Rabu, 17 Februari 2010

Islam dan Media menuju Islam Humanis

Islam dan Media menuju Islam Humanis
Tanggapan atas Tulisan Prof. Khomsahrial Romli

Oleh: Hasani Ahmad
Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tinggal di Lampung

Amat berbahagia keluarga besar civitas akademika IAIN Raden Intan Lampung tanggal 9 Desember 2009 bertepatan dengan peringatan Hari Anti Korupsi, kembali melahirkan guru besar yakni Prof. Dr. H. Khomsahrial Ramli, M.Si. dalam bidang ilmu komunikasi masa pada Fakultas Dakwah. Tajuk orasi ilmiah yang diangkat adalah “Islam, Sebuah Tantangan bagi Media Barat”. Tema yang dibukukan ini, kemudian diedit dan dimuat di opini Lampung Post dengan judul yang sama “Islam: Tantangan bagi Media Barat”, pada tanggal yang sama dengan pengukuhannya. Sekilas tema ini tidak ada permasalahan yang mendasar, akan tetapi jika ditelaah lebih dalam, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh penulis, yaitu pertama, apakah betul Islam merupakan sebuah tantangan? Kedua, bukankah Islam datang sebagai jawaban atau solusi atas tantangan yang ada? Ketiga, perlu ditinjau ulang pengistilahan media Barat, apakah ada media Timur dan seterusnya? Dan keempat yang ingin penulis kemukakan di sini adalah Islam sesungguhnya menghadirkan nuansa yang humanis, menghindarkan cap buruk tanpa meninggalkan kritisnya, yang memberi kesejukan pada siapapun (rahmatan li al-‘âlamîn).
Pada awal buku orasi ilmiah Prof. Khomsahrial Ramli menulis mengenai Islam, makna Islam, hubungan Islam dengan non muslim, bahkan menyitir potongan surah al-kâfirûn ayat 6 “bagimu agamamu bagiku agamaku” bahkan beliau menyitir hadis shahih Buhkari Muslim “setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang membawa kepada yahudi, nasrani atau majusi”. Dua dalil naqli ini dikutip dalam rangka mendukung adanya toleransi dalam beragama. Akan tetapi pada pembahasnnya justru berbalik arah mengkrik media barat tanpa adanya penyeimbang informasi. Hal inilah yang menggelitik pemulis untuk “share” menanggapi opini Prof. Khmsahrial Romli.
Metodologi yang dipakai dalam tulisan ini adalah analisis tekstual, melalui analisis paradigmatik (Claude Levi Strauss, 1996), suatu teks bisa dipahami dengan melihat oposisi teks tersebut. Analisis sintagmatik (Vladimir Popp, 1928/1968), dalam arti teks ditafsirkan dengan teks tersebut sebagai suatu deretan kejadian yang bisa memberi makna dan ideological critisme (Antonio Gramsci, 1891-1937), yakni dipakai dalam rangka mengkritisi komunikasi barat menuju komunikasi Islam.
Berbicara konsep Islam tentang media, berarti menelusuri media komunikasi dari perspektif al-Qur’an, al-Sunnah, dan pendapat ulama. Hamid Maolana sebagaimana Ibnu Khaldun menarik teori komunikasi dari asal kata tablîgh. Sementara dari sisi tujuan, yang mengarah kepada isi (content) dapat diungkapkan pengistilahan seperti hikmah, mauidzah hasanah, mujâdalah yang ahsan, ya’muru bi al-ma’rûf wa yanhauna ‘ani al-munkar, qaulan sadîda, qûlû li al-nâsi husna.
Selanjutnya, kajian tentang media kemunculannya dimulai tahun 1940-an, kehadirannya membuat terperangah banyak masyarakat, sehingga banyak elemen yang berupaya melakukan kajian. Berbagai pendekatan dipakai dalam mengkaji media, misalnya, marxisme, empirisme, bahkan pluralisme. Perkembangan dari kajian itu melahirkan kecenderungan yang disandarkan kepada kapitalisme dan materialism. Pengelola bisnispun lebih kepada nilai uang (money value), dan rating tinggi yang berdampak pada “gaya” dan program atau rubrikasi suatu media. Sementara di Negara-negara muslim pondasi epistemological dan ethical praktek media masih kecenderungan ke idiologi dan filosofi Barat. Motif utamanya masih berkutat sales values serta diatur oleh mekanisme pasar (market mechanism). Menurut Islam media hendaknya mewujudkan keadilan, kesederhanaan, kedamaian, amanah, kritis sesuai dengan prinsip tawâ shaub al-haq wa tawâ shaub al-shabr, amar ma’ruf nahyi munkar. Maka media Islam sejatinya menghadirkan transfer of knowledge dalam bingkai wisdom.
Membahas opini Prof. Khomsahrial yang menyimpulkan bahwa “media barat sangat etnosentrik dengan nilai-nilai budaya yang mereka anut, seraya menilai islam berdasarkan stereotip-stereotip yang menyesatkan” (Lampung Post, 9 des 09, h.16) sungguh sangat kurang tepat, atau dalam bahasa lain salah tempat. Hal ini menyesatkan public, karena memotret media Barat secara parsial yang bisa menimbulkan gejolak rasisme. Di atas telah disinggung ketika menghidangkan islam sebagai objek kajian, maka sejatinya tidak terlepas dari nilai-nilai Islamic studies. Ketika media yang dihidangkan, maka akan bersinggungan dengan konsep dakwah atau tabligh meminjam bahasa Ibn Khaldun. Perubahan paradigmatic media bisa dilakukan jika konsep komunikasi berdasarkan system nilai dan kerangka nilai ideal. Merumuskan nilai idealitas tentunya harus dibangun atas dasar filosofi dan nilai etik ideal yang diteima oleh masyarakat umum. Dr. jamhari Makruf membahasakan perlunya antropologi dalam kajian Islam, atau dalam bahasa Dr. Fuad Jabali perlunya ilmu-ilmu humaniora dalam kajian Islam kedepan, sehingga Islam terhindar dari cap radikal.
Kerangka teoritis dan landasan filosofisnya sangat jelas terurai dalam al-Qur’an ud’u ilâ sabîli Rabbika bi al-hikmah wa al-mau’idzah al-hasanah wa jâdilhum bi allati hiya ahsan. Konsep dakwah sesungghunya harus dilandasi dengan jalan penyampaian yang bijak (hikmah), ungkapan kata-kata yang indah (mau’idzah al-hasanah), dan kalaupun berdebat, tentunya kedepankan cara terbaik (ahsan). Dalam beberapa literatur, diskursus tentang agama dan teknologi sudah banyak dilakukan di Amerika. Teknologi yang dimaksud dalam diskursus tersebut adalah teknologi media: radio, televisi, dan percetakan. Pada waktu itu, muncullah apa yang dikenal dengan istilah televangelism, teledakwah, atau jarak jarah jauh. Dalam konteks ini, di samping harapan yang ditawarkan oleh teknologi media untuk kepentingan dakwah, terdapat juga kritik yang dialamatkan tentang kemungkinan komersialisasi agama.
“Memprasangkai Prasangka Media” Menuju Prasangka yang Menyejukkan
Saya perlu dikemukakan di sini bagaimana Sayyid Qutub seorang ulama kontemporer Mesir merumuskan sekaligus mengkritisi berbagai paham filsafat Barat dengan segala konsekuensinya menggagas paradigma Islam. Paling tidak ada enam tawaran paradigm Islam yang harus ada dalam media komunikasi Islam. Yaitu, tauhid, realistis, permanen, positif, seimbang dan permanen. keenam gagasan ini, semuanya bermuara kepada satu titik yaitu ketuhanan (Rabbâniyyah). Artinya media tidak terlepas dari arahan dan bimbingan Tuhan. Sehungga jalurnya akan senantiasa pada koridor agama yang lurus. Paradigm yang digagas Sayyid Qutub ini, sejatinya diterapkan oleh siapapun yang berhubungan dengan media. Kalaupun akan mengungkap sisi kontrofersi, maka hadirkanlah informasi yang seimbang. Satu contoh kecil Misalnya, kejadiannya kehancuran menara kembar world trade centre (WTC) di New York membuat geram presiden Amerika Serikat sehingga membuat rekayasa opini public melalui media yang menyudutkan Islam. Akan tetapi di sisi lain hancurnya gedung WTC justru Islam di Amerika semakin bertambah. Wallahu a’lam.


*Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & pemerhati soial Keagamaan. Jl. Perum Korpri Blok B1, no. 3, Sukarame Bandar Lampung. Hp. 085216099379. email hasani_banten@yahoo.com / www.hasanibantenblogspot.com

Tidak ada komentar: