Menakar Musibah di Indonesia
Oleh Hasani Ahmad Said
Wacana Publik, Radar Banten, Sabtu, 06-November-2010
Dewasa ini, kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di Indonesia, negeri berpenduduk muslim terpadat di dunia.
Tercatat dari tahun 2007 terjadi beberapa bencana besar, misalnya Kapal Senopati karam di Perairan Mandalika, Jawa Tengah, kecelakaan pesawat Adam Air KL 574. Musibahnya ini mulai dari bulan Desember 2006 sampai dengan bulan Januari 2007.
Bisa disebut juga sebagai pembuka tahun 2007, dimulai dengan berita hilangnya pesawat Adam Air di sekitar daerah Sulawesi. Kecelakaan Kapal Levina. Kapal Motor Levina terbakar di perairan kepulauan Seribu, Jakarta, sekitar 200 orang lebih dapat diselamatkan. 15 orang diperkirakan meninggal, dan 20 orang lebih menghilang.
Gempa skala 5,8 di Sumatera Barat. Gempa di Sumatera Barat, Padang ini terjadi pada pagi hari, dengan kekuatan 5,8 SR. Gempa ini merenggut 79 korban jiwa. Gempa ini membuat beberapa tempat umum terganggu aktivitasnya, bahkan bangunan -bangunan pun rusak. Gempa ini juga terasa di negara tetangga kita, yaitu Singapura dan Malaysia.
Belum lagi misalnya mengutip pendapat Kementerian ESDM. ”Catatan kita ada 18 gunung yang berstatus waspada, 2 siaga dan 1 berstatus awas,” kata Kepala Sub-Bidang Pengamatan Gunung Berapi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM,) Agus Budianto.
18 Gunung yang berstatus waspada itu adalah: Gunung Sinabung (Karo, Sumut), Gunung Talang (Solok, Sumbar), Gunung Kaba (Bengkulu), Gunung Kerinci (Jambi), Gunung Anak Krakatau (Lampung), Gunung Papandayan (Garut, Jabar), Gunung Slamet (Jateng), Gunung Bromo (Jatim), Gunung Semeru (Lumajang, Jatim), Gunung Batur (Bali), Gunung Rinjani (Lombok, NTB), Gunung Sangeang Api (Bima, NTB), Gunung Rokatenda (Flores, NTT), Gunung Egon (Sikka, NTT), Gunung Soputan (Minahasa Selatan, Sulut), Gunung Lokon (Tomohon, Sulut), Gunung Gamalama (Ternate, Maluku Utara), Gunung Dukono (Halmahera Utara, Maluku Utara).
Sedangkan 2 Gunung yang berstatus siaga adalah : Gunung Karangetang (Sulut), Gunung Ibu (Halmahera Barat, Maluku Utara) dan 1 Gunung bersatus awas yakni Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta.
Belum selesai mengurus musibah, dua kecelakaan kereta api sekaligus di awal Oktober, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter diikuti tsunami hebat di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Dari analisa US Geological Survey dan juga BMKG, sebagaimana Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi Arief, dalam rilisnya, Rabu (27/10/2010). “Gempa ini disebabkan oleh pergerakan patahan pada Sunda megathrust, yaitu pada bidang batas tumbukan Lempeng Hindia-Australia terhadap Lempeng Sunda.”
Pada 15 Oktober 2009, Direktur EOS, Prof Dr Kerry Sieh menyatakan, gempa bumi kolosal (sangat besar) diperkirakan akan menghantam Pulau Sumatera dalam waktu 30 tahun ke depan. Ahli ilmu bumi memperingatkan bahwa tsunami besar dan gempa bumi mematikan yang terjadi sebelumnya merupakan suatu peringatan. ”Kami memperkirakan akan terjadi dengan kekuatan 8,8 SR, kurang atau lebihnya sekitar 0,1 poin,” ujarnya.
Belakangan ini media berusaha membangun opini masyarakat bahwa perilaku salah seorang yang telah menjadi korban tewas di saat meletusnya Gunung Merapi merupakan tokoh yang patut diteladani. Dialah sang “juru kunci” Gunung Merapi. Ia patut diteladani karena kegigihannya menjalankan tugas sebagai kuncen Gunung Merapi hingga saat terakhir sehingga rela mengorbankan nyawanya demi menjalankan tugas tersebut.
Menyikapi musibah beruntun yang menimpa bangsa, kita niscaya mengedepankan kearifan dan kekritisan. Alam memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak bersikap angkuh baik terhadap alam maupun kepada sesama, apalagi kepada Tuhan. Terbukti, di hadapan alam manusia nyaris tidak berdaya. Manusia dengan segala atribut yang disandangnya tidak berkuasa menolak sunnatullah, hukum alam.
Kita perlu sepakat, bencana adalah bencana, yang dapat menimpa siapa saja dan kelompok apa pun. Karena itu komunikasi yang setara, solidaritas dan kerjasama adalah dari dan untuk siapa saja, tanpa harus memilahnya dengan atau untuk kelompok ini atau umat agama tertentu, termasuk juga dengan alam. Oleh karena bencana bagian dari kehidupan, sikap dan pola semacam itu pula yang perlu kita tumbuh-kembangkan dalam menyikapi kehidupan saat ini dan seterusnya.
Sebagai orang yang percaya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tetap memandang apapun gejala alam ini dengan kacamata syari’ah. Sebab apapun yang terjadi tidak luput dari kehendak Allah SWT.
Salah satu doa yang Nabi Muhammad ajarkan kepada kita ialah sebuah doa panjang yang di dalamnya menyebutkan persoalan musibah. Dan sangat menarik untuk dicatat bahwa ternyata jenis musibah yang Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan Allah dalam menghadapinya ialah musibah yang menyangkut urusan dien (agama). “Dan janganlah Engkau (Ya Allah) jadikan musibah kami pada agama kami”. (HR. Tirmidzi).
Sungguh, hidup di negeri Indonesia dewasa ini kita sangat perlu mencamkan pesan Allah berikut ini: Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf [7] : 99).
Allah mengajarkan kepada kita bahwa perilaku alam sangat berkaitan dengan perilaku kumpulan manusia yang tinggal di lingkungan alam tersebut. Bila masyarakatnya baik di mata Allah, yakni beriman dan bertaqwa, maka Allah akan limpahkan banyak keberkahan kepada masyarakat tersebut dari langit maupun bumi. Tapi sebaliknya, bila mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah akan timpakan hukumanNya kepada mereka melalui beragam bencana yang bisa datang di waktu siang maupun malam hari.
Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (QS. Al-A’raf [7] : 96-98).
Dalam dimensi lain, Allah mengingatkan dengan firman-Nya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3).
Dalam perspektif itu kita juga perlu memaknai bencana alam sebagai petanda tentang urgensi melakukan komunikasi yang lebih intens, berkelanjutan dan bersahabat dengan alam, Tuhan dan sesama. Pengembangan komunikasi yang dilandasai dengan kerendahatian dan kesabaran akan mengantarkan bangsa untuk memahami karakteristik kehidupan yang tidak dapat dilepaskan dari keragaman dan perbedaan, sekaligus harmonisasi antara unsur yang saling berbeda tersebut akan berkembang subur.
Sejalan dengan itu, bangsa ini akan lebih bersahabat dengan alam, sehingga bencana alam akibat ulah manusia dapat ditekan seminim mungkin. Demikian pula kita akan lebih memahami dan menghormasti atas sesama –terlepas dari perbedaan yang ada –yang dapat memberikan peluang besar untuk membangun solidaritas sosial yang lebih langgeng dan kerjasama antar-sesama yang lebih kokoh dan lestari. (*)
Hasani Ahmad Said
Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar