Jumat, 15 Oktober 2010

Menghidupkan Filologi di Banten

Menghidupkan Filologi di Banten
Oleh: Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen IAIN Raden Intan Lampung, Tinggal di Pabean, Cilegon)
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Kabar Banten, Kamis, 14 Oktober 2010

Pekan ini, mulai marak pemberitaan yang mulai melongok situs bersejarah, tempat ziarah yang berkedudukan di Banten Lama, yang kian hari kian tidak terurus dan bahkan memprihatinkan keadaannya.
Bukan itu saja, di daerah pemakaman yang sudah tidak asing lagi bagi awak media Televisi yang selalu mengabadikan situs-situs sejarah. Kini, pemandangan sehasri-hari disesaki dengan para pengemis dan Gepeng yang terkadang “Memaksa” sedekah, atau sekedar menawarkan jasa kantong plastik.
Situs sejarah selalu akan bersentuhan dengan kajian arkeologi dan filologi. Saat ini, kajian filologi belum banyak di minati oleh beberapa kalangan, bahkan peneliti sekalipun, termasuk di Banten. Meskipun ilmu ini, tidak dikatan baru, tetapi gaungnya belum terasa, bisa jadi di beberapa perguruan tinggi belum memasukkan studi filologi dalam sebuah silabus untuk diajarkan paling tidak setingkat mahasiswa, termasuk di dalamnya di Banten.
Sekilas meninjau sejarah Banten, secara geografis maupun teritorial, Banten telah lama bersentuhan sekaligus bersinggungan dengan masuknya kerajaan besar Islam, budaya Hindu, Budha, mistisime, dan lain sebagainya. Terlihat misalnya terpampang dengan jelas terdapat benteng bekas kerajaan Islam dengan relif ukiran-ukiran kaligrafi Arab, batu nisan, peninggalan “Batu Qur’an” yang bernuansa artistic.
Ini artinya, peninggalan itu bukan barang mati belaka, sesungguhnya peninggalan itu bisa dihidupkan dengan kajian pernaskahan (filologi).
Seminar sehari tentang “Filologi dan penguatan kajian Islam Indonesia” yang pernah diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama Puslitbang Lektur Keagamaan Balai Diklat Kementerian Agama RI pada beberapa pecan yang lalu perlu disambut dengan baik.
Dalam seminar ini menghadirkan beberapa pembicara. Di antaranya, Prof. Azyumardi Azra, sebagai keynot speech, Prof. Atho Mudzhar, Prof. Hendri-Chambert Loir, Dr. Oman Fathurrahman, dan Dr. Fuad Jabali. Yang menarik dari seminar ini berupaya untuk menghidangkan sekaligus menjelaskan kajian naskah (filologi) bukan terbatas pada sumber-sumber sejarah, sastra dan tasawuf, akan tetapi bukan hanya berhenti pada tataran itu saja bisa juga dalam karya lain semisal sumber fiqih, syariah (hukum Islam), tafsir, bahkan tidak jarang ditemukan juga naskah-naskah kuno yang bersumber dari budaya.
Penekanannya pada bagaimana mengupayakan penemuan sumber primer yang dianjurkan kepada para pengajar, peneliti, dan praktisi pendidikan melalui seminar, kuliah dan kajian ilmiah lainnya. Bila merujuk ke belakang, tradisi tulis menulis telah lama berjalan dalam kancah wacana lokal Islam (Islamic local discourse) di Indonesia.
Banyak faktor pendukung yang menjadi media, bukan hanya pada media kertas saja, tetapi sudah dilakukan pula pada batu, kulit binatang, tulang, bahkan daun. Kajian pernaskahan nusantara di bilang masih awal di Indonesia. Dalam kajian awal, Prof. Azyumardi Azra mengatakan bahwa kajian pernaskahan di nusantara telah di mulai dari tahun 80-an.
Di antara para pengkaji adalah Prof. Peunoh Dali yang mengkaji teks naskah “Mir’ah al-thullâb”, selanjutnya pernah dilakukan oleh Prof. Salman Harun yang mengkaji teks “Tafsir Tarjuman al-Mustafid” keduanya karya Syaikh Abdurrauf Singkel, Prof. Moh. Ardani membahas kajian teks-teks jawa, yang menarik mereka tidak dikatakan atau tidak bergelar filolog.
Selanjutnya, kajian filologi secara khusus di dalami oleh Prof. Nabilah Lubis sebagai peletak awal pengembangan filologi di IAIN kemudian sampai berubah menjadi UIN Jakarta. Salah satu muridnya adalah Dr. Oman Fathurrahman, dialah kemudian yang melanjutkan estafet pelanjut kajian ini dengan mengambil program S-3 dengan mengambil konsentrasi Filologi di UI.
Ilmu filologi yang selama ini mungkin dianggap sebagai kajian yang sukar, sudah mulai bergeliat menjadi reformulasi keilmuan. Bahkan saat ini, di SPs UIN Jakarta sendiri sudah membuka program khusus kajian filologi, atas kerjasama Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang dan Diklat Kemenag RI.
Bahkan sebelum kajian di atas, Syekh Imam Nawawi Banten (w. 1314 H./ 1897 M.) memiliki banyak kitab baik dalam bentuk manuskrip maupun yang telah naik cetak yang sayangnya tidak sampai ke Indonesia, apalagi tidak ada kesadaran dari masyarakat Banten untuk melestarikan, atau dalam bahasa lain, karya-karyanya adalah kekayaan intelektual karya asli wong Banten.
Sehingga generasi penerusnya, tidak tahu karya asli tersebut, atau bisa jadi sebagian masyarakat Banten mengenalpun tidak sosok Nawawi. Forum kajian Kitab Kuning (FK3) menyebutkan beliau menulis 100 kitab lebih dalam berbagai bidang. Di antara sekian banyak karya Syekh Nawai yang dikenal dan terlacak adalah Tijan al-Durar, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majid, Tafsir al-Munir, Qami’ al-Tughyan, Tanqih al-Qaul, Sullam al-Munajat, Nihayah al-Zain, kasyifah al-Syaja’, nashaih al-‘Ibad, Minhaj al-Raghibun, dan Uqud al-Lujain fi bayan Huquq al-Jauzayn.
Kalau mau melacak, tidak menutup kemungkinan banyaknya pesantren di Banten, juga melahirkan banayk manuskrip yang terserak di beberapa Ponpes, yang hanya dinikmati oleh pesantren dan santri setempat saja sebagai benda “pusaka dan keramat”.
Ada sebuah catatan penting meminjam bahasa Edwar Said seorang orientalis Kristen berkebangsaan Palestina “from with in” bahwa dalam menjelaskan dan mengkaji Islam, kita harus mengkaji dari dalam, bukan sebaliknya “from with out”. Maksudnya adalah mengkaji tentang Islam sejatinya belajar dari diri dan dari penulis para pengkaji Islam sendiri, bukan dari non Islam.
Hal ini dimungkinkan dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman tentang kajian tersebut, atau paling tidak akan terjaga keobjektifitasan dari pengkaji. Begitupula dalam mengkaji naskah-naskah Islam. Walupun teori ini bisa saja dipatahkan dan di kritik, agar tidak terjadi pengungkapan terhadap pola pikir dan paradigma.
Pendek kata, naskah yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah makhtûthât merupakan budaya dan warisan intelektual yang merefleksikan keadaan ketika itu, baik dari sisi sosial, keagamaan, pemikiran, dan termasuk kemajuan dari peradaban masyarakat lokal sekitar.
Kalau demikian halnya, kajian atas pernaskahan menjadi sebuah keniscayaan dan kajian ini menjadi penting. Di beberapa daerah masih banyak terdapat aksara pegon yang bertuliskan Arab, atau tepatnya aksara Arab. Bahkan bisa dimungkin naskah yang ada di nusantara ada ketekaitan dengan Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia. Dan Banten menjadi salah satu Provinsi yang bersentuhan dengan kesejarahan itu.
Saya kira masih sangat banyak naskah yang belum tergarap, baik naskah Jawi, Banten, Sunda, Melayu, Bugis, dan lain-lain. Selain itu, seperti telah disinggung di pembahasan awal, bahwa pernaskahan bukan hanya ditulis di atas kertas saja, akan tetapi banyak juga media naskah termasuk yang tertulis di tembok bahkan nisan-nisan.
Memang filologi terpaku pada kerumitan pembacaan teks, tetapi bukan berarti kerumitan ini akan menenggelamkan semangat keingintahuan kajian terhadap teks. Belum lagi dengan problem sejarah lampau nusantara yang banyak merelakan naskah-naskah nusantara yang banyak diboyong ke Negara lain.
Selain banyak pula karya manuskrip (makhtûthât) yang masih dianggap sakral oleh beberapa kalangan yang ada di beberapa tempat semisal keraton dan tempat-tempat suci lainnya. Problem yang lain adalah banyak karya naskah karya ulama Indonesia yang tinggal di Negara lain. Dan pada intinya kajian ini merefleksikan kembali dalam rangka menghidupkan khazanah intelektual bangsa yang kian ditinggalkan peminatnya.
Pada akhirnya, kajian filologi atas pernaskahan nusantara sejatinya mulai digagas untuk dimasukkan dalam kurikulum perguruan tinggi, agar penyebarannya lebih meluas pada tataran masyarakat luas, seperti kajian keislaman lainnya seperti kajian fikih, syariah, ushuluddin, dan lain-lain. Bahkan sejatinya menjadi tanggung jawab pemerintah juga untuk melestarikan dan menjada kekayaan intelektual yang tidak ternilai harganya. Kalau bukan kita siapa lagi.!!!.[Wallâhu a’lam bi al-shawâb]


*Penulis adalah kandidat Doktor Islamic Studies Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen IAIN Fakultas Syariah Raden Intan, Lampung, tinggal di kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Cilegon, Banten. Email: elhasan_ahsyamsun@yahoo.co.id

2 komentar:

muhammad ali baraqbah mengatakan...

Assalamu'alaikum wr. wb
salam kenal
salut buat anda. saya seorang penggemar filologi dan naskah-naskah kuno. dan sekarang saya dan kawan-kawan sedang terus melaksanakan digitalisasi naskah-naskah kuno. karenanya,maka tulisan anda sangat berharga buat saya. terimakasih.
silakan juga anda berkunjung ke blog saya dengan alamat:
muhalibaraqbah.blog.spot.com
sukses buat anda.
wassalaam...

DR. Hasani Ahmad Said, M.A. mengatakan...

Terimakasih atas komentarnya. smg kita saling berbagi ilmu.