Ramadhan dan Renungan Kematian
Oleh Hasani Ahmad Said, M.A.
Kader Mufassir Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) & Kandidat Doktor UIN Jakarta)
Ramadhan tiba, tidak terasa bulan Ramadhan telah mengampiri kita.
Suka cita dan gegap gempita setiap muslim dan muslimah menyambut bulan yang
penuh dengan berkah, rahmat dan ampunan ini.
Ekspresi ini bisa jadi terilhami oleh teks hadis yang terdapat dalam
kitab Durrat al-Nâsihîn karya Utsman al-Kubbani yang berbunyi “Siapa yang
bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan haramkan jasadnya masuk neraka”. Hadis ini tidak ditemukan siapa perawi (penyampai) hadis dan apa kualitasnya, sehingga bisa terkategorikan hadisnya bermasalah.
Bahkan jauh-jauh sebelum Ramadhan tiba Rasul mengajarkan doa
Allâhumma bâriklana fî Rahab wa Sya’bân wa ballighnâ Ramadhân (Ya allah berilah keberkahan kepada kami di bulan rajab dan Sya’ban, dan sampikanlah kami (menuju) bulan Ramadhan).
Meskipun demikian, keberkahan Ramadhan yang begitu besar, ternyata
tidak semua orang mampu menikmati keberkahan itu. Satu hari yang lalu, saya
mendapatkan sms yang berbunyi “Inna lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn, ayahanda si
Fulan di panggil oleh Allah, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah”.
Pada kesempatan malam harinya, bertepatan dengan 5 Ramadhan, saya
menyampaikan kultum di sebuah jamaah tarawih yang bertemakan “Keberkahan
Ramadhan kaitannya dengan kesempatan hidup di dunia”. Di dalam isi kultum itu
saya sampaikan bahwa betapa keberkahan Ramadhan itu sangat kita rasakan. Akan tetapi tidak semua orang mereguk manisnya keberkahan Ramadhan.
Bisa jadi, hari ini kita masih puasa, tetapi tidak ada satu
makhlukpun yang bisa menjamin esok harinya kita masih bisa berpuasa kembali.
Terbukti, pagi harinya, saya kembali menerima sms yang berbunyi “Kepada Yth
Bapak dosen, telah meninggal dunia mahasiswi UIN yang bernama si fulanah, mhn dimaafkan kesalahannya dan semoga diterima amal ibadahnya”, belum selesai membaca sms, di masjid Fathullah dan sekitarnya terdengar pengumuman meninggal dunia, suami dari ibu fulanah, karyawan masjid Fathullah.
Dari beberapa kisah di atas kemudian timbul pertanyaan siapa yang
mampu mengetahui rahasia kematian itu? dan kapan akan menghampiri kita? Pasti jawabannya adalah tidak ada seorangpun yang mengetahui. Kalau demikian, mengapa kita masih melakukan hal yang dilarang Allah? Pintu taubat akan selalu terbuka. Maka, dibulan Ramadhan 1431 H kali ini, sejatinya dimanfaatkan sebaik dan semanfaat mungkin. Kuncinya, banyak berdzikir, sedekah, baca Qur’an, dan amalan shalih lainnya. Saatnya kita mereformasi keburukan kita dengan kebaikan.
Tepalah kiranya untuk dijadikan perumpamaan, bahwa dunia itu adalah
lading akhirat (al-Dunyâ mazra’at al-âkhirah), begitu sabda Rasul. Maka,
tanamilah ladang dunia ini dengan biji kebajikan, maka kelak engkau akan menuai
kebajikan. Sebaliknya, jika menanam biji keburukan, maka siap-siap pula memanen kaburukannya. Ramadhan merupakan bulan pelipatgandaan pahala, maka jangan sia-siakan Ramadhan tanpa amal shaleh.
Allah juga menegaskan dalam Q.S. al-Isra (17) ayat 8: “Jika kamu
berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu
berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri… (In
ahsantumahsantun lianfusikum wa in as’tum falaha…).
Atas dasar hal di atas, sejatinya Ramadhan 1431 H yang sedang kita
lalui ini, dijalankan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah, agar kita
mampu menuai indahnya bersama Ramadhan. Bukan untuk saat ini saja, tetapi akan memberikan efek juga pada saat yang akan datang seperti sabda Rasul “Siapa berpuasa di bulan Ramadhan yang didasari dengan keimanan dan mengharap (ridha Allah), maka akan diampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang”.
Tepat pulalah kiranya Allah memanjakan bagi orang-orang yang
berpuasa yang diundang atas seruan keimanan, dengan menggunakan redaksi wahai orang yang beriman (Yâ ayyuha al-ladzina âmanû..), seperti difirmankan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 183 “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa”.
Terlihat dengan jelas dari ayat di atas, bahwa tujuan akhir dari
puasa adalah membentuk manusia yang mempunyai karakter takwa. Dalam artian
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah.
Ketakwaan di sini sifatnya kontinyu. Ketakwaan yang bukan hanya di bulan
Ramadhan, tetapi jauh dari itu, ketakwaan juga di implementasikan dalam
bulan-bulan selain Ramadhan. (Wallâhu a’lam bi al-shawâb).
* Penulis adalah Kader Mufassir Pusat Studi al-Quran, Jakarta, Dosen IAIN Raden Intan & Kandidat Doktor UIN Jakarta
* Tulisan ini pernah dimuat di koran harian KABAR BANTEN.
Jakarta, 15 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar