Sportivitas Politik: Berlaga di Kancah Pilkada
Dimuat di rubrik, Opini Radar Lampung
Rabu, 30 Juni 2010 | 05:47 WIB
Oleh: Hasani Ahmad Said | Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen IAIN Raden Intan Lampung
DEMAM piala dunia telah banyak menyisahkan karakter terhadap seseorang maupun kelompok. Sekian hari, sekian banyak pula peserta bertumbangan. Dari tim laga Asia, sampai mancanegara. Menarik untuk dicermati dari sekian banyak peserta yang berguguran adalah mereka semua menjunjung tinggi nilai sportivitas.
Kajian ini menarik untuk dikupas sekaligus dijadikan bahan analisa dalam laga politik kita yang kian hari kian menunjukkan keberingasannya. Terlebih, maraknya, pilkada di beberapa daerah yang menyisahkan banyak persoalan dan persengketaan yang belum terselesaikan. Sehingga, beritanya terus seru dan sayang untuk dilewatkan.
Kerusuhan yang berbuntut saling menyerang yang dikabarkan terjadi akibat kurang puasnya dengan layanan publik dan tatanan yang berlaku. Belum lagi politik uang (money politic) yang mewabah dan menggejala, yang mengakibatkan mati surinya demokrasi, seolah-olah suara hanya milik orang yang ber-uang.
Dengan meletakkan sportivitas, maka daya tarik dan pikat kepada pemilihnya mestinya akan mencuat. Sekarang bukan zaman lagi dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan.
Lebih memikat lagi, daya tawar masyarakat mestinya sudah mengacu kepada kekuatan program-program apa yang ditawarkan. Tentunya program sesuai dengan pro-rakyat dan lebih mengedepankan pencerdasan masyarakat dibanding program yang hanya membikin ’’bodoh” publik.
Analisis ini bisa saja dituangkan oleh para kandidat yang akan berlaga di ranah politik praktis menuju kursi kepemimpinan. Kalau sudah demikian paradigm dan pola pikirnya, harapan mencipyakan pemeritah yang baik (good governance) agar segera terlaksana. Dimulai dari perekrutan sampai kemudian terpilih dengan nilai kualifikasi yang baik dan membanggakan di mata masyarakat. Bukan hanya kebahagiaan ’’sesaat” yang dirasahan masyarakat.
Di sinilah peran panwas, KPU, sampai di tingkat KPPS mempunyai iktikad baik dalam menegakkan dan menciptakan pemeritah yang baik. Dalam mewujudkan ini semua memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi paling tidak adanya keinginan yang kuat dari masing-masing pemilih akan menegaakkan cita-cita mulia itu. Tidak jarang tujuan pragmatis dari oknum yang tidak bertanggung jawab bisa menjungkirbalikkan fakta di masyarakat. Kalupun demikian, dibutuhkan kesadaran yang tinggi untuk menjunjung tinggi nilai demokratisasi, bukan malah memangkas demokrasi demi kepentingan pribadi dan golaongan. Maka semboyan jujur dan adil dalam setiap pemilu senantiasa didengung-dengungkan. Reformasi yang telah selama ini diperjuangkan menuntut adanya keterbukaan dalam lini apa pun. Keterbukaan mengeluarkan pendapat, keterbukaan informasi yang pada akhirnya melerai persengketaan menuju kesepahaman.
Harus diakui keragaman suku, bangsa dan agama di Indonesia, terkadang memicu dan memacu perselisihan dan gesekan antar sesama. Namun para pejuang setengah abad yang lalu telah merumuskan bahwa keragaman tapi satu jua (Bhineka Tunggal Ika). Kita harus akui pula, bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang untuk memilih dan dipilih. Tetapi bukan berarti memilih yang asal-asalan. Memilih juga harus mempunyai seni, dilihat dari kemampuan dan keikhlasan yang dipilih. Begitupun sebaliknya bukan berarti semuanya boleh maju tanpa memiliki kapabilitas dibidangnya, akan tetapi yang berhak dipilih adalah orang-orang pilihan yang memiliki kredibilitas dan skill yang cukup. Maka, dari pemahaman itu, terlahir jiwa-jiwa yang handal, bukan jiwa yang kerdil.
Setelah memenuhi persyaratan di atas, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah sportivitas . Hal ini penting, ternyata jiwa ksatria dalam berlaga di kancah politik adalah siap kalah dan siap menang. Kalau belum siap kalau, maka tidak usah mencalonkankan diri. Sikap inilah yang bisa jadi selama ini menimbulkan pengakhiran yang tidak baik. Sehingga, rusuh dimana-mana, pembakaran karena calonnya tidak masuk verifikasi calon, dan bermacam-macam alasannya, selain karena boleh cerdasnya masyarakat dalam berpolitik. Buktinya mudah tersulut dengan emosi. Yang dikedepankan adalah otot, bukan otak. Demikianlah halnya pendewasaan pola pikir.
Tujuan akhir dari sebuah perlagaan adalah di awali dengan yang baik, peng-akhirannyapun baik pula. Demikian tata karma dalam berbangsa dan bernegara. Pendek kata, sportivitas ini diperlukan dalam hal papun. Dalam berpolitik, dalam berkarir, berkarya, dan lain-lain. Tanpa sportivitas, maka akan terjadi sikut-sikutan. Karena sudah tidak ada teposaliro. Pemimpin ke epan butuh pemimpin yang menjunjung tinggi sportivitas, salah dibilang salah, benar dibilang benar, kalah menjunjung tinggi yang menang, kalau yang menang merangkul yang kalah. (*)