Oleh Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & Dosen FS IAIN, Lampung)
*Tulisan pernah dimuat di Koran harian Kabar Banten, Rabu, 22 September 2010
Wacana pengalihan ibu kota terus mengalir deras, bak “Air mengalir sampai jauh” begitu ungkap Gesang dalam satu bait syair lagunya. Setidaknya Koran Kabar Banten melansir isu ini dengan menjadikan berita penting dua hari berturut-turut; pertama, Jum’at, 17 September 2010 dengan memuat opini H. Andika Hazrumy (anggota DPD RI) yang bertajuk Banten Layak Jadi Ibukota RI; kedua, menjadikan headline dengan judul Banten Siap Jadi Ibukota, Sabtu, 18 September 2010.
Hazrumi memberi dua alasan kenapa Banten layak menjadi “primadona” yang perlu dipertimbangkan menjadi Ibukota Negara? Pertama, dari sisi historis antara Banten dan Jakarta (dulu Jayakarta) memiliki keterkaitan erat; kedua, dari sisi ekonomi, lebih efektif dan efisien dibanding memindahkan Ibukota Negara ke Palangkaraya (Kabar Banten, 17 Sep, hal. 8).
Sementara H.M. Masduki menyatakan “Kami tunggu keseriusan pemerintah pusat dulu. Jika memang Banten termasuk daerah yang tepat untuk jadi ibu kota Negara RI, tentu secra pribadi saya akan sambut baik (Kabar Banten, 18 Sep, hal. 1).
Jika dilihat dari potensi, Banten memiliki daerah dan lahan yang sangat luas yang akan memudahkan terhadap penataan daerah Ibu kota, selain juga memiliki Bandara Internasional. Ubaidillah, staf ahli Gubernur Banten mengatakan, ibu kota Negara pindah ke Provinsi Banten dapat mempercepat pembangunan di Banten (Kabar Banten, 18 Sep, hal. 13).
Isu pengalihan Ibu kota Negara pertama kali dirilis oleh Presiden SBY saat membuka Rakernas Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), 2 Desember 2009 di Palangkaraya. Isu ini terus berhembus hingga beberapa bulan belakangan ini, akibat kemacetan di Ibukota Negara (Jakarta). Ternyata, bila menelaah sejarah lebih jauh, hembusan usulan Ibukota Negara pernah terjadi juga pada masa Soekarno dengan mengusulkan Kalimantan Tengah sebagai Ibu kota Negara dan era Soeharto yang menawarkan Jonggol, Jawa Barat sebagai Ibu kota Negara RI.
Dalam usulan SBY, paling tidak ada tiga opsi yang dibeberkan; pertama, dengan melakukan pembenahan Jakarta; kedua, usulan pemindahan Ibu kota Negara di luar dari Jakarta; dan ketiga, dengan melakukan pembangunan ibu kota baru.
Kita coba kaji satu persatu, semoga menemukan solusi yang terbaik, untuk selanjutnya menjadi pertimbangan kuat dalam mengambil kebijakan ke depan. Usulan pertama melakukan pembenahan Jakarta. Mencermati kata-kata ini, kembali kita teringat terhadap jargon salah satu kandidat Gubernur Jakarta kala itu dengan ungkapan “Ayo benahi Jakarta”, tetapi jargon ini nampaknya tidak mampu mendongkrak suara salah satu kandidat Gubernur ketika itu. Malah yang menarikan adalah, justru yang masih mengembankan kepercayaan amanah rakyat adalah yang berjargon “Serahkan Jakarta pada ahlinya”.
Upaya pembenahan Jakarta, pernah dilakukan oleh Sutiyoso dengan melakukan melakukan mega proyek Bus Way dan membangun jalur kereta Mono Reil. Namun, banyak pengamat mengatakan proyek ini justru menambah beban kemacetan Jakarta. Kalaupun memiliki imbas positif, akan tetapi imbasnya tidak terlalu signifikan dibanding dengan biaya yang dikeluarkan. Namun demikian, upaya ini perlu juga diapresiasi dalam rangka mewujudkan Jakarta yang bebas macet. Belum lagi dengan Banjir setiap tahunnya, membuat Jakarta semakin di kepung dengan segudang persoalan.
“Serahkan pada ahlinya”, dalam salah satu TV swasta, Foke (panggilan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta) menafsirkan bahwa maksud dari kata itu adalah menyerahkan kepada ahlinya, bukan hanya pribadinya sebagai Gubernur, akan tetapi menyerahkan kepada ahli sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing. Pendek kata, segala langkah telah diupayakan untuk mengatasi dengan mengatasnamakan pembenahan Jakarta, namun hasilnya masih perlu upaya keras nampaknya. Dari mulai Bus way samau usulan 17 langkag terobosan (jalur ganda kereta api, electronic road pricing, penambahan jalur tol, dll.) ternyata memang Jakarta masih menjadi “Primadona urbanisasi” yang mengakibatkan membludaknya jumlah warga, alih-alih meninggalkan kesan ketidakstabilan antara jumlah penduduk dan luas wilayah.
Opsi kedua dan ketiga pemindahan pusat pemerintahan ke luar Jakarta dan pembangunan ibu kota baru. Kabar yang up to date dan santer, pemerintahan Ibu kota Negara akan dilakukan di Palangkaraya. Secara wilayah territorial, Palangkaraya letaknya sangat jauh dari posisi ibu kota Jakarta. Menanggapi opsi ketiga, kalau pembangunan ibu kota baru tentu menjadi opsi terakhir yang bisa dilakukan apabila opsi pertama dan kedua sudah tidak mempu lagi di tangani.
Sejatinya, yang menjadi pertimbangan dalam mengambil arah kemanakah yang lebih tepat pengalihan ibu kota Negara adalah: pertama, letaknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, sehingga memudahkan akses pemindahan dan bisa jadi tidak terlalu kesulitan untuk pemindahan dan lain-lain; kedua, memiliki potensi wilayah yang akan mengundang investor; ketiga, memiliki SDA dan SDM mumpuni dalam pengembangan menjadi Negara maju dan kaya; dan keempat yang tidak kalah pentingnya, mempunyai nilai historisitas atas bangsa.
Di atas telah dijelaskan bahwa Banten adalah menjadi salah satu Provinsi “Primadona” yang layak dipertimbangkan menjadi Ibu kota Negara RI. Ada beberapa pertimbangan kenapa Banten menjadi “Primadona” yang patut “Dilamar” menjadi Ibu kota Negara RI. Pertama, dari segi infrastruktur yang ada sekarang, Banten, melalui kota Cilegon telah lama dikenal di mancanegara sebagai kota baja terbesar di Dunia. Hal ini tentunya menguntungkan akan datangnya investor. Aat Syafaat (Wali kota Cilegon demisioner) dan Tb. Iman Ariyadi (Walikota Cilegon) dalam beberapa kesempatan menyampaikan akan pentingnya hal ini. Selain itu, Banten memiliki Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang dan Pelabuhan Internasional di Bojonegara, Kab. Serang, yang akan memudahkan akses baik local, regional maupun internasional yang akan langsung bersentuhan dengan banten sebagai Ibu kota.
Kedua, Banten memiliki nilai historis, kedekatan bahkan kota “jiran” (tetangga) dengan Jakarta. Hal ini akan memudahkan akses percepatan pemindahan dan pembangunan. Bahkan, boleh dibilang antara Banten dan Jakarta tidak ada jarak pemisah antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya. Bagaimana tidak, perbatasan antara Banten-Jakarta sudah menyatu, kecuali ditandai dengan pembatas-pembatas yang mengatasnamakn wilayah masing-masing. Misalnya, perbatasan antara Banten, dalam hal ini Tangerang Selatan dan Jakarta Selatan di batasi dengan gerbang pembatas yang terpampang dan bertuliskan “Perbatasan Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta” antara Ciputat dan Pasar Jumat.
Ketiga, sejak dulu Banten sudah dikenal oleh dunia luar melalui jalur perdagangannya. Prof. Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulawan Nusantara Abad XVII dan XVII mencatat bahwa pada tahun 1048/1638 penguasa Banten, ‘Abd al-Qadir (berkuasa 1037-63/1626-51), mendapat gelar sultan dari Syarif Makkah sebagai hasil missi khusus yang dikirimkannya ke tanah suci. Sultan Banten ini juga menerima Bendera dan Pakaian suci dan apa yang dipercayai sebagai bekas jejak kaki Nabi dari penguasa Haramayn. Semua pemberian Syarif Mekkah ini terus berlangsung melui pertukaran surat menyurat dan hadiah di antara istana banten dan penguasa haramayn hingga menjelang akhir abad ke-17.
Bahkan, al-Makassari (w. 1111/1699) yang dilahirkan di Sulawesi sebagai perintis kerajaan Aceh memulai karirnya di kesultanan Banten (Bantam) dalam rangka menyebarkan pembaruan jaringan ulama di kepulauan Nusantara. Selain itu, nama-nama besar yang telah mengharumkan Banten di kalangan internasional misalnya, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang menetapkan sebagai kesultanan pada tahun 1552 M., yang dipimpin pertama kali oleh Adipati Hasanuddin Syarif Hidayatullah dan pada satu tahun kemudian Sunda Kelapa dimasukkan dalam adiminstrasi pemerintahan kesultanan Banten.
Selanjutnya, Sultan Ageng Tirtayasa (1053-96/1652-83 ketika itu orang-orang Banten sudah berniaga dengan para pedagang dari Inggris, Denmark, Cina, Indo-Cina, India, Persia, Filipina, dan Jepang. Kapal-kapal kesultanan Banten berlayar di banyak perairan Nusantara, mewakili kekuatan dagang terakhir dari kerajaan-kerajaan Melayu-Indonesia. Dan yang yang tidak boleh dilewatkan adalah peranan Syekh Muhammad Nawâwî al-Jawî al-Bantâni (1815 M./ 1230 H.- 1314 H./ 1897 M), yang bergelar ulama Hijâz (Master of the teachers of the Hijâz) sebagai symbol kecerdasan warga Banten yang dikenal bukan hanya di Indonesia atau Negara rumpun Melayu lainnya, tetapi dikenal juga sebagai ulama Internasional. Karya monumental sebagai magnum opus yang dikenal dan dinikmati hingga sekarang yaitu Tafsir Marâh Labîd Li Kashfi Ma‘nâ Qur’ân Majîd. (Hasani Ahmad Said, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hal. 57-62).
Dari hasil analisis di atas, tentu hasilnya, Banten menjadi lebih dikenal bukan hanya sebagai salah satu pusat Islam penting di Jawa pada masanya, selain itu juga ternyata Banten pernah menjadi pusat pemerintahan di Negara yang dikenal Republik Indonesia sekarang. Pada akhirnya, sangat mungkin, Banten menjadi “Primadona” Ibu kota Negara RI yang akan “Dipinang” menjadi Ibu kota Negara RI, tinggal bagaimana pemerintah provinsi Banten yang dibantu oleh Bupati dan Walikota mempersiapakn dengan matang lamaran tersebut. [*]
*Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung. Tinggal di Link. Pabean, Kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon-Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar