Sabtu, 31 Maret 2012

Pondok Pesantren Al-Khairiyah - Cilegon - Banten

Pondok Pesantren Al-Khairiyah didirikan oleh Syam'un bin Alwiyah (Brigjen TNI) pada tahun 1916 di Kampung Citangkil, Desa Warnasari, Kecamatan Pulomerak, Kabupaten Serang, Jawa Barat. Awal keberadaannya, termotivasi dari keinginan masyarakat sekitar untuk bisa mengaji dan ingin mengetahui tentang keislaman. Karena masyarakat sekitarnya didominasi oleh petani, nelayan dan pedagang, maka sistem pengajiannya pun lebih bersifat tradisionil, dengan metode wetonan dan sorogan. Pada mulanya Pondok ini bernama "Pondok Pesantren Citangkil" sesuai dengan nama desa di mana Pesantren berada. Kemudian pada tahun 1925 berubah menjadi Madrasah al-Khairiyah dengan tingkatan pendidikan antara lain: Kelas Nol (Awaliyah), Kelas Setengah (Tahdiriyah), Kelas I, II, III, IV, V, VI & VII. Kelas Nol sampai Kelas Setengah adalah Tingkat Persiapan. Kelas I sampai VII Tingkat Ibtidaiyah, kemudian dibentuk pula Madrasah Muallimin (Sekolah Guru) sebagai lanjutan dari tingkat Ibtidaiyah, Madrasah Mu'allimin mempunyai dua kelas (kelas I & II), masing-masing kelas memakan waktu satu tahun. Pada tahun 1930 Pesantren ini mengalami perubahan yaitu: Tingkat Dasar (MI enam tahun). Tingkat Memengah (MTs tiga tahun), dan Tingkat Atas (Mu'allimin dua tahun). Pengembangan pendidikan terjadi pada enam tahun kemudian (1936), dengan didirikannya Sekolah Umum yang dibina langsung oleh Pondok Pesantren yaitu HIS (Holandch Inlanch School) yang disebut juga dengan HIS al-Khairiyah Citangkil. Berdirinya sekolah ini merupakan tandingan sekolah-sekolah umum Belanda, untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat kecil untuk mengenyam pendidikan umum. Walaupun demikian sekolah ini tetap memiliki identitas keislaman (santri). Pengelolaan PP pada mulanya ditangani langsung oleh pendirinya yang sekaligus sebagai pengasuhnya, sehingga pendidikan yang memadai belum berjalan sempurna. Kemudian dibentuklah suatu organisasi yang bernama "Jam'iyah Nahdotus Syubbanil Muslimin" (Perkumpulan Kebangkitan Pemuda Islam), pada tanggal 21 Juni 1931 dengan ketua KH Ali Jaya. Organisasi inilah yang kemudian berperan dalam pengembangan Pondok Pesantren dan madrasah dari pusat sampai ke cabang. Pada tanggal 26 Februari 1948, KH Syam'un wafat dalam perang gerilya melawan pendudukan Belanda kedua. Pada tahun 1951 Jam'iyah Nahdiotus Syubbanil Muslimin diubah menjadi "Perguruan Islam al-Khairiyah" yang berpusat di Citangkil (Cilegon), melalui rapat pleno dengan cabang-cabang al-Khairiyah. Kemudian pada tahun 1956 Perguruan Islam al-Khairiyah diubah lagi menjadi Yayasan Perguruan Islam al-Khairiyah melalui Muktamar. Selain perubahan nama, muktamar ini memutuskan penyeragaman nama-nama madrasah cabang (al-Khairiyah) serta kurikulumnya. Namun yayasan ini tidak dapat berjalan lama, dan terjadi perubahan lagi dalam keputusan rapat lengkap pengurus yayasan, yaitu menjadi Organisasi Perguruan Islam al-Khairiyah yang disingkat dengan OPI pada tanggal 28 April 1960. Dalam bidang pendidikan, dilakukan pula perubahan dengan menghapuskan Madrasah Muallimin sebagai tingkat lanjutan atas, menjadi Madrasah Aliyah dengan lama belajar tiga tahun. Perubahan ini kemudian dikukuhkan oleh Raker OPI al-Khairiyah sebagai ganti muktamar, yang diikuti oleh pengurus besar dan pengurus cabang yang sudah mencapai 246 cabang. Pondok Pesantren al-Khairiyah terus berkembang dengan memiliki cabang yang luas yang tersebar di Sumatra dan Jawa. Pengelolaan Pondok Pesantren pada mulanya ditangani langsung oleh pendirinya yang sekaligus sebagai pengasuhnya, sehingga pendidikan yang memadai belum berjalan sempurna. Kemudian dibentuklah suatu organisasi yang bernama "Jam'iyah Nahdotus Syubbanil Muslimin" (Perkumpulan Kebangkitan Pemuda Islam), pada tanggal 21 Juni 1931 dengan ketua KH Ali Jaya. Organisasi inilah yang kemudian berperan dalam pengembangan Pondok Pesantren dan madrasah dari pusat sampai ke cabang. Pada tanggal 26 Februari 1948, KH Syam'un wafat dalam perang gerilya melawan pendudukan Belanda kedua. Pada tahun 1951 Jam'iyah Nahdiotus Syubbanil Muslimin diubah menjadi "Perguruan Islam al-Khairiyah" yang berpusat di Citangkil (Cilegon), melalui rapat pleno dengan cabang-cabang al-Khairiyah. Kemudian pada tahun 1956 Perguruan Islam al-Khairiyah diubah lagi menjadi Yayasan Perguruan Islam al-Khairiyah melalui Muktamar. Selain perubahan nama, muktamar ini memutuskan penyeragaman nama-nama madrasah cabang (al-Khairiyah) serta kurikulumnya. Namun yayasan ini tidak dapat berjalan lama, dan terjadi perubahan lagi dalam keputusan rapat lengkap pengurus yayasan, yaitu menjadi Organisasi Perguruan Islam Al-Khairiyah yang disingkat dengan OPI pada tanggal 28 April 1960. Dalam bidang pendidikan, dilakukan pula perubahan dengan menghapuskan Madrasah Muallimin sebagai tingkat lanjutan atas, menjadi Madrasah Aliyah dengan lama belajar tiga tahun. Perubahan ini kemudian dikukuhkan oleh Raker OPI al-Khairiyah sebagai ganti muktamar, yang diikuti oleh pengurus besar dan pengurus cabang yang sudah mencapai 246 cabang. Pondok Pesantren al-Khairiyah terus berkembang dengan memiliki cabang yang luas yang tersebar di Sumatra dan Jawa. Dua tokoh penting yang perlu dicatat dalam perkembangan al-Khairiyah adalah KH Ahmad Sjadeli Hasan, dan KH Abdul Fatah Hasan. Tokoh pertama dikenal sebagai salah seorang ahli tafsir Indonesia lulusan dua perguruan tinggi di Timur Tengah, yakni al-Azhar dan Darul Ulum Mesir. Di lingkungan pergerakan Islam, Sjadeli Hasan dikenal sebagai tokoh Masyumi yang memiliki hubungan dekat dengan Mohammad Natsir. Dalam perdebatan di Konstituante, tokoh ini juga tercatat sebagai salah seorang pembicara Masyumi. Sementara Abdul Fatah Hasan adalah abituren al-Khairiyah lulusan al-Azhar Mesir, yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap perjalanan al-Khairiyah di kemudian hari. Di lingkungan al-Khairiyah Fatah Hasan dikenal sebagai ulama dan kyai yang berpikiran modern serta memiliki penguasaan ilmu keagamaan yang luas. Perlu ditandaskan lagi bahwa, organisasi ini menangani berbagai tingkat lembaga pendidikan dan dakwah, mulai dari Pondok Pesantren, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, serta lembaga pendidikan umum seperti Sekolah Dasar, SMP, SMU dan SMK (Ekonomi dan Teknik). Dalam catatan al-Khairiyah, untuk tingkat Ibtidaiyah saja tercatat tidak kurang dari 842 madrasah di seluruh Indonesia, belum lagi untuk jenjang pendidikan lainnya. Sebagai perbandingan, di wilayah Banten saja al-Khairiyah memiliki 10 Madrasah Aliyah, tidak termasuk 3 (tiga) Madrasah Aliyah al-Khairiyah yang sudah dinegerikan. Dengan jumlah ini bisa dipastikan data Madrasah Tsanawiyah al-Khairiyah lebih banyak lagi. Organisasi Kelembagaan Pada perjalanannya kurang lebih 60 tahun Pondok Pesantren ini, terkesan dikelola oleh keluarga kyai. Pada perjalanan seterusnya, terjadi kevakuman selama 24 tahun. Akhirnya pada tahun 1999 diadakan islah antar pengurus, sehingga terbentuklah Yayasan Pondok Pesantren Modern al-Khairiyah (YPPMA) di bawah asuhan KH Syatibi Ali Jaya. Jadi sekarang manajemen/pengelolaannya lebih terbuka, karena pimpinan yang sekarang ini bukan anak/ahli waris pendiri, tetapi anak dari KH Ali Jaya. Sedangkan KH Ali Jaya adalah alumni al-Khairiyah/santri KH Syam'un. Kegiatan Pendidikan dan Ciri Khas Pendidikan sekolah Mulai 1999 baru merintis kembali jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Kurikulum yang digunakan adalah dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Buku pegangan terbitan Departemen Agama yaitu: Quran, Hadis, Aqidah-Akhlak, Fikih, SKI dan Tajwid. Di samping jenjang pendidikan tersebut di atas, diselenggarakan juga Sekolah Luar Biasa dengan beberapa golongan, yaitu: Golongan A (Tuna Netra: SD), Golongan B (Tuna Rungu: TK, SD, SLTP) dan Golongan C (Tuna Grahita: TK, SD, SLTP dan SMLB). Pengelolaan dan administrasinya menginduk ke Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan al-Khairiyah hanya sebagai payungnya saja. Pendidikan kepesantrenan Meskipun Pondok Pesantren al-Khairiyah sejak awalnya (1925) menerapkan sistem klasikal, tetapi tidak meninggalkan kebiasaan seperti di pondok pesantren salaf, yaitu mengajarkan kitab salaf, yang diberikan setiap ba'da subuh (muhadarah), mufradat setelah asar (ilmu alat: nahwu, shorof, balaghah dan lain-lain) setelah isya (tafsir, hadis, tauhid, Tasawuf, dan aln-lain). Dalam penyampaian/pengajian kitab klasik (kitab kuning ini menggunakan metode bandongan (kolektif) dan juga sorogan (individual). Pendidikan ekstrakurikuler Kegiatan di Pondok Pesantren al-Khairiyah ini baru dalam taraf merintis kembali, maka kegiatan ekstrakurikuler juga masih sebatas latihan kepramukaan dan khitobah (pidato). Kegiatan khitobah ini diharapkan bisa membekali para santri, sehingga para santri bisa berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti dalam kegiatan hari-hari besar Islam dan khususnya khutbah Jumat. Ciri khas/Kajian utama Dalam penyelenggaraan pendidikan, lebih menonjolkan sistem klasikal. Adapun materi yang diajarkan di Pondok Pesantren cenderung memperdalam Tafsir/'Ulumul Quran, sehingga ini menjadi ciri khas Pondok Pesantren al-Khairiyah. Kekhasan ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan tenaga ahli lulusan Timur Tengah. Santri, Kyai dan Ustadz/Guru Siswa yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren ini seluruhnya 393 orang, terdiri atas 210 putra dan 183 putri. Mereka belajar dengan rasio: di TK 125 orang, MI 121 orang, MTs 52 orang, MA 42 orang, ditambah SLB 53 orang. Dari 393 orang ini yang mengikuti pendidikan kepesantrenan hanya 94 orang (MTs dan MA). Untuk sementara yang mukim 25 orang, selebihnya yang 69 orang adalah santri kalong. Siswa/santri al-Khairiyah pada umumnya berasal dari lingkungan kota Cilegon, dan ada juga dari Jakarta. Dalam kegiatan belajar, mereka diasuh oleh 40 orang ustadz/guru. Latar belakang pendidikan tenaga guru ustadz yaitu 50% berpendidikan S1, dan selebihnya di samping memiliki ijazah SLTA ia juga alumni dari berbagai Pondok Pesantren (Gontor) dan al-Khairiyah sendiri. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana untuk kegiatan belajar dan kegiatan-kegiatan lainnya, Pondok Pesantren al-Khairiyah memiliki gedung belajar sendiri (TK, SLB, MI, MTs dan MA), asrama 3 unit (kapasitas 1.000 santri), gedung serbaguna (gsg), lapangan sepak bola, bola voli, bola basket, bulu tangkis, tenis meja, aula, ruang rapat, ruang kantor, ruang tamu (guest house), ruang perpustakaan, kantin, mess, koperasi, lab. bahasa, lab. komputer, workshop, WC, masjid dan lain-lain. Sarana dan prasarana tersebut di atas, masing-masing jenjang pendidikan memilikinya. Tetapi juga ada yang bersifat kolektif lapangan bola, gedung serbaguna, masjid misalnya. Namun sayangnya, bangunan yang sangat komplit dan memadai ini, belum bisa dimanfaatkan secara maksimal, dan di sana sini sudah ada yang rusak. Sumber Dana dan Usaha Ekonomi Dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah kepesantrenan maupun luar sekolah di al-Khairiyah, sumber dana diperoleh antara lain dari siswa, para donatur dari PT Krakatau Steel dan para donatur lainnya. Demi pemanfaatan dan terpeliharanya sarana/fasilitas, maka ada beberapa gedung yang dipakai untuk kantor pemerintah, tentunya dengan berbagai masukan sebagai kompensasinya. Dalam usaha pemberdayaan ekonomi al-Khairiyah belum mencoba merintis kembali, karena kondisi yang belum memungkinkan stabil. Saat ini pengurus lebih berkonsentrasi pada terlaksananya pendidikan di setiap jenjang. Pekerjaan yang cukup berat dan memakan waktu adalah, bagaimana cara memiliki kembali kepercayaan masyarakat kepada Pondok Pesantren Khairiyah di Citangkil ini. Sekadar contoh, tanggal 31 Mei 2001 menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw sekaligus dalam rangka haul al-Khainyah ke-77, dengan mendatangkan penceramah kondang KH Zainudin MZ. Program Pengembangan Di samping berusaha terus dalam rangka pemulihan terhadap Yayasan Pondok Pesantren ke depan telah menyusun misi dan visinya antara lain: 1. Menyiapkan sumber daya manusia yang bertakwa dan unggul. 2. Menciptakan tenaga-tenaga profesional dalam berbagai bidang dan berwawasan Islam. 3. Menyiapkan kader-kader pilihan umat militan dan handal. Untuk mencapai misi dan visi tersebut Yayasan al-Khairiyah mencoba merintis Perguruan Tinggi (STIE). Nantinya, para alumni STIE diharapkan benar-benar mempunyai wawasan yang luas tentang Iptek dan Imtaq. Sumber: Direktorat Pendidikan DIniyah dan Pondok Pesantren, DItjen Pendidikan Islam, Departemen Agama RI, 2007 (Slamet Riyanto) Tags: Al-Khairiyah , Pesantren