Jumat, 05 Juni 2009

PENDEKATAN STUDI-STUDI ISLAM DI INDONESIA

PENDEKATAN STUDI-STUDI ISLAM DI INDONESIA

Oleh : Hasani Ahmad Syamsuri, M.A.

Pendahuluan

Secara historis, umat Islam —terutama yang bersemangat mencampuradukkan agama dengan politik— tidak pernah sadar, bahwa konflik yang terjadi antarumat Islam sejak zaman klasik Islam, merupakan konflik politik yang sangat kental dibumbui oleh isu agama dan klaim-klaim syariat —kalau bukan agama dan syariat sebagai menu utamanya. Oleh karena itu, tanpa memungkiri dan berkelit dari fakta sejarah, Al-Asymawi justru mengatakan bahwa sejarah Islam adalah sejarah perang (târikhu harbin) di mana nafsu kekuasaan tanpa sungkan-sungkan mengangkangi nilai-nilai etik-moral keagamaan.

Dari kaitan di atas, perlu kiranya meninjau ulang atas polemic di atas, dengan melakukan pendekatan studi-studi Islam di Indonesia, terutama yang sudah dilakukan oleh beberpa peneliti. Di bawah ini, akan mencoba melakukan pendiskripsian sejumlah teori-teori mengenai Islam di Indonesia kontemporer dalam kaitan dengan persoalan social keagamaan, budaya, dan politik, kemudian mengilustrasikannya. Sedikitnya terdapat lima pendekatan teoritis dominan, yang pengaruhnya, hingga tingkat tertentu, masih terasa dewasa ini. Kelima pendekatan tersebut adalah: (1) dekonfessionalisasi Islam, (2) domestikasi Islam, (3) skismatik dan aliran, (4) trikotomi, dan (5) Islam cultural.

Tulisan ini akan memaparkan teori-teori tersebut secara garis besar dan melihat sejauh mana teori-teori itu berguna untuk menjelaskan fenomena kontemporer politik Islam di Indonesia,khusunya yang menyangkut hubungan pilitik antar Islam dan Negara. Pertama-tama akan dipaparkan argument-argumen umum yang dikembangkan dalam teori tersebut. Di sini, dikemukakan juga kasus-kasus relevan yang akan memperkokoh atau memperjelas argument-argumen yang telah dikemukakan dalam teori-teiori tersebut. Kemudian, nilai teori-teori tersebut akan dilihat untuk menentukan sejauh mana kegunaan dalam menjelaskan politik Islam di Indonesia dewasa ini.

Pendekatan Dekonfessionalisasi Islam

Pendekatan dekonfessionalisasi atau dikenal dengan teori pengakuan, dikenalkan dan dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze. Ia berkebangsaan Belanda, yang mencoba melihat Islam di Indonesia dari sudut pribumi. Sebenarnya, pendekatan sosio-kultural dan politik Belanda ini, bermula dan dipakai di kelompok teori Dekonfessionalisasi. Teori ini, ingin melihat Islam pada masa sebelum kemerdekaan yang menganggap seharusnya seperti yang sesungguhnya. Dalam arti bahwa, Islam tidak perlu disimbolkan, akan tetapi yang penting adalah substansinya.

Seperti dikemukakan oleh Nieuwenhuijze, seperti dikutip Dr. Bakhtiar Effendi dalam buku Islam dan Negara, mengatakan:

Istilah dekonfessionalisasi ini pada mulanya digunakan di Belanda untuk menunjukkan bahwa, agar dapat menyelenggarakan rekan suatu pertemuan tertentu, wakil-wakil dari berbagai kelompok peribadatan akan menyepakati sebuah landasan bersama (yang dirumuskan bersama), yakni tentang persetujuan bahwa implikasi-implikasi tertentu dari sejumlah (doktrin) peribadatan mereka akan dihindari sebagai topik pembicaraan.[1]

Indonesia termasuk negara yang kaya dan beragam etnis, ras, suku bangsa dan juga agama. Maka, social-keagamaan Indonesia memungkinkan Nieuwenhuijze untuk dikonfessionalisasikan. Indonesia ketika pasca kolonial dapat dilihat sebagai sebuah arena yang cukup representative dalam menerapkan teori ini. Indonesia dengan latar belakang yang berbeda tersebut, misalnya Muslim, Kristen, Nasionalis, Sekuler, Komunis, Moderen, Ortodoks dan lain-lain, menunjukkan bahwa adanya keragaman agama di Indonesia.

Islam, menurut Nieuwenhuijze, adalah faktor yang dominan dalam revolusi nasional.

Dalam kasusus ini, dekonfessionalisasi adalah konsep yang dapat digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep muslim atas dasar pertimbangan kemanusiaan.

Untuk menggambarkan teori yang dikembangkan, pemakalah akan menampilkan kasus-kasus di Indonesia yang sesuai dengan teori di atas.

Masalah agama mendapat perhatian besar ketika para tokoh kemerdekaan merencanakan mendirikan Republik Indonesia pada akhir Mei 1945. BPUPKI, menghadapi pilihan tentang dasar Negara apakah Indonesia akan menjadi Negara kebangsaan, Negara agama atau Negara sekuler. Dalam situasi seperti itu Bung Karno dalam pidatonya mengusulkan dan menegaskan bahwa Indonesia bukan Negara agama juga bukan Negara sekuler, tetapi Negara Pancasila.[2]

Transformasi teologis ini kemudian diikuti pula oleh transformasi sosial politik antara agama pancasila dan politik. Dengan melihat alur interaksi agama dan kehidupan sosial politik dalam masyarakat nusantara sejak berabad-abad yang lampau maka kita akan memperoleh dimensi lain dalam penghayatan kita terhadap gelora revolusi kemerdekaan.

Perubahan tradisi berpolitik mungkin sebuah urgensi logis dalam kenyataan politik Indonesia. Berbagai bentuk konflik fisik dan ideologis yang pernah terjadi sebelumnya, memang merupakan alasan kuat untuk membentuk tradisi politik baru. Tetapi agama dalam pengertian nilai, tetap merupakan faktor pendukung dan pemberi dasar-dasar moralitas dalam dunia politik.[3]

Pendekatan Trikotomi

Pendekatan Trikotomi terutama dirumuskan berlandaskan pertanyaan bagaimankah para aktivis politik Islam memberi respon terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan kepada mereka oleh kelompok elit penguasa.[4]

Pendekatan Trikotomi dikenalkan oleh Allan Samson, yang menganggap bahwa kalangan santri seperti pandangan Geertz itu tidak tunggal. Ia memandang ada tiga varian dalam memandang islam. Varian-varian tersebut adalah:

    1. golongan Fundamentalis[5]
    2. golongan reformis,[6] dan
    3. golongan akomodasionis

Faham fundamentalis, ia menempatkan dasar agama dari segi apapun dan dipakai secara literal untuk diterapkan baik pada sosio kulturalis.

Golongan Reformis, tidak memandang seperti kaum fundamentalis, reformis dalam memandang ajaran al-Quran tidak secara literal, akabn tetapi lebih kepada mementigkan kepentingan umum dibanding dengan pribadi ataupun golongan.

Lain lagi dengan golongan Akomodasionis, ia lebih memandang al-Quran tetap sebagai landasan utama. Sebenarnya melihat realita sosial ada pandangan lain yang tidak dibahas oleh Allan Samson. Golongan itu adalah kaum Opportunis. Golongan opportunis ini bersedia dengan siapapun selama mendapat keuntungan yang sifatnya pribadi. Ia menerima apa adanya, yang penting diberi posisi.

Dibawah ini pemakalah akan mencoba menganalisa dan mencontohkan ketiga gerakan diatas. Kalu kita melihat kaum fundamentalis, jika dianalisa lebih seksama pasca kejatuhan rezim Orde Baru, kita mengamati paling sedikit ada tiga model gerakan islam yang paling menonjol diranah public. Yang pertama adalah gerakan pro syariat, yang kedua gerakan Islam moderat, dan yang terakhir gerakan dakwah sufistik. Gerakan pro syariat adalah gerakan isalm politik yang memperjuangkan penegakan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Bentuk kongkrit perjuangannya adalah seruan kembali ke piagam Jakarta--- sebuah dokumen konstitusi yang memuat dasar Negara pancasila dengan rumusan sila pertamanya ketuhanan yang Maha Esa yang mewajibkan menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Gerakan ini dikumandangkan dan dipelopori oleh Ormas-ormas islam seperti KISDI ( komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan Forum Komunnitas Ahlus-Sunah Waljamaah.[7] Mereka itu disebut dengan kaum fundamentalis.

Dibalik itu, ada juga gerakan pro syari'at yakni Islam moderat.[8] Kelompok ini menolak dengan tegas upya-upaya untuk kembali kepiagam Jakarta melainkan dasar Negara afdalah Pancasila yang dianggap sudah final. Gerakan ini diwakili oleh NU dan Muhammadiyyah. Ada juga dari kalangan muda yang dalam meminjam istilah Komaruddin Hidayat sebagai Islam moderat[9] yang disebut dengan Jaringan Islam Liberal[10]

Dan golongan yang ketiga adalah gerakan akomodasionis, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menyebut sebagai gerakan dakwah sufistik. Kendati melibatkan masa, gerakan ini tidak memiliki agenda perjuangan politik. Tokoh-tokoh dari gerakan ini adalah Aa Gym, H. M. Arifin Ilham, Ust. H. Haryono. Dalam kacamata gerakan islam, penampilan mereka dimuka publik menjadi semacam antitesa bagi citra Islam yang keras yang di representasikan oleh kelompok-kelompok radikal, seperti FPI, MMI, HTI, KISDI, dll.

Aspirasi agar Syariat Islam ditegakkan di bumi Indonesia, dari waktu ke waktu terus disuarakan. Beberapa tahun terakhir, tuntutan tersebut kian kencang, seiring dengan arus reformasi dan kebebasan menjalankan ibadah. Berbagai gerakan Islam, mulai dari yang radikal seperti Hizbut Tahrir (HT), MMI, FPI, hingga gerakan Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah, tak ketinggalan menyuarakan hal tersebut. Membahas lebih dalam masalah ini. Syariat Islam sebagai dasar bernegara dan sebagai pandangan hidup bermasyarakat. Para pendiri dan kita semua sepakat, Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara. Negara ini negara Pancasila, dan bukan negara agama. Tapi, sebagai pandangan hidup seorang Muslim, Syariat Islam itu niscaya. Kita shalat, puasa, berdakwah, dan lain sebagainya, itu kan bagian dari penerapan Syariat Islamiyah.

Pendekatan Islam Kultural

Teori ini diusung oleh Donald K. Emmerson. Secara umum orang melihat umat Islam akan terkalahkan. Akan tetapi, Emmerson ingin mengatakan sebaliknya malah Islam tidak akan terkalahkan. Donald K. Emmerson dalam analisisnya seperti dikutip Dr. Bakhtiar Effendi, mencoba mempertanyakan validitasa tesis bahwa Islam yang berada diluar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap, atau bahwa umat Islam yang tidak terus mengupayakan terwujudnya Negara Islam adalah umat Islam yang tidak berbuat sesungguhnya demi Islam[11]. Dengan kata lain, teori ini adalah upaya untuk meminjam kembali kaitan doktrinal formal antara Isalm dan politik atau Islam dan Negara.

Sebagai contoh, jika kita lihat sejarah perpolitikan di Indonesia, tidak pernah sepi dari keterlibatan para elit agama atau ulam. Dalam sejarah Demak misalnya, pengukuhan Sultan Trenggono sebagai Sultan Demak adalah merupakan kesepakan Wali Songo. Demikian pui#la pada zaman perlawanan penjajah tidak sedikit kiyai dengan dukungan para santrinya melakukan perlawanan kepada Belanda. Perang Paderi (1821-1837) di Sumatra Barat dipimpin Tuanku Imam Bonjol, Petrang Dipenogoro (1825-1830) di Jawa Tengah, Perang Aceh yang cukup lama (1825=1912) adalah beberapa contoh perlawanan Bangsa Indonesia terhadap penjajah, yang melibatkkan para elit agama atau ulam.[12]

Pendekatan Domestikasi Islam

Teori ini sering kali diasosiasikan dengan karya-karya Harry J. Benda mengenai Islam di Indonesia. Teori itu dibangun di atas landasan analisis histories mengenai islam di jawa pada abad ke-16 hingga abad ke-18, terutama pada periode perebutan kekuasaan antara para penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang taat diwilayah pesisir Jawa, yang diwakili Demak, melawan kerajaan mataram yang terkenal singkretis diwilayah pedalaman.

Teori ini memandang bahwa perkembangan perebutan kekuasaan antara Islam dan unsur-unsur non Islam dalam masyarakat Indonesia.

Sepanjang sejarah pemikiran politik di negeri ini, setidaknya mengenal 4 (empat) diskursus penting yang membincangkan tema ini, yang nampaknya tidak selesai menjadi inspirasi dan rujukan bagi diskursus yang selanjutnnya. Pertama, polemik akhir tahun 1930-an antara Soekarno dan Amochlis (nama samaran dari M. Nasir). Polemik ini merupakan kelanjutan dari polemik selanjutnya tentang kebangsaan Indonesia antara Soekarno, Agus Salim (S.I), A. Hasan (Persis), dan Is (nama samaran dari M. Nasir ) tahun 1925.

Menurut Soekarno Indonesia merdeka akan dihadapkan pada 2 (dua) kemungkianan, yakni peraturan staat agama, tetapi tanpa demokrasi, tetapi staat dipisahkan dari agama.[13] Indonesia merupakan Negara yang paling banyak memiliki keragaman agama. Selain lima (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha) yang telah diakui secara formal oleh pemerintah, masih ada agama Konghuchu yang tengah berusaha agar diakui pemerintah, dan beragam aliran kepercayaan, ditambah lagi dalam setiap agama memiliki beberapa madzhab/corak pemikiran dan artikulasi yang berbeda satu sama lain. [14]

Pendekatan Skismatik dan Aliran

Teori Skismatik dan Aliran ini merupakan jawaban atas teori domestikasi yang dikenalkan oleh Harry J. Benda tentang perebutan kekuasaan antara Islam dan non Islam dalam masyarakat Indonesia, antara islam dan jawaisme. Jawaban tersebut jawaban atas lontaran domestikasi Harry J. Benda yaitu misalnya Robert Jay mengenalkan melalui pendekatannya yakni antara santri dan abangan. Santri disini diterjemahkan oleh Robert Jay sebagai seorang yang taat, sedangkan Abangan adalah sebaliknya yakni muslim yang tidak taat. Antara Santri dan Abangan juga ternyata berpengaruh besar terhadap skisme politik.

Selanjutnya Robert Jay memperkenalakn corak islamisasi merupakan bentuk dari peradaban Hindu dan Budha.

Penelitian Cliford Geertz yang menghasilkan Trikotomi: Santri, Priyayi dan Abangan, James L. Teacock atau Deliar Noer yang mendikotomokan Islam tradisionalis-modernis, dan Mark R. Woodward yang memperkenalkan adanya Islam lokal, Toh masih bisa dijadikan bukti akan keberagaman Islam jika ditilik dari sudut antropolgis atau sosiologis.[15]

Teori Skismatik dan Aliran dikenalkan oleh Robert R. Jay dan Cliford Geertz. Untuk mengembangkan konsep aliran, Cliford Geertz dalam tulisannya memaparkan bahwa konsep Aliran

Indonesianis AS yang termasuk angkatan pertama adalah Harry J. Benda. Keturunan Ceko ini malah pernah bekerja di sebuah perusahaan Belanda di Semarang pada masa mudanya, karena ia terpaksa meninggalkan tanah airnya ketika serbuan Jerman-Hitler sudah sampai di perbatasan Ceko. Karya pertamanya tentang Indonesia adalah The Crescent and the Rising Sun yang membahas gerakan Islam di masa pendudukan Jepang. Bersama Ruth McVey, dia juga mengeditori The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia.

Buku karya Indonesianis AS yang paling terkemuka dan paling sering dijadikan referensi tak pelak lagi adalah Religion of Java karya Clifford Geertz. Buku ini memuat teori trikotomi yang populer atas masyarakat Indonesia--santri, priayi, abangan. Selain buku ini, Geertz juga menulis The Social History of an Indonesia Town, Peddlers and Princes, dan Agricultural Involution.

Buku lain yang tak kalah populer adalah Nationalism and Revolution in Indonesia karya George McT. Kahin yang terbit pada tahun 1952. Kahin (1918-2000) adalah pelopor studi Indonesia modern di dunia. Studi Indonesia modern kemudian dikembangkan menjadi studi Asia Tenggara modern. Dalam jangka waktu sepuluh tahun sejak terbit, buku ini sudah dicetak enam kali.

Namun, buku itu banyak menuai kritik, antara lain dari Anak Agung Gde Agung, bekas Perdana Menteri Negara Indonesia Timur. Anak Agung mengatakan bahwa federalisme yang dianutnya bukanlah ciptaan Belanda, bikinan Van Mook, seperti dikesankan oleh Kahin. Jadi tidak benar juga anggapan Kahin bahwa kaum federal adalah boneka Belanda, dan bahwa mereka bukan nasionalis.

Pada masa revolusi, Kahin sempat membantu para pejuang di Yogya, ketika ia melakukan penelitian untuk disertasinya. Dan karena itu, ia pun pernah ditahan oleh Belanda. Ia juga membantu diplomat-diplomat Indonesia dalam lobi-lobi di PBB dan Washington sepanjang tahun 1949-1950. Kahin kenal baik dengan Bung Karno maupun Bung Hatta, dan kenal dekat secara pribadi dengan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, M Natsir, Moh Roem, dan H Agus Salim. Karya Kahin yang lain adalah Regional Dynamics of the Indonesian Revolution dan Subversion as Foreign Policy bersama Audrey Kahin.

Ada satu lagi buku yang tak akan lupa dirujuk orang yang sedang belajar tentang politik Indonesia, yaitu The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia karya Herbert Feith. Buku ini antara lain memuat pembagian gaya kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta. Dikatakan bahwa Bung Karno bergaya solidarity maker, sedangkan Bung Hatta bergaya administrator. Selain buku itu, Feith juga menulis buku The Indonesian Elections of 1955.

Penutup

Beberapa bulan yang lalu, terjadi polemik yang cukup ramai di media cetak nasional tentang sikap peneliti asing. Polemik ini dibuka oleh kritik Kwik Kian Gie atas sikap William Liddle yang arogan sebagai pengamat pemilu yang lalu. Polemik ini melibatkan antara lain Haidar Bagir, Ignas Kleden, dan Bachtiar Alam. Sebagian masyarakat kita memang berkeberatan dengan kiprah para Indonesianis karena mereka acap kali merasa sok tahu terhadap anggota masyarakat yang ditelitinya. Kita tentu berterima kasih atas sumbangan para Indonesianis untuk kemajuan Indonesia, tetapi kita juga tidak ingin didikte, apalagi dijadikan obyek demi kepentingan negara asal mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokraisasi dalam Islam Indnesia. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Aziz, Mushtofa (ed), Kiprah Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Forum Studi Himanda, 2002.

Azra, Azyumardi, Dr., Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1999.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Hidayat, Komarudin (ed), Islam Negara dan Civil Societ: Gerakan dan Pemmikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005.

Mahendra, Yusril Ihza, Prof. Dr., Moderisme dan Fundamentalisme dalam Politik Isalm: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama'at-i-Islami (Pakistan). Jakarta: Paramadina, 1999.



[1] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998), cet I, h. 28

[2] Kurniawan Zain dan Syarifuddin. H.A, Syari'at Islam Yes Syari'at Islam No, (Jakarta: Paramadina, 2001), cet I, h. 9 (Kurniawan Zain dan Syarifuddin sebagai editor)

[3] Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan Kharusan Demokrasi dalam Islam Indonesia,(Surabaya: Risalah Kusti, 1996), cet I, h. 206-209

[4] Bakhtiar Effendi, Islam dan Negaara: TransformasiPemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, loc. Cit., h. 40

[5] Kaum fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia didunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang serba mencakup. Karena itu, ijtihad dengan sendirinya dibatasi hanya kepada masalah-masalah dimana doktrin tidak hanya memberikan petunjuk dan pengaturan sampai detail-detail persoalan. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Isalm,(Jakarta: paramadina, 1999), cet.1, h.31-32.

[6] Reformis bisa sepadan juga dengan Modernisme dalam bahasa Yusril, diartikan sebagai paham yang melihat bahwa dalam masalah-masalah muamalah, doktrin hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad (pemikiran bebas harus digalakan. Paham ini cenderung pada penafsiran yang elastis dan flekssibel. Lihat Yusril, h.29

[7] komariddin Hidayat dan Ahmad Gaus A.F. (editor), Islam Negara dan Civil SocietyGerakan dan Pemikiran Islam Kontempore, (Jakarta: Paramadinah, 2005), h. 488.

[8] komariddin Hidayat dan Ahmad Gaus A.F. (editor), Islam Negara dan Civil SocietyGerakan dan Pemikiran Islam Kontempore, ibid; h. 489

[9] ibid.

[10] Jaringan Islam Liberal (JIL), didirikan pada tahun 2001 oleh sekelompok anak muda, diantaranya< href="http://www.islam/">www.islamlib.com.

[11] bakhtiar Effendi, Islam dan Negara, loc. Cit.,h. 45

[12] Aziz Musthafa, (editor), Kiprah Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bersama Forum Studi Himanda, 2002), cet I, 2002

[13] Denny J.A, H.A Sumargono dan Kunto Wijoyo, ET. Alt Negara sekuler sebuah polemik,(Jakarta: putra berdikaribangsa, 2000), hal. xi.

[14] Kurniawan Zien dan Syarifudin H. A. op. cit. hal. 124 -125.

[15] Kurniawan Zien dan Syarifudin H. A. op. cit. h. 124 – 125.

Tidak ada komentar: