Masjid, Simbol Peradaban Islam
Oleh: Hasani Ahmad Said
Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Syariah, IAIN Bandar Lampung
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Lampung Post, Jum'at, 8 Oktober 2010
Menengok sejarah klasik Islam, masjid yang pertama kali dibangun adalah Masjid Nabawi pascahijrah. Dikisahkan, sesampainya rombongan Nabi saat hijrah dari Mekah menuju Madinah, setelah unta tunggangan Rasulullah saw. berhenti di suatu tempat di Madinah, maka kaum muslimin menjadikannya sebagai tempat untuk menunaikan salat.
Tempat itu merupakan tempat penjemuran kurma milik Suhail dan Sahl, dua anak yatim dari Bani Najjor, yang berada dalam pemeliharaan As’ad bin Zurarah.
Babak hijrah tersebut ditandai oleh sebuah gagasan untuk membangun masjid, yang kelak akan menjadi saksi bisu tentang gemerlapnya peradaban Islam. Masjid menjadi sebuah magnet bagi peradaban Islam saat itu dan di situlah Rasulullah mampu membangun sebuah episentrum sebuah peradaban.
Konsep masjid pusat peradaban tersebut menjadikan masjid lebih dari sekadar tempat sujud. Secara leksikologi, seperti akar kata masjid terambil dari kata Sajada-yasjudu-Sajdan yang kesemuanya mengandung arti bersujud, patuh, taat, serta tunduk penuh hormat dan takzim. Sedangkan untuk menunjukan suatu tempat kata Sajada menjadi kata masjidun (Isim makan) yang artinya tempat sujud menyembah Allah swt.
Allah berfirman: "Orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (At Taubah (9): 18)
Ayat ke-18 ini dapat dipahami dari dua sudut pandang yang berbeda tentang pelaku pemberdayaan masjid. Pertama, yang benar-benar memberdayakan masjid dalam arti memakmurkannya hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Kedua, jaminan Allah bagi para pelaku pemberdayaan masjid bahwa mereka adalah orang-orang yang akan senantiasa dijaga keimanannya oleh Allah.
Masjid Agung Banten, termasuk The oldest mosques in Indonesia 10 masjid tertua di Indonesia. Sepuluh masjid tua itu adalah Masjid Tua Palopo (1604), Masjid Al Hilal Katangka (1603), Masjid Mantingan (1559 AD), Masjid Agung Banten (1552-1570), Masjid Menara Kudus (1537), Masjid Sultan Suriansyah (1526), Masjid Agung Demak (1474), Masjid Ampel (1421), Masjid Wapauwe (1414), Masjid Saka Tunggal (1288).
Masjid Agung Banten didirikan oleh Sultan pertama Kasultanan Demak Maulana Hasanuddin ketika menjabat sebagai Sultan Banten pada 1552—1570. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati.
Melihat dari sisi ini, Banten tentunya memiliki nilai sejarah tersendiri dalam penyebaran agama Islam di Banten. Selain itu, Masjid Agung Banten merupakan salah satu peninggalan kebudayaan terbesar di antara manuskrip-manuskrip lain.
Masjid bagi sebagian kalangan masih menjadi masjid yang disakralkan. Terlihat misalnya pada tanggal 12 Maulud sudah menjadi tradisi selalu diadakan peringatan maulid (kelahiran) Nabi di Masjid Agung Banten. Saat inilah biasanya, jemaah membludah “ngalap” berkah. Masjid Agung Banten hingga kini masih berdiri kokoh, oleh karena itu tak heran Masjid Agung Banten memiliki nilai historis yang cukup tinggi, khususnya dalam proses penyebaran Islam di Tanah Banten. Di beberapa kota/kabupaten juga berdiri tegak Masjid Agung yang menjadi simbol peradaban sekaligus kebanggaan daerahnya.
Kalau berkaca pada zaman Rasulullah, seperti telah diungkapkan di atas, pada zaman Rasul di masjid tempat menyusun strategi perang dan pembangunan ekonomi umat. Maka, masjid pada zaman sekarang, sejatinya bukan hanya dijadikan tempat ibadah semata, melainkan tepatnya masjid sudah mempunyai peranan yang multifungsi atau yang dikenal sekarang sebagai pusat Islam (Islamic center/markaz al-islam) seperti tempat menuntut ilmu, pembinaan jemaah, pusat dakwah dan kebudayaan Islam, pusat pengaderan dan basis kebangkitan Islam.
Tidak terelakkan lagi, di mana ada pusat pendidikan, perkantoran, perbelanjaan, pembinaan ummat, di situ pula ada masjid megah yang menjadi payung dari semua aktivitas semua itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pembinaan remaja masjid yang akan menjadi pilar pengganti para generasi tua yang didasari dan dilandasi dengan akidah dan akhlak yang kokoh.
Kalau semua sudah berangkat dari masjid, sebelum kerja melakukan salat duha dulu, saatnya menjelang azan zuhur atau asar segala aktivitas dihentikan untuk salat berjemaah, dan selalu menjaga silaturahmi melalui berjamaan. Maka, insya Allah negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan terlaksana. Semoga. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar