahkan ada yang menolak kesahihan hadis tersebut.
Misalnya Quraish Shihab dalam karyanya Wawasan al-Quran mengatakan, ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan pria. Bila tidak disadari hal ini, akan terjadikan pria bersikap tidak wajar meskipun kaum pria berupaya, mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan wanita, sebagaimana tidak berhasilnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[11]
Dikemukakan pula oleh teolog muslimah Fatima Mernissi dalam Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry keduanya menolak pandangan penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Dengan alasan bahwa, konsep semacam ini dating dari Injil masuk lewat kepustakaan hadis yang penuh kontroversi. Karena itu, keduanya secara tegas menolak otentisitas dan validitas hadis tentang penciptaan ini, meski bersumber dari Sahih Bukhari mapun Sahih Muslim.[12]
Menurut hemat penulis, secara rasional hadis di atas bias didekati dengan dua pendekatan. Pertama, tidak bisa dipahami dengan makna harfiah. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi yang bisa dimengerti secara metaforik berisi peringatan kepada kaum pria agar menghadapi kaum wanita dengan bijaksana, tidak kasar dan tidak keras. Hal ini karena kita meyakini bahwa hadis sahih Bukhari ini sanadnya sahih. Sementara matan hadis Bukhari adalah suatu hadis yang belum tentu qathiy al-wurud dalalahnya, sehingga bias saja hadis ini ditolak.
Kedua, hadis sahihain yang ada di atas, tidak diterjemahkan dengan makna harfiah. Misalnya, Ibnu Hajar dalam syarah Bukhari, menyatakan bahwa sabda rasulullah tersebut, berkaitan dengan wasiat sehingga ia mengulangi kata wasiat ini dalam satu hadis. Ini menunjukkan bahwa makna thalab (huruf “sin”) mempunyai arti cariah wasiat dari dirimu sendiri sehubungan dengan hak-haknya, atau carilah wasiat dari orang lain tentang wanita. Bahkan dapat diartikan “terimalah wasiatku ini tentang wanita dan lakukanlah wasiat ini; sayangilah mereka dan bergaullah dengan mereka dengan sebai-baiknya.[13]
Demikian pula dalam syarah Umdat al-Qari karya al-Aini dikatakan bahwa maksud hadis tersebut adalah “carilah wasiat dari dirimu sendiri tentang hak-hak mereka (kaum wanita) dengan baik”. Ini mengandung makna anjuran untuk berbuat baik kepada kaum wanita.[14]
2. Hadis tentang Kesetaraan Laki-laki dan perempuan Sebagai Hamba
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’I, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad bin Hanbal yang seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dari segi Ibadah. Hadis itu adalah sebagai berikut:
حديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما: عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال يا معشر النساء تصدقن وأكثرن الاستغفار فاني رأيتكن أكثر أهل النار فقالت امرئة منهن جزلة وما لنا يا رسول الله أكثر أهل النار قال تكثرن اللعن وتكفرن العشير وما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذي لب منكن قالت يا رسول الله ومانقصان العقل الدين قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل وتمكث الليالي ما تصلى وتفطر في رمضان فهذا الدين.
Artinya: Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar r.a. katanya: Rasulullah saw. Telah bersabda: Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah saw., bersabda: kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi: wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah saw., bersabda: maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah saw., bersabda: maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga permpuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama.[15]
Kata kekurangan akal dan agama dalam hadis ini tidak berarti perempuan secara potensial tidak mampu menyamai atau melampaui prestasi dan kreatifitas akal dan ibadah laki-laki. Hadis ini menggambarkan keadaan praktis sehari-hari laki-laki dan permpuan di masa Nabi, laki-laki memperoleh otoritas persaksian satu berbanding dua dengan permpuan, karena ketika itu fungsi dan peran public berada di pundak laki-laki. Kekurangan agama terjadi terjadi pada diri perempuan karena memang hanya perempuanlah yang menjalani masa menstruasi. Laki-laki tidak menjalani siklus menstruasi, karena itu ia tidak boleh meninggalkan ibadah-ibadah wajib tanpa alas an lain yang dapat dibenarkan. Peniadaan sejumlah iabadah dalam masa menstruasi, seperti shalat dan puasa, adalah dispensasi khusus bagi perempuan dari Tuhan. Mereka dikenakan akibat apa pun dari Tuhan. Mereka tidak dikenakan akibat apa pun dari Tuhan karena menjalani proses menstruasi.
3. Hadis tentang Perhiasaan adalah Istri yang Shalihah
حدثني محمد بن عبدالله بن نمير الهمداني حدثنا عبدالله بن يزيد حيوة أخبرني شرحبيل بن شريك أنه سمع أبا عبدالرحمن الحبلي يحدث عن عبدالله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرئة الصالحة. (رواه مسلم)[16]
Artinya: Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Numair al-Hamdani menceritakan kepadaku, Abdullah bin Yazid Hiwah menceritakan kepadaku, Syarahbil bin Syarik member kabar kepaku, bahwasannya Aba Abdurrahman Al-Hubli mendengar cerita dari Abdullah bin Amar, bahwasannya Rasulullah Saw., bersabda Dunia adalah perhiasan , dan sebaik-baik perhiasan itu adalah wanita shalihah. (H.R. Muslim).
Sebagai agama dan aliran menganggap wanita sebagai penggoda atau wanita adalah makhluk penghibur baik untuk anak-anak maupun suami atau pihak-pihak lain yang membutuhkan jasa baik mereka. Karena itu, ada sebagian orang yang menganggap bahwa wanita adalah sebagai pemuas nafsu belaka atau sebagai bumbu masak atau pembantu rumah tangga.
Islam telah mengangkat kedudukan seorang wanita sebagai istri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak berkeluarga sebagai jihad. Rasulullah bersabda “Orang mukmin yang sempurna imannya adalah orang orang yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik (dalam bergaul) dengan istrinya.[17] Dan ini merupakan hak pribadi sang istri. Jika disuruh dalam hal-hal yang maksiat, maka tidak perlu didengar dan ditaati. Bahkan, al-Qur’an memberikan penekanan terhadap hak-hak wanita sebagai istri sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-Baqarah 2:228, Dan bagi para wanita (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”. Bahkan di ayat yang lain, suami istri diumpamakan bagaikan pakaian. Surat al-Baqarah 2:187 yang artinya: “mereka itu pakaian kamu, dan kamu pakaian mereka”. Islam menyatakan bahwa pria dan wanita diciptakan untuk satu sama lain, yang satu melindungi yang lain dan saling membutuhkan.
Menurut Hamka, surat al-Baqarah 2:187 ini merupakan kalimat yang sangat halus dan mendidik sopan santun di antara manusia; bila suami istri bersatu, mereka pakai memakai bahkan menjadi satu tubuh (sehingga disebut setubuh dalam bahasa kita).[18]
Islam tidak pernah menghilangkan kepribadian seorang wanita sebagai seorang istri hanya karena telah melangsungkan perkawinan. Islam juga telah meleburnya di dalam kepribadian sang suami meski tidak melepas bebas seperti yang biasa di Barat, yang menjadikan wanita bebas melangkah, Tidak dapat dikenal nasab, gelar keluarga, bahkan tidak dikenal juga bahwa dia istri seorang.[19]
Ajaran islam telah menentukan kepribadian seorang wanita sebagai istri. Kita dap0at mengenal nama istri-istri Rasul dan nama nasab mereka.[20] Namun sebagian masyarakat, keterkurungan atau keterikatan seorang istri dalam keinginan dan kekuasaan sang suami masih terus berjalan sampai sekarang.
4. Hadis tentang Wanita adalah Aurat
حدثنا محمد بن بشر حدثنا عمرو بن عاصم حدثنا همام عن قتادة عن مورق عن أبي الآحوص عن عبدالله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال المرأة عورة فاذا خرجت استشرفها الشيطان قال أبو عيسى هذا حديث غريب[21]
Artinya: Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Umar bin Asim, menceritakan kepada kami, Himam menceritakan kepada kami dari Qatadah, Musa dari Musa, dari Abi al-Ahwas, dari Abdullah dari Nabi Saw., bersabda: Sesungguhnya wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar dari rumahnya maka diincar-incar oleh setan. Menurut Abu Isa Hadis ini termasuk hadis gharib.
Wanita dianggap sebagai sumber fitnah dan birahi para kaum pria, bahkan dianggap fitrah atau sudah menjadi kodratnya. Dikatakan bahwa barang siapa yang menyangkal kebenaran ini, bukan hanya bodoh, akan tetapi adalah hipokrit dan menipu diri sendiri.[22]
Akan juga berimplikasi negative ketika dikatakan bahwa akal wanita tidak seperti akal pria, menjadikan wanita menjadi pasif. Ini berkelanjutan kepada kehidupannya yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk pasif, akan Nampak dalam kehidupan berkeluarga karena kepasifan dari seseorang wanita yang dimiliki, dikuasai. Sekalipun jatuh cinta, misalnya, wanita tidak pernah menhgungkapkan perasaannya. Dia hanya dipacari, kiemudian disunting atau dipinang dan diperistri. Setelah diperistri, secara otomatis dia masuk dalam wilayah kekuasaan suami. Dia tidak lagi disebut si Anu, Sri, Siti, tetapi nyonya si A. setelah bergelar nyonya, dia harus melayani suaminya, mengatur rumah tangga. Bila dia cerai maka disebutlah janda, sedang suami jarang bergelar duda, dan seterusnya.
Perbedaan gender ini, mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype yang dianggap oleh masyarakat sebagai ketentuan kodrati atau ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotype yang dilekatkan pada kaum hawa atau wanita yang sebenarnya hanyalah rekayasa social sebagai teori nature atau biasa di sebut dengan social contruction, akibatnya terkukuhkan menjadi kodrat cultural yang dalam proses berabad-abad telah mengakibatkan terpinggirnya posisi kaum perempuan.
Menurut hemat pemakalah, anjuran membolehkan wanita mempunyai peran ganda yakni sebagai istri dan ibu rumah tangga serta pendidik di luar rumahnya, dengan syarat tetap tidak menggangu peran domestiknya.
5. Hadis tentang Pemimpin Perempuan
Islam tidak menghalngi kaum wanita untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya. Seperti menjadi gutu atau dosen, dokter, pengusaha, menteri, pengusaha, hakim dan lain-lain. Bila dia mampu, boleh menjadi perdana menteri atau presiden, asalkan dalam kepemimpinannya memperhatikan hokum-hukum syariat Islam. Misalnya, tidak terbengkalai urusan-urusan rumahtangganya, harus ada persetujuan dari suami, bila dia bersuami.
Hanya saja dalam hal ini, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hokum hokum tentang boleh tidaknya kaum wanita untuk menjadi hakim dan top leader (perdana menteri atau kepala Negara), karena adanya hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’I, dan Tirmidzi, bahwa Rasulullah Saw., bersabda:
لن يفلح القوم ولو أمرهم امرءة
Artinya: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang wanita”.[23]
Tidak ada perbedaan pendapat pendapat di kalangan ulama bahwa hadis tersebut tidak membolehkan wanita untuk menjadi kepala Negara Islam (khalifah); ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hokum wanita dalam menjadi qadi (hakim). Menurut jumhur ulama tidak boleh, Abu Hanifah membolehkan hakim wanita dalam maswalah perdata dan tidak membolehkan dalam masalah jinayah. Sementara Muhammad Jarir al-Thabari membolehkan hakim wanita secara mutlak. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn al-hazm dari aliran al-Zahiriyyah.[24]
Dr. Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati mengatakan:
Hadis tersebut di atas, melarang wanita sendirian menetukan urusan bangsanya, sesuai dengan asbab al-wurud hadis itu, yaitu telah diangkatnya Bint Kisrah untuk menjadi ratu/pemimpin Persia. Sudah diketahui bahwa sebagian besar raja-raja pada masa itu, kekuasaannya ditangan sendiri, hanya ia sendiri yang mengurusi rakyat dan negerinya, ketetapan tidak boleh digugat.[25]
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa wanita boleh menjadi kepala Negara yang penting adalah bahwa wanita yang diusung menjadi kepala Negara harus memenuhi syarat-syarat yang di sebut di atas. Dalam hal ini tentu saja selama selama masih ada kaum pria yang lebih mampu, maka sebaiknya jabatan itu diserahkan kepada pria. Persoalannya adalah, siapa antara pria dan wanita yang lebih klayak dan pantas untuk menjadi top leader. Wallau a’lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
A. PartantoPius dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola 1994
Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah, Shahih al-Bukhari, Kairo: al-Sya’b, t.t.
Al-Aini, Umdat alQari, Kairo: al-bab al-Halabi, t.t.
Al-Nasa’I, Abu Abdurrahkam bin Syuaib, Sunan al-nasai, Mesir: Musthafa al-bab al-halabi, 1964
Abu Dawud, al-Sijastani Sulaiman bin al-Asy’at Abu, Sunan Abu Dawud, Mesir: Musthafa al-bab al-Halabi, 1952
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, cet. kedelapan, h. 660
Mernissi, Fatimma, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, USA: Oxford, 1991
Hamka, Tafsir al-Azahar, Jakarta: Pustaka, 1988
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kairo: al-Bab al-halabi, t.t.
al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kairo: Isa al-bab al-halabi, 1467.
Echols, Jhon, dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia1986
Rakhmat, Jalaluddin, Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya? dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
al-Mu’ati, Kamal Jaudah Abu, Wadifah al-mar’ah fi Nazar al-Islam, kairo: Dar al-Hadi, 1980
al-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Musthafa al-bab al-Halaby, 1975
al-Qardhawi, Yusuf, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, Kairo: Wahbah, 1996
M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, Surabaya: Al-IHlash, 1987
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 2001
Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 1999
[1] Makalah ini disajikan pada mata kuliah Diskursus Hadis-Hadis Kontemporer Senin, 30 Maret 2009, yang diasuh oleh DR. H. Syahabuddin, M.A.
[2] Pemakalah adalah Mahasiswa S3 UIN Jakarta, konsentrasi Tafsir Hadis, TA 2008
[3] Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedeaan jenis kelamin inilah yang disebut dengan jender. lihat lebih lanjut, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2001), cet. 2, h. 1.
[4] Sejak lima belas abad yang lampau, islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan kelamin. Dalam sejarah, Islam lahir ditengah masyarakat jahiliyyah, suatu masa ketika seorang ibu melahirkan bayi wanita maka dikuburkan dalam keadaan hidup-hidup atau jika dibiarkan hidup, ia akan menaggung cercaan, dan hidup dalam keadaan hina. Dan perlakuan ini dikecam keras oleh Islam. Firman Allah: Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (Q.S. al-Nahl/16: 58-59). Lihat, Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. 1, h. 1
[5] Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta, Gramedia1986), h. 382.
[6] A. PartantoPius dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola 1994), h. 473.
[7] Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, cet. kedelapan, h. 660
[8] Jalaluddin Rakhmat, Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya? dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
[9] Lihat, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Sya’b, t.t.), jilid 3, juz 7, h. 34, lihat pula, Imam Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: al-Bab al-halabi, t.t.), h. 625.
[10] Syaikhani / Bukahri Muslim adalah matan Bukhari dan Muslim sama sedang sanadnya ada yang berbeda. Sedang Muttafaq alaih, adalah sanadnya berbeda antara Bukahri dan Muslim sedang matannya sama. Dr. Syahabuddin, M.A., Hasil Penelitian Pribadi, disampaikan dalam kuliah Diskursus Hadis-Hadis Kontemporer.
[11] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 300
[12] Fatimma Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, (USA: Oxford, 1991), h. 44
[13] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid VII, h. 177
[14] Al-Aini, Umdat alQari, (Kairo: al-bab al-Halabi, t.t.), jilid XVI, h. 364
[15] Bukhari dalam kitab al-haidh, hadis no. 293 dan kitab al-zakah, hadis no 1369. Muslim dalam kitab al-iman, hadis no 114. Al-Nasa’I, bab shalat al-‘Idain, hadis no. 1558 dan 1561. Abu Dawud, hadis no. 4059. Ibn Majah, hadis no. 1278 dan 3993. Ahmad bin Hanbal, jilid II, h. 66 dan jilid III, h. 36, 46, dan 54.
[16] Imam Muslim, Shahih Muslim, op.cit., jilid 2, h. 1467.
[17] Muhammad Isa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Musthafa al-bab al-Halaby, 1975), jilid 2, h. 457.
[18] Hamka, Tafsir al-Azahar, (Jakarta: Pustaka, 1988), jilid 2, h. 106.
[19] Yusuf al-Qardhawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, (Kairo: Wahbah, 1996), h. 154.
[20] Misalnya, Khadijah binti Khuwailid, Maimunah binti Haris, Aisyah binti Abu Bakar, Shafiyah binti Huyay (Yahudi yang pernah memerangi Nabi), Nafsah binti Umar.
[21] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, op. cit. , jili 2, h. 259.
[22] M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-IHlash, 1987), h. 34-49.
[23] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), jilid 1, cet. Ke-4, h. 102.
[24] Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati, Wadifah al-mar’ah fi Nazar al-Islam, (kairo: Dar al-Hadi, 1980), h. 137
[25] Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati, Wadifah.. h. 137