Senin, 11 Februari 2013

HERMENEUTIK DALAM KAJIAN SASTRA



HERMENEUTIK DALAM KAJIAN SASTRA


Makalah Disampaikan kepada Program Pascasarjana FAH
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 Oleh:

HASANI AHMAD SAID






Logo UIN baru










PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA (FAH)
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H / 2013 M



HERMENEUTIK DALAM KAJIAN SASTRA
Oleh Hasani

Pendahuluan
Hermeneutik dalam wacana studi sastra sangat berkait dengan perkembangan sejarah pemikiran filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutik mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut. Untuk memahami hermeneutik dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutik, terutama megenai tiga varian hermeneutik seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutik tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutik tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutik dalam sastra.
Hermeneutik itu ada sejak agama lahir, bahkan sejak manusia muncul sebagai makhluk berkebudayaan. Hermeneutik juga bisa dikatakan sebagai cabang dari filsafat dengan adanya perubahan dari “metafisika menjadi hermeneutik”. Studi sastra, dalam hal ini sastra Arab, sejatinya tidak dapat terpisahkan dengan metode hermeneutik. Untuk sampai kepada tujuannya, disiplin ilmu ini merasa tidak cukup terwadahi dengan warisan metodologi konvensional. Akhirnya, sadar atau tidak sadar, disiplin kajian kelilmuan ini berada dalam alur metodologi yang sama; hermeneutik. Hermeneutik sebenarnya bukan sesuatu yang serba baru samasekali. Hermeneutik adalah nama baru untuk sebuah masalah lama, yakni penafsiran teks suci.
Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra-terutama dalam prosesnya-pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran).
Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.
Dalam perkembangan teoriteori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat tampak pada hermeneutik ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes (1987: 59-63) menyebut hal ini sebagai hermeneutik fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.
Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa[1], sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutik dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
           


Mengurai Hermeneutik, Sebagai Model Interpretasi
            Kata “hermeneutik”, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi.[2] Dari asal kata itu berarti ada dua perbuatan; menafsirkan dan hasilnya, penafsiran (interpretasi), seperti halnya kata kerja “memukul” dan menghasilkan “pukulan”. Kata tersebut layaknya kata-kata kerja dan kata bendanya dalam semua bahasa. Kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.[3]
Hermeneutik berasal dari kata yunani hermeneuein yang bermakna mengartikan, menafsirkan, menerjamahkan, dan bertindak sebagai penafsir dalam rangka membedakan hermeneutik hermetik .Sedangkan kata hermetik merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetic suatu leteratur ilmiah di yunani yang berkembang pada awal-awal abad setelah kristus. Tulisan ini disandarkan pada Hermes Trismegistus. Secara umum, Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna.[4]
            Kata hermeneutik itu sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin, yang berarti menafsirkan. Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Dewa Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli tafsir Kitab Suci.
Pada mulanya hermeneutik adalah penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh.[5] Dalam perkembangan hermeneutik, berbagai pandangan terutama datang dari para filsuf yang menaruh perhatian pada soal hermeneutik. Ada beberapa tokoh yang dapat disebutkan di sini, di antaranya: F.D.E. Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Husserl, Emilio Betti, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida.
Istilah hermeneutik mencakup dua hal, yaitu seni dan teori tentang pemahaman dan penafsiran terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun yang non-kebahasaan.[6] Pada awalnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan karya-karya sastra lama dan kitab suci, akan tetapi dengan kemunculan aliran romantisme dan idealisme di Jerman, status hermeneutik berubah. Hermeneutik tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah alat bantu untuk bidang pengetahuan lain, tetapi menjadi lebih bersifat filosofis yang memungkinkan adanya komunikasi simbolik. Pergeseran status ini diawali oleh pandangan Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Sekarang, hermeneutik tidak lagi hanya berkisar tentang komunikasi simbolik, tetapi bahkan memiliki area kerja yang lebih mendasar, yaitu kehidupan manusia dan keberadaannya.
Menurut Friedrich Schleiermacher, terdapat dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Aspek gramatikal interpretasi merupakan syarat berpikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang memahami pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan dari pembicara, seseorang harus mampu memahami bahasanya sebaik ia memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahamam seseorang atas sesuatu bahasa dan latar belakang psikologi pengarang, maka akan semakin lengkap pula interpretasinya terhadap karya pengarang tersebut. Kompetensi linguistik dan kemampuan memahami dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin, sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut.[7]
Dalam terminologi, hermeneutik banyak didefinisikan oleh para ahli. Mereka (para ahli) memiliki definisinya masing-masing. F D. Ernest Schleirmacher mendefinisikan hermeneutik sebaga seni memahami dan menguasai, sehingga yang diharapkan adalah bahwa pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada pengarangnya sendiri dan juga lebih memahami karyanya dari pada pengarang. Fredrich August Wolf mendefinisikan, hermeneutik adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang membantu untuk memahami makna tanda-tanda. Sedangkan menurut Martin Heidegger dan Hans George Gadamer bahwa hermeneutik adalah proses yang bertujuan untuk menjelaskan hakikat dari pemahaman.[8]
Pada prinsipnya, di antara mereka ada beberapa kesamaan pemikiran yang dimiliki, terutama dalam hal bagimana hermeneutik jika dikaitkan dengan studi sastra khususnya dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial pada umumnya. Di samping itu, terdapat pula perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Terjadinya perbedaan tersebut pada dasarnya karena mereka menitik-beratkan pada hal yang berbeda atau beranjak dari titik tolak yang berbeda.
Hermenetik menegaskan bahwa manusia Autentik selalu dilihat dalam kontek ruang (Lokus) dan waktu (Tempos) dimana manusia sendiri mengalami dan menghayatinya. untuk memehami dasein ( Manusia oautentik), kita tidak bisa lepas dari konteks yang ada, sebab itu kalau dilihat dari luar konteksnya yang nampak ialah manusia semu yang artifesial atau hanya buatan saja. Manusia autentek hanya bisa dimengerti atau dipahami dalam ruang dan waktu yang persis dimana ia berada. dengan kata lain setiap individu selalu tersituasikan dan benar-benar dapat dipahami di dalam situasinya.
Penggunaan istilah ”hermeneutik” sendiri sebagai suatu istilah untuk metode interpretasi dalam arti luas dan mulainya pembahasan serius tentangnya adalah berkat jasa Friedrich Schleiermacher. Metode interpretasinya dapat diringkas sebagai berikut:[9]
1.    Pemahaman selalu melibatkan dua hal; pengetahuan mengenai bahasa dan pengetahuan akan pengarang. Kalimat ini mengandung arti bahwa seseorang yang menginterpretasi teks pasti sedang berhadapan dengan ujaran yang harus didecodingkan dan juga berhadapan dengan ujaran yang memiliki arti sebagaimana pembuat ujaran tersebut maksudkan. Proses pemahaman teks merupakan usaha membaca pikiran pengarang (ranah psikologi) dan decoding teks yang melibatkan pengetahuan tata bahasa, arti tiap kata – dan arti kata ketika bertemu dengan kata lain, makna, penggunaan dalam konteks-konteks tertentu, dan konstruksi kata-kata (ranah linguistik/gramatika).
2.    Untuk memahami teks, seseorang harus memahami itu semua sebagai satu kebulatan. Tidak bisa pemahaman tidak melibatkan dua hal yang merupakan suatu kesatuan pemahaman akan sebuah teks.
3.    Di dalam pemahaman teks terkait dengan ranah gramatika, kita tidak dapat memahaminya seluruh teks kecuali melibatkan pemahaman setiap kalimat, bahkan setiap kata yang ada di dalam teks. Dan uniknya, kita tidak dapat memahami arti kata jika tidak dibaca di dalam konteks kalimat dan kita tidak bisa memahami kalimat jika tidak dibaca di dalam konteks keseluruhan teks. Keadaan demikian disebut sebagai ”lingkar hermeneutik” atau hermeneutic circle.
4.    Di dalam pemahaman teks terkait dengan ranah psikologi, kita dapat memahami apa yang ditulis oleh seorang pengarang jikalau kita melibatkan teks-teks yang menulis tentang pengarang tersebut dan juga melibatkan teks-teks yang ditulis sebelum tulisan pengarang tersebut sehingga dengan demikian kita tahu apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Keadaan seperti ini juga sama disebut dengan lingkar hermeneutik.
5.    Oleh karenanya, Schleiermacher bahkan menyimpulkan bahwa interpretasi adalah selalu berupa usaha kolektif; “the totality of understanding is always a collective work”.
Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang melebihi pemahamanm terhadap diri kita sendiri.  Seorang sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.[10]


Hermeneutik dalam Kajian Sastra
Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.[11]
Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.
Dalam studi sastra ada tiga cabang, yaitu teori sastra, kritik sastra, dansejarah sastra. Teori sastra adalah kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam analisiskarya sastra. Kritik sastra adalah penerapan kaidah-kaidah tertentu dalam analisiskarya sastra. Sejarah sastra adalah sejarah perkembangan sastra. Tiga cabangtersebut saling terkait dan semuanya bersumber pada sastra, khususnya karya sastra sendiri.
Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutik dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Menurut Gerhard Ebeling yang ditulis Palmer, bahwa kata hermeneutic sendiri memiliki tiga bentuk penggunaan, yaitu: 1) menyampaikan; to say; to express; to assert, 2) menjelaskan; to explain, 3) menerjemahkan; to translate. Sedangkan ketiga aspek dari bentuk penggunaan kata hermeneuein sebenarnya dapatlah diwakilkan di dalam satu kata kerja bahasa Inggris: to interpret (interpretasi). Namun meskipun demikian, ketiga bentuk penggunaan kata interpretasi secara sendiri-sendiri membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa interpretasi dapat mengacu kepada tiga hal yang berbeda: penyampaian verbal, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan. Tujuan dari interpretasi sendiri adalah membuat sesuatu yang kabur, jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami.[12]
Hermeneutik yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutik, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutik mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan. Untuk memahami hermeneutik dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutik, terutama megenai tiga varian hermeneutik seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutik tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutik tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutik dalam sastra.
Di dalam interpretasi Bible ada ketidaksetujuan mengenai pemakaian metode hermeneutik. Namun sebagaimana kemudian cukup baik diulas oleh Herman C. Hanko, bahwa metode hermeneutik tetap diperlukan di dalam interpretasi Bible namun dengan catatan bahwa Bible meskipun ditulis oleh manusia tetap merupakan sebuah teks yang diilhami oleh wahyu Tuhan. Bible sendiri tidak mungkin tidak adalah bentuk refleksi dari bahasa dan budaya lokal di mana teks Bible tersebut diproduksi dan tidak bisa dipungkiri bahwa gaya tulis dari penulis-penulis yang berkontribusi di dalam Bible turut mempengaruhi bentuk rupa Bible sebagaimana diketahui oleh pengkaji Bible bahwa Bible tidak ditulis oleh satu orang dan juga tidak disusun dari perode waktu yang sama.[13]
Pada mulanya hermeneutik muncul sebagai teori interpretasi teks Bible, kemudian meluas ke ranah lain sebagai metodologi filologi, ilmu pemahaman linguistik, pondasi metodologis geisteswissenschaften (ilmu humaniora), fenomenologi eksistensi, kemudian sistem interpretasi secara luas apapun bentuknya.[14]
Pada interpretasi Bible, keadaan awal mula diperlukannya hermeneutik sebab Bible pada saat itu mengalami masalah alih bahasa manakala penyebaran Kristen di masa awal begitu cepat terjadi sedangkan pengalihbahasaan butuh waktu yang tidak sebentar. Pengalihbahasaan yang tanpa kontrol tersebut membuat muncul berbagai versi Bible yang berselisih atau terkorup karena beberapa alih bahasa dikerjakan agar ritual dan pengajaran dapat pas dengan budaya lokal. Keadaan inilah yang membuat baru pada abad ke-empat (382 M), Damasus I memerintahkan Santo Jerome untuk menstandarisasi alih bahasa Bible yang beredar di masyarakat pada masa itu ke dalam bahasa Latin, memberikan tambahan tulisan-tulisan prolog di dalam skriptur-skriptur tersebut, mengadakan revisi interpretatif terhadap skriptur gospel, dan kemudian membundelkan skriptur-skriptur yang bermacam-macam ke dalam satu jilid. Versi inilah yang kemudian disebut sebagai The Vulgate, dianggap sebagai bentuk alih bahasa resmi dari Bible dan juga menjadi Bible kanon yang menggantikan berbagai macam versi Bible yang pada waktu itu beredar di masyarakat Kristen.[15]
Selama ini, hermeneutik merupakan salah satu model pamahaman yang paling representatif dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya tidak dari interpretasi teks sastra berdasar pemahaman yang mendalam. Namun, sebagaimana dikatakan Lefevere, hermeneutik tidak mempunyai status khusus dan bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam sastra, karena sastra merupakan objektivitas jiwa manusia.[16] Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya diperlukan pengkhususan jika hermeneutik mau diterapkan dalam sastra, mengingat objek studi sastra itu adalah karya estetik.
Dalam perkembangan teoriteori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat tampak pada hermeneutik ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes menyebut hal ini sebagai hermeneutik fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.[17]
Untuk itu, jika kita menerima hermeneutik sebagai sebuah teori interpretasi reflektif, hermenetuika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutik fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan fundamental (being-in-the-world).[18]
Dalam hubungan tersebut, perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Rocoeur. Ia dalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutik dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutik fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks.[19] Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi.
Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan bahwa interpretasi itu pada dasrnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab.[20]
Selain itu, ada satu hal prinsip lagi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemahaman-khususnya dalam pemahaman terhadap teks sastra-adalah gagasan "lingkaran hermeneutik" yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman ini amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami objek dibatasi oleh konteks-konteks. Misalnya, untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya, dalam memahami keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran. Dengan perkataan lain, untuk memahami suatu objek, pembaca harus memiliki suatu pra-paham, kemudian pra-paham itu perlu disadari lebih lanjut lewat makna objek yang diberikan. Pra-paham yang dimiliki untuk memahami objek tersebut bukanlah suatu penjelasan, melainkan suatu syarat bagi kemungkinan pemahaman. Lingkaran pemahaman ini merupakan "lingkaran produktif." Maksudnya, pemahaman yang dicapai pada masa kini, di masa depan akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena adanya pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada prinsipnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.
Jadi, tugas hermeneutik menurut Gadamer adalah: ”is not to develop a procedure of understanding but to clarify the the conditions in which understanding can take place”. Atau dapatlah dikatakan bahwa standarisasi pembuatan prosedur adalah bukan tujuan utama dari hermeneutik, tujuan utama sesungguhnya dari hermeneutik adalah memberikan jalan kepada pemahaman terhadap suatu teks. Jadi ketika metode interpretasi ini diterapkan ke dalam analisis karya sastra, maka tujuan utamanya adalah memberikan jembatan, atau menjadi hermes, bagi pemahaman arti dari sebuah karya sastra, baik makna tersirat maupun makna tersurat.[21]
Pendekatan hermeneutic merupakan suatu cara untuk memahami agama (teks kitab suci).[22] Pendekatan ini dianggap tepat dalam memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diaantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan teks karya sastra. Perbedaannya, merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi, agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek illahi maupun subjek creator, agama dan sastra perlu di intrpretasikan/ditafsirkan, sebab disatu pihak seperti disebutkan diatas, kedua genre terdiri atas bahasa.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutik memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutik tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutik mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan Tiga varian hermeneutik (tradisional, dialektik, dan ontologis).
Lefevere memandang bahwa ada tiga varian hermeneutik yang pokok. Dari ketiga varian tersebut, tidak satu pun dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sumber asalnya, yakni penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Konsekuensinya, gaya tulisan menjadi berbelit-belit dan hampir tidak pernah jelas, dan ini menjadi ciri khas berbagai tulisan hermeneutik. Permainan kata yang bertele-tele dan ungkapan khusus turut membuat hermeneutik membosankan. Kenyataan ini dapat mengaburkan substansi hermeneutik yang sesungguhnya sangat bernilai.[23]
Ketiga varian yang dimaksudkan Lefevere adalah: pertama, hermeneutik tradisional (romantik); kedua, hermeneutik dialektik; dan ketiga, hermeneutik ontologis. Perlu dikemukakan, di satu sisi, ketiga varian itu sepakat dengan pendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia, yang pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain, ketiga varian hermeneutik itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu, selanjutnya perlu dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutik itu dalam kerangka kajian sastra, mulai hermeneutik tradisional, dialektik, hingga ontologis.[24]

Penutup
Keberadaan konsep hermeneutik sangat signifikan dalam interpretasi sastra. Dikatakan demikian karena hermeneutik memberikan model pemahaman -dan cara pemaknaan-yang sangat mendalam dan memacu interpreter pada pemahaman yang substansial.
Karya sastra dalam pandangan hermeneutic ialah sebagai objek yang perlu di interprestasikan oleh subjek (hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada subjek itu. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan pandangan subjek. Hussrel menyatakan bahwa objek dan makna tidak akan pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasr situasi objek, semuanya adalah sama saja. Maka dari sinilah karya sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic supaya muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut.
Sebuah interpretasi dalam teks sastra bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat definitif, melainkan perlu dilakukan terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutik memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutik tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutik mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis.


























DAFTAR PUSTAKA

Abulad, Romualdo E., ”What is Hermeneutics?” dalam Kritike Vol 1 No. 2, 2007

Bleicher, Joseph, Contemporary Hermeneutics, London : Routledge and Kegan Paul, 1980

Craddock, Fred B., and Gene M. Tucker, “Bible.” Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008

Eagleton, T., Literary Theory: An Introduction, London: Basil Blackwell, 1983

Eagleton, T., Literary Theory: An Introduction, London: Basil Blackwell, 1983

Gregory, Derek, Ideology, Science and Human Geography, London: Hutchison & Co. Ltd., 1979

Hanko, Herman C., “Issues in Hermeneutics”, dalam Protestant Reformed Theological Journals of April and November, 1990, and April and November, 1991.

Lefevere, A., Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmition, Amsterdam: Van Gorcum, Assen, 1977

Manuaba, Putera, “Hermeneutik dan Interpretasi Sastra”, diakses dari http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html

Palmer, Richard E., Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutik, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Purkonudin, Ukon, “Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra”, Opini Kompas, 20 Juni 2011

Rutt, Jessica, “On Hermeneutics” dalam E-Logos, 2006

Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Jakarta: Penerbit Kanisius, 1999

Salim, Fahmi, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif, 2010

Valdes, M.J., Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature, London: University of Toronto Press, 1987


[1] Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutik. Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutik sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutik yang semula sangat dekat kerjanya dengan Biblical Studies, dengan munculnya buku Truth and Method (1960) oleh Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutik mengembangkan mitra kerjanya pada semua cabang ilmu. Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin ilmu, termasuk ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding yang muncul antara hubungan subyek dan obyek. Baca, Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. Ke-1, h, 28.
[2] Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutik, Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 14.
[3] Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, h. 15.
[4]  Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London : Routledge and Kegan Paul, 1980), h. 12.
[5] T. Eagleton, Literary Theory: An Introduction, (London: Basil Blackwell, 1983), h. 66.
[6] Bahasa adalah tema yang dominan dalam filsafat Eropa kontinental maupun filsafat Inggris dan Amerika. Di mana-mana dapat kita saksikan the linguistic turn; di mana-mana refleksi filosofis berbalik kepada bahasa. Dan tidak sedikit aliran mengambil bahasa sebagai pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya hermeneutik, strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern,  Jakarta: Penerbit Teraju, 2005, Cet. Ke-1,, h. 167-168.
[7] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1999), h. 41.
[8] Lihat Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), h. 53-55.
[9] Lihat lebih lanjut, Romualdo E. Abulad, ”What is Hermeneutics?” dalam Kritike Vol 1 No. 2, 2007., h. 11-23; lihat pula, Jessica Rutt, “On Hermeneutics” dalam E-Logos, 2006, h. 2.
[10] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1999), h. 63-64.
[11] Ukon Purkonudin, “Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra”, Opini Kompas, 20 Juni 2011.
[12] E. Palmer, Hermeneutik: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 15-36.
[13] Herman C. Hanko, “Issues in Hermeneutics”, dalam Protestant Reformed Theological Journals of April and November, 1990, and April and November, 1991. Diakses dari http://www.prca.org/articles/issues_in_hermeneutics.html#Return12.
[14] Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, h. 38-49.
[15] Lihat lebih lanjut, Fred B. Craddock, and Gene M. Tucker, “Bible.” (Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008)
[16] A. Lefevere, Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmition, (Amsterdam: Van Gorcum, Assen, 1977), h. 51.
[17]  M.J. Valdes, 1987, Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature, (London: University of Toronto Press, 1987), h. 59-63.
[18] T. Eagleton, Literary Theory: An Introduction, (London: Basil Blackwell, 1983), h. 59-60.
[19] M.J. Valdes, Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature, (London: University of Toronto Press, 1987), h. 60.
[20] M.J. Valdes, Phenomenological Hermeneutical, h. 64.
[21] Derek Gregory, Ideology, Science and Human Geography, (London: Hutchison & Co. Ltd., 1979), h. 144.
[22] Ukon Purkonudin, “Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra”, Opini Kompas, 20 Juni 2011.
[23] A. Lefevere, Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmition, (Amsterdam: Van Gorcum, Assen, 1977), h. 46-47.
[24] Putera Manuaba, “Hermeneutik dan Interpretasi Sastra”, diakses dari http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html