Senin, 05 Maret 2012

AL-QURAN dan WAHYU

AL-QURAN dan WAHYU A. Pengertian Al-quran Menurut sebagian ahli, diantaranya al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M) al-Farra’ (w.207 H/823 M) dan al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M), kata Qur’an ditulis tanpa hamzah, al-Quran (القران ). Sedangkan menurut sebagian yang lain, seperti al-Lihyani (w.215 H/831 M) dan al-Zajjaj (w. 311 H/928 M), bahwa kata qur’an ditulis dan dibaca dengan hamzah, yakni al-Qur’an (القرأن). Yang disebut kedua, yakni al-Zajjaj, menyatakan bahwa kata qur’an sewazan (sepadan) fu’lan (فعلان ), dan karenanya harus dibaca dan ditulis berhamzah. Ada yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah isim ‘alam (kata nama) yang tidak diambil dari kata apapun. Menurut al-Syafi’i, kata Qur’an yang kemudian dima’rifatkan dengan alif lam (al), tidak diambil dari kata apapun, mengingat ia adalah nama khusus yang diberikan Allah swt. Untuk nama kitab-Nya yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw semisal Zabur, Taurat dan Injil yang masing-masing diturunkan kepada Nabi Dawud, Musa dan Isa as. Adapun menurut pendapat kedua, kata Qur’an yang kemudian dimakrifatkan kepada alif lam (al) itu adalah isim Musytaq (kata jadian) yang diambil dari kata lain. Ada yang mengatakan asal kata al-Qur’an itu diambil dari kata Qara’in (قرائن ) jamak dari kata Qarinah (قرينة ) yang berarti indikator, dan ada pula yang menduga berasal dari kata Qarana (قرن) dan al-Qar’u/al-Qaryu (القري\القرء) yang masing-masing berarti menggabungkan dan kumpulan / himpunan, disamping juga berarti kampung (kumpulan rumah-rumah. Para ahli ilmu al-Qur’an pada umumnya berasumsi bahwa kata Qur’an terambil dari kata Qara’a-Yaqra’u-Qira’atan-wa- Qur’anan (قرأ-يقرأ-قراءة-وقرآنا) yang secara harfiah berarti bacaan. Dalam al-Qur’an sendiri memang terdapat beberapa kata Qur’an yang digunakan untuk pengertian bacaan, diantaranya: إنّه لقرآن كريم Sebagian ulama menegaskan bahwa kata Qur’an itu adalah Mashdar (kata kerja yang dibendakan) yang diartikan dengan isim maf’ul, yakni maqru’, artinya sesuatu yang dibaca. Maksudnya, al-Qur’an itu bacaan yang dibaca. Sebagian ulama dan Ahli Usul mendefinisikan al-Quran sebagai kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., penutup para nabi dan rasul cengan perantaraan malaikat Jibril alaihis salam, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nash dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak) serta membaca dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah. B. Nama-nama Al-quran Al-Qur’an mempunyai banyak nama dan julukan, ini menunjukkan kemuliaan al-Qur’an. Sebab, seperti yang dinyatakan al-Sayuthi, Fa’inna katsrat al-asma’ tadullu ‘ala syarafi al-musamma. Maksudnya, sesungguhnya banyak nama itu mengisyaratkan kemuliaan sesuatu yang diberi nama. Menurut ‘Uzayzi Ibn ‘Abd al-Mulk, yang lebih populer dengan sebutan Abu al-Ma’ali Syaydzalah (w. 495 H/997 M), al-Qur’an memiliki 55 macam nama, sedangkan menurut Abu al-Hasan al-Harali (w.647 H/1249 M) malah lebih dari 90 macam nama/julukan al-Qur’an. Dalam pada itu, Ibn Jazzi al-Kilabi (741-792 H) menegaskan bahwa yang tepat, al-Qur’an hanya memiliki empat macam nama. Yakni, al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqon dan al-Dzikr. Sebagai ilustrasi, kitab Allah ini dinamakan al-Qur’an yang berarti bacaan yang dibaca, ialah mengingat memang al-Qur’an selalu dibaca banyak orang demikian pula halnya dengan nama al-Kitab yang berarti tulisan. Penulisan ayat-ayat al-Qur’an tidak semata-mata memelihara otentisitas al-Qur’an itu sendiri, akan tetapi memiliki nilai sejarah dan keindahan seni lukis yang benar-benar menakjubkan. Kitab ini dinakan juga al-Furqon yang secara harfiah berarti pembeda. Al-Qur’an melalui ayat-ayatnya memang sarat dengan kaidah-kaidah atau norma-norma dasar yang membedakan antara halal dan yang haram, antara yang hak dan yang bathil, antara yang suci dan yang kotor, antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara perintah dan larangan, antara yang manfaat dan yang mafsadat dan sebagainya. Juga sangat tepat penamaan wahyu Allah ini dengan al-Dzikr, yang berarti mengingat-ingat atau menyebut-nyebut Asma Allah Swt.,, disamping juga peringatan dan atau pelajaran. Sebab dengan membaca al-Qur’an kita akan sering menyebut Asma Allah dan sekaligus mengingat-Nya. Dari sekian banyak nama dan julukan terhadap al-Qur’an, kata al-Qur’anlah yang paling banyak disebutkan dalam ayat-ayatnya (disebutkan sebanyak 70 kali dalam 70 ayat dan 38 surat). Baru kemudian diikuti dengan al-Kitab sebanyak 53 kali dalam 53 ayat dan 32 surat, al-Dzikr sebanyak 9 kali dalam 8 ayat dan 7 surat, dan al-Furqon sebanyak 2 kali dalam 2 surat dan 2 ayat. C. Proses Penurunan Al-quran Permulaan turunnya al-Qur’anul karim adalah tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 kelahiran Nabi SAW., ketika beliau sedang bertahannus (beribadah) di Gua Hira. Pada saat itu turunlah wahyu dengan perantaraan Jibril al-Amin dengan membawa beberapa ayat al-Qur’an. Jibril mendekap nabi ke dadanya lalu melepaskannya (dan melakukan itu sampai 3 kali), sambil mengatakan “Iqra’(bacalah)” pada setiap kalinya, dan Rasul SAW, menjawabnya “ma ana bi bi qa ri (saya tidak bisa membaca)” Pada dekapan ketiga Jibril membacakan : إقرأ باسم ربّك الّذي خلق. خلق الانسان من علق. اقرأ وربّك الاكرم. الّذي علّم بالقلم. علّم الانسان مالم يعلم Artinya : “Bacalah ! dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! Dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al-‘Alaq : 1-5). Itulah permulaan wahyu dan diturunkannya Al-Qur’an. Namun sebelumnya telah turun sebagian irhas (tanda dan dalil) yang menunjukkan akan datangnya wahyu dan bukti nubuwwah bagi Rasul SAW., yang mulia. Diantara tanda-tanda tersebut adalah mimpi yang benar dikala beliau tidur dan kecintaan beliau untuk menyendiri dan berkhalwat di Gua Hira untuk beribadah kepada Tuhannya. Ada beberapa pendapat mengenai proses penurunan al-Qur’an dari Allah sampai kepada Nabi Muhammad Saw., perbedaan pendapat itu pada dasarnya dapat dibedakan kedalam tiga kelompok besar, yaitu : Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan sekaligus (dari awal sampai akhir) ke langit dunia pada malam al-Qadar. Kemudian setelah itu diturunkan secara berangsur-angsur dalam tempo 20, 23, atau 25 tahun sesuai perbedaan pendapat diantara mereka. Kedua, golongan yang berpendirian bahwa al-Qur’an diturunkan ke langit dunia bagian demi bagian (tidak sekaligus) pada setiap malam al-Qadar karena tidak ada kesepakatan diantara kelompok ini. Jadi, menurut mereka, setiap datang malam al-Qadar setiap Ramadhan, bagian tertentu dari al-Qur’an diturunkan ke langit dunia sekadar kebutuhan untuk selama satu tahun, sampai ketemu malam al-Qadar tahun berikutnya. Ketiga, aliran yang menyimpulkan bahwa al-Quran itu untuk pertama kalinya diturunkan pada malam al-Qadar sekalligus, dari Lauh Mahfudz ke bait al-Izzah dan kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit dalam berbagai kesempatan sepanjang masa-masa kenabian/ kerasulan Muhammad Saw. Berkenaan dengan proses penurunan al-Qur’an, al-Zarqani menyebutkan tiga macam tahapan : 1. Al-Qur’an diturunkan Allah ke Lauh al-Mahfudz, sesuai dengan ayat : بل هو قرآن مجيد. في لوح محفوظ Artinya: Bahkan yang didustakan mereka itu adalah al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) di Lauh Mahfudz (al-Buruj/85: 21-22) 2. Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfudz ke Bait al-Izzah di langit dunia, sesuai dengan ayat : إنّا أنزلنا ه في ليلة القدر. Artinya: Sesungguhnya kami menurunkan al-Qur’an di malam al-Qadar (al-Qadar/97:1) 3. Al-Qur’an diturunkan dari Bait al-Izzah kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan Malaikat Jibril AS., seperti tertera dalam ayat : نزل به الرّوح الأمين. علي قلبكم لتكون من المنذرين Artinya: Dia (al-Qur’an) dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan. (al-Syu’ara’/26: 193-194) Menurut sebagian ahli sejarah, diantarannya Abu Ishaq, al-Qur’an diturunkan pada malam ke-17 dari bulan Ramadhan. Penetapan tanggal 17 Ramadhan sebagai malam Nuzul al-Qur’an ini didasarkan pada berbagai isyarat yang dilansir al-Qur’an yang menggambarkan bahwa hari turun al-Qur’an itu sama dengan peristiwa peperangan Badar yang diabadikan al-Qur’an dengan julukan yaum al-Furqan (hari yang membedakan Islam dan kafir) dan Yaum al-Taqa al-Jam’an (hari bertemu dua pasukan muslim dan kafir) dalam ayat : وما أصابكم يوم التقي الجمعان فبإذن الله وليعلم المؤمنين. Artinya: Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan maka (kekalahan) itu adalah degan izin (takdir) Allah, dan supaya Allah mengetahui siapa (sebenarnya) orang-orang yang beriman (Alli ‘Imran/3: 166) Para mufassir mengartikan kata Yaum al-Furqan dengan peperangan Badar, yakni peperangan yang paling bersejarah dalam Islam yaitu peperangan antara pasukan Islam disatu pihak dan pasukan kafir dipihak lain, yang oleh al-Quran disebut dengan istilah yaum al-taqa al-jam’an. Menurut catatan sejarah, perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan, tepatnya hari jum’at tanggal 17. Kesepakatan lain ialah bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit atau munajjam menurut istilah Ulum al-Qur’an. Allah Swt berfirman : وقرآنا فرقناه لتقرأه علي النّاس علي مكث ونزلناه تنزيلا Artinya: Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami (juga) menurunkannya bagian demi bagian. (Al-Isra’/17:106) Sejarah memang membuktikan bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, satu-dua atau beberapa ayat, antara lima sampai sepuluh ayat dan bahkan pernah terjadi satu ayat al-Qur’an diturunkan beberapa kali. Ada juga surat-surat al-Qur’an yang diturunkan sekaligus, diantar contohnya ialah surat al-Fatihah dan surat al-Insan (al-Dahr). Surat al-Fatihah bahkan merupakan surat pertama al-Qur’an yang diturunkan sekaligus. Hanya saja, surat-surat al-Qur’an yang diturunkan sekaligus jumlahnya teramat sedikit, karena kebanyakan al-Qur’an diturunkan secara Munajjam (berangsur-angsur). Mengingat al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit, maka mudah dimengerti jika masa penurunan al-Qur’an berjalan cukup lama, yakni sekitar 20-23 tahun, atau tepatnya memakan waktu 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari menurut perkiraan al-Khudhary Bek. Menurutnya, al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran Nabi Muhammad Saw (6 Agustus 610 M), dan berakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijrah (Maret 632 M). Lebih jauh al-Khudhary mengatakan masa-masa al-Qur’an dibedakan kedalam dua periode yakni : Periode Makkah yang memakan waktu 12 tahun 5 bulan 13 hari (17 Ramadhan tahun 41 sampai awal Rabi’al-Awwal tahun 54 dari kelahiran Nabi); dan periode Madinah yang menghabiskan waktu 9 tahun, 9 bulan dan 9 hari (awal Rabi’al-Awwal tahun 54 sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari kelahirannya). Hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur : 1) Guna mempermudah penghafalan al-Qur’an terutama dimasa-masa awal Islam yang belum mengenal pembukuan 2) Dalam rangka meneguhkan/memperkokoh keyakinan hati Nabi Muhammad Saw dalam melaksanakan tugas berat dan menghadapi berbagai macam tantangan 3) Supaya ajaran-ajaran al-Qur’an lebih mudah dipahami dan mudah diamalkan 4) Agar Nabi tidak merasa berat dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya 5) Penurunan al-Qur’an yang disesuaikan dengan permasalahan yang timbul dan kasusu yang dihadapi, tentu akan lebih membekas daripada penurunan yang tidak disesuaikan dengan peristiwa atau pertanyaan yang ada 6) Penurunan al-Qur’an yang berangsur-angsur ternyata juga memberikan ilham yang sangat besar untuk membaca, memahami, dan mempelajari al-Qur’an dengan sistem Tadrij (berangsur-angsur). Bukan saja dimasa-masa lampau tepatnya disaat al-Qur’an itu diturunkan tetapi juga dimasa sekarang yang masih tetap berlangsung. D. Sejarah Pemeliharaan Al-quran Sejarah pemeliharaan al-Qur’an secara global dan umum pada dasarnya dapat ditelusuri dari empat tahapan besar, yaitu: 1. Tahap pencatatan di zaman Nabi Muhammad SAW Sejarah telah mencatat bahwa pada masa awal kehadiran agama Islam, bangsa Arab tergolong kedalam bangsa yang buta aksara, tidak pandi membaca dan menulis. Kalaupun ada, hanya beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan beberapa jari tangan. Bahkan, Nabi sendiri dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak pandai membaca dan menulis. Kendatipun demikian, bangsa Arab pada masa itu terkenal dengan memiliki daya ingat (hafal) yang sangat kuat. Mereka terbiasa menghafal sya’ir Arab dalam jumlah yang tidak sedikit atau bahkan sangat banyak. Dan untuk ukuran waktu itu, keunggulan seseorang justru terletak pada mereka yang kuat hafalannya bukan yang pandai baca-tulis. Kekuatan daya hafal bangsa Arab (dalam hal ini para sahabat) benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh Nabi dengan memerintahkan mereka supaya menghafalsetiap kali ayat al-Qur’an diturunkan. Sementara yang pandai menulis, yang dari waktu ke waktu jumlahnya semakin banyak, oleh Nabi diperintahkan untuk mencatat al-Qur’an setiap kali beliau menerima ayat-ayat al-Qur’an. Sehubungan dengan itu, maka tercatatlah para hafidz dan hafidzah (pria dan wanita penghafal al-Qur’an) disamping para katib (pencatat/penulis) al-Qur’an yang sangat handal. Mereka diantaranya: Abu Bakar al-Shiddiq (w. 12 H/634 M), Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 59 H/680 H), Yazid bin Abi Sufyan (w. 19H/640 M), Ubay bin Ka’ab, al Mughirah bin Syu’bah (w. 50 H/670 M), Zubair bin al-Awwam (w.34 H/656 M), Khalid bin Walid (w.21 H/ 642 M), Amr bin ‘Ash (w.43 H/664 M) dan Zaid bin Tsabit (w. 45 H/ 666 M). Zaid bin Tsabit adalah orang yang paling banyak terlibat dengan penulisan, penghimpunan dan penggandaan al-Qur’an masing-masing di zaman Nabi, zaman Abu Bakar dan zaman Utsman bin Affan. Mengingat pada zaman itu belum dikenal zaman pembukuan, maka tidaklah heran jika pencatatan al-Qur’an bukan dilakukan di kertas-kertas seperti sekarang, melainkan dicatat pada benda-benda yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis menulis terutama pelepah kurma, kulit hewan, tulang, batu dan sebagainya. Dan tersebar luas dikalangan para sahabat. Sehingga pada zaman Nabi berbagai tukisan al-Qur’an berserakan belum/tidak terkumpul disatu tempat. 2. Tahap penghimpunan di zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Penghimpunan al-Qur’an kedalam satu Mushaf, baru dilakukan pada zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq (11-13 H/ 632-634 M), tepatnya setelah terjadi perang Yamamah (12 H/ 633 M). Dalam perang ini, konon telah terbunuh sekitar 70 orang syuhada penghafal al-Qur’an dengan amat baiknya. Padahal, sebelum peristiwa itu terjadi, telah meninggal pula 70 qurra’ lainnya pada peperangan disekitar Sumur Ma’unah, yang terletak didekat kota Madinah. Menyaksikan dua peristiwa tragis yang merenggut banyak korban dari kalangan hafidz dan qari tersebut, Umar bin Khaththab segera mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar untuk menghimpun al-Qur’an. Awalnya usulan Umar ini ditolak dengan alasan Nabi tidak pernah melakukan hal yang sama dan tidak juga memerintahkan untuk menghimpunnya. Akan tetapi atas desakan Umar dengan alasan demi kemaslahatan umat dan pelestarian al-Qur’an, akhirnya Abu Bakarpun menerima saran Umar tersebut. Abu Bakar kemudian mengangkat panitia penghimpun al-Qur’an yang terdiri atas empat orang dengan komposisi kepanitiaan sebagai berikut : Zaid bin Tsabit sebagi ketua, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab sebagai anggota. Panitia penghimpun tersebut dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun yakni setelah perang Yamamah (12 H/633 M) dan sebelum wafat Abu Bakar (13 H/634 M) tanpa mengalami hambatan yang berarti. Himpunan tersebut kemudian dipegang Khalifah Abu Bakar hingga akhir hayatnya. Dan ketika kekhalifahan dipegang Umar bin Khaththab, himpunan al-Qur’an pun beralih ketangannya. Ketika Umar meninggal, dan kekhalifahan dijabat oleh Utsman bin Affan, untuk sementara waktu himpunan al-Qur’an dipegang dan dirawat oleh Hafsah binti Umar karena dua alasan: pertama, Hafsah seorang hafidzah; dan kedua, dia juga salah seorang istri Nabi disamping sebagai anak seorang khalifah. 3. Tahap penggandaan di zaman Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Ketika jabatan Khalifah dipegang oleh Utsman bin Affan dan islam tersiar secara luas hingga ke Syam (Siria), Irak dan lain-lain, ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak diinginkan kaum muslimin. Singkatnya, ketika Utsman mengerahkan bala tentara islam ke wilayah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia dan Azarbaijan, tiba-tiba Hudzaifah bin al-Yaman menghadap khalifah Utsman dengan maksud memberi tahu Khalifah bahwa di kalangan kaum muslimin di beberapa daerah terdapat perselisihan pendapat mengenai tilawah (bacaan) al-Qur’an. Hudzaifah mengusulkan kepada Utsman supaya perselisihan itu segera dipadamkan dengan cara menyalin dan memperbanyak al-Qur’an yang telah dihimpun dimasa Abu Bakar untuk kemudian dikirimkan ke beberapa daerah kekuasaan kaum muslimin. Dengan demikian diharapkan agar perselisihan dalam soal tilawah al-Qur’an ini tidak berlarut-larut seperti yang dialami orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam mempersengketakan kitab sucinya masing-masing. Setelah mengecek kebenaran berita yang disampaikan Hudzaifah, Utsman pun meminta shuhuf yang ada ditangan Hafsah untuk disalin dan diperbanyak. Untuk kepentingan itu Utsman membentuk panitia penyalin mushaf al-Qur’an yang diketuai Zaid bin Tsabit dengan tiga orang anggotanya masing-masing Abdullah bin Zuber, Sa’id bin al-Ash dan Abd al-Rahman bin al-Harits bin Hisyam. Perbedaan yang pokok antara pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an di zaman Abu Bakar dan penyalinan/pembukuan al-Qur’an di zaman Utsman bin Affan ialah terletak pada motivasi yang melatarbelakangi masing-masing kegiatan itu. Faktor yang mendorong pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar ialah karena takut segian ayat-ayat al-Qur’an akan hilang kalau tidak dihimpun dalam satu mushaf; sedangkan faktor yang memacu Utsman untuk menyalin dan memperbanyak al-Qur’an ialah disebabkan banyak perselisihan pendapat dikalangan umat islam mengenai qira’at (bacaan) al-Qur’an. Selain itu, pada masa Abu Bakar, al-Qur’an dihimpun tanpa memperhatikan tertib urutan ayat dan surat, sedang pada masa Utsman hal itu mulai dilakukan. 4. Tahap pencetakan Al-Qur’an Pemeliharaan al-Qur’an terus dilakukan dari waktu ke waktu, termasuk ketika dunia tulis menulis mengalami kemajuan dalam hal percetakan. Akan halnya buku-buku dan media cetak lainnya, al-Qur’an pun untuk pertama kali dicetak dikota Hanburg, Jerman pada abad ke 17 M. Lebih dari itu, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, lebih-lebih negara yang menyatakan dirinya sebagai negara Islam, telah memiliki panitia khusus yang bertugas mentashhih setiap pencetakan al-Qur’an. Untuk menjaga kemurnian al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia ataupun yang didatangkan dari luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Agama telah membentuk suatu panitia yang bertugas untuk memeriksa dan metashhih al-Qur’an yang akan dicetak dan yang akan diedarkan, yang dinamai “Lajnah Pentashhih Mushhaf al-Qur’an” yang ditetapkan dengan penetapan Menteri Agama No. 37 Tahun 1957, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1980. E. Pengertian Wahyu Nabi Muhammad SAW bukanlah seorang rasul yang berbeda dari para nabi dan rasul sebelumnya. Beliau pun bukanlah nabi pertama yang berbicara dengan manusia atas nama wahyu, Kalam Ilahi. Sejak Nabi Nuh As.muncul berturut-turut pribadi-pribadi suci pilihan Allah, yang semuanya berbicara atas nama Allah dan semua ucapannya bukanlah keluar dari hawa nafsu. Wahyu Ilahi yang mendukung dan memperteguh kenabian mereka, suatu keadaan yang tidak berbeda dengan kenabian Muhammad SAW yang serupa. Bersumber dan tujuan satu yang sama. Dalam firman Allah SWT: Q.S. An-Nisa: 163-164        •                                     Al-quran secara cermat menamakan apa yang diturunkan Allah ke dalam hati Nabi Muhammad sebagai wahyu, yaitu suatu lafadz yang mendukung keseragaman makna wahyu yang di turunkan kepada semua nabi dan rasul. Makna Wahyu Kata wahyu merupakan bentuk masdar dari waha, yahi, wahyan. Secara Etimologis, wahyu mempunyai arti yang beragam antara lain: isyarat, ilham, bisikan, perintah, instink. Penggunaan kata wahyu di dalam Al-Quran yang kebanyakan menggunakan fi’il madli ditemukan dalam beberapa ayat Al-Quran seperti: 1. Kata wahyu dengan maksud isyarat yang cepat dan rahasia dalam bentuk lambang dan petunjuk, tertuju kepada nabi/ rasul Allah saja, seperti dalam firman Allah SWT: (Q.S. An-Nisa: 163)         •                      “Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud.” (Q.S. Maryam: 11)             “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” 2. Kata wahyu dengan maksud ilham, ilham fitriah (naluriah) atau firasat yang hanya ada pada manusia dan tidak pada binatang, seperti kata wahyu dalam firman Allah SWT: (Q.S. Al-Qashash: 7)                          “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” 3. Kata wahyu dengan maksud bisikan setan, tipu daya dan rayuan yang mengajak manusia berbuat kejahatan, seperti arti kata wahyu dalam firman Allah SWT: (Q.S. Al-An’am: 121)            •            “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik yaitu dengan menyebut nama selain Allah.” 4. Kata wahyu dengan maksud perintah, digunakan untuk menyebut firman Allah yang berupa perintah kepada para malaikat, rasul dan hamba-Nya, seperti kata wahyu yang terdapat dalam firman Allah SWT: (Q.S. Al-Maaidah: 111)          •     “Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: "Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". mereka menjawab: kami Telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)". (Q.S. Al-Anfal: 12)                       •   (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. Maksudnya: ujung jari disini ialah anggota tangan dan kaki.” 5. Kata wahyu dengan maksud instink, yang berarti ilham gharizi yang terdapat pada manusia atau pada binatang , seperti kata wahyu yang terdapat dalam firman Allah SWT: (Q.S. An-Nahl: 68)               “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia." Di dalam penggunaan sehari-hari, kata wahyu lebih sempit maknanya yakni wahyu dipahami sebagai ajaran Allah yang disampaikan kepada para nabi dan rasul-Nya secara tersembunyi dan cepat. Secara Terminologis, ada beberapa definisi wahyu dari para ulama, antara lain sebagai berikut: a) Sebagian ulama mendefinisikan: الْوَحْيُ كَلاَمُ اللهِ تَعَالىَ الْمُنَزَّلُ عَلىَ نَبِيِّ مِنْ أَنْبِيَائِهِ “Wahyu adalah firman Allah SWT yang disampaikan kepada salah seorang dari Nabi-nabi-Nya.” b) Syekh Muhammad Abduh memberikan definisi, sebagai berikut: اَلْوَحْيُ عِرْفَانُ يَجِدُهُ الشَّخْصُ مِنْ نَفْسِهِ مَعَ الْيَقِيْنِ بِإِذْنِهِ مِنْ قِبَلِ اللهِ بِوَاسِطَةٍ اَوْ بِغَيْرِ وَايِطَةٍ “Wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dari dalam dirinya sendiri disertai dengan keyakinan, bahwa hal itu dari sisi Allah, baik dengan perantara atau tidak dengan perantara.” c) Dr. Abdullah Syahhatan dalam kitab ‘Ulumul Qur’an Wat Tafsir, mendefinisikan: وَالْوَحْيُ شَرْعًا: إِعْلاَمُ اللهُ تَعَالىَ مَنْ اصْطَفَاهُ مِنْ عِبَادِهِ مَا اَرَادَ اِعْلاَمَهُ عَلَيْهِ فىِ اَلْوَانِ الْهِدَايَةِ وَالْعِلْمُ وَلَكِنْ بِطَرِيْقَةِ غَيْرِ مُعْتَادَةٍ لِلْبَشَرِ “Wahyu menurut syarak ialah pemberitahuan Allah SWT kepada orang yang dipilih dari beberapa hamba-Nya mengenai berbagai petunjuk dan ilmu pengetahuan yang hendak diberitahukannya tetapi dengan cara yang tidak biasa bagi manusia.” d) Menurut Az-Zarqani, wahyu adalah Allah SWT mengajarkan kepada hamba-Nya yang terpilih segala macam hidayah dan ilmu yang Dia (Allah) kehendaki untuk memperlihatkan kepada hamba-Nya, akan tetapi dengan jalan rahasia dan samar. Dari pengertian di atas dapat ditarik beberapa poin terkait dengan wahyu, yakni: a. Proses komunikasi yang berlangsung secara cepat dan rahasia. b. Informasi yang diyakini bersumber dari Allah SWT. c. Diterima oleh seorang hamba yang terpilih. d. Materinya adalah ilmu dan hidayah yang dikehendaki oleh Allah. e. Disampaikan dengan atau tanpa perantara Proses Penerimaan Wahyu: 1. Melalui komunikasi dengan Allah Sebagai contoh cara turunnya kitab taurat, yang cara turunnya secara dialog langsung antara nabi Musa a.s. dengan Allah karena itu beliau mendapat gelar Kalimullah, dalam Al-Quran: ( Q.S. An-Nisaa: 164)                 "Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung." 2. Melalui gemerincing lonceng Seperti diisyaratkan dalam hadis Al-Bukhari: إِذَا قَضَى اللهُ ِلأَمْرٍ فىِ السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلآئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَالسَّلْسِلَةِ عَلىَ صَفْوَانٍ "Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemercingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin." 3. Malaikat menyerupai makhluk (laki-laki) Cara ini lebih ringan daripada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar, seperti seorang manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri. 4. Di balik mimpi/ tabir Seperti mimpi Nabi Ibrahim a.s. ketika menerima wahyu yang memerintahkan supaya menyembelih putranya, Ismail. (Q.S. Ash-Shaaffat: 102)                              Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". 5. Malaikat menampakkan aslinya Cara ini terasa berat bagi nabi, karena harus penuh konsentrasi dalam menghadapi malaikat dalam alam rohani. Dalam firman Allah: (Q.S. Al-Muzzammil: 5)       " Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat." Skema Penyampaian dan Penurunan Wahyu Al-Quran Perbedaan Al-Quran dan Wahyu: Wahyu merupakan ucapan/lafaz Allah (Kalamullah). Komunikasi Allah dengan Malaikat/ Rasul. Al-Quran merupakan konteks wahyu dalam bentuk teks, tertulis. Agar pesan/ komunikasi Allah dapat sampai kepada umat manusia. (Q.S. Asy-Syura: 51-52)         • •             "Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana." "Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada nabi Musa a.s." Kesimpulan Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw, yang antara lain sebagai sarana penghambaan dengan membacanya. Al-Quran mempunyai banyak nama antara lain: al-kitab, al-furqan, at-tanzil, az-zikr, an-nur, dll. Al-Quran merupakan wahyu yang diterima oleh Muhammad saw. dari Allah swt melalui perantara Malaikat Jibril as. ataupun tanpa perantara. Wahyu yang diterimanya dalam bentuk gemerincing lonceng, komunikasi dengan Allah, melalui mimpi/tabir, malaikat menampakkan aslinya atau menyerupai makhluk laki-laki. DAFTAR PUSTAKA Abu Zaid, Nasr Hamid. 2002. Tekstualitas Al-Quran Kritik Terhadap Ulumul Quran (Edisi Revisi). Yogyakarta: LKiS. Al-Damiri, Abd Allah Ibn Al-Rahman. Sunan al-Damiri juz 2. Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr. Al-Khudhari Bek, Muhammad. 1387 H/1967 M. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Mishr: al Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra. Al-Shalih, Shubhi. 1988. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Dar al-‘Ilm li al- Malayin: Beirut-Lubnan. ________________. 2004. Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus Al-Suyuthi, al-din Jalal. al-Itqan fi ‘Ulumul Qur’an. Dar al Fikr: Beirut-Lubnan. Al- Qaththan, Manna Khalil. 1393 H/1973 M. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits. ________________________. 2006. Studi-studi Ilmu Quran. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. Al-Zarkasyi, Muhammad Badr al-Din. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid 1. Beirut-Lubnan: ‘Isa al-Babi al-Halabi. Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,jilid 1. ‘Isa al-Babi al-Halabi. Al-Zuhayli, Wahbah. 1411 H/1991 M. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-manhaj, jilid 1-2. Beirut-Lubnan: Dar al- Fikr. Ash-Shabuni, M. ‘Ali. 1991. At-Tibyan fii ‘Ulumil Qur’an. Damaskus: Maktabah al- Ghazali. __________________. 1999. Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan Drs. H. Aminuddin. Jakarta: Pustaka Setia. Djalal H.A, Prof. Dr. H. Abdul. 2000. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu. Hakim, M. Baqir. 2006. ‘Ulumul Qur’an. Jakarta: Al Huda. Haikal, Muhammad Husayn. 1984. Sejarah Hidup Muhammad (terjemahan Ali Audah). Jakarta: Tintamas. Ibn ‘Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, Jar Allah Mahmud. al-Kasysyaf ‘an Haqa’id al-Tanzil wa-‘Uyun al-Aqawil fi Wjuh al-Ta’wil, jilid 4. Beirut-Lubnan: Dar al Fikr. Ibn Jazzi al-Kilabi, Muhammad Ibn Ahmad. kitab al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil, jilid 1, Beirut-Lubnan: Dar al- Fikr. Mesra, Alimin, dkk. 2005. Ulumul Quran. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta. Suma, HM. Amin. 2000. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus. Zuhdi, Masyfuk. 1982. Pengantar ‘Ulumul Qur’an. Surabaya: Bina Ilmu.

ULUMUL QUR'AN DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

ULUMUL QUR'AN DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA A. PengertianUlumul Qur’an Dan Obyek Pembahasannya. Ulumul qur’an terdiri atas dua kata: ulum dan al-qur’an. Ulum (علوم) adalah jamakm dari kata tunggal ilm (علم), yang secara harfiah berarti ilmu. Sedangkan al-Qur’an adalah nama bagi kitab Allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, maka secara harfiah kata ‘ulumul qur’an’ dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu al-Qur’an. Adapun yang dimaksud dengan ‘ulumul Qur’an’ dalam terminology para ahli-ahli ilmu-ilmu al-Qur’an seperti di formulasikan Muhammad ‘Ali al-Shabuni adalah sebagai berikut: يقصد بعلوم القرآن الأبحاث التى تتعلق بهذا الكتاب المجيد الخالد من حيث الترول، والجمع، والترتيب والتدوين ومعرفة اسباب الترول والمكي منه والمدنى ومعرفة الناسخ والمنسوخ والمحكم والمتشابه وغير ذلك من الأبحاث الكثيرة اتى تتعلق بالقرآن العظيم او لها صلة به. Artinya: Yang dimaksud dengan ‘ulumul Qur’an’ ialah rangkaian pembahasan yang berhubungan dengan al-qur’an yang agung lagi kekal, baik dari segi(proses) penurunan dan pengumpulan serta tertib urutan-urutan dan pembukuannya, dari sisi pengetahuan tentang asbabun nuzul, makiyyah-madaniyyah, nasikh-mansukhnya, muhkam mutasyabihnya, dan berbagai pembahasan lain yang berkenaan dengan al-Qur’an. Dari definisi ‘ulumul Qur’an di atas , dapat di pahami bahwa yang menjadi objek utama dari kajian ‘ulumul Qur’an adalah al-Qur’an itu sendiri. Hanya saja, satu hal penting yang layak dicatat seperti diingatkan al-Zarqani, bahwa al-Qur’an al-karim adalah kitab hidayah dan mukjizat. Tujuan utama dan pertama dari penurunan al-Qur’an memeng sebagai kitab hidayah (buku petunjuk hidup) bagi umat manusia umumnya dan orang-orang mukmin khususnya. Selain definisi diatas, masih kita dapati pula definisi yang lain seperti: As-Syuyuti dalam kitab Itmamu Al-Dirayah memberikan definisi Ulumul Qur’an, ialah: عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ اَحْوَالِ الْكِتَابِ الْعَزِيْزِ مِنْ جِهَةِ نُزُوْلِهِ وَسَنَدِهِ وَآدِبِهِ وَالْفَاظِهِ وَمَعَانِيْهِ الْمُتَعَلِّقَةِ بَاْلاَحَكَامِ وَغَيْرِ ذلِكَ Artinya: “ Ulumul Qur’an ialah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunnya, swanadnya, adabnya, makna-maknanya, baik yang berhubungan dengan lafal-lafalnya maupun yang berhubungan dengan hokum-hukumnya dan sebagainya”. Al-Zarqani dalam kitab manahilul irfan fi ulumil Qur’an merumuskan definisi Qur’an, ialah: عُلُوْمُ الْقُرْآنِ هُوَ مَبَاحِثُ تَتَعلَّقَ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مِنْ نَاحِيَةِ نُزُوْلِهِ وَتَرْتِيْبِهِ وَجَمْعِهِ وَكَتَابَتِهِ وَقِرَاءَتِهِ وَتَفْسِيْرِهِ وَاِعْجَازِهِ وَنَاسِخِهِ وَمَنْسُوْخِهِ وَدَفْعِ الشُّبَهِ عَنْهُ وَنَحْوِ ذلِكَ Artinya: “Ulumul Qur’an ialah pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an, dari segi urutannya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukjizatnya,nasikh-mansukhnya, dan penolakan/bantahan terhadap hal-hal yang bias menimbulkan confused (keraguan) terhadap Al-Qur’an (yang sering dilancarkan oleh orientalis dan atheis dengan maksud untuk menodai kesucian Al-Qur’an) dan sebagainya.” Dari definisi-definisi Ulumul Qur’an tersebut diatas, kita dapat megambil kesimpulan bahwa Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencakup semua ilmu yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, maupun berupa ilmu-ilmu bahasa Arab seperti ilmu I’rabil Qur’an. Ulum Qur’an adalh berbeda dengan suatu ilmu yang merupakan cabang dari Ulumul Qur’an. Misalnya ilmu tafsir yang menitik beratkan pembahasannya pada penafsiran ayat-ayat- Al-Qur’an. Ilmu Qiraat menitik beratkan pembahasannya pada cara membaca lafal-lafal Al-Qur’an. Sedangkan Ulumul Qur’an membahas Al-Qur’an dari segala segi yang ada relevansinya dengan Al-Qur’an. Karena itu, ilmu itu diberi nama Ulumul Qur’andengan bentuk jamak, bukan ulumul Qur’an dengan bentuk mufrad. Setiap kata dalam Al-Qur’an mengandung makna zahir,batin,terbatas, dan tak terbatas.Ash-Shiddiequ memandang segala macam pembahasan Ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokokpersoalan saja.diantaranya sebagai berikut: - Persoalan nuzul. - Persoalan sanad. - Persoalan Ada’ Al-Qiraah. - Pembahasan yang menyangkut lafal Al-Qur’an. - Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hokum. - Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafal. - Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an memberikan pengertian bahwa ilmu ni merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang erhubungan dengan Al-Qur’an, baik segi eksistensinya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung didalamnya. Kata ulum sendiri menunjujjan makna banyak sehingga ilmu tafsir, ilmu Qiraah,ilmu Rasm Al-Qur’an, ilmu Ijaz Al-Qur’an,ilmu asbab al-nuzul dan ilmu-ilmu lain yang ada hubungannya dengan al-Qur’an menjadi bagian dari Ulum AlQur’an. Dalam hal ini al-Zarqaniy merumuskan Ulumul quran sebagai berikut: مَبَاحِثُ تَتَعَلَّقُ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مِنْ نَاحِيَةِ نُزُوْلِهِ وَتَرْتِيْبِهِ وَجَمْعِهِ وَكَتَابَتِهِ وَقِرَاءَتِهِ وَتَفْسِيْرِهِ وَاِعْجَازِهِ وَنَاسِخِهِ وَمَنْسُوْخِهِ وَرَفِعِ الشُّبْهِ عَنْهُ وَنَحْوِ ذلِكَ. “ ( yaitu) pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari segi turun(nuzul)nya,urutan (tartibnya),pengumpulan (jam)nya,penulisannya (kitabah)nya, bacaan(qiraahnya),penafsirannya,kemukjizatannya(ijaz)nya,(nasikh dan mansukhnya), menghilangkan keragu-raguan terhadapnya dan lain-lain. B. Tujuan Dan Manfaat Mempelajari Ulumul Qur’an. Setiap mempelajari ilmu, apapun jenis ilmunya, akan di peroleh manfaat darinya. Demikian halnya dengan orang islam yang sangat concern dalam menggeluti uUlum Al-Qur’an. Ia akan memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang Al-Qur’an mulai dari nuzul wahyu pertama kepada nabi Muhammad SAW sampai masa di bukukannya. Tujuan mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an, pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam dua macam: yakni tujuan internal dan eksternal. Tujuan internal, seperti dikemukakan Muhammad Ali As-Shabuni ialah untuk memahami kalam Allah azza wa zalla (Al-Qur’an), menurut tuntunan yang dipetik dari Rasulullah SAW berupa keterangan dan penjelasan, serta hal-hal yang di nukilkan dari para sahabat dan tabiin sekitar penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, mengenali cara-cara mufassirin berikut kepiawaian mereka dalam bidang tafsir serta persyaratan-persyaratan mufassir dan lain-lain yang berkaitan dengan ilmu-ilmu ini. Adapun tujuan yang bersifat eksternal ialah untuk membentengi kaum muslimin dari kemungkinan usaha-usaha pengaburan Al-Qur’an yang di lakukan oleh orang-orang yang tidak mengimani atau bahkan memusuhi Al-Qur’an.5 Dengan Ulumul Qur’an, kaum muslimin bisa memahami kitab sucinya; dan dengan Ulumul Qur’an pula mereka mampu mempertahankan keaslian dan keabadian kitab sucinya. C.Metode Ulum Al-Qur’an Ulum Al-Qur’an tersebut menggunakan metode deskriptif (al-thariqah al-washfiyyah). Metode ini di gunakan dalam Ulum Al-Qur’an dengan cara memberikan penjelasan yang mendalam mengenai bagian-bagian Al-Qur’an yang mengandung aspek-aspek Ulum Al-Qur’an. Misalnya orang yang membahas perumpamaan-perumpamaan (amtsal) dalam Al-Qur’an. Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya ilmu-ilmu Al-Qur’an yang lainnya, maka muncul juga metode lain, yakni metode deduksi (al-thariqah al-istiqraiyyah), khususnya setelah Ulum Al-Qur’an terintegrasi dan menjadi ilmu yang sistematis. Dengan semaki pesatnya perkembangan ilmu-ilmu tersebut, maka muncul lagi metode lainnya bagi Ulum Al-Qur’an, yaitu metode komperasi, perbandingan (al –thariqah al-taqabuliyyah), yakni mengkomparasikan satu aspek dengan aspek lain, riwayat satu dengan riwayat lain dan pendapat ulama lainnya. D. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ulum Al-Qur’an Pada umumnya para sahabat mempunyai kemampuan memahami Al-Qur’an dengan baik. Jika mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakannya langsung kepada nabi. Misalnya ketika mereka menanyakan firman Allah dalam Qs. Al-An’am ayat 82 tentang pengertian zhulm. Nabi menjawabnya dengan berdasarkan surat Luqman ayat 13 bahwa zhulm itu adalah syirk. Dengan demikian, sangat wajar jika ilmu-ilmu al-Qur’an pada masa nabi Muhammad belum di bikukan mengingat kondisinya belum membutuhkan disebabkan kemampuan para sahabat yang cukup mapan dalam menghapal memahami al-Qur’an. Di masa pemerintahan Utsman bin Affan, ketika bangsa arab mulai mengadakan kontak dengan bangsa-bangsa lain, mulai terlihat ada perselisihan dikalangan umat islam,khususnya dalam hal bacaan Al-Qur’an. Keadaan demikian membuat kekhawatiran Utsman terpecahnya umat islam hanya karena perbedaan bacaan. Maka ia berinisiatif untuk melakukan penyeragaman tulisan Al-Qur’an dengan menyalin sebuah Mushaf Al-Imam (induk) yang disalin dari nashkah-naskah aslinya. Keberhasilan Utsman dalam menyalin Mushaf Al-Imam ini berarti ia telah menjadi peletak pertama bagi tumbuh dan berkembangnya Ulum Al-Qur’an yang kemudian popular dengan Ilmu Rasym Al- Qur’an atau Ilmu Rasym Ustmani. Al-Qur’an ketika itu belum diberi harkat maupun tanda baca lainnya untuk memudahkan membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu Ali memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Dualy (w.691.H.) untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa arab dalam upaya memelihara bahasa Al-Qur’an. Tindakan Ali ini kemudian dianggap sebagai perintis lahirnya Ilm al-Nahw dan Ilm I’rab Al-Qur’an. Setelah berakhirnya masa pemerintahan Khulafa Rasyidin, pemerintahan islam dilanjutkan oleh penguasa Bani Umayyah. Upaya pengembangan dan pemeliharaan Ulum Al-Qur’an dikalangan sahabat dan tabi’in semakin marak, kjususnya melalui periwayatan sebagai awal dari usaha pengkodifikasian. 1. Keadaan Ilmu-ilmu Al-Qur’an pada abad I dan II H. Pada abad I dan II H selain Usman dan Ali, masih terdapat banyak Ulama yang diakui sebagai perintis bagi lahirnya ilmu yang kemudian dinamai Ilmu Tafsir,Ilmu –Asbabun Nuzul,Ilmu Makki wal Madani, Ilmu Nasikh wal Mansukh dan Ilmu Garibul Qur’an. Adapun tokoh-tokoh yang meletakkan batu pertama untuk lahirnya Ilmu-ilmu Al-Qur’an tersebut diatas ialah : 1) Dari kalangan Sahabat : Khalifah empat, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari, Ibnu Al-Zubair. 2) Dari kalangan Tabi’in : Mujahid, Atha’ bin yasar, ‘Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan Al-Basri, Said bin Jubair, Zaid BIN Aslam. 3) Dari kalangan Tabi’ut Tabi’in : Malik bin Annas. Merekalah tokoh-tokoh yang meletakkan batu pertama bagi ilmu-ilmu yang kita namakan Ilmu Tafsir, Asbabun Nuzul, Ilmu Makky wal Madany, Ilmu Nasikh wal Mansukh dan Ummul Ulumil Qur’aniyah. 2. Keadaan Ilmu-ilmu Al-Qur’an pada abad III H dan Abad IV H. Pada Abad III H selain Tafsir dan Ilmu Tafsir, para ulama mulai menyusun pula beberapa Ilmu Al-Qur’an, ialah : 1) Ali bin Al-Madini ( wafat tahun 243 H ) menyusun Ilmu Asbabun Nuzul. 2) Abu Ubaid Al-Qasim bin Salman 224 H) menyusun Ilmu Nasikh wal Mansukh dan Ilmu Qiraat. 3) Muhammad bin Ayyub Al-Dhirris ( wafat tahun 294 H ) menyusun Ilmu Makki wal Madani. 4) Muhammad bin Khalaf Al-Marzubzn ( wafat tahun 309 H ) menyusun kitab Al-Hawi fi Ulumil Qur’an ( 27 juz ). Pada abad IV H mulai disusun Ilmu Garibul Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Qur’an dengan memakai istilah. Diantara Ulama yang menyusun Ilmu Garibul Qur’an dan kitab-kitab Ulumul Qur’an pada abad IV ini ialah : 1) Abu Bakar Al-Sijistani (wafat tahun 330 H ) menyusun Ilmu Garibul Qur’an. 2) Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari (wafat tahun 328 H) menyusun kitab Ajiabul Ulumil Qur’an. Didalam kitab ini, ia menjelaskan atas tujuh huruf, tentang penulisan Mushaf, jumlah bilangan surat-surat, ayat-ayat dan kata-kata dalam Al-Qur’an. 3) Abul Hasan Al-Asy’ari (wafat tahun 324 H) menyusun kitab Al-Mukhtazan fi Ulumil Qur’an. 4) Abu Muhammad Al-Qassab Muhammad bin Ali Al-Karakhi ( wafat tahun 360 H ) menyusun kitab : 5) Muhammad bin Ali Al-Adwafi ( wafat tahun 338 H ) menyusun kitab Al-Istigna’ fi Ulumil Qur’an ( 20 jilid ). 3. Keadaan Ilmu-ilmu Al-Qur’an pada abad V dan VI H. Pada abad V H mulai disusun Ilmu I’rabil Qur’an dalam satu kitab. Disamping itu, penulisan kitab-kitab dalam Ulumul Qur’an masih terus di lakaukan oleh Ulama pada masa ini. Adapun Ulama yang berjasa dalam pengembangan Ulumul Qur’an pada abad V ini, antara lain ialah : 1. Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-Khufi ( wafat pada tahun 430 H) Selain mempelopori penyusunan Ilmu I’rabil Qur’an, ia juga menyusun kitab Al-Burhani Fi Ulumil Qur’an. Kitab ini selain menafsirkan Al-Qur’an seluruhnya, juga menerangkan Ilmu-ilmu Al-Qur’an yang ada hubungannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang di Tafsirkan. Karena itu, Ilmu-ilmu Al-Qur’an tidak tersusun secara sistematis dalam kitab ini. Sebab Ilmu-ilmu Al-Qur’an diuraikan secara terpencal-pencal, tidak terkumpul dalam bab-bab menurut judulnya. Namun demikian, kitab ini merupakan Karya Ilmiah yang besar dari seorang Ulama yang telah merintis penulisan kitab tentang Ulumul Qur’an yang agak lengkap. 2. Abu 'Amr Al-Dani ( wafat tahun 444 H ) menyusun kitab Al-Tafsir Fil Qiroatis Sab dan kitab Al-Muhkam Fi al-Nuqoti. Pada abad VI H, di samping terdapat Ulama yang menerusakan pengembangan Ulumul Qur'an, juga terdapat Ulama yang mulai menyusun Ilmu Mubhamatil Qur'an. Mereka itu antara lain, ialah : 1. Abul Qasim bin Abdurrahman Al-Suhaili (wafat tahun 581 H) menyusun kitab tentang Mubhamatul Qur'an, menjelaskan maksud kata-kata dalam Al-Qur'an yang tidak jelas apa atau siapa yang dimaksudkan. Misalnya kata rajulun (seorang lelaki) atau malikun (seorang raja). 2. Ibnul Jauzi ( wafat tahun 597 H ) Kitab Fununul Afnan Fi Ajaibil Qur'an dan kitab Al-Mujtaba Fi Ulumin Tata'allaqu Bil Qur'an. 4. Keadaan Ilmu-ilmu Al-Qur'an pada Abad VII dan VIII H Pada abad VII H, Ilmu-ilmu Al-Qur'an terus berkembang dengan mulai tersusunnya Ilmu Majazul Qur'an dan tersusun pula Ilmu Qiraat. Diantara Ulama Abad VII yang besar perhatiannya terdapat Ilmu Al-Qur'an, ialah : 1. Ibnu Abdis Salam yang terkenal dengan nama Al-Izz ( wafat tahun 660 H) adalah pelopor penulisan Ilmu Majazul Qur'an dalam satu kitab. 2. Alamudin Al-Sakhawi ( wafat tahun 643 H ) menyusun Ilmu Qiraat dalam kitabnya Jamalul Qurra' Wa Kamalul Iqra'. 3. Abu Syamah ( wafat tahun 655 H ) menyusun kitab Al-Mur-Syidul Wajiz Fi Ma Yata' allaqu bil Qur'an. Pada Abad VII H, muncullah beberapa Ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Al-Qur'an masih tetap berjalan terus. Diantara mereka ialah : 1) Ibnu Abil Isba' menyusun Ilmu Badai'ul Qur'an, suatu ilmu yang membahas macam-macam badi' ( keindahan bahasa dan kandungan Al-Qur'an ) dalam Al-Qur'an. 2) Ibnu Qayyim ( wafat tahun 752 H ) menyusun Ilmu Aqsamil Qur'an, suatu ilmu yang membahas tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Qur'an. 3) Najmudin Al-Thufi ( 716 H ) menyusun Ilmu Hujajil Qur'an atau Ilmu Jadalil Qur'an, suatu Ilmu yang membahas tentang bukti-bukti/ dalil-dalil ( argumentasi-argumentasi ) yang dipakai oleh Al-Qur'an untuk menetapkan sesuatu. 4) Abul Hasan Al-Mawardi menyusun Ilmu Amtasil Qur'an, suatu Ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalam al-Qur'an. 5) Badruddin Al-Zarkasyi ( wafat tahun 794 H ) menyusun kitab Al-Burhani Fi Ulumil Qur'an. Kitab ini telah diterbitkan oleh Muhammad Abdul Fadl Ibarahim ( 4 juz ). 5. Keadaan Ilmu-ilmu Al-Qur'an pada abad IX dan X H Pada abad IX dan permulaan abad X H, makin banyak karangan-karangan yang ditulisoleh Ulama tentang Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan pada masa ini perkembangan Ulumul Qur'an mencapai kesempurnaannya. Diantara ulama yang menyusun Ulumul Qur'an pada masa ini ialah : 1. Jalaludin Al-Bulqini ( wafat tahun 824 H ) menyusun kitab Mawaqi'ul Ulum Mim Mawaqi'in nujum. Al-Bulqini ini dipandang oleh As-Suyuti sebagai ulama yamg mempelopori penyusunan kitab Ulumul Qur'an yang lengkap, sebab di dalamnya telah disusun sejumlah 50 macam Ilmu Al-Qur'an. 2. Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiyaji ( wafat tahun 879 H ) menyusun kitab Al-Taisir Fi Qawaidit Tafsir. 3. As-Suyuti ( wafat pada tahun 911 H ) menyusun kitab Al-Tahbir Fi Ulumit Tafsir. Penyusunan kitab ini selesai pada tahun 872 H dan merupakan kitab tentang Ulunul Qur'an yang paling lengkapkarena memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur'an. Namun Imam As-Suyuti masih belim puas atas karya ilmiahnya yang hebat itu. Kemudian ia menyusun kitab Al-Itqan Fi Ulumil Qur'an ( 2 juz ) yang membahas sejumlah 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur'an secara sistematis dan padat isinya. Kitab Al-Itqan ini belum ada yang menandingi mutunya dan kitab ini diakuoi sebagai kitab standar dalam mata pelajaran Ulumul Qur'an. Setelah As-Suyuti wafat pada tahun 911 H. perkembangan Ilmu-ilmu Al-Qur'an seolah-olah telah mencapai puncaknya dan berhenti dengan berhentinya kegiatan Ulama dalam mengembangkan Ilmu-ilmu Al-Qur'an, dan keadaan semacam itu berjalan sejak wafatnya Iman As-Suyuti ( 911 H ) sampai akhir abad XIII H. Keadaan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an pada abad XIV H ini, maka bangkit kembali perhatian ulama menyusun kitab-kitab yang membahas Al-Qur'an dari berbagai segi dan macam Ilmu Al-Qur'an. Diantaranya mereka adalah: 1. Thahir Al-Jazairi menyusun kitab Al-Tibyan Fi Ulumil Qur'an yang selesai pada tahun 1335 H. 2. Jamaludin Al-Qaim ( wafat tahun 1332 H ) mengarag kitab Mahasinut Takwil. 3. Muhammad Abduh Adzim Al-Zarqani menyusun kitab Mnahilul Irfan Fi Ulumil Qur'an ( 2 jilid ). 4. Muhammad Ali Salamah mengarang kitab Manhajul Furqan Fi Ulumil Qur'an. 5. Thanthawi Juahari mengarang kitab Al-Jawhir Fi Tafsir Al-Qur'an dan kitab Al-Qur'an wal Ulumul Ashriyah. 6. Muhammad Shadiq Al-Rafi'i menyusun kitab I'jazul Qur'an. 7. Musthafa Al-Maraghi menyusun risalah tentang “Boleh menerjemahkan Al-Qur'an, dan risalah ini mendapat tanggapan dari para Ulama yang pada umumnya menyetujui pendapat Musthafa Al-Maragi, tetapi ada juga yang menolaknya, seperti Musthafa Shabri seorang Ulama besar dari Turki yang mengarang kitab dengan judul “Risalah Tarjamatil Qur'an”. 8. Sayyid Qutub mengarang kitab Al-Tashwirul Fanni Fil Qur'an dan kitab Fi Dzilalil Qur'an. 9. Sayyid Muhammad Rasyd Ridha mengarang kitab Tafsir Quranul Hakim. Kitab ini selain mentafsirkan Al-Qur'an secara ilmiah, juga membahas Ulumul Qur'an. 10. Dr.Muhammad Abdullah Darraz, seorang Guru Besar Al-AzharUniversity yang diperbantukan di perancis, mengarang kitab Al-Naba' Al-Adzim, nadzaratun Jadidah Fil Qur'an. 11. Malik bin Nabiy mengarang kitab Al-DZahiratul Qur'aniyah. Kitab ini membicarakan masalah wahyu dengan pembahasan yang sangat berharga. 12. Dr.Shubi Al-Salih,Guru Besar Islamic Studies dan Fiqhul Lughah pada fakultas adab Universitas Libanon, mengarang kitab Mabahits Fi Ulumil Qur'an. Kitab ini selain membahas Ulumul Qur'an, juga menanggapi / membantah secara ilmiah pendapat-pendapat orientalis yang dipandang salah mengenai berbagai masalah yang berhubungan dengan Al-Qur'an. 13. Muhammad Al-Mubarak, Dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syria, mengarang kitab Al-Manhalul Khalid.7 Lahirnya Istilah Al-Qur'an yang Mudawwan 1. Dr.Shubhi Ash-Shalih dalam bukunya Mabahits Fi Ulumil Qur'an mengatakan, istilah Ulumul Qur'an sudah ada mulai dari abad ke-III H. sebab, paling lambat pada akhir abad ke-III itu sudah ada kitab yang berjudul Al-Hawi Fi Ulumil Qur'an yang ditulis Imam Ibnu Marzuban ( wafat 309 H ). yang jelas, dalam buku itusudah menggunakan istilah Ulumul Qur'an, dan Imam Ibnu Marzuban meninggal tahun 309 H. 2. Syekh AbduL'Adhim Az-Zarqani dalam kitabnya Manaahilul 'Irfan mengatakan,bahwa istilah Ulumul Qur'an itu sudah ada sejak abad ke-V itu sudah ada kitab yang berjudul Al-Burhan Fi Ulumil Qur'an yang terdiri dari 30 Juz. Karena itu, sejak abad ke-V H itu banyak orang yang mendengar istilah Ulumul Qur'an. 3. Jumhur Ulama dan para ahli sejarah Ulumul Qur'an berpendirian, istilah Ulumul Qur'an yang Mudawwan itu ada pada abad ke-VII H. sebab,baru pada akhir abad ke-VII mulai ada kitab yang memakai istilah Ulumul Qur'an, yaitu kitab Fununul Afnan Fi 'Ulumil Qur'an” dan kitab Al-Mujtaba Fi Ulumin Tata 'allaqu Bil Qur'an yang ditulis oleh Abdul Faraj Ibnul Jauzi ( wafat 597 H ). 4. Prof.Dr.T.M.Hasbi Ash-Shidiqi dalam bukunya Syarah dan pengantar Ilmu Tafsir, menerangkan bahwa menurut hasil penelitian sejarah, ternyata Imam Al-Kafiji ( wafat 879 H ) adalah orang yang pertama kali membukukan Ulumul Qur'an. Karena itu istilah Ulumul Qur'an itu baru ada sejak abad ke-VII H.sebab, pada abad itulah baru ada buku Ulumul Qur'an itu. Lahirnya istilah Ulumul Qur'an dapat dijelaskan bahwa istilah Ulumul Qur'an itu sudah ada sejak abad ke III H, dengan adanya kitab Al-Hawi fi'Ulumil Qur'an karya Imam Ibnu Marzuban (309 H ), yang diteruskan pada abad ke-V H dengan adanya kitab Al-Burhan Fi Ulumil Qur'an karya Ali Al-KHUFI ( 430 H ).kemudian dikembangkan pada abad ke-VII H dengan adanya kitab Fununul Afnan Fi Ulumil Qur'an tulisan Ibnu Jauzi (597 H) dan dilengkapi pada abad ke-VIII H oleh Syekh Badruddin Az-Zarkasih(794 H) Dengan karyanya Al-Burhan Fi Ulumil Qur'an. Selanjutnya, Ulumul Qur'an itu di sempurnakan Imam As-Suyuti (911 ) dalam kitabnya Al-Itqan Fi Ulumil Qur'an pada akhir abad ke-IX dan awal abad ke-X H. Lahirnya istilah Ulumul Qur'an yang Mudawwan, Maksudnya ialah Ulumul Qur'an yang sudah sistematis, ilmiah, dan integratif, maka hal itu sebetulnya baru ada pada abad ke-VII H sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama, sebagaimana penjelasan seperti yang diatas. E. Ta'rief' Ulumul Qur'an Dalam kita menghadapi makna “ulumul Qur'an “, maka kita harus memperkatakan makna idlafy-nya dan makna ishtilahy-nya. Ulumul Qur'an, apabila kita lihat dari segi idlafatnya kalimat “ulum”kepada kalimat “al-Qur'an”, maka dapatlah kita mengatakan bahwa segala pengetahuan atau ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur'an, dapat dinamakan “Ulumul Qur'an “. dengan demikian, ilmu Tafsir, Ilmu Qiraat,Ilmu Rasmi Usmany, Ilmu I'jazil Qur'an,Ilmu Asbabin Nuzul, Ilmu Nasikh wal Mansukh, Ilmu i'rabil Qur'an, Ilmu Gharibil Qur'an, Ulumuddin,Ilmu Lughah dan lain-lain, dicakup oleh perkataan “Ulumul Qur'an”. Berdasarkan kepada makna inilah Abu Bakar Ibnul Araby berkata :” Ilmu-ilmu al-Qur'an, adalah sebanyak 77450 ilmu.apabila kita hitung menurut bilangan kalimat-kalimat Al-Qur'an yang dikalikan empat, karena tiap-tiap kalimat mempunyai dhahir, bathin, haq dan mathla'. Menurut pen thaqiqan sebahagian ahli ilmu, yang dapat kita katakan ulumul Qur'an adalah : Ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan Al-Qur'an dari segi Quraniyyahannya atau ada hubungannya dengan Al-Qur'an dari segi hidayah atau segi Ijaz “. Jika demikian, maka yang kita golongkan kedalam istilah Ulumul Qur'an, hanyalah Syar'iyah dan Arabiyah saja. Adapun ilmu kauniyah yang terus menerus berkembang dan tumbuh seperti Ilmu Falak,ekonomi,kimia dan sebagainya, tidaklah layak kita menghitungnya dari “Ulumul Qur'an “.pokok pembicaraan ilmu ini ialah : Al-Qur'anul Majid dari segi segi yang telah disebut itu. Maka ilmul Karim dari segi Lafadh dan dari sefi menyebutnya.Ilmu tafsir, maudhu'nya ialah Al-Quranul karim dari segi penjelasan dan maknanya. Adapun faedah kita mempelajari ilmu ini, ialah : supaya kita mempunyai senjata yang ampuh yang dapat kita pergunakan untuk membela kesucian Al-Qur'anul Majid, dan supaya mudah kita mengarungi tafsir Al-Qur'an. Dari segi ini, maka Ulumul Qur'an adalah setamsil Ulumul Hadits bagi orang yang hendak mempelajari Ilmu Hadits. Di dalam penjelasan-penjelasan yang telah lalu dapatlah kita menanggapi bahwa ulumul Qur'an, menurut makna Idlafi-nya, lahir dalam abad kedua hijriah. F. Ulumul Qur'an Pada Masa Nabi dan Sahabat. Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sangat mengetahui makna-makna Al-Qur'an dan ilmu-ilmunya, sebagaimana pengetahuan para ulama sesudahnya. Bahkan makna dan ilmu-ilmu Al-Qur'an tersebut pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya itu belum tertulis atau di bukukan dan belum disusun dalamsatu kitab. Hal itu disebabkan karena Rasulullah SAW yang menerima wahyu dari sisi Allah SWT, juga mendapatkan Rahmat-Nya yang berupa jaminan dari Allah bahwa kalian pasti bisa mengumpulkan wahyu itu kedalam dada Beliau, dan Allah melancarkan lisan beliau ketika membacanya, serta pandai untuk menjelaskan/menafsirkan isi maksudnya. Allah SWT Ber Firman :        •       •    •    Artinya: “janganlah kau gerakkan lidahmu untuk (membaca)Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didalam) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu. Kemudian atas tanggungan kamilah penjelasannya.” (Qs.Al-Qiyamah :16-19) Setiap Rasulullah selesai menerima wahyuayat Al-Qur'an, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya. Beliau membacakannya kepada orang banyak dengan tekun dan tenang, sehingga mereka dapat membacakannya dengan baik,menghafal lafal-lafalnya dan mampu memahami arti dan makna serta rahasi-rahasianya. Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al-Qur'an kepada mereka dengan sabda dan perbuatan serta sifat beliau. Para sahabat pada waktu itu sebagai orang-orang Arab murni mempunyai keistimewaan-keistimewaan Arabiahyang tinggi dan kelebihan-kelebihan lain yang sempurna.mereka mempunyai kekutan menghafal yang sangat hebat, otak yang cerdas, daya tangkap yang tajam terhadap keterangan dan dalam segala bentuk rangkaian/susunankalimat. Karena itu mereka bisa mendapatkan Ulumul Qur'an dan I'jaznya dengan pembawaan mereka dan kecemerlangan akal mereka. Meski para sahabat waktu itu banyak mempunyai keistimewaan-keistimewaan, namun kebanyakan dari mereka termasuk orang-orang Ummi (orang yang tidak pandai membaca dan menulis). Ringkasnya, para sahabat dahulu tidak/ belum membutuhkan pembukuan Ulumul Qur'an itu adalah karena hal-hal sebagai berikut : a) Mereka terdiri darinorang-orang Arab murni yang mempunyai beberapa kiistimewaan, antara lain: - Mempunyai daya hafalan yang kuat. - Mempunyai otak yang cerdas - Mempunyai daya tangkap yang sangat tajam. - Mempunyai kemampuan bahasa yang luas terhadap segala macam bentuk ungkapan, baik prosa, puisi, maupu sajak. b) Kebanyakan dari mereka terdiri dari orang-orang yang Ummi (tidak pandai membaca dan menulis),tetapi cerdas. c) Ketika mereka mengalami kesulitan, langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. d) Waktu dulu belum ada alat-alat tulis yang memadai. e) Adanya larangan Rasulullah SAW menulis segala sesuatu serlain ayat Al-Qur'an. Dengan demikian kondisi Ulumul Qur'an pada periode pertama, yaitu masa Nabi dan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. DAFTAR PUSTAKA Prof.Dr.H.Suma,Muhammad Amin,SH.MA.2000.Studi ilmu-ilmu Al-Qur’ an.Jakarta:Penerbit Pustaka Firdaus. Prof.Dr.H.Djalal Abdul H. A.1998.Ulumul Quran.Surabaya:Dunia Ilmu Drs.H.Syadali Ahmad MA danDrs.H.Ahmad Rofi’i.1997.Ulumul Qur’an 1. Bandung:Lingkar Setia. Prof. DRTM. Ash- Shiddieqy Hasbi. 1972. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Media-Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an.Jakara:Bulan Bintang. Supiana M.Ag dan Karma M.Ag. 2002. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir.Bandung:Pustaka Islamika