Copyright � 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Selasa, 20 Juli 2010
Meninjau Ulang Kenaikan TDL
Hasani Ahmad Said
Pengajar IAIN Raden Intan Lampung
Apa boleh dikata ibarat pepatah "nasi sudah menjadi bubur", begitulah ibarat buat pemegang kebijakan dalam hal ini pemerintah yang telah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Akan tetapi bukan berarti kebijakan ini tidak bisa diubah untuk selanjutnya direvisi atau bisa jadi ditinjau ulang, atau bahkan dijadikan evaluasi perbaikan untuk mengeluarkan kebijakan yang “tak bijak” ke depan. Yang menarik, kenaikan TDL dilakukan pemerintah di balik berita yang menirani kenaikan TDL sehingga seolah-olah luput dari sorotan media. Akibatnya, seolah-olah masyarakat mengamini kebijakan yang tidak prorakyat ini.
Sebuah kenicayaan, di tengah kemelut ekonomi yang belum pulih, belum lagi semakin merosotnya dan memburuknya pelayanan pemerintah terhadap masyarakat luas sehingga lagi-lagi yang selalu memikul berat beban pemerintah adalah wong cilik lagi. Opini publik tentang kenikan tarif dasar listrik dibungkam oleh pemberitaan yang mempunyai rating tinggi. Di mulai dari karut-marutnya polemik perjudian yang berusaha dilegalkan, kasus Ariel-Luna-Cut Tari, kasus rekening gendut Polri versus ICW, mempersenjatai Pol. PP, dan lain-lain. Terlepas apakah ini ada dalang pengaburan berita, kemudian sudah muncul berita kenaikan TDL. Berita ini tentunya mencengangkan bagi masyarakat kecil dan perusahaaan kecil menengah.
Ada beberapa tinjauan yang ingin saya kemukakan. Pertama, kerancuan sistem yang diatur. Kedua, timing-nya tidak tepat di saat waktu masuk sekolah dan sebentar lagi masuk puasa dan Lebaran. Ketiga, keputusannya mestinya dilakukan oleh presiden, bukan oleh menteri. Analisis ini juga dilontarkan oleh mantan Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie. Perlu dijelaskan yang dimaksud kerancuan sistem di sini adalah subsidi yang tidak efektif dan efisien. Hal ini misalnya terlihat dari input-nya tidak tepat sasaran dan lain-lain. Selain itu, kepenting masytarakat sering diperjualbelikan untuk membuat kebijakan sehingga selalu kebijakan itu mengatasnamakan subsidi. Untuk itu, mestinya dipertegas kembali makna subsidi yang dimaksud oleh pemerintah.
Kenaikan TDL Jerat Masyarakat Bawah
Disadari atau tidak imbas kenaikan TDL akan memusingkan para pelaku pasar tradisional, khususnya usaha kecil menengah. Pada gilirannya, yang dikhawatirkan adalah pengurangan hasil produksi dan lebih dari itu, pada gilirannya akan ada PHK yang akan menambah lagi pengangguran. Walaupun belum sampai pada dampak yang signifikan, kejadian itu bisa saja akan terjadi pada ranah paling gawat bagi pelaku usaha kecil menengah. Kekhawatiran ini sesuatu hal yang wajar, bagaimana tidak, hal yang tidak pernah dialami oleh para pengambil kebijakan atau dalam hal ini Pemerintah Pusat pemegang kebijakan. Hal yang menarik dari beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan anggota DPR dan menteri terjun langsung ke pasar tradisional yang memulai dialog dan melakukan sidak langsung ke pasar induk Jakarta. Mestinya, hal ini tidak hanya dalam waktu tertentu atau sesaat saja, tapi bisa dirancang berkelanjutan. Karena dengan begitu pemerintah langsung menyaksikan bagaimana jeritan dan penderitaan rakyat bawah.
Analisis ini memungkinkan untuk dijadikan pengambilan kebijakan untuk selanjutnya. Bukan malah memolitisasi untuk menenangkan masyarakat bawah sejenak agar tidak terjadi gejolak sesaat. Hasilnya memang cukup efektif, lepas dari sorotan para pengkritik pemerintah. Namun mestinya tidak demikian, kontrol terhadap kebijakan pemerintah juga perlu untuk melihat lajunya kepemimpinan saat ini agar pengambilan kebijakan tepat waktu dan sasaran. Selama ini, income masyarakat jauh di atas negara-negara lain, bahkan negara tetangga sekalipun, akan tetapi kebijakannya ingin memosisikan dan mensejajarkan dengan negara lain. Para intelektual sering mengungkapkan, seandainya pengelolaan sumber daya alam di Indonesia ini dilakukan secara baik dan benar, mestinya tidak akan ada berita kekurangan pasokan listrik, dan berita lain yang mengerdilkan negaranya sendiri. Para ahli mestinya saling bahu-membahu dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dari SDA yang dimiliki, bukan malah mengeksploitasi alam. Sungguh pun demikian keadaannya, sejatinya harus adanya kesadaran dari masing-masing pribadi sebagai warga negara untuk menjaga dan meningkatkan kualitas serta memikirkan bangsa ke depan sampai anak cucu generasi penerus selanjutnya.
Meskipun dampaknya tidak terlalu banyak tersorot, mestinya kebijakan dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan pada waktu yang tepat. Beberapa saat lagi akan masuk Ramadan, belum lama ini mulai masa masuk sekolah, kemudian momen Lebaran, Natal, dan tahun baru. Pendek kata, sudah saatnyalah kebijakan yang tidak populis dikesampingkan dahulu dengan melihat waktunya yang tepat. Efektif dan efisienkan dana-dana yang lain yang tidak produktif untuk menutupi “kerugian” walaupun belum melalui penelitian dan kajian mendalam.
Semoga dengan cara demikian, bukan hanya pemerintah yang diuntungkan dengan kebijakan yang akan mendukung lancarnya kegiatan masyarakat, tetapi masyarakat luas juga tidak keberatan karena nilai income sudah standar dan mencukupi bagi diri dan keluarganya. Mestinya ini yang dipikirkan dan diperjuangkan, bukan bagaimana mendapatkan keuntungan dari jerih payah rakyatnya.
Diambil dari :
http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2010072006122652
Tidak ada komentar:
Posting Komentar