WUJUDKAN CINTAMU KEPADA RASUL DENGAN MEMBACA KARYA INI
DAPATKAN SEGERAAA
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya besar dunia yang bersifat monumental ditulis dalam bentuk puisi. Karya-karya pujangga banyak ditulis dalam bentuk puisi. Nyanyian-nyanyian yang diperdengarkan tidak semata-mata karena irama mempesona yang dilantunkan dengan suara merdu, tetapi isi kandungan dan corak puisinya mampu menghibur manusia. Puisi-puisi cinta banyak didendangkan dan diperdengarkan para penyanyi dan pujangga dalam berbagai kurun waktu. Hebatnya, puisi-puisi semacam itu tidak pernah pudar dan membosankan.
Puisi atau syair merupakan karya sastra yang sangat urgen dan besar pengaruhnya terhadap sikap, tindak, dan kehidupan manusia. Allah SWT menaruh perhatian khusus dengan mencantuman dalam al-Qur’an satu surat yang ke-26 dengan nama al-Syu’ara> (اَلشُّعَرَاء). Disebut demikian karena Allah menyanggah orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penyair dan yang dibawanya adalah syair. Muh}ammad Ali> al-S{a>bu>ny mengatakan :
سُمِّيَت سُوْرَةُ الشُّعَرَاء ِلأَنَّ اللهَ تَعَالَى ذَكَرَ فِيْهَا أَخْبَارَ الشُّعَرَاء رَدًّا عَلَى المُشْرِكِيْنَ فَزَعْمُهُم أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ كَانَ شَاعِرًا وَ أَنَّ مَا جَاءَ بِهِ إِنَّمَا هُوَ مِنْ قَبِيْلِ الشِّعْرِ، فَرَدَّ اللهُ عَلَيْهِمْ هَذَا الكَذِبَ وَ البُهْتَانَ بِقَوْلِهِ" وَ الشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الغَاوُوْنَ، أَلمَ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلٍّ وَادٍ يَهِيمُون. وَ أَنَّهُم يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ"
Dinamai surat al-Syu‘ara> karena Allah menyebut di dalamnya berita tentang para penyair sekaligus menyanggah tuduhan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penyair dan yang dibawanya adalah syair. Maka Allah pun menyanggah kebohongan dan kepalsuan itu dengan ayat yang artinya “Dan penyair-penyair itu, diikuti oleh orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di lembah-lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)”?
Sanggahan Allah terhadap tuduhan orang-orang musyrik Arab pada waktu itu tergambar dalam ayat sebagai berikut:
وَ الشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الغَاوُوْنَ، أَلمَ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلٍّ وَادٍ يَهَيمُون. وَ أَنَّهُم يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ (الشعراء 224-226)
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di lembah-lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?
Penamaan surat ini ditandai dengan disebutnya kata-kata اَلشُُّعَرَاءُ pada bagian akhir surat, tepatnya ayat 224, ketika Allah secara khusus menyebutkan kedudukan para penyair. Para penyair pada zaman itu [Jahiliyah] mempunyai sifat-sifat yang jauh berbeda dengan rasul. Mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat dan suka memutarbalikkan lidah, tidak mempunyai pendirian. Perbuatan mereka tidak sesuai dengan ucapan. Sifat-sifat yang demikian itu tidak terdapat pada diri rasul. Oleh karena itu, tidak patut bila Nabi Muhammad saw dianggap sebagai penyair dan al-Qur’an ditengarai sebagai syair. Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan buatan manusia. Al-Qur’an bukan syair dan bukan pula prosa. Gaya bahasa dan sastra al-Qur’an berbeda dengan gaya bahasa biasa. Gaya bahasa dan gaya sastra al-Qur’an adalah gaya bahasa dan gaya sastra al-Qur’an itu sendiri.
Pernyataan Allah bahwa Nabi Muhammad saw bukan penyair dan bahwa al-Qur’an merupakan peringatan dan kitab pemberi penerangan, ditegaskan dalam ayat yang berbunyi :
وَ مَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَ مَا يَنْبَغِى لَهُ، إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ وَ قُرْآنٌ مُبِيْنٌ ( يس29)
Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidak layak baginya, al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.
Yang dimaksud dengan penyair yang gemar memutar balikkan lidah, tidak mempuyai pendirian, dan perbuatannya tidak sesuai dengan ucapan adalah penyair Jahiliyah, bukan penyair Muslim. Penyair Muslim tidak demikian, hal ini dijelaskan dalam ayat berikut :
إلاَّ الذِيْنَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ ذَكَرُوا اللهَ كَثِيرًا وَ انْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا (الشعراء 227)
Kecuali orang-orang [penyair-penyair] yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa penyair Muslim tidak melakukan apa yang dilakukan penyair Jahiliyah (non Muslim). Bagi orang Arab, syair mempunyai kedudukan yang tinggi dan peranan yang besar. Ah{mad al-Iskandary dan Mus}t}afa> Ina>ny mengatakan bahwa syair adalahدِيوَانُ العَرَب [buku catatan bangsa Arab]. Artinya bahwa semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu, tercatat dan terrekam dalam syair-syair Arab. Dengan syair, orang-orang Arab dapat memelihara, mencatat, menjaga kehidupan, dan mempertahankan kehormatan. Satu kabilah Arab tidak akan mendapat kehormatan bahkan akan mendapatkan cemoohan, manakala tidak seorangpun di kalangan mereka yang tampil sebagai penyair yang dapat mewakili kabilahnya. Syair dan penyair bagi orang Arab merupakan kebanggaan. Ah}mad al-Iskandary dan Mus}t}afa> Ina>ny mengatakan bahwa kabilah Arab akan merasa sangat bahagia manakala mendapatkan tiga macam kelahiran. Kelahiran seorang anak laki-laki, kelahiran (penobatan) penyair, dan kelahiran anak kuda.
Ketika seorang penyair muncul (dinobatkan sebagai penyair), mereka mengadakan pesta besar-besaran untuk menyambutnya. Pesta itu mereka lakukan melebihi pesta perkawinan. Mereka menari, menyanyi, dan menyantap macam-macam hidangan mewah. Ah}mad al-Iskandary dan Mustafa> Ina>ny mengatakan :
وَ كَانَت القَبَائِلُ مِن العَرَبِ إِذَا نَبَغَ فِيهَا شَاعِرٌ أتَتِ القَبَائِلُ فَهَنَّأَتْهَا وَ صَنَعَتِ الأَطْعِمَةَ وَ أَتَتِ النِّسَاءُ يَلْعَبْنَ بِالمَزَامِرِ كَمَا صَنَعْنَ بِالأَعْرَاسِ ، وَ يَتَبَاشَرْنَ الرِّجَالَ وَ الوِلْدَانَ ، لأَنَّهُ حِمَايَةٌ ِِلأَعْرَاضَهِمْ ، وَ ذَبّ عَنْ حِيَاضِهِمْ ، و تَخلِيْدٌ لِمُفْتَخَرِهِمْ ، وَ إِشَادَةٌ بِذِكْرِهِمْ ، وَ كَانُوا َلا يَهْنَئُوْنَ إِلاَّ بِغُلامٍ يُوْلَدُ أَوْ شَاعِرٌ يَنْبَغُ أَوْ فَرَسٌ تُنْتَجُ.
Manakala di kalangan kabilah Arab muncul seorang penyair, berdatanganlah kabilah-kabilah lain mengucapkan selamat. Mereka membuat bermacam makanan mewah dan berdatangan pula wanita-wanita (penyanyi) untuk memainkan seruling (alat musik tiup). lni mereka lakukan sebagaimana mereka merayakan pesta perkawinan. Laki-laki, perempuan, muda-mudi berbaur menjadi satu untuk merayakannya. Kelahiran seorang penyair merupakan kehormatan bagi mereka. Seorang penyair adalah pahlawan keluarga dan pembela bangsa. Mereka akan sangat bangga dan bahagia manakala di kalangan mereka lahir seorang anak laki-laki, lahir seorang penyair, dan lahir seekor anak kuda.
Rasulullah saw adalah sosok manusia yang mencintai seni dan menggemari syair. Beliau mendorong sahabatnya untuk menyusun dan melantunkan syair. Beliau bangga kalau syair dijadikan alat berdakwah dan sarana untuk membukukan ajaran Islam. Beliau mendorong para sahabatnya untuk menjadikan syair sebagai senjata ampuh melawan musuh Islam. Hal ini dilakukan agar umat Islam mendapatkan motivasi dan semangat tinggi dalam menjalankan tugas sucinya, berjihad. Beliau pernah berkata kepada sahabatnya Hassa>n ibn S|a>bit. (w 54 H) agar ia membalas celaan orang-orang musyrik, musuh Islam, dengan lidahnya [syairnya] beliau bersabda :
اُهْجُ المُشْرِكِيْنَ وَ جِبْرَائِيْلُ مَعَكَ، إِذَا حَارَبَ أَصْحَابِي بِالسِّلاَحِ فَحَارِبْ أَنْتَ بِاللِّسَانِ (رواه الخطيب وابن عساكر)
Balaslah (wahai H{assa>n) celaan orang-orang musyrik itu, Jibril pasti bersamamu. Kalau sahabat-sahabatku berperang dengan senjata, maka berperanglah kamu dengan lidahmu (syairmu). (HR Al-Khati>b dan Ibn Asa>kir).
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang akan membela Islam dan kehormatan orang-orang yang beriman?” Ka‘ab ibn Zuhair menjawab “Aku wahai Rasulullah yang akan membelanya”, Jawab Nabi; “Ya Engkau adalah seorang penyair”. Dalam hal ini Hassa>n ibn S|a>bit berkata, “Aku wahai Rasulullah yang akan membelanya”, Nabi pun menjawab Hassa>n ibn S|a>bit “Ya, balaslah ejekan kaum musyrik itu semoga Jibril menyertaimu”.
Syair-syair Arab klasik (syair Jahili) banyak digunakan untuk tujuan gazal (الغَزل = cinta), risā (الرِثَاء = ratapan), hija> (الِهجَاء = ejekan), madh} (اَلمدْح = pujian), mufākharah (المُفَاخَرَة = kebanggaan), h}ikmah (الحِكْمَةِ = kata mutiara), mas|al (المَثَل= peribahasa) ‘itiz|a>r (الاِعْتِذَار = berdalih / permobonan maaf), dan lain-lain.
Setelah Islam datang, syair-syair Arab banyak digunakan untuk tujuan keagamaan, seperti sarana dakwah, penyebaran aqidah Islamiyah, sebagai alat kodifikasi ajaran dan ilmu agama Islam, untuk membangkitkan motivasi umat Islam dan untuk beramal saleh, menyampaikan mauizah h}asanah, dan memuji Rasulullah saw.
Syair madh} (شِعرُالَمدحِ) dalam bahasa Indonesia disebut syair pujian, merupakan bentuk syair yang banyak mendapat perhatian para penyair. Syair ini di samping untuk mengungkapkan rasa senang dan cinta terhadap orang yang pernah berjasa atau yang sangat dihormati, merupakan sarana untuk mencari kehidupan (tujuan komersil). Tidak sedikit di antara para penyair yang sengaja menggubah syair madhnya untuk mengharapkan imbalan. Di zaman khilafah Dinasti Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M), tidak sedikit di antara penyair yang mampu mengambil hati para khalifah sehingga mereka tidak segan-segan memberikan sejumlah imbalan berupa uang, emas, dan benda berharga lainnya. Bahkan di antara mereka ada yang menerima hadiah berupa ja>riyah (جََاِريَة = gadis). Dengan syair madh{, para penyair banyak yang menjadi kaya, dan bahkan menjadi pejabat tinggi kerajaan setingkat menteri.
Syair madh} merupakan ungkapan rasa cinta seseorang terhadap siapa saja yang disenangi dan dicintainya. Syair-syair Rabiah al-Adawiyah (135 H/752 M) merupakan model syair madh} yang mengungkap rasa cintanya kepada Allah yang begitu mendalam. Rasa cintanya kepada Allah diungkapkan melalui syair-syair madh}-nya yang begitu lembut, indah, dan menarik. Ia mengungkapkan betapa mendalam cintanya kepada Allah, ia berkata:
أُحِبُّك حُبَّينِ حُبَّ الهَـوَى وَ حُبًّـا ِلأَنـَّكَ أَهْلٌ لِذَاكَ
فَأَمَّا الّذِى هُوَ حُبُّ الهَوَى فَشُغْلِى بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
وَ أَمَا الَّذِى أَ نْتَ أَ هْلٌ لَهُ فَكَشْفُكَ لِى الحَجْبَ حَتَّى أَرَاكَ
فَلاَ الحَمْدُ فِى ذَا أَوْ ذَاكَ لِي وَ لَكِنْ لَكَ الحَمْدُ ذَا وَ ذَاكَ
Ku cintai Kau dengan dua macam cinta
Cinta yang murni dan cinta karena Engkaulah yang patut dicintai
Mengenai cinta murni ialah karena aku senantiasa mengingat-Mu
Dan tak ada yang kuingat selain-Mu
Adapun cinta karena Engkau yang patut dicintai….
Karena Engkau telah mengungkapkan tabir bagiku hingga Engkau dapat kulihat
Baik untuk ini, maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
Tapi hanya Eugkaulah yang berhak atas pujian itu
Pujian Rabiah al-Adawiyah yang diungkapkan melalui cintanya kepada Allah bukan untuk mendapatkan harta benda sebagaimana penyair-penyair lain. Ia memuji-Nya karena harapan agar ia senantiasa berada di sisi-Nya. Berada di sisi Allah merupakan tujuan utama para sufi. Syair-syair madh} Rabiah berupa h}ubb ila>hy (cinta Tuhan) yang bercorak sufi. Syair-syair madh} dapat menghilangkan rasa dendam atau benci dan menghibur hati yang sedih. Syair-syair madh} juga dapat menenangkan pikiran yang kusut dan menghibur hati yang kalut. Rasulullah saw pernah mengampuni seseorang yang telah diancam hukuman mati. Ini beliau lakukan karena penyair itu telah melewati batas mencela Islam dan mengejek Rasulullah saw. Ia adalah Ka’ab ibn Zuhair (w. 26 H/645 M).
Ketika Islam datang, Bujer (saudara kandung Ka’ab) masuk Islam. Mendengar berita ini, Ka’ab melarangnya masuk Islam dan bahkan mengejek Rasulullah saw serta mencela Islam. Mendengar perilaku dan tindakan Ka’ab, Rasulullah saw mengancam dengan menghalalkan darahnya. Lalu Ka’ab diperingatkan saudaranya, Bujer, akan adanya ancaman Rasulullah saw, kecuali ia menghadap beliau untuk masuk Islam dan bertaubat. Hal ini sangat menakutkan Ka’ab. Ia berusaha mencari orang yang dapat melindunginya. Akan tetapi usahanya itu sia-sia. Tidak seorangpun di kalangan orang Arab pada waktu itu yang mau mendampingi dan melindunginya. Bahkan sempat tersebar isu bahwa ia telah terbunuh. Karena sangat ketakutan, ia akhirnya datang kepada Abu Bakar al-Shiddiq agar beliau berkenan mendampinginya menghadap Rasulullah saw untuk bertaubat dan masuk Islam. Dengan didampingi Abu Bakar al-Shiddiq dan disaksikan para sababat lainnya Ka’ab ibn Zuhair meminta maaf kepada Rasulullah saw dan bertaubat lalu ia pun masuk Islam. Permohonan maaf yang disampaikannya kepada Rasulullah saw tertuang dalam kasidah yang dibacakan dihadapan beliau, antara lain berbunyi:
أُبْـئِتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَوْعَدَنِى وَ العَفْوُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ مَأْمُوْلٌ
مَهْلاً هَدَاكَ الَذِى أَعْطَاكَ نَافِلَةَ الْـ قُرْآنِ فِيْهَا مَوَاعِيْظُ وَ تَفْصِيْلُ
Ku dengar selembar kabar
Rasulullah telah mengancam
Maaf untukku darinya
Sangat kuharapkan
Tenanglah tenang
Allah telah memberimu petunjuk
Berupa Nafilah Kitab al-Qur’an
Mengandung nasihat petunjuk rinci
Rasulullah saw sangat tertarik oleh kasidah yang dipersembahkannya ini. Seketika, beliau bangkit lalu memberinya hadiah berupa burdah بُرْدَة (semacam baju jubah yang dapat dipakai sebagai selimut). Karena peristiwa ini, kasidah tersebut diberi nama kasidah Burdah, sebagai tanda penghormatan dan kenangan atas hadiah Rasulullah saw kepadanya. Nama lain kasidah ini adalah بَانَتْ سُعَادُ. Sebuah nama yang diambil dari kata awal bait pertama kasidah tersebut yang berbunyi:
بَانَتْ سُعَادُ فَقَلْبِى اليَوْمَ مَتْبُوْلٌ مُتَيّمٌ إثْرَهَا لمَ ْيُفْدَ مَكْبُوْلُ
Kekasihku Su’ad telah pergi
Risau dan sakit hatiku kini
Sakit yang tak dapat terobati
Terbelenggu rasanya hatiku ini
Kasidah lain yang berjudul Burdah adalah karya penyair yang hidup di akhir masa Dinasti Ayyu>biyah dan awal Dinasti Mama>li>k yang berkuasa selama 266 tahun [648-922 H/ 1250-1517 M]. Penyair tersebut bernama Syarafuddi>n Abu> Abdilla>h Muh}ammad ibn Sa’i>d al-Bu>si>ry, lahir di Dalla>s pada 608 H dan hidup hingga dewasa di daerah Bu>si>r. Karena hidup di Bu>si>r inilah kemudian ia dikenal dengan nama al-Bu>si>ry, dinisbatkan kepada daerah Bu>si>r. Kasidah Burdah yang satu ini merupakan karya sastra yang sangat populer, selalu dibaca dan dikumandangkan di mana-mana, dan mendapat perhatian para pengkaji sastra Arab dan seniman. Kasidah ini banyak diterjemahkan, disadur, dan dikaji orang. Ibra>hi>m al-Ba>ju>ry mengatakan bahwa kasidah Burdah telah disyarah dalam bahasa Arab oleh tujuh belas ulama antara lain :
1. Syaikh Ali> ibn Muh}ammad al-Bust}a>my
2. Badruddi>n Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghazzy
3. Muh}yiddi>n Muhammad Musta>
4. Bah}r ibn Rai>s ibn al-Hārūn al-Ma>liky
5. Abdulla>h ibn Ya’qu>b al-Ghifa>ry
6. Abdulla>h ibn Ya’qu>b al-Sha>wy
7. Dan lain-lain
Sedangkan di Indonesia terdapat empat buah karya para ulama yang menulis Burdah, baik berupa saduran, terjemahan, maupun pengantar, mereka adalah :
1. KH. Dr. Idham Chalid, dengan judul Burdah al-Madi>h} al-Muba>rakah
2. Abu Farid ibn Umar, dengan judul Burdah Nan Indah
3. Dr. Talhah Mansur, SH, berjudul Al-Burdah, Al-Kawa>kib al-Durriyyah fi> Madh} Khairil Bariyyah
4. Ahmad Makky, berjudul Penjelasan Kasidah Burdah
Ah}mad Syauqy Bek, penyair kontemporer Mesir menyusun kasidah dengan corak yang sama atau mirip dengan kasidah Burdah. Ini ia lakukan karena keterpengaruhannya oleh kasidah Burdah. Kasidah yang ia susun berjudul Nahjul Burdah (نَهْجُ البرْدَةِ). Nahjul Burdah mengandung arti bahwa kasidah ini bercorak/bermetode Burdah. Di Indonesia kasidah Burdah senantiasa dibaca dan dikumandangkan, baik di pesantren, masjid, majelis taklim, madrasah, maupun rumah-rumah penduduk. Di pesantren dan majelis taklim, kasidah Burdah dijadikan literatur pokok.
Secara inklusif, kasidah Burdah menyatu dengan kitab Barzanjy (tentang maulid Nabi Muhammad saw). Perayaan peringatan maulid Nabi Muhammad saw dirasa kurang sempurna manakala tidak dibaca atau tidak didendangkannya kasidah Burdah. Selamatan bayi yang baru lahir dirayakan dengan pembacaan kitab Barzanjy yang senantiasa dilengkapi dengan kasidah Burdah.
Di Jawa Timur dan daerah-daerah lainnya di Indonesia, kasidah Burdah merupakan literatur pokok para kiai, ustadz, dan santri. Dapat dipastikan, bahwa sebagian besar keluarga Muslim memiliki kitab Barjanzy yang secara inklusif mengandung kasidah Burdah. Kitab Barzanjy dengan kasidah Burdahnya mereka miliki sebagaimana mereka memiliki kitab suci al-Qur’an. Banyak di antara seniman Muslim yang menjadikan kasidah Burdah sebagai lirik-lirik lagu Arab, seperti kasidahan, orkes gambus, dan lain-lain. Syaikh Ali> al-Minyawy, penyair Mesir, menerbitkan kaset lagu berirama Timur Tengah dengan lirik-liriknya diambil dari kasidah Burdah. Di awal ataupun akhir pengajian majelis taklim, kasidah Burdah dibacakan bersama-sama di bawah bimbingan guru/ ustadz. Kasidah Burdah juga menjadi bacaan [wiridan] sehari-hari.
Sebagai karya sastra kasidah Burdah pernah ditampilkan dalam festival antar pesantren se-Jawa Timur. Acara ini diselenggarakan Yayasan Hibatullah pimpinan Sofyan bekerjasama dengan harian pagi Memorandum, Surabaya. Menurut informasi, festival tersebut cukup berhasil dan mendapat perhatian besar dari para pencinta seni bercorak Islam.
Kasidah Burdah disusun al-Bu>si>ry, dengan tujuan memuji dan menyanjung Rasulullah saw. Ini ia lakukan karena kecintaannya kepada beliau (ِحُبُّ الرَسُوْل ) yang sangat mendalam melebihi cintanya kepada siapapun. Kasidah ini disusun ketika ia menderita sakit yang sangat berat (sebelah tubuhnya lumpuh). Dalam keadaan sakit ia menyusun kasidah yang isinya memuji dan menyanjung Rasulullah saw. Di suatu malam, dalam tidurnya ia mimpi bertemu beliau. Dalam mimpinya ini, beliau memberinya Burdah (بُرْدَة), baju lapang yang bisa dijadikan selimut. Ketika terbangun, ternyata sakit yang selama itu ia alami hilang dan ia pun sehat walafiat seperti semula. Untuk mengenang hadiah dari Rasulullah saw, ia memberi judul kasidah yang disusunnya itu dengan nama Burdah (بُرْدَةْ) Kasidah Burdah karya al-Bu>-si>ry merupakan karya sastra yang begitu baik, indah, dan mendapat perhatian masyarakat.
Pengaruh kasidah Burdah di Indonesia merupakan wujud nyata adanya pengaruh sastra atau pun syair-syair Arab terhadap sastra dan puisi Indonesia. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa sastra dan bahasa Arab sangat besar peranannya dalam membesarkan dan mengembangkan sastra dan bahasa Indonesia. Pengaruh sastra dan bahasa Arab seperti ini tidak lepas dari pengaruh agama Islam yang secara inklusif bahasa Arab adalah bahasa agama Islam. Tanpa Islam, sastra dan bahasa Arab tidak akan ada dan tidak akan berkembang pengaruhnya dalam bahasa Indonesia. Pengaruh sastra Arab terhadap sastra Indonesia mencakup struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik sastra adalah bahasa. Sedangkan struktur batin sastra adalah isi atau pesan sastra. Sebagai contoh, perhatikan puisi berikut ini:
Sealir Do’a
Ya Rabbi
Betapa hina diri ini
Di depan keagungan-Mu
Betapa papa jasad ini
di depan kunci gudang kekayaan-Mu
Dan betapa kotor hati ini
di depan kesucian-Mu
Ya Rabbi
Tlah lama kusadari
Akan tebalnya lapisan dosa
noda dan aibku ini
Dan tlah jauh hati kuyakini
Luasnya hamparan permadani kedustaan
keangkuhan dan keteledoranku
Karenanya aku malu menghadap-Mu
Namun di hati masih tersisa
Keyakinan hati yang terpatri
Akan maha luas dan dalamnya
Samudra kasih
dan anggapan-Mu, Ya Rabbi
yang tidak bertepi
apa lagi berdasar pasir
Ya Rabbi
Biarkanlah dosa kebusukanku
terbawa hanyut
gelombang samudra kasih dan ampunan-Mu
(Nusar Azhar)
Dilihat dari segi struktur fisik (bahasa), puisi Nusar Azhar dengan juduI Sealir Do’a ini sangat nampak keterpengaruhannya oleh sastra/bahasa Arab. Kita lihat kata Rabbi dalam puisi tersebut terucap sampai empat kali dan kata yakin (keyakinan, kuyakini) terucap dua kali dan kata aib (aibku) terucap satu kali. Dilihat dari struktur batin (isi/pesan sastra) puisi Nusar Azhar ini terpengaruh sastra Arab/Islam. Isi/pesan sastra dalam puisi tersebut berupa keagamaan/keislaman.
Buku ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
Siapakah al-Bu>s}i>ry? Apa saja karya-karyanya? Apa itu kasidah Burdah dan bagaimana latar belakang penyusunannya ? Mengapa syair-syair kasidah Burdah memfokuskan pujian kepada Rasulullah saw? Apa yang menyebabkannya menjadi terkenal? Mengapa dikeramatkan orang? Corak sastra apa yang mewarnainya? Apa isi kandungan, ide, dan pesannya? Bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan sastra/syair Arab pada umumnya dan bagaimana perhatian masyarakat pada khususnya?
Permasalahan pokok buku ini adalah corak sastra apakah yang mewarnai kasidah Burdah al-Bu>s}i>ry sehingga menjadi terkenal? Ini akan menjawab beberapa pertanyaan kita;
a. Apa yang melatarbelakangi penyusunan kasidah Burdah?
b. Sejauh mana imajinasi dan emosi yang terkandung di dalamnya?
c. Apa dan bagaimana ide/pesan serta pikiran yang terkandung di dalamnya?
d. Bagaimana struktur fisik (الصُوْرَة) yang meliputi stilistika (الأُسْلُوْب), kata-kata (الأَلْفَاظ), aliran (المَذْهَب), keseimbangan pola nada/irama (الوَزْن) dan sajak (القَافِيَة),
e. Sejauh mana pengaruhnya terhadap perkembangan sastra, dan respons kaum Muslim terhadapnya.
Buku ini dimaksudkan untuk mengetahui dan mengkaji Islam (bidang bahasa dan sastra Arab) dengan mengungkap corak sastra kasidah Burdah karya al-Būsi>ry. Bentuk struktur fisik dan batin kasidah Burdah dianggap sakral dan mempunyai khasiat-khasiat tertentu. Adapun manfaatnya antara lain :
1. Pelestarian kebudayaan dan apresiasi seni
2. Pembinaan perkembangan ilmu dan teori sastra
3. Pembinaan dan pengembangan sastra sebagai media penyiaran agama Islam dan alat kodifikasi ajaran Islam.
Syair merupakan karya sastra yang identik dengan kehidupan keagamaan yang selalu berkembang sejak munculnya agama Islam. Kasidah Burdah berisi syair-syair sanjungan dan pujian kepada Rasulullah saw, maka dijuluki sebagai pemuji nabi dan penyanjung Rasulullah saw.
Kecintaan al-Bu>s}i>ry kepada Rasulullah saw melebihi cintanya kepada orang lain, sekalipun ia tidak pernah bertemu dengannya. Ia hidup jauh setelah Rasulullah saw tiada. Cintanya kepada beliau lebih disebabkan oleh iman dan ketaatannya kepada Islam. Al-Bu>si>ry hanya menyusun syair yang berkenaan dengan keagamaan, pujaan, dan pujian kepada Rasulullah saw. Ini terlihat dalam karya-karya syairnya yang terhimpun dalam di>wa>n-nya. Buku ini akan mengulas kasidah Burdah yang merupakan karya sastra/syair puisi lirik. Dalam istilah sastra Arab disebutاَلشِعْرُ الغِنَائِي yaitu syair yang dapat dijadikan sebagai larik-larik dan lirik-lirik lagu atau dapat dideklamasikan seperti puisi. Dari segi struktur fisik (stilistika), kasidah Burdah yang berbentuk puisi ini menggunakan bah}r basi>t} (البَحْرُالبَسِيْط). Basi>t} adalah nada dasar yang cocok untuk syair-syair pujian (شِعْرُالمَدْح) syair cinta (شِعْرُالغَزل) dan syair ratap (شُِْعْرُ الرِثَاء ).
Dari segi sajak, kasidah Burdah menggunakan sajak mim (القَافِيَةالمِيْمِيَّة) yaitu huruf-huruf akhir (الرَوِِي) yang terdapat pada setiap baitnya adalah huruf mim. Sementara isi kandungan kasidah Burdah (struktur batin) berupa keislaman yaitu pujian kepada Rasulullah saw yang meliputi :
1. Nostalgia penyair
2. Peringatan terhadap bahaya hawa nafsu
3. Pujian kepada Rasulullah saw
4. Maulid Nabi Muhammad saw
5. Mukjizat Nabi Muhammad saw
6. Keagungan kitab suci al-Qur’an
7. Isra dan mi’raj
8. Perjuangan Nabi Muhammad saw
9. Permohonan maaf kepada Rasulullah saw
10.Sebuah harapan
Di antara bait-bait syair kasidah Burdah yang populer di masyarakat Indonesia adalah:
34 - مُحَمَّدٌ سَيِّدُ الكَوْ نَيْنِ وَالثَّقَلَـ يْنِ وَالفَرِيقَيْنِ مِنْ عُرْبٍ وَمِن عَجَمِ
35- نَبِيُّنَا الآمِرُ النَّاهِى فَلاَ أَحَـدٌ أَبَرُّ فِى قَولِ لاَ مِنهُ وَ لاَ نَعَم
36 - هُوَ الحَبِيبُ الَذِى تُرجَى شَفَاعَتُهُ لِكُلِّ هَولٍٍٍ مِنَ الأَهوَالِ مُقتَحِمِ
37 - دَعَا إِلَى اللهِ فَالمُسْتَمْسِكُونَ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ بِحَبْلٍ غَيْرَ مُنفَصِمِ
Muhammad pemimpin dunia dan akhirat
Muhammad pemimpin jin dan manusia
Muhammad pemimpin dua bangsa
Bangsa Arab dan bangsa Ajam
Muhammad Nabi kita ... merintah ‘kan kebaikan
Muhammad Nabi kita ... melarang ’kan kejahatan
Tiada orang yang paling bijak
Ketika berkata..ya..ataupun.. tidak.
Muhammad kekasih Allah
Syafaatnya selalu diharapkan
Di hari yang sangat mencekam
Hari kiamat hari yang menakutkan
Ia ajak orang-orang ‘tuk kembaadali kepada Allah
Maka, barang siapa berpegang kepada-Nya
Berarti ia ia berpegang pada seutas tali
Yang selamanya tak ‘kan terputus
Kasidah Burdah mengandung 160 bait syair yang diawali dengan pernyataan cinta penyairnya. Cinta kepada kekasihnya yang tinggal di lembah Z|i> Salam dekat kota Mekah. Kecintaannya yang begitu mendalam menjadikannya selalu ingat kepadanya. Sang kekasih yang senantiasa ia rindukan dalam kasidah ini menurut sebagian para pakar adalah Nabi Muhammad saw, ia mengungkapkan :
1- أَ مِنْ تَذَكُّرِجِيرَانٍ بِِذِي سَـلَمٍٍٍٍٍ مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقلَةٍ بِدَمِ
2-أَم هَبَّتِ الرِّيحُ مِن تِلقَاءِ كَاظِمَةٍ وَأَوْمَضَ البَرْقُ فِى الظَلمَاءِ مِنْ إِضَمِ
Apakah karena mengenang kekasih
Yang tinggal di lembah Z|i-Salam
Kau campurkan airmatamu dengan darah
Mengalir dari kelopak matamu?
Ataukah karena angin menghembus
Dari arah gunung Ka>zimah?
Ataukah karena kilat menyambar dari Idami?
Di kegelapan malam hari?
Kasidah Burdah diakhiri dengan bait syair yang mengekspresikan permohonan penyairnya agar Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad saw selama angin timur masih menerpa daun-daun pohon Ban, dan selama kafilah unta masih melangkahkan kaki-kakinya dengan diiringi dendang lagu para penggiringnya. Penulis mengakhiri kasidahnya: No. 159-160
وَأذَن لِسُحْبِ صَلاَةٍ مِنْكَ دَائِمَةٍ عَلَى النَّبِىِّ بِمُنهَلٍ وَ مُنْسَـجِمِ
مَارَنحَّتْ عَذَبَاتِ البَانِ رِيحُ صَبَا وَأَطْرَبَ العِيْسَ حَادِى العِيْسِ بِالنَّغَمِ
[Ya Allah Ya Tuhanku.. !]
Perintahkanlah selalu awan rahmat-Mu
Tuk mencurah bagaikan hujan deras
Pada [Muhammad] Nabi [Kekasih-Mu]
[Curahkanlah]..selama angin timur
Menerpa ranting-ranting pohon Ba>n
Dan [selama] penggiring unta
Mendendangkan lagu tuk menghiburnya
Analisis buku ini menggunakan pendekatan struktural (objektif, formal, dan analitis) dengan konsepsi dan kriteria berikut:
a. Karya sastra dipandang dan diperlakukan berdiri sendiri, mempunyai dunia, rangka, dan bentuknya sendiri.
b. Memberi penilaian terhadap keserasian di semua komponen yang membentuk keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan menjalin hubungan-hubungan antar komponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna dan bernilai estetik.
c. Memberikan penilaian terhadap keberhasilan penulis menjalin hubungan harmonis antara isi dan bentuk karena amat penting dalam menentukan mutu karya sastra. Ini menghendaki analisis yang objektif sehingga perlu dikaji [diteliti] setiap unsur yang terdapat dalam karya sastra itu. Ia harus berlaku adil terhadap karya sastra dengan cara hanya menganalisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada di luarnya.
d. Kajian isi struktur adalah pemikiran, falsafah, cerita, pusat pengisahan, dan tema. Sedangkan bentuk adalah alur [plot], bahasa, sistem penulisan, dan perangkat perwujudan sebagai karya tulis.
Buku ini didasarkan pada karya-karya al-Bu>s}i>ry yang terhimpun dalam Di>wān al-Būs}i>ry Syarafuddin Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Sa’i>d. Di>wa>n ini diterbitkan Dār al-Kutub al-Ilmiyah pada 1995, disyarah Ahmad Hasan Basj. Sumber lainnya adalah karya Ibra>hi>m al-Ba>ju>ry, Syarh al-Burdah li al-Ima>m al-Bu>si>ry, karya Abdul al-Hama>misy, Al-Bu>si>ry Ma>dih} al-Rasu>l al-A‘zam, Umar Muh}ammad al-Mirgany, Al-Adab fi ‘Asr al-Mama>li>k wa al-Atra>k al-Us|ma>niyyi>n wa al-As}r al-H}adi>s| (Cairo: Mat}ba’ah Al-Azhar, 1955), dan Abdul Lat}i>f Hamzah, Al-Adab al-Misry min Qiya>m al-Daulah al-Ayyu>biyyah ila> Maji>’i al-H}amlah al-Faransiyah (Cairo: al-Nahd}ah al-Misriyyah, tth.)
اقرءباسم ربك الذي خلق GUBUG ILMU KANG HASAN: Jl.Pabean, link. Pabean, Kel. Pabean, no.10, Rt.01/01 Kec. Purwakarta, Kota Cilegon, Prov. Banten, 42437
Jumat, 26 Februari 2010
WUJUDKAN CINTAMU KEPADA RASUL DENGAN MEMBACA KARYA INI DAPATKAN SEGERAAA
WUJUDKAN CINTAMU KEPADA RASUL DENGAN MEMBACA KARYA INI
DAPATKAN SEGERAAA
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya besar dunia yang bersifat monumental ditulis dalam bentuk puisi. Karya-karya pujangga banyak ditulis dalam bentuk puisi. Nyanyian-nyanyian yang diperdengarkan tidak semata-mata karena irama mempesona yang dilantunkan dengan suara merdu, tetapi isi kandungan dan corak puisinya mampu menghibur manusia. Puisi-puisi cinta banyak didendangkan dan diperdengarkan para penyanyi dan pujangga dalam berbagai kurun waktu. Hebatnya, puisi-puisi semacam itu tidak pernah pudar dan membosankan.
Puisi atau syair merupakan karya sastra yang sangat urgen dan besar pengaruhnya terhadap sikap, tindak, dan kehidupan manusia. Allah SWT menaruh perhatian khusus dengan mencantuman dalam al-Qur’an satu surat yang ke-26 dengan nama al-Syu’ara> (اَلشُّعَرَاء). Disebut demikian karena Allah menyanggah orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penyair dan yang dibawanya adalah syair. Muh}ammad Ali> al-S{a>bu>ny mengatakan :
سُمِّيَت سُوْرَةُ الشُّعَرَاء ِلأَنَّ اللهَ تَعَالَى ذَكَرَ فِيْهَا أَخْبَارَ الشُّعَرَاء رَدًّا عَلَى المُشْرِكِيْنَ فَزَعْمُهُم أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ كَانَ شَاعِرًا وَ أَنَّ مَا جَاءَ بِهِ إِنَّمَا هُوَ مِنْ قَبِيْلِ الشِّعْرِ، فَرَدَّ اللهُ عَلَيْهِمْ هَذَا الكَذِبَ وَ البُهْتَانَ بِقَوْلِهِ" وَ الشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الغَاوُوْنَ، أَلمَ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلٍّ وَادٍ يَهِيمُون. وَ أَنَّهُم يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ"
Dinamai surat al-Syu‘ara> karena Allah menyebut di dalamnya berita tentang para penyair sekaligus menyanggah tuduhan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penyair dan yang dibawanya adalah syair. Maka Allah pun menyanggah kebohongan dan kepalsuan itu dengan ayat yang artinya “Dan penyair-penyair itu, diikuti oleh orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di lembah-lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)”?
Sanggahan Allah terhadap tuduhan orang-orang musyrik Arab pada waktu itu tergambar dalam ayat sebagai berikut:
وَ الشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الغَاوُوْنَ، أَلمَ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلٍّ وَادٍ يَهَيمُون. وَ أَنَّهُم يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ (الشعراء 224-226)
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di lembah-lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?
Penamaan surat ini ditandai dengan disebutnya kata-kata اَلشُُّعَرَاءُ pada bagian akhir surat, tepatnya ayat 224, ketika Allah secara khusus menyebutkan kedudukan para penyair. Para penyair pada zaman itu [Jahiliyah] mempunyai sifat-sifat yang jauh berbeda dengan rasul. Mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat dan suka memutarbalikkan lidah, tidak mempunyai pendirian. Perbuatan mereka tidak sesuai dengan ucapan. Sifat-sifat yang demikian itu tidak terdapat pada diri rasul. Oleh karena itu, tidak patut bila Nabi Muhammad saw dianggap sebagai penyair dan al-Qur’an ditengarai sebagai syair. Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan buatan manusia. Al-Qur’an bukan syair dan bukan pula prosa. Gaya bahasa dan sastra al-Qur’an berbeda dengan gaya bahasa biasa. Gaya bahasa dan gaya sastra al-Qur’an adalah gaya bahasa dan gaya sastra al-Qur’an itu sendiri.
Pernyataan Allah bahwa Nabi Muhammad saw bukan penyair dan bahwa al-Qur’an merupakan peringatan dan kitab pemberi penerangan, ditegaskan dalam ayat yang berbunyi :
وَ مَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَ مَا يَنْبَغِى لَهُ، إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ وَ قُرْآنٌ مُبِيْنٌ ( يس29)
Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidak layak baginya, al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.
Yang dimaksud dengan penyair yang gemar memutar balikkan lidah, tidak mempuyai pendirian, dan perbuatannya tidak sesuai dengan ucapan adalah penyair Jahiliyah, bukan penyair Muslim. Penyair Muslim tidak demikian, hal ini dijelaskan dalam ayat berikut :
إلاَّ الذِيْنَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ ذَكَرُوا اللهَ كَثِيرًا وَ انْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا (الشعراء 227)
Kecuali orang-orang [penyair-penyair] yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa penyair Muslim tidak melakukan apa yang dilakukan penyair Jahiliyah (non Muslim). Bagi orang Arab, syair mempunyai kedudukan yang tinggi dan peranan yang besar. Ah{mad al-Iskandary dan Mus}t}afa> Ina>ny mengatakan bahwa syair adalahدِيوَانُ العَرَب [buku catatan bangsa Arab]. Artinya bahwa semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu, tercatat dan terrekam dalam syair-syair Arab. Dengan syair, orang-orang Arab dapat memelihara, mencatat, menjaga kehidupan, dan mempertahankan kehormatan. Satu kabilah Arab tidak akan mendapat kehormatan bahkan akan mendapatkan cemoohan, manakala tidak seorangpun di kalangan mereka yang tampil sebagai penyair yang dapat mewakili kabilahnya. Syair dan penyair bagi orang Arab merupakan kebanggaan. Ah}mad al-Iskandary dan Mus}t}afa> Ina>ny mengatakan bahwa kabilah Arab akan merasa sangat bahagia manakala mendapatkan tiga macam kelahiran. Kelahiran seorang anak laki-laki, kelahiran (penobatan) penyair, dan kelahiran anak kuda.
Ketika seorang penyair muncul (dinobatkan sebagai penyair), mereka mengadakan pesta besar-besaran untuk menyambutnya. Pesta itu mereka lakukan melebihi pesta perkawinan. Mereka menari, menyanyi, dan menyantap macam-macam hidangan mewah. Ah}mad al-Iskandary dan Mustafa> Ina>ny mengatakan :
وَ كَانَت القَبَائِلُ مِن العَرَبِ إِذَا نَبَغَ فِيهَا شَاعِرٌ أتَتِ القَبَائِلُ فَهَنَّأَتْهَا وَ صَنَعَتِ الأَطْعِمَةَ وَ أَتَتِ النِّسَاءُ يَلْعَبْنَ بِالمَزَامِرِ كَمَا صَنَعْنَ بِالأَعْرَاسِ ، وَ يَتَبَاشَرْنَ الرِّجَالَ وَ الوِلْدَانَ ، لأَنَّهُ حِمَايَةٌ ِِلأَعْرَاضَهِمْ ، وَ ذَبّ عَنْ حِيَاضِهِمْ ، و تَخلِيْدٌ لِمُفْتَخَرِهِمْ ، وَ إِشَادَةٌ بِذِكْرِهِمْ ، وَ كَانُوا َلا يَهْنَئُوْنَ إِلاَّ بِغُلامٍ يُوْلَدُ أَوْ شَاعِرٌ يَنْبَغُ أَوْ فَرَسٌ تُنْتَجُ.
Manakala di kalangan kabilah Arab muncul seorang penyair, berdatanganlah kabilah-kabilah lain mengucapkan selamat. Mereka membuat bermacam makanan mewah dan berdatangan pula wanita-wanita (penyanyi) untuk memainkan seruling (alat musik tiup). lni mereka lakukan sebagaimana mereka merayakan pesta perkawinan. Laki-laki, perempuan, muda-mudi berbaur menjadi satu untuk merayakannya. Kelahiran seorang penyair merupakan kehormatan bagi mereka. Seorang penyair adalah pahlawan keluarga dan pembela bangsa. Mereka akan sangat bangga dan bahagia manakala di kalangan mereka lahir seorang anak laki-laki, lahir seorang penyair, dan lahir seekor anak kuda.
Rasulullah saw adalah sosok manusia yang mencintai seni dan menggemari syair. Beliau mendorong sahabatnya untuk menyusun dan melantunkan syair. Beliau bangga kalau syair dijadikan alat berdakwah dan sarana untuk membukukan ajaran Islam. Beliau mendorong para sahabatnya untuk menjadikan syair sebagai senjata ampuh melawan musuh Islam. Hal ini dilakukan agar umat Islam mendapatkan motivasi dan semangat tinggi dalam menjalankan tugas sucinya, berjihad. Beliau pernah berkata kepada sahabatnya Hassa>n ibn S|a>bit. (w 54 H) agar ia membalas celaan orang-orang musyrik, musuh Islam, dengan lidahnya [syairnya] beliau bersabda :
اُهْجُ المُشْرِكِيْنَ وَ جِبْرَائِيْلُ مَعَكَ، إِذَا حَارَبَ أَصْحَابِي بِالسِّلاَحِ فَحَارِبْ أَنْتَ بِاللِّسَانِ (رواه الخطيب وابن عساكر)
Balaslah (wahai H{assa>n) celaan orang-orang musyrik itu, Jibril pasti bersamamu. Kalau sahabat-sahabatku berperang dengan senjata, maka berperanglah kamu dengan lidahmu (syairmu). (HR Al-Khati>b dan Ibn Asa>kir).
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang akan membela Islam dan kehormatan orang-orang yang beriman?” Ka‘ab ibn Zuhair menjawab “Aku wahai Rasulullah yang akan membelanya”, Jawab Nabi; “Ya Engkau adalah seorang penyair”. Dalam hal ini Hassa>n ibn S|a>bit berkata, “Aku wahai Rasulullah yang akan membelanya”, Nabi pun menjawab Hassa>n ibn S|a>bit “Ya, balaslah ejekan kaum musyrik itu semoga Jibril menyertaimu”.
Syair-syair Arab klasik (syair Jahili) banyak digunakan untuk tujuan gazal (الغَزل = cinta), risā (الرِثَاء = ratapan), hija> (الِهجَاء = ejekan), madh} (اَلمدْح = pujian), mufākharah (المُفَاخَرَة = kebanggaan), h}ikmah (الحِكْمَةِ = kata mutiara), mas|al (المَثَل= peribahasa) ‘itiz|a>r (الاِعْتِذَار = berdalih / permobonan maaf), dan lain-lain.
Setelah Islam datang, syair-syair Arab banyak digunakan untuk tujuan keagamaan, seperti sarana dakwah, penyebaran aqidah Islamiyah, sebagai alat kodifikasi ajaran dan ilmu agama Islam, untuk membangkitkan motivasi umat Islam dan untuk beramal saleh, menyampaikan mauizah h}asanah, dan memuji Rasulullah saw.
Syair madh} (شِعرُالَمدحِ) dalam bahasa Indonesia disebut syair pujian, merupakan bentuk syair yang banyak mendapat perhatian para penyair. Syair ini di samping untuk mengungkapkan rasa senang dan cinta terhadap orang yang pernah berjasa atau yang sangat dihormati, merupakan sarana untuk mencari kehidupan (tujuan komersil). Tidak sedikit di antara para penyair yang sengaja menggubah syair madhnya untuk mengharapkan imbalan. Di zaman khilafah Dinasti Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M), tidak sedikit di antara penyair yang mampu mengambil hati para khalifah sehingga mereka tidak segan-segan memberikan sejumlah imbalan berupa uang, emas, dan benda berharga lainnya. Bahkan di antara mereka ada yang menerima hadiah berupa ja>riyah (جََاِريَة = gadis). Dengan syair madh{, para penyair banyak yang menjadi kaya, dan bahkan menjadi pejabat tinggi kerajaan setingkat menteri.
Syair madh} merupakan ungkapan rasa cinta seseorang terhadap siapa saja yang disenangi dan dicintainya. Syair-syair Rabiah al-Adawiyah (135 H/752 M) merupakan model syair madh} yang mengungkap rasa cintanya kepada Allah yang begitu mendalam. Rasa cintanya kepada Allah diungkapkan melalui syair-syair madh}-nya yang begitu lembut, indah, dan menarik. Ia mengungkapkan betapa mendalam cintanya kepada Allah, ia berkata:
أُحِبُّك حُبَّينِ حُبَّ الهَـوَى وَ حُبًّـا ِلأَنـَّكَ أَهْلٌ لِذَاكَ
فَأَمَّا الّذِى هُوَ حُبُّ الهَوَى فَشُغْلِى بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
وَ أَمَا الَّذِى أَ نْتَ أَ هْلٌ لَهُ فَكَشْفُكَ لِى الحَجْبَ حَتَّى أَرَاكَ
فَلاَ الحَمْدُ فِى ذَا أَوْ ذَاكَ لِي وَ لَكِنْ لَكَ الحَمْدُ ذَا وَ ذَاكَ
Ku cintai Kau dengan dua macam cinta
Cinta yang murni dan cinta karena Engkaulah yang patut dicintai
Mengenai cinta murni ialah karena aku senantiasa mengingat-Mu
Dan tak ada yang kuingat selain-Mu
Adapun cinta karena Engkau yang patut dicintai….
Karena Engkau telah mengungkapkan tabir bagiku hingga Engkau dapat kulihat
Baik untuk ini, maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
Tapi hanya Eugkaulah yang berhak atas pujian itu
Pujian Rabiah al-Adawiyah yang diungkapkan melalui cintanya kepada Allah bukan untuk mendapatkan harta benda sebagaimana penyair-penyair lain. Ia memuji-Nya karena harapan agar ia senantiasa berada di sisi-Nya. Berada di sisi Allah merupakan tujuan utama para sufi. Syair-syair madh} Rabiah berupa h}ubb ila>hy (cinta Tuhan) yang bercorak sufi. Syair-syair madh} dapat menghilangkan rasa dendam atau benci dan menghibur hati yang sedih. Syair-syair madh} juga dapat menenangkan pikiran yang kusut dan menghibur hati yang kalut. Rasulullah saw pernah mengampuni seseorang yang telah diancam hukuman mati. Ini beliau lakukan karena penyair itu telah melewati batas mencela Islam dan mengejek Rasulullah saw. Ia adalah Ka’ab ibn Zuhair (w. 26 H/645 M).
Ketika Islam datang, Bujer (saudara kandung Ka’ab) masuk Islam. Mendengar berita ini, Ka’ab melarangnya masuk Islam dan bahkan mengejek Rasulullah saw serta mencela Islam. Mendengar perilaku dan tindakan Ka’ab, Rasulullah saw mengancam dengan menghalalkan darahnya. Lalu Ka’ab diperingatkan saudaranya, Bujer, akan adanya ancaman Rasulullah saw, kecuali ia menghadap beliau untuk masuk Islam dan bertaubat. Hal ini sangat menakutkan Ka’ab. Ia berusaha mencari orang yang dapat melindunginya. Akan tetapi usahanya itu sia-sia. Tidak seorangpun di kalangan orang Arab pada waktu itu yang mau mendampingi dan melindunginya. Bahkan sempat tersebar isu bahwa ia telah terbunuh. Karena sangat ketakutan, ia akhirnya datang kepada Abu Bakar al-Shiddiq agar beliau berkenan mendampinginya menghadap Rasulullah saw untuk bertaubat dan masuk Islam. Dengan didampingi Abu Bakar al-Shiddiq dan disaksikan para sababat lainnya Ka’ab ibn Zuhair meminta maaf kepada Rasulullah saw dan bertaubat lalu ia pun masuk Islam. Permohonan maaf yang disampaikannya kepada Rasulullah saw tertuang dalam kasidah yang dibacakan dihadapan beliau, antara lain berbunyi:
أُبْـئِتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَوْعَدَنِى وَ العَفْوُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ مَأْمُوْلٌ
مَهْلاً هَدَاكَ الَذِى أَعْطَاكَ نَافِلَةَ الْـ قُرْآنِ فِيْهَا مَوَاعِيْظُ وَ تَفْصِيْلُ
Ku dengar selembar kabar
Rasulullah telah mengancam
Maaf untukku darinya
Sangat kuharapkan
Tenanglah tenang
Allah telah memberimu petunjuk
Berupa Nafilah Kitab al-Qur’an
Mengandung nasihat petunjuk rinci
Rasulullah saw sangat tertarik oleh kasidah yang dipersembahkannya ini. Seketika, beliau bangkit lalu memberinya hadiah berupa burdah بُرْدَة (semacam baju jubah yang dapat dipakai sebagai selimut). Karena peristiwa ini, kasidah tersebut diberi nama kasidah Burdah, sebagai tanda penghormatan dan kenangan atas hadiah Rasulullah saw kepadanya. Nama lain kasidah ini adalah بَانَتْ سُعَادُ. Sebuah nama yang diambil dari kata awal bait pertama kasidah tersebut yang berbunyi:
بَانَتْ سُعَادُ فَقَلْبِى اليَوْمَ مَتْبُوْلٌ مُتَيّمٌ إثْرَهَا لمَ ْيُفْدَ مَكْبُوْلُ
Kekasihku Su’ad telah pergi
Risau dan sakit hatiku kini
Sakit yang tak dapat terobati
Terbelenggu rasanya hatiku ini
Kasidah lain yang berjudul Burdah adalah karya penyair yang hidup di akhir masa Dinasti Ayyu>biyah dan awal Dinasti Mama>li>k yang berkuasa selama 266 tahun [648-922 H/ 1250-1517 M]. Penyair tersebut bernama Syarafuddi>n Abu> Abdilla>h Muh}ammad ibn Sa’i>d al-Bu>si>ry, lahir di Dalla>s pada 608 H dan hidup hingga dewasa di daerah Bu>si>r. Karena hidup di Bu>si>r inilah kemudian ia dikenal dengan nama al-Bu>si>ry, dinisbatkan kepada daerah Bu>si>r. Kasidah Burdah yang satu ini merupakan karya sastra yang sangat populer, selalu dibaca dan dikumandangkan di mana-mana, dan mendapat perhatian para pengkaji sastra Arab dan seniman. Kasidah ini banyak diterjemahkan, disadur, dan dikaji orang. Ibra>hi>m al-Ba>ju>ry mengatakan bahwa kasidah Burdah telah disyarah dalam bahasa Arab oleh tujuh belas ulama antara lain :
1. Syaikh Ali> ibn Muh}ammad al-Bust}a>my
2. Badruddi>n Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghazzy
3. Muh}yiddi>n Muhammad Musta>
4. Bah}r ibn Rai>s ibn al-Hārūn al-Ma>liky
5. Abdulla>h ibn Ya’qu>b al-Ghifa>ry
6. Abdulla>h ibn Ya’qu>b al-Sha>wy
7. Dan lain-lain
Sedangkan di Indonesia terdapat empat buah karya para ulama yang menulis Burdah, baik berupa saduran, terjemahan, maupun pengantar, mereka adalah :
1. KH. Dr. Idham Chalid, dengan judul Burdah al-Madi>h} al-Muba>rakah
2. Abu Farid ibn Umar, dengan judul Burdah Nan Indah
3. Dr. Talhah Mansur, SH, berjudul Al-Burdah, Al-Kawa>kib al-Durriyyah fi> Madh} Khairil Bariyyah
4. Ahmad Makky, berjudul Penjelasan Kasidah Burdah
Ah}mad Syauqy Bek, penyair kontemporer Mesir menyusun kasidah dengan corak yang sama atau mirip dengan kasidah Burdah. Ini ia lakukan karena keterpengaruhannya oleh kasidah Burdah. Kasidah yang ia susun berjudul Nahjul Burdah (نَهْجُ البرْدَةِ). Nahjul Burdah mengandung arti bahwa kasidah ini bercorak/bermetode Burdah. Di Indonesia kasidah Burdah senantiasa dibaca dan dikumandangkan, baik di pesantren, masjid, majelis taklim, madrasah, maupun rumah-rumah penduduk. Di pesantren dan majelis taklim, kasidah Burdah dijadikan literatur pokok.
Secara inklusif, kasidah Burdah menyatu dengan kitab Barzanjy (tentang maulid Nabi Muhammad saw). Perayaan peringatan maulid Nabi Muhammad saw dirasa kurang sempurna manakala tidak dibaca atau tidak didendangkannya kasidah Burdah. Selamatan bayi yang baru lahir dirayakan dengan pembacaan kitab Barzanjy yang senantiasa dilengkapi dengan kasidah Burdah.
Di Jawa Timur dan daerah-daerah lainnya di Indonesia, kasidah Burdah merupakan literatur pokok para kiai, ustadz, dan santri. Dapat dipastikan, bahwa sebagian besar keluarga Muslim memiliki kitab Barjanzy yang secara inklusif mengandung kasidah Burdah. Kitab Barzanjy dengan kasidah Burdahnya mereka miliki sebagaimana mereka memiliki kitab suci al-Qur’an. Banyak di antara seniman Muslim yang menjadikan kasidah Burdah sebagai lirik-lirik lagu Arab, seperti kasidahan, orkes gambus, dan lain-lain. Syaikh Ali> al-Minyawy, penyair Mesir, menerbitkan kaset lagu berirama Timur Tengah dengan lirik-liriknya diambil dari kasidah Burdah. Di awal ataupun akhir pengajian majelis taklim, kasidah Burdah dibacakan bersama-sama di bawah bimbingan guru/ ustadz. Kasidah Burdah juga menjadi bacaan [wiridan] sehari-hari.
Sebagai karya sastra kasidah Burdah pernah ditampilkan dalam festival antar pesantren se-Jawa Timur. Acara ini diselenggarakan Yayasan Hibatullah pimpinan Sofyan bekerjasama dengan harian pagi Memorandum, Surabaya. Menurut informasi, festival tersebut cukup berhasil dan mendapat perhatian besar dari para pencinta seni bercorak Islam.
Kasidah Burdah disusun al-Bu>si>ry, dengan tujuan memuji dan menyanjung Rasulullah saw. Ini ia lakukan karena kecintaannya kepada beliau (ِحُبُّ الرَسُوْل ) yang sangat mendalam melebihi cintanya kepada siapapun. Kasidah ini disusun ketika ia menderita sakit yang sangat berat (sebelah tubuhnya lumpuh). Dalam keadaan sakit ia menyusun kasidah yang isinya memuji dan menyanjung Rasulullah saw. Di suatu malam, dalam tidurnya ia mimpi bertemu beliau. Dalam mimpinya ini, beliau memberinya Burdah (بُرْدَة), baju lapang yang bisa dijadikan selimut. Ketika terbangun, ternyata sakit yang selama itu ia alami hilang dan ia pun sehat walafiat seperti semula. Untuk mengenang hadiah dari Rasulullah saw, ia memberi judul kasidah yang disusunnya itu dengan nama Burdah (بُرْدَةْ) Kasidah Burdah karya al-Bu>-si>ry merupakan karya sastra yang begitu baik, indah, dan mendapat perhatian masyarakat.
Pengaruh kasidah Burdah di Indonesia merupakan wujud nyata adanya pengaruh sastra atau pun syair-syair Arab terhadap sastra dan puisi Indonesia. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa sastra dan bahasa Arab sangat besar peranannya dalam membesarkan dan mengembangkan sastra dan bahasa Indonesia. Pengaruh sastra dan bahasa Arab seperti ini tidak lepas dari pengaruh agama Islam yang secara inklusif bahasa Arab adalah bahasa agama Islam. Tanpa Islam, sastra dan bahasa Arab tidak akan ada dan tidak akan berkembang pengaruhnya dalam bahasa Indonesia. Pengaruh sastra Arab terhadap sastra Indonesia mencakup struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik sastra adalah bahasa. Sedangkan struktur batin sastra adalah isi atau pesan sastra. Sebagai contoh, perhatikan puisi berikut ini:
Sealir Do’a
Ya Rabbi
Betapa hina diri ini
Di depan keagungan-Mu
Betapa papa jasad ini
di depan kunci gudang kekayaan-Mu
Dan betapa kotor hati ini
di depan kesucian-Mu
Ya Rabbi
Tlah lama kusadari
Akan tebalnya lapisan dosa
noda dan aibku ini
Dan tlah jauh hati kuyakini
Luasnya hamparan permadani kedustaan
keangkuhan dan keteledoranku
Karenanya aku malu menghadap-Mu
Namun di hati masih tersisa
Keyakinan hati yang terpatri
Akan maha luas dan dalamnya
Samudra kasih
dan anggapan-Mu, Ya Rabbi
yang tidak bertepi
apa lagi berdasar pasir
Ya Rabbi
Biarkanlah dosa kebusukanku
terbawa hanyut
gelombang samudra kasih dan ampunan-Mu
(Nusar Azhar)
Dilihat dari segi struktur fisik (bahasa), puisi Nusar Azhar dengan juduI Sealir Do’a ini sangat nampak keterpengaruhannya oleh sastra/bahasa Arab. Kita lihat kata Rabbi dalam puisi tersebut terucap sampai empat kali dan kata yakin (keyakinan, kuyakini) terucap dua kali dan kata aib (aibku) terucap satu kali. Dilihat dari struktur batin (isi/pesan sastra) puisi Nusar Azhar ini terpengaruh sastra Arab/Islam. Isi/pesan sastra dalam puisi tersebut berupa keagamaan/keislaman.
Buku ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
Siapakah al-Bu>s}i>ry? Apa saja karya-karyanya? Apa itu kasidah Burdah dan bagaimana latar belakang penyusunannya ? Mengapa syair-syair kasidah Burdah memfokuskan pujian kepada Rasulullah saw? Apa yang menyebabkannya menjadi terkenal? Mengapa dikeramatkan orang? Corak sastra apa yang mewarnainya? Apa isi kandungan, ide, dan pesannya? Bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan sastra/syair Arab pada umumnya dan bagaimana perhatian masyarakat pada khususnya?
Permasalahan pokok buku ini adalah corak sastra apakah yang mewarnai kasidah Burdah al-Bu>s}i>ry sehingga menjadi terkenal? Ini akan menjawab beberapa pertanyaan kita;
a. Apa yang melatarbelakangi penyusunan kasidah Burdah?
b. Sejauh mana imajinasi dan emosi yang terkandung di dalamnya?
c. Apa dan bagaimana ide/pesan serta pikiran yang terkandung di dalamnya?
d. Bagaimana struktur fisik (الصُوْرَة) yang meliputi stilistika (الأُسْلُوْب), kata-kata (الأَلْفَاظ), aliran (المَذْهَب), keseimbangan pola nada/irama (الوَزْن) dan sajak (القَافِيَة),
e. Sejauh mana pengaruhnya terhadap perkembangan sastra, dan respons kaum Muslim terhadapnya.
Buku ini dimaksudkan untuk mengetahui dan mengkaji Islam (bidang bahasa dan sastra Arab) dengan mengungkap corak sastra kasidah Burdah karya al-Būsi>ry. Bentuk struktur fisik dan batin kasidah Burdah dianggap sakral dan mempunyai khasiat-khasiat tertentu. Adapun manfaatnya antara lain :
1. Pelestarian kebudayaan dan apresiasi seni
2. Pembinaan perkembangan ilmu dan teori sastra
3. Pembinaan dan pengembangan sastra sebagai media penyiaran agama Islam dan alat kodifikasi ajaran Islam.
Syair merupakan karya sastra yang identik dengan kehidupan keagamaan yang selalu berkembang sejak munculnya agama Islam. Kasidah Burdah berisi syair-syair sanjungan dan pujian kepada Rasulullah saw, maka dijuluki sebagai pemuji nabi dan penyanjung Rasulullah saw.
Kecintaan al-Bu>s}i>ry kepada Rasulullah saw melebihi cintanya kepada orang lain, sekalipun ia tidak pernah bertemu dengannya. Ia hidup jauh setelah Rasulullah saw tiada. Cintanya kepada beliau lebih disebabkan oleh iman dan ketaatannya kepada Islam. Al-Bu>si>ry hanya menyusun syair yang berkenaan dengan keagamaan, pujaan, dan pujian kepada Rasulullah saw. Ini terlihat dalam karya-karya syairnya yang terhimpun dalam di>wa>n-nya. Buku ini akan mengulas kasidah Burdah yang merupakan karya sastra/syair puisi lirik. Dalam istilah sastra Arab disebutاَلشِعْرُ الغِنَائِي yaitu syair yang dapat dijadikan sebagai larik-larik dan lirik-lirik lagu atau dapat dideklamasikan seperti puisi. Dari segi struktur fisik (stilistika), kasidah Burdah yang berbentuk puisi ini menggunakan bah}r basi>t} (البَحْرُالبَسِيْط). Basi>t} adalah nada dasar yang cocok untuk syair-syair pujian (شِعْرُالمَدْح) syair cinta (شِعْرُالغَزل) dan syair ratap (شُِْعْرُ الرِثَاء ).
Dari segi sajak, kasidah Burdah menggunakan sajak mim (القَافِيَةالمِيْمِيَّة) yaitu huruf-huruf akhir (الرَوِِي) yang terdapat pada setiap baitnya adalah huruf mim. Sementara isi kandungan kasidah Burdah (struktur batin) berupa keislaman yaitu pujian kepada Rasulullah saw yang meliputi :
1. Nostalgia penyair
2. Peringatan terhadap bahaya hawa nafsu
3. Pujian kepada Rasulullah saw
4. Maulid Nabi Muhammad saw
5. Mukjizat Nabi Muhammad saw
6. Keagungan kitab suci al-Qur’an
7. Isra dan mi’raj
8. Perjuangan Nabi Muhammad saw
9. Permohonan maaf kepada Rasulullah saw
10.Sebuah harapan
Di antara bait-bait syair kasidah Burdah yang populer di masyarakat Indonesia adalah:
34 - مُحَمَّدٌ سَيِّدُ الكَوْ نَيْنِ وَالثَّقَلَـ يْنِ وَالفَرِيقَيْنِ مِنْ عُرْبٍ وَمِن عَجَمِ
35- نَبِيُّنَا الآمِرُ النَّاهِى فَلاَ أَحَـدٌ أَبَرُّ فِى قَولِ لاَ مِنهُ وَ لاَ نَعَم
36 - هُوَ الحَبِيبُ الَذِى تُرجَى شَفَاعَتُهُ لِكُلِّ هَولٍٍٍ مِنَ الأَهوَالِ مُقتَحِمِ
37 - دَعَا إِلَى اللهِ فَالمُسْتَمْسِكُونَ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ بِحَبْلٍ غَيْرَ مُنفَصِمِ
Muhammad pemimpin dunia dan akhirat
Muhammad pemimpin jin dan manusia
Muhammad pemimpin dua bangsa
Bangsa Arab dan bangsa Ajam
Muhammad Nabi kita ... merintah ‘kan kebaikan
Muhammad Nabi kita ... melarang ’kan kejahatan
Tiada orang yang paling bijak
Ketika berkata..ya..ataupun.. tidak.
Muhammad kekasih Allah
Syafaatnya selalu diharapkan
Di hari yang sangat mencekam
Hari kiamat hari yang menakutkan
Ia ajak orang-orang ‘tuk kembaadali kepada Allah
Maka, barang siapa berpegang kepada-Nya
Berarti ia ia berpegang pada seutas tali
Yang selamanya tak ‘kan terputus
Kasidah Burdah mengandung 160 bait syair yang diawali dengan pernyataan cinta penyairnya. Cinta kepada kekasihnya yang tinggal di lembah Z|i> Salam dekat kota Mekah. Kecintaannya yang begitu mendalam menjadikannya selalu ingat kepadanya. Sang kekasih yang senantiasa ia rindukan dalam kasidah ini menurut sebagian para pakar adalah Nabi Muhammad saw, ia mengungkapkan :
1- أَ مِنْ تَذَكُّرِجِيرَانٍ بِِذِي سَـلَمٍٍٍٍٍ مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقلَةٍ بِدَمِ
2-أَم هَبَّتِ الرِّيحُ مِن تِلقَاءِ كَاظِمَةٍ وَأَوْمَضَ البَرْقُ فِى الظَلمَاءِ مِنْ إِضَمِ
Apakah karena mengenang kekasih
Yang tinggal di lembah Z|i-Salam
Kau campurkan airmatamu dengan darah
Mengalir dari kelopak matamu?
Ataukah karena angin menghembus
Dari arah gunung Ka>zimah?
Ataukah karena kilat menyambar dari Idami?
Di kegelapan malam hari?
Kasidah Burdah diakhiri dengan bait syair yang mengekspresikan permohonan penyairnya agar Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad saw selama angin timur masih menerpa daun-daun pohon Ban, dan selama kafilah unta masih melangkahkan kaki-kakinya dengan diiringi dendang lagu para penggiringnya. Penulis mengakhiri kasidahnya: No. 159-160
وَأذَن لِسُحْبِ صَلاَةٍ مِنْكَ دَائِمَةٍ عَلَى النَّبِىِّ بِمُنهَلٍ وَ مُنْسَـجِمِ
مَارَنحَّتْ عَذَبَاتِ البَانِ رِيحُ صَبَا وَأَطْرَبَ العِيْسَ حَادِى العِيْسِ بِالنَّغَمِ
[Ya Allah Ya Tuhanku.. !]
Perintahkanlah selalu awan rahmat-Mu
Tuk mencurah bagaikan hujan deras
Pada [Muhammad] Nabi [Kekasih-Mu]
[Curahkanlah]..selama angin timur
Menerpa ranting-ranting pohon Ba>n
Dan [selama] penggiring unta
Mendendangkan lagu tuk menghiburnya
Analisis buku ini menggunakan pendekatan struktural (objektif, formal, dan analitis) dengan konsepsi dan kriteria berikut:
a. Karya sastra dipandang dan diperlakukan berdiri sendiri, mempunyai dunia, rangka, dan bentuknya sendiri.
b. Memberi penilaian terhadap keserasian di semua komponen yang membentuk keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan menjalin hubungan-hubungan antar komponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna dan bernilai estetik.
c. Memberikan penilaian terhadap keberhasilan penulis menjalin hubungan harmonis antara isi dan bentuk karena amat penting dalam menentukan mutu karya sastra. Ini menghendaki analisis yang objektif sehingga perlu dikaji [diteliti] setiap unsur yang terdapat dalam karya sastra itu. Ia harus berlaku adil terhadap karya sastra dengan cara hanya menganalisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada di luarnya.
d. Kajian isi struktur adalah pemikiran, falsafah, cerita, pusat pengisahan, dan tema. Sedangkan bentuk adalah alur [plot], bahasa, sistem penulisan, dan perangkat perwujudan sebagai karya tulis.
Buku ini didasarkan pada karya-karya al-Bu>s}i>ry yang terhimpun dalam Di>wān al-Būs}i>ry Syarafuddin Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Sa’i>d. Di>wa>n ini diterbitkan Dār al-Kutub al-Ilmiyah pada 1995, disyarah Ahmad Hasan Basj. Sumber lainnya adalah karya Ibra>hi>m al-Ba>ju>ry, Syarh al-Burdah li al-Ima>m al-Bu>si>ry, karya Abdul al-Hama>misy, Al-Bu>si>ry Ma>dih} al-Rasu>l al-A‘zam, Umar Muh}ammad al-Mirgany, Al-Adab fi ‘Asr al-Mama>li>k wa al-Atra>k al-Us|ma>niyyi>n wa al-As}r al-H}adi>s| (Cairo: Mat}ba’ah Al-Azhar, 1955), dan Abdul Lat}i>f Hamzah, Al-Adab al-Misry min Qiya>m al-Daulah al-Ayyu>biyyah ila> Maji>’i al-H}amlah al-Faransiyah (Cairo: al-Nahd}ah al-Misriyyah, tth.)
DAPATKAN SEGERAAA
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya besar dunia yang bersifat monumental ditulis dalam bentuk puisi. Karya-karya pujangga banyak ditulis dalam bentuk puisi. Nyanyian-nyanyian yang diperdengarkan tidak semata-mata karena irama mempesona yang dilantunkan dengan suara merdu, tetapi isi kandungan dan corak puisinya mampu menghibur manusia. Puisi-puisi cinta banyak didendangkan dan diperdengarkan para penyanyi dan pujangga dalam berbagai kurun waktu. Hebatnya, puisi-puisi semacam itu tidak pernah pudar dan membosankan.
Puisi atau syair merupakan karya sastra yang sangat urgen dan besar pengaruhnya terhadap sikap, tindak, dan kehidupan manusia. Allah SWT menaruh perhatian khusus dengan mencantuman dalam al-Qur’an satu surat yang ke-26 dengan nama al-Syu’ara> (اَلشُّعَرَاء). Disebut demikian karena Allah menyanggah orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penyair dan yang dibawanya adalah syair. Muh}ammad Ali> al-S{a>bu>ny mengatakan :
سُمِّيَت سُوْرَةُ الشُّعَرَاء ِلأَنَّ اللهَ تَعَالَى ذَكَرَ فِيْهَا أَخْبَارَ الشُّعَرَاء رَدًّا عَلَى المُشْرِكِيْنَ فَزَعْمُهُم أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ كَانَ شَاعِرًا وَ أَنَّ مَا جَاءَ بِهِ إِنَّمَا هُوَ مِنْ قَبِيْلِ الشِّعْرِ، فَرَدَّ اللهُ عَلَيْهِمْ هَذَا الكَذِبَ وَ البُهْتَانَ بِقَوْلِهِ" وَ الشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الغَاوُوْنَ، أَلمَ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلٍّ وَادٍ يَهِيمُون. وَ أَنَّهُم يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ"
Dinamai surat al-Syu‘ara> karena Allah menyebut di dalamnya berita tentang para penyair sekaligus menyanggah tuduhan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penyair dan yang dibawanya adalah syair. Maka Allah pun menyanggah kebohongan dan kepalsuan itu dengan ayat yang artinya “Dan penyair-penyair itu, diikuti oleh orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di lembah-lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)”?
Sanggahan Allah terhadap tuduhan orang-orang musyrik Arab pada waktu itu tergambar dalam ayat sebagai berikut:
وَ الشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الغَاوُوْنَ، أَلمَ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلٍّ وَادٍ يَهَيمُون. وَ أَنَّهُم يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ (الشعراء 224-226)
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di lembah-lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?
Penamaan surat ini ditandai dengan disebutnya kata-kata اَلشُُّعَرَاءُ pada bagian akhir surat, tepatnya ayat 224, ketika Allah secara khusus menyebutkan kedudukan para penyair. Para penyair pada zaman itu [Jahiliyah] mempunyai sifat-sifat yang jauh berbeda dengan rasul. Mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat dan suka memutarbalikkan lidah, tidak mempunyai pendirian. Perbuatan mereka tidak sesuai dengan ucapan. Sifat-sifat yang demikian itu tidak terdapat pada diri rasul. Oleh karena itu, tidak patut bila Nabi Muhammad saw dianggap sebagai penyair dan al-Qur’an ditengarai sebagai syair. Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan buatan manusia. Al-Qur’an bukan syair dan bukan pula prosa. Gaya bahasa dan sastra al-Qur’an berbeda dengan gaya bahasa biasa. Gaya bahasa dan gaya sastra al-Qur’an adalah gaya bahasa dan gaya sastra al-Qur’an itu sendiri.
Pernyataan Allah bahwa Nabi Muhammad saw bukan penyair dan bahwa al-Qur’an merupakan peringatan dan kitab pemberi penerangan, ditegaskan dalam ayat yang berbunyi :
وَ مَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَ مَا يَنْبَغِى لَهُ، إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ وَ قُرْآنٌ مُبِيْنٌ ( يس29)
Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidak layak baginya, al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.
Yang dimaksud dengan penyair yang gemar memutar balikkan lidah, tidak mempuyai pendirian, dan perbuatannya tidak sesuai dengan ucapan adalah penyair Jahiliyah, bukan penyair Muslim. Penyair Muslim tidak demikian, hal ini dijelaskan dalam ayat berikut :
إلاَّ الذِيْنَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ ذَكَرُوا اللهَ كَثِيرًا وَ انْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا (الشعراء 227)
Kecuali orang-orang [penyair-penyair] yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa penyair Muslim tidak melakukan apa yang dilakukan penyair Jahiliyah (non Muslim). Bagi orang Arab, syair mempunyai kedudukan yang tinggi dan peranan yang besar. Ah{mad al-Iskandary dan Mus}t}afa> Ina>ny mengatakan bahwa syair adalahدِيوَانُ العَرَب [buku catatan bangsa Arab]. Artinya bahwa semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu, tercatat dan terrekam dalam syair-syair Arab. Dengan syair, orang-orang Arab dapat memelihara, mencatat, menjaga kehidupan, dan mempertahankan kehormatan. Satu kabilah Arab tidak akan mendapat kehormatan bahkan akan mendapatkan cemoohan, manakala tidak seorangpun di kalangan mereka yang tampil sebagai penyair yang dapat mewakili kabilahnya. Syair dan penyair bagi orang Arab merupakan kebanggaan. Ah}mad al-Iskandary dan Mus}t}afa> Ina>ny mengatakan bahwa kabilah Arab akan merasa sangat bahagia manakala mendapatkan tiga macam kelahiran. Kelahiran seorang anak laki-laki, kelahiran (penobatan) penyair, dan kelahiran anak kuda.
Ketika seorang penyair muncul (dinobatkan sebagai penyair), mereka mengadakan pesta besar-besaran untuk menyambutnya. Pesta itu mereka lakukan melebihi pesta perkawinan. Mereka menari, menyanyi, dan menyantap macam-macam hidangan mewah. Ah}mad al-Iskandary dan Mustafa> Ina>ny mengatakan :
وَ كَانَت القَبَائِلُ مِن العَرَبِ إِذَا نَبَغَ فِيهَا شَاعِرٌ أتَتِ القَبَائِلُ فَهَنَّأَتْهَا وَ صَنَعَتِ الأَطْعِمَةَ وَ أَتَتِ النِّسَاءُ يَلْعَبْنَ بِالمَزَامِرِ كَمَا صَنَعْنَ بِالأَعْرَاسِ ، وَ يَتَبَاشَرْنَ الرِّجَالَ وَ الوِلْدَانَ ، لأَنَّهُ حِمَايَةٌ ِِلأَعْرَاضَهِمْ ، وَ ذَبّ عَنْ حِيَاضِهِمْ ، و تَخلِيْدٌ لِمُفْتَخَرِهِمْ ، وَ إِشَادَةٌ بِذِكْرِهِمْ ، وَ كَانُوا َلا يَهْنَئُوْنَ إِلاَّ بِغُلامٍ يُوْلَدُ أَوْ شَاعِرٌ يَنْبَغُ أَوْ فَرَسٌ تُنْتَجُ.
Manakala di kalangan kabilah Arab muncul seorang penyair, berdatanganlah kabilah-kabilah lain mengucapkan selamat. Mereka membuat bermacam makanan mewah dan berdatangan pula wanita-wanita (penyanyi) untuk memainkan seruling (alat musik tiup). lni mereka lakukan sebagaimana mereka merayakan pesta perkawinan. Laki-laki, perempuan, muda-mudi berbaur menjadi satu untuk merayakannya. Kelahiran seorang penyair merupakan kehormatan bagi mereka. Seorang penyair adalah pahlawan keluarga dan pembela bangsa. Mereka akan sangat bangga dan bahagia manakala di kalangan mereka lahir seorang anak laki-laki, lahir seorang penyair, dan lahir seekor anak kuda.
Rasulullah saw adalah sosok manusia yang mencintai seni dan menggemari syair. Beliau mendorong sahabatnya untuk menyusun dan melantunkan syair. Beliau bangga kalau syair dijadikan alat berdakwah dan sarana untuk membukukan ajaran Islam. Beliau mendorong para sahabatnya untuk menjadikan syair sebagai senjata ampuh melawan musuh Islam. Hal ini dilakukan agar umat Islam mendapatkan motivasi dan semangat tinggi dalam menjalankan tugas sucinya, berjihad. Beliau pernah berkata kepada sahabatnya Hassa>n ibn S|a>bit. (w 54 H) agar ia membalas celaan orang-orang musyrik, musuh Islam, dengan lidahnya [syairnya] beliau bersabda :
اُهْجُ المُشْرِكِيْنَ وَ جِبْرَائِيْلُ مَعَكَ، إِذَا حَارَبَ أَصْحَابِي بِالسِّلاَحِ فَحَارِبْ أَنْتَ بِاللِّسَانِ (رواه الخطيب وابن عساكر)
Balaslah (wahai H{assa>n) celaan orang-orang musyrik itu, Jibril pasti bersamamu. Kalau sahabat-sahabatku berperang dengan senjata, maka berperanglah kamu dengan lidahmu (syairmu). (HR Al-Khati>b dan Ibn Asa>kir).
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang akan membela Islam dan kehormatan orang-orang yang beriman?” Ka‘ab ibn Zuhair menjawab “Aku wahai Rasulullah yang akan membelanya”, Jawab Nabi; “Ya Engkau adalah seorang penyair”. Dalam hal ini Hassa>n ibn S|a>bit berkata, “Aku wahai Rasulullah yang akan membelanya”, Nabi pun menjawab Hassa>n ibn S|a>bit “Ya, balaslah ejekan kaum musyrik itu semoga Jibril menyertaimu”.
Syair-syair Arab klasik (syair Jahili) banyak digunakan untuk tujuan gazal (الغَزل = cinta), risā (الرِثَاء = ratapan), hija> (الِهجَاء = ejekan), madh} (اَلمدْح = pujian), mufākharah (المُفَاخَرَة = kebanggaan), h}ikmah (الحِكْمَةِ = kata mutiara), mas|al (المَثَل= peribahasa) ‘itiz|a>r (الاِعْتِذَار = berdalih / permobonan maaf), dan lain-lain.
Setelah Islam datang, syair-syair Arab banyak digunakan untuk tujuan keagamaan, seperti sarana dakwah, penyebaran aqidah Islamiyah, sebagai alat kodifikasi ajaran dan ilmu agama Islam, untuk membangkitkan motivasi umat Islam dan untuk beramal saleh, menyampaikan mauizah h}asanah, dan memuji Rasulullah saw.
Syair madh} (شِعرُالَمدحِ) dalam bahasa Indonesia disebut syair pujian, merupakan bentuk syair yang banyak mendapat perhatian para penyair. Syair ini di samping untuk mengungkapkan rasa senang dan cinta terhadap orang yang pernah berjasa atau yang sangat dihormati, merupakan sarana untuk mencari kehidupan (tujuan komersil). Tidak sedikit di antara para penyair yang sengaja menggubah syair madhnya untuk mengharapkan imbalan. Di zaman khilafah Dinasti Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M), tidak sedikit di antara penyair yang mampu mengambil hati para khalifah sehingga mereka tidak segan-segan memberikan sejumlah imbalan berupa uang, emas, dan benda berharga lainnya. Bahkan di antara mereka ada yang menerima hadiah berupa ja>riyah (جََاِريَة = gadis). Dengan syair madh{, para penyair banyak yang menjadi kaya, dan bahkan menjadi pejabat tinggi kerajaan setingkat menteri.
Syair madh} merupakan ungkapan rasa cinta seseorang terhadap siapa saja yang disenangi dan dicintainya. Syair-syair Rabiah al-Adawiyah (135 H/752 M) merupakan model syair madh} yang mengungkap rasa cintanya kepada Allah yang begitu mendalam. Rasa cintanya kepada Allah diungkapkan melalui syair-syair madh}-nya yang begitu lembut, indah, dan menarik. Ia mengungkapkan betapa mendalam cintanya kepada Allah, ia berkata:
أُحِبُّك حُبَّينِ حُبَّ الهَـوَى وَ حُبًّـا ِلأَنـَّكَ أَهْلٌ لِذَاكَ
فَأَمَّا الّذِى هُوَ حُبُّ الهَوَى فَشُغْلِى بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
وَ أَمَا الَّذِى أَ نْتَ أَ هْلٌ لَهُ فَكَشْفُكَ لِى الحَجْبَ حَتَّى أَرَاكَ
فَلاَ الحَمْدُ فِى ذَا أَوْ ذَاكَ لِي وَ لَكِنْ لَكَ الحَمْدُ ذَا وَ ذَاكَ
Ku cintai Kau dengan dua macam cinta
Cinta yang murni dan cinta karena Engkaulah yang patut dicintai
Mengenai cinta murni ialah karena aku senantiasa mengingat-Mu
Dan tak ada yang kuingat selain-Mu
Adapun cinta karena Engkau yang patut dicintai….
Karena Engkau telah mengungkapkan tabir bagiku hingga Engkau dapat kulihat
Baik untuk ini, maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
Tapi hanya Eugkaulah yang berhak atas pujian itu
Pujian Rabiah al-Adawiyah yang diungkapkan melalui cintanya kepada Allah bukan untuk mendapatkan harta benda sebagaimana penyair-penyair lain. Ia memuji-Nya karena harapan agar ia senantiasa berada di sisi-Nya. Berada di sisi Allah merupakan tujuan utama para sufi. Syair-syair madh} Rabiah berupa h}ubb ila>hy (cinta Tuhan) yang bercorak sufi. Syair-syair madh} dapat menghilangkan rasa dendam atau benci dan menghibur hati yang sedih. Syair-syair madh} juga dapat menenangkan pikiran yang kusut dan menghibur hati yang kalut. Rasulullah saw pernah mengampuni seseorang yang telah diancam hukuman mati. Ini beliau lakukan karena penyair itu telah melewati batas mencela Islam dan mengejek Rasulullah saw. Ia adalah Ka’ab ibn Zuhair (w. 26 H/645 M).
Ketika Islam datang, Bujer (saudara kandung Ka’ab) masuk Islam. Mendengar berita ini, Ka’ab melarangnya masuk Islam dan bahkan mengejek Rasulullah saw serta mencela Islam. Mendengar perilaku dan tindakan Ka’ab, Rasulullah saw mengancam dengan menghalalkan darahnya. Lalu Ka’ab diperingatkan saudaranya, Bujer, akan adanya ancaman Rasulullah saw, kecuali ia menghadap beliau untuk masuk Islam dan bertaubat. Hal ini sangat menakutkan Ka’ab. Ia berusaha mencari orang yang dapat melindunginya. Akan tetapi usahanya itu sia-sia. Tidak seorangpun di kalangan orang Arab pada waktu itu yang mau mendampingi dan melindunginya. Bahkan sempat tersebar isu bahwa ia telah terbunuh. Karena sangat ketakutan, ia akhirnya datang kepada Abu Bakar al-Shiddiq agar beliau berkenan mendampinginya menghadap Rasulullah saw untuk bertaubat dan masuk Islam. Dengan didampingi Abu Bakar al-Shiddiq dan disaksikan para sababat lainnya Ka’ab ibn Zuhair meminta maaf kepada Rasulullah saw dan bertaubat lalu ia pun masuk Islam. Permohonan maaf yang disampaikannya kepada Rasulullah saw tertuang dalam kasidah yang dibacakan dihadapan beliau, antara lain berbunyi:
أُبْـئِتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَوْعَدَنِى وَ العَفْوُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ مَأْمُوْلٌ
مَهْلاً هَدَاكَ الَذِى أَعْطَاكَ نَافِلَةَ الْـ قُرْآنِ فِيْهَا مَوَاعِيْظُ وَ تَفْصِيْلُ
Ku dengar selembar kabar
Rasulullah telah mengancam
Maaf untukku darinya
Sangat kuharapkan
Tenanglah tenang
Allah telah memberimu petunjuk
Berupa Nafilah Kitab al-Qur’an
Mengandung nasihat petunjuk rinci
Rasulullah saw sangat tertarik oleh kasidah yang dipersembahkannya ini. Seketika, beliau bangkit lalu memberinya hadiah berupa burdah بُرْدَة (semacam baju jubah yang dapat dipakai sebagai selimut). Karena peristiwa ini, kasidah tersebut diberi nama kasidah Burdah, sebagai tanda penghormatan dan kenangan atas hadiah Rasulullah saw kepadanya. Nama lain kasidah ini adalah بَانَتْ سُعَادُ. Sebuah nama yang diambil dari kata awal bait pertama kasidah tersebut yang berbunyi:
بَانَتْ سُعَادُ فَقَلْبِى اليَوْمَ مَتْبُوْلٌ مُتَيّمٌ إثْرَهَا لمَ ْيُفْدَ مَكْبُوْلُ
Kekasihku Su’ad telah pergi
Risau dan sakit hatiku kini
Sakit yang tak dapat terobati
Terbelenggu rasanya hatiku ini
Kasidah lain yang berjudul Burdah adalah karya penyair yang hidup di akhir masa Dinasti Ayyu>biyah dan awal Dinasti Mama>li>k yang berkuasa selama 266 tahun [648-922 H/ 1250-1517 M]. Penyair tersebut bernama Syarafuddi>n Abu> Abdilla>h Muh}ammad ibn Sa’i>d al-Bu>si>ry, lahir di Dalla>s pada 608 H dan hidup hingga dewasa di daerah Bu>si>r. Karena hidup di Bu>si>r inilah kemudian ia dikenal dengan nama al-Bu>si>ry, dinisbatkan kepada daerah Bu>si>r. Kasidah Burdah yang satu ini merupakan karya sastra yang sangat populer, selalu dibaca dan dikumandangkan di mana-mana, dan mendapat perhatian para pengkaji sastra Arab dan seniman. Kasidah ini banyak diterjemahkan, disadur, dan dikaji orang. Ibra>hi>m al-Ba>ju>ry mengatakan bahwa kasidah Burdah telah disyarah dalam bahasa Arab oleh tujuh belas ulama antara lain :
1. Syaikh Ali> ibn Muh}ammad al-Bust}a>my
2. Badruddi>n Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghazzy
3. Muh}yiddi>n Muhammad Musta>
4. Bah}r ibn Rai>s ibn al-Hārūn al-Ma>liky
5. Abdulla>h ibn Ya’qu>b al-Ghifa>ry
6. Abdulla>h ibn Ya’qu>b al-Sha>wy
7. Dan lain-lain
Sedangkan di Indonesia terdapat empat buah karya para ulama yang menulis Burdah, baik berupa saduran, terjemahan, maupun pengantar, mereka adalah :
1. KH. Dr. Idham Chalid, dengan judul Burdah al-Madi>h} al-Muba>rakah
2. Abu Farid ibn Umar, dengan judul Burdah Nan Indah
3. Dr. Talhah Mansur, SH, berjudul Al-Burdah, Al-Kawa>kib al-Durriyyah fi> Madh} Khairil Bariyyah
4. Ahmad Makky, berjudul Penjelasan Kasidah Burdah
Ah}mad Syauqy Bek, penyair kontemporer Mesir menyusun kasidah dengan corak yang sama atau mirip dengan kasidah Burdah. Ini ia lakukan karena keterpengaruhannya oleh kasidah Burdah. Kasidah yang ia susun berjudul Nahjul Burdah (نَهْجُ البرْدَةِ). Nahjul Burdah mengandung arti bahwa kasidah ini bercorak/bermetode Burdah. Di Indonesia kasidah Burdah senantiasa dibaca dan dikumandangkan, baik di pesantren, masjid, majelis taklim, madrasah, maupun rumah-rumah penduduk. Di pesantren dan majelis taklim, kasidah Burdah dijadikan literatur pokok.
Secara inklusif, kasidah Burdah menyatu dengan kitab Barzanjy (tentang maulid Nabi Muhammad saw). Perayaan peringatan maulid Nabi Muhammad saw dirasa kurang sempurna manakala tidak dibaca atau tidak didendangkannya kasidah Burdah. Selamatan bayi yang baru lahir dirayakan dengan pembacaan kitab Barzanjy yang senantiasa dilengkapi dengan kasidah Burdah.
Di Jawa Timur dan daerah-daerah lainnya di Indonesia, kasidah Burdah merupakan literatur pokok para kiai, ustadz, dan santri. Dapat dipastikan, bahwa sebagian besar keluarga Muslim memiliki kitab Barjanzy yang secara inklusif mengandung kasidah Burdah. Kitab Barzanjy dengan kasidah Burdahnya mereka miliki sebagaimana mereka memiliki kitab suci al-Qur’an. Banyak di antara seniman Muslim yang menjadikan kasidah Burdah sebagai lirik-lirik lagu Arab, seperti kasidahan, orkes gambus, dan lain-lain. Syaikh Ali> al-Minyawy, penyair Mesir, menerbitkan kaset lagu berirama Timur Tengah dengan lirik-liriknya diambil dari kasidah Burdah. Di awal ataupun akhir pengajian majelis taklim, kasidah Burdah dibacakan bersama-sama di bawah bimbingan guru/ ustadz. Kasidah Burdah juga menjadi bacaan [wiridan] sehari-hari.
Sebagai karya sastra kasidah Burdah pernah ditampilkan dalam festival antar pesantren se-Jawa Timur. Acara ini diselenggarakan Yayasan Hibatullah pimpinan Sofyan bekerjasama dengan harian pagi Memorandum, Surabaya. Menurut informasi, festival tersebut cukup berhasil dan mendapat perhatian besar dari para pencinta seni bercorak Islam.
Kasidah Burdah disusun al-Bu>si>ry, dengan tujuan memuji dan menyanjung Rasulullah saw. Ini ia lakukan karena kecintaannya kepada beliau (ِحُبُّ الرَسُوْل ) yang sangat mendalam melebihi cintanya kepada siapapun. Kasidah ini disusun ketika ia menderita sakit yang sangat berat (sebelah tubuhnya lumpuh). Dalam keadaan sakit ia menyusun kasidah yang isinya memuji dan menyanjung Rasulullah saw. Di suatu malam, dalam tidurnya ia mimpi bertemu beliau. Dalam mimpinya ini, beliau memberinya Burdah (بُرْدَة), baju lapang yang bisa dijadikan selimut. Ketika terbangun, ternyata sakit yang selama itu ia alami hilang dan ia pun sehat walafiat seperti semula. Untuk mengenang hadiah dari Rasulullah saw, ia memberi judul kasidah yang disusunnya itu dengan nama Burdah (بُرْدَةْ) Kasidah Burdah karya al-Bu>-si>ry merupakan karya sastra yang begitu baik, indah, dan mendapat perhatian masyarakat.
Pengaruh kasidah Burdah di Indonesia merupakan wujud nyata adanya pengaruh sastra atau pun syair-syair Arab terhadap sastra dan puisi Indonesia. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa sastra dan bahasa Arab sangat besar peranannya dalam membesarkan dan mengembangkan sastra dan bahasa Indonesia. Pengaruh sastra dan bahasa Arab seperti ini tidak lepas dari pengaruh agama Islam yang secara inklusif bahasa Arab adalah bahasa agama Islam. Tanpa Islam, sastra dan bahasa Arab tidak akan ada dan tidak akan berkembang pengaruhnya dalam bahasa Indonesia. Pengaruh sastra Arab terhadap sastra Indonesia mencakup struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik sastra adalah bahasa. Sedangkan struktur batin sastra adalah isi atau pesan sastra. Sebagai contoh, perhatikan puisi berikut ini:
Sealir Do’a
Ya Rabbi
Betapa hina diri ini
Di depan keagungan-Mu
Betapa papa jasad ini
di depan kunci gudang kekayaan-Mu
Dan betapa kotor hati ini
di depan kesucian-Mu
Ya Rabbi
Tlah lama kusadari
Akan tebalnya lapisan dosa
noda dan aibku ini
Dan tlah jauh hati kuyakini
Luasnya hamparan permadani kedustaan
keangkuhan dan keteledoranku
Karenanya aku malu menghadap-Mu
Namun di hati masih tersisa
Keyakinan hati yang terpatri
Akan maha luas dan dalamnya
Samudra kasih
dan anggapan-Mu, Ya Rabbi
yang tidak bertepi
apa lagi berdasar pasir
Ya Rabbi
Biarkanlah dosa kebusukanku
terbawa hanyut
gelombang samudra kasih dan ampunan-Mu
(Nusar Azhar)
Dilihat dari segi struktur fisik (bahasa), puisi Nusar Azhar dengan juduI Sealir Do’a ini sangat nampak keterpengaruhannya oleh sastra/bahasa Arab. Kita lihat kata Rabbi dalam puisi tersebut terucap sampai empat kali dan kata yakin (keyakinan, kuyakini) terucap dua kali dan kata aib (aibku) terucap satu kali. Dilihat dari struktur batin (isi/pesan sastra) puisi Nusar Azhar ini terpengaruh sastra Arab/Islam. Isi/pesan sastra dalam puisi tersebut berupa keagamaan/keislaman.
Buku ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
Siapakah al-Bu>s}i>ry? Apa saja karya-karyanya? Apa itu kasidah Burdah dan bagaimana latar belakang penyusunannya ? Mengapa syair-syair kasidah Burdah memfokuskan pujian kepada Rasulullah saw? Apa yang menyebabkannya menjadi terkenal? Mengapa dikeramatkan orang? Corak sastra apa yang mewarnainya? Apa isi kandungan, ide, dan pesannya? Bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan sastra/syair Arab pada umumnya dan bagaimana perhatian masyarakat pada khususnya?
Permasalahan pokok buku ini adalah corak sastra apakah yang mewarnai kasidah Burdah al-Bu>s}i>ry sehingga menjadi terkenal? Ini akan menjawab beberapa pertanyaan kita;
a. Apa yang melatarbelakangi penyusunan kasidah Burdah?
b. Sejauh mana imajinasi dan emosi yang terkandung di dalamnya?
c. Apa dan bagaimana ide/pesan serta pikiran yang terkandung di dalamnya?
d. Bagaimana struktur fisik (الصُوْرَة) yang meliputi stilistika (الأُسْلُوْب), kata-kata (الأَلْفَاظ), aliran (المَذْهَب), keseimbangan pola nada/irama (الوَزْن) dan sajak (القَافِيَة),
e. Sejauh mana pengaruhnya terhadap perkembangan sastra, dan respons kaum Muslim terhadapnya.
Buku ini dimaksudkan untuk mengetahui dan mengkaji Islam (bidang bahasa dan sastra Arab) dengan mengungkap corak sastra kasidah Burdah karya al-Būsi>ry. Bentuk struktur fisik dan batin kasidah Burdah dianggap sakral dan mempunyai khasiat-khasiat tertentu. Adapun manfaatnya antara lain :
1. Pelestarian kebudayaan dan apresiasi seni
2. Pembinaan perkembangan ilmu dan teori sastra
3. Pembinaan dan pengembangan sastra sebagai media penyiaran agama Islam dan alat kodifikasi ajaran Islam.
Syair merupakan karya sastra yang identik dengan kehidupan keagamaan yang selalu berkembang sejak munculnya agama Islam. Kasidah Burdah berisi syair-syair sanjungan dan pujian kepada Rasulullah saw, maka dijuluki sebagai pemuji nabi dan penyanjung Rasulullah saw.
Kecintaan al-Bu>s}i>ry kepada Rasulullah saw melebihi cintanya kepada orang lain, sekalipun ia tidak pernah bertemu dengannya. Ia hidup jauh setelah Rasulullah saw tiada. Cintanya kepada beliau lebih disebabkan oleh iman dan ketaatannya kepada Islam. Al-Bu>si>ry hanya menyusun syair yang berkenaan dengan keagamaan, pujaan, dan pujian kepada Rasulullah saw. Ini terlihat dalam karya-karya syairnya yang terhimpun dalam di>wa>n-nya. Buku ini akan mengulas kasidah Burdah yang merupakan karya sastra/syair puisi lirik. Dalam istilah sastra Arab disebutاَلشِعْرُ الغِنَائِي yaitu syair yang dapat dijadikan sebagai larik-larik dan lirik-lirik lagu atau dapat dideklamasikan seperti puisi. Dari segi struktur fisik (stilistika), kasidah Burdah yang berbentuk puisi ini menggunakan bah}r basi>t} (البَحْرُالبَسِيْط). Basi>t} adalah nada dasar yang cocok untuk syair-syair pujian (شِعْرُالمَدْح) syair cinta (شِعْرُالغَزل) dan syair ratap (شُِْعْرُ الرِثَاء ).
Dari segi sajak, kasidah Burdah menggunakan sajak mim (القَافِيَةالمِيْمِيَّة) yaitu huruf-huruf akhir (الرَوِِي) yang terdapat pada setiap baitnya adalah huruf mim. Sementara isi kandungan kasidah Burdah (struktur batin) berupa keislaman yaitu pujian kepada Rasulullah saw yang meliputi :
1. Nostalgia penyair
2. Peringatan terhadap bahaya hawa nafsu
3. Pujian kepada Rasulullah saw
4. Maulid Nabi Muhammad saw
5. Mukjizat Nabi Muhammad saw
6. Keagungan kitab suci al-Qur’an
7. Isra dan mi’raj
8. Perjuangan Nabi Muhammad saw
9. Permohonan maaf kepada Rasulullah saw
10.Sebuah harapan
Di antara bait-bait syair kasidah Burdah yang populer di masyarakat Indonesia adalah:
34 - مُحَمَّدٌ سَيِّدُ الكَوْ نَيْنِ وَالثَّقَلَـ يْنِ وَالفَرِيقَيْنِ مِنْ عُرْبٍ وَمِن عَجَمِ
35- نَبِيُّنَا الآمِرُ النَّاهِى فَلاَ أَحَـدٌ أَبَرُّ فِى قَولِ لاَ مِنهُ وَ لاَ نَعَم
36 - هُوَ الحَبِيبُ الَذِى تُرجَى شَفَاعَتُهُ لِكُلِّ هَولٍٍٍ مِنَ الأَهوَالِ مُقتَحِمِ
37 - دَعَا إِلَى اللهِ فَالمُسْتَمْسِكُونَ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ بِحَبْلٍ غَيْرَ مُنفَصِمِ
Muhammad pemimpin dunia dan akhirat
Muhammad pemimpin jin dan manusia
Muhammad pemimpin dua bangsa
Bangsa Arab dan bangsa Ajam
Muhammad Nabi kita ... merintah ‘kan kebaikan
Muhammad Nabi kita ... melarang ’kan kejahatan
Tiada orang yang paling bijak
Ketika berkata..ya..ataupun.. tidak.
Muhammad kekasih Allah
Syafaatnya selalu diharapkan
Di hari yang sangat mencekam
Hari kiamat hari yang menakutkan
Ia ajak orang-orang ‘tuk kembaadali kepada Allah
Maka, barang siapa berpegang kepada-Nya
Berarti ia ia berpegang pada seutas tali
Yang selamanya tak ‘kan terputus
Kasidah Burdah mengandung 160 bait syair yang diawali dengan pernyataan cinta penyairnya. Cinta kepada kekasihnya yang tinggal di lembah Z|i> Salam dekat kota Mekah. Kecintaannya yang begitu mendalam menjadikannya selalu ingat kepadanya. Sang kekasih yang senantiasa ia rindukan dalam kasidah ini menurut sebagian para pakar adalah Nabi Muhammad saw, ia mengungkapkan :
1- أَ مِنْ تَذَكُّرِجِيرَانٍ بِِذِي سَـلَمٍٍٍٍٍ مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقلَةٍ بِدَمِ
2-أَم هَبَّتِ الرِّيحُ مِن تِلقَاءِ كَاظِمَةٍ وَأَوْمَضَ البَرْقُ فِى الظَلمَاءِ مِنْ إِضَمِ
Apakah karena mengenang kekasih
Yang tinggal di lembah Z|i-Salam
Kau campurkan airmatamu dengan darah
Mengalir dari kelopak matamu?
Ataukah karena angin menghembus
Dari arah gunung Ka>zimah?
Ataukah karena kilat menyambar dari Idami?
Di kegelapan malam hari?
Kasidah Burdah diakhiri dengan bait syair yang mengekspresikan permohonan penyairnya agar Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad saw selama angin timur masih menerpa daun-daun pohon Ban, dan selama kafilah unta masih melangkahkan kaki-kakinya dengan diiringi dendang lagu para penggiringnya. Penulis mengakhiri kasidahnya: No. 159-160
وَأذَن لِسُحْبِ صَلاَةٍ مِنْكَ دَائِمَةٍ عَلَى النَّبِىِّ بِمُنهَلٍ وَ مُنْسَـجِمِ
مَارَنحَّتْ عَذَبَاتِ البَانِ رِيحُ صَبَا وَأَطْرَبَ العِيْسَ حَادِى العِيْسِ بِالنَّغَمِ
[Ya Allah Ya Tuhanku.. !]
Perintahkanlah selalu awan rahmat-Mu
Tuk mencurah bagaikan hujan deras
Pada [Muhammad] Nabi [Kekasih-Mu]
[Curahkanlah]..selama angin timur
Menerpa ranting-ranting pohon Ba>n
Dan [selama] penggiring unta
Mendendangkan lagu tuk menghiburnya
Analisis buku ini menggunakan pendekatan struktural (objektif, formal, dan analitis) dengan konsepsi dan kriteria berikut:
a. Karya sastra dipandang dan diperlakukan berdiri sendiri, mempunyai dunia, rangka, dan bentuknya sendiri.
b. Memberi penilaian terhadap keserasian di semua komponen yang membentuk keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan menjalin hubungan-hubungan antar komponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna dan bernilai estetik.
c. Memberikan penilaian terhadap keberhasilan penulis menjalin hubungan harmonis antara isi dan bentuk karena amat penting dalam menentukan mutu karya sastra. Ini menghendaki analisis yang objektif sehingga perlu dikaji [diteliti] setiap unsur yang terdapat dalam karya sastra itu. Ia harus berlaku adil terhadap karya sastra dengan cara hanya menganalisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada di luarnya.
d. Kajian isi struktur adalah pemikiran, falsafah, cerita, pusat pengisahan, dan tema. Sedangkan bentuk adalah alur [plot], bahasa, sistem penulisan, dan perangkat perwujudan sebagai karya tulis.
Buku ini didasarkan pada karya-karya al-Bu>s}i>ry yang terhimpun dalam Di>wān al-Būs}i>ry Syarafuddin Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Sa’i>d. Di>wa>n ini diterbitkan Dār al-Kutub al-Ilmiyah pada 1995, disyarah Ahmad Hasan Basj. Sumber lainnya adalah karya Ibra>hi>m al-Ba>ju>ry, Syarh al-Burdah li al-Ima>m al-Bu>si>ry, karya Abdul al-Hama>misy, Al-Bu>si>ry Ma>dih} al-Rasu>l al-A‘zam, Umar Muh}ammad al-Mirgany, Al-Adab fi ‘Asr al-Mama>li>k wa al-Atra>k al-Us|ma>niyyi>n wa al-As}r al-H}adi>s| (Cairo: Mat}ba’ah Al-Azhar, 1955), dan Abdul Lat}i>f Hamzah, Al-Adab al-Misry min Qiya>m al-Daulah al-Ayyu>biyyah ila> Maji>’i al-H}amlah al-Faransiyah (Cairo: al-Nahd}ah al-Misriyyah, tth.)
SYAIR-SYAIR CINTA RASUL Studi Tahlili atas Corak Sastra Kasidah Burdah Karya Al-Busyiry
DAPATKAN SEGERA BUKU BARU YANG MENGUNGKAP SYAIR-SYAIR SEBAGAI WUJUD KECINTAAN TERHADAP RASULULLAH; DITULIS OLEH GURU BESAR BAHASA DAN SASRTRA ARAB
HANYA DG 40.000
HUB. 085216099379 / 7419033
DAPATKAN SEGERA persediaan terbatas
SYAIR-SYAIR CINTA RASUL
Studi Tahlili atas Corak Sastra Kasidah Burdah Karya Al-Busyiry
Prof. Dr. H. Fathurrahman Rauf
Puspita Press © 2008
SYAIR-SYAIR CINTA RASUL :
Studi Tahlili atas Corak Sastra Kasidah Burdah
Karya Al-Bu>s}i>ry
©Fathurrahman Rauf
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Katalog Dalam Terbitan
viii hlm + 305 hlm. ; 14 x 21 cm
1. Sastra, Islam code.....
ISBN: 978-979-19164-1-7
Penyunting : H. Nurhasan, MA
Setting Lay-out : Feri Cahyadin, SPdI
Cecep Nana Supriatna, SHum
Design Cover : Fathul Ghofur, SE
Penerbit:
Puspita Press
Jl. Ibnu Rusd II No. 157
Pisangan 15419, Ciputat, Tanggerang Selatan
Telp. : 021.7419033 – 08129177881
E-mail: prof_fathurrahman_rauf@yahoo.com
Cet. I : Ramad}lan 1429 H / September 2008 M
SYAIR-SYAIR CINTA RASUL
Studi Tahlili atas Corak Sastra Kasidah Burdah Karya Al-Bu>s}i>ry
الإهداء :
لأجل من علّمنى كيف أ مشى
ولأجل من علّمنى كيف أقرأ
) الكا تب(
buku inI
kupersembahkan kepadA
ibunda dan ayahanda yang telaH
mengajariku Bagaimana cara berjalaN
dan bagaimana cara membacA
Ucapan Terima Kasih
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Dengan bimbingan, taufiq dan hidayat Allah swt buku yang berjudul SYAIR-SYAIR CINTA RASUL Studi Tahlili Atas Corak Sastra Kasidah Burdah Karya Al-Bus{i>ry, yang dituangkan kedalam syair-syairnya. Pada mulanya buku ini berupa disertasi S3 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatllah Jakarta. Karena banyak para pemerhati sastra khususnya sastra Arab dan banyak mahasiswa yang datang kepada penulis untuk mendapatkan informasi ilmiyah mengenai syair-syair Arab khususnya syair-syair Al-Bu>s}i>ry, disertasi ini diupayakan untuk segera dipublikasikan. Dan bertepatan bulan Ramadlan 1429 buku ini terbit, dengan harapan dapat bermanfaat khususnya bagi para pemerhati sastra dan agama.
Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih atas amal baik para ilmuan yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian karya ini, terkhusus kepada Prof. Dr. H. Bustami A. Gani, Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. H. M. Yusuf Adisasmita, M. Pd., dan Prof. Dr. H. Chatibul Umam. Do’a kami semoga amal baik mereka diterima oleh Allah swt. Amin ya Rabbal’alamin.
Kepada H. Nurhasan, MA penulis juga menyampaikan banyak terimakasih atas upanyanya menyunting buku ini, semoga amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah saw. Tak lupa kepada Sdr. Feri Cahyadin, SPdI, Cecep Nana Supriatna, SHum, dan Sdr. Fathul Ghafur yang telah berupaya menerbitkan buku ini.
Akhirnya, kepada Allah jualah penulis menyampaikan syukur atas segala nikmat dan karuniaNya, dan kepadaNya pula penulis mohon petunjuk dan ridaNya dalam segala tindakan. Amin.
Penulis
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih
Daftar Isi
Bagian Kesatu
Pendahuluan
Latar Belakang
Bagian Kedua
Suasana Kehidupan di masa Al-Bu>s}i>ry
Kehidupan Politik
Kehidupan Agama
Kehidupan Ilmu Pengetahuan
Kehidupan Sastra
Kehidupan Pemikiran
Bagian Ketiga
Riwayat Hidup Al-Bu>s}i>ry
Kelahiran dan Asal Usul
Latar Belakang Keluarga
Pendidikan
Keagamaan
Tasawuf
Karakter
Karya Sastra
Akhir Hayat
Bagian Keempat
Corak Sastra
Pengertian Sastra
Aliran-Aliran Sastra
Macam-Macam Sastra
Syair
Prosa
Sejarah Sastra
Unsur-Unsur Sastra
Fungsi Sastra
Isi Kandungan Sastra
Bagian Kelima
Analisis Kasidah Burdah/Syair-Syair Cinta Rasul
Latar Belakang Penulisan Kasidah Burdah
Aliran dan Fungsi Kasidah Burdah
Ide-Ide Kasidah Burdah
Struktur Gaya Kasidah Burdah
Pengaruh dan Apresiasi Kasidah Burdah
Bagian Keenam
Kesimpulan
Daftar Pustaka 248
Lampiran-Lampiran:
Lampiran 1: Naskah Kasidah Burdah
dan terjemahannya .....
Lampiran 2: Transliterasi Arab-Latin .....
Biografi Penulis .....
HANYA DG 40.000
HUB. 085216099379 / 7419033
DAPATKAN SEGERA persediaan terbatas
SYAIR-SYAIR CINTA RASUL
Studi Tahlili atas Corak Sastra Kasidah Burdah Karya Al-Busyiry
Prof. Dr. H. Fathurrahman Rauf
Puspita Press © 2008
SYAIR-SYAIR CINTA RASUL :
Studi Tahlili atas Corak Sastra Kasidah Burdah
Karya Al-Bu>s}i>ry
©Fathurrahman Rauf
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Katalog Dalam Terbitan
viii hlm + 305 hlm. ; 14 x 21 cm
1. Sastra, Islam code.....
ISBN: 978-979-19164-1-7
Penyunting : H. Nurhasan, MA
Setting Lay-out : Feri Cahyadin, SPdI
Cecep Nana Supriatna, SHum
Design Cover : Fathul Ghofur, SE
Penerbit:
Puspita Press
Jl. Ibnu Rusd II No. 157
Pisangan 15419, Ciputat, Tanggerang Selatan
Telp. : 021.7419033 – 08129177881
E-mail: prof_fathurrahman_rauf@yahoo.com
Cet. I : Ramad}lan 1429 H / September 2008 M
SYAIR-SYAIR CINTA RASUL
Studi Tahlili atas Corak Sastra Kasidah Burdah Karya Al-Bu>s}i>ry
الإهداء :
لأجل من علّمنى كيف أ مشى
ولأجل من علّمنى كيف أقرأ
) الكا تب(
buku inI
kupersembahkan kepadA
ibunda dan ayahanda yang telaH
mengajariku Bagaimana cara berjalaN
dan bagaimana cara membacA
Ucapan Terima Kasih
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Dengan bimbingan, taufiq dan hidayat Allah swt buku yang berjudul SYAIR-SYAIR CINTA RASUL Studi Tahlili Atas Corak Sastra Kasidah Burdah Karya Al-Bu
Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih atas amal baik para ilmuan yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian karya ini, terkhusus kepada Prof. Dr. H. Bustami A. Gani, Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. H. M. Yusuf Adisasmita, M. Pd., dan Prof. Dr. H. Chatibul Umam. Do’a kami semoga amal baik mereka diterima oleh Allah swt. Amin ya Rabbal’alamin.
Kepada H. Nurhasan, MA penulis juga menyampaikan banyak terimakasih atas upanyanya menyunting buku ini, semoga amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah saw. Tak lupa kepada Sdr. Feri Cahyadin, SPdI, Cecep Nana Supriatna, SHum, dan Sdr. Fathul Ghafur yang telah berupaya menerbitkan buku ini.
Akhirnya, kepada Allah jualah penulis menyampaikan syukur atas segala nikmat dan karuniaNya, dan kepadaNya pula penulis mohon petunjuk dan ridaNya dalam segala tindakan. Amin.
Penulis
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih
Daftar Isi
Bagian Kesatu
Pendahuluan
Latar Belakang
Bagian Kedua
Suasana Kehidupan di masa Al-Bu>s}i>ry
Kehidupan Politik
Kehidupan Agama
Kehidupan Ilmu Pengetahuan
Kehidupan Sastra
Kehidupan Pemikiran
Bagian Ketiga
Riwayat Hidup Al-Bu>s}i>ry
Kelahiran dan Asal Usul
Latar Belakang Keluarga
Pendidikan
Keagamaan
Tasawuf
Karakter
Karya Sastra
Akhir Hayat
Bagian Keempat
Corak Sastra
Pengertian Sastra
Aliran-Aliran Sastra
Macam-Macam Sastra
Syair
Prosa
Sejarah Sastra
Unsur-Unsur Sastra
Fungsi Sastra
Isi Kandungan Sastra
Bagian Kelima
Analisis Kasidah Burdah/Syair-Syair Cinta Rasul
Latar Belakang Penulisan Kasidah Burdah
Aliran dan Fungsi Kasidah Burdah
Ide-Ide Kasidah Burdah
Struktur Gaya Kasidah Burdah
Pengaruh dan Apresiasi Kasidah Burdah
Bagian Keenam
Kesimpulan
Daftar Pustaka 248
Lampiran-Lampiran:
Lampiran 1: Naskah Kasidah Burdah
dan terjemahannya .....
Lampiran 2: Transliterasi Arab-Latin .....
Biografi Penulis .....
Kamis, 25 Februari 2010
TEOLOGI MAULID
TEOLOGI MAULID
Makna Maulid
Maulid secara generik bermakna kelahiran seorang manusia yang bernama Muhammad di Arab pada abad ke-6 M. Jika demikian, Maulid merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja, tidak memiliki nilai lebih. Sekalipun ia sering diperingati oleh umat Islam, namun tak lebih dari pesta, festival, kemegahan dan kemerihaan. Maulid menjadi semacam ritual yang tidak memiliki pesan dan makna apa-apa. Ia ibaratnya sebuah pesta ulang tahun yang dirayakan setiap tahun. Tak ada makna yang cukup signifikan.
Akan tetapi, jika kita teliti lebih mendalam, sebenarnya ada sejuta makna yang terkandung dalam peristiwa ini. Yakni merefleksikan kembali kehidupan Muhammad, tingakh laku beliau, sumbangan-sumbangan beliau pada dunia, perubahan serta perjuangannya yang selalu setia digaris perjuangan rakyat. Dunia tidak akan seperti yang kita alami sekarang tanpa ada kelahiran seorang Muhammad.
Jika mengikuti cerita pendek diatas, hikmah yang dapat diambil dari cerita diatas adalah-salah satunya–tabah dan sabarnya menahan segala cobaan. Meskipun ia hidup yatim, namun sikapnya selalu menjadi contoh dan suri tauladan (uswatun hasanah). Bahkan kejujuran yang dimilikinya membuat beliau sukses dalam bisnis. Ini barangkali yang membedakan dengan masa sekarang. Pada masa sekarang, untuk meraup hasil atau laba yang banyak, mereka harus mempromosikan dengan menggombal dan berbohong kepada konsumen. Muhammad justru karena kejujurannya mampu menarik konsumen sebanyak mungkin.
Selain itu, Muhammad adalah orang yang tekun dan kreatif. Meskipun yatim, namun beliau cukup kreatif, produktif. Dengan penuh semangat dan tanpa mengenal lelah, beliau membantu pamannya mencari penghidupan. Semangat hidup mandiri mulai muncul sejak kecil.
Awal Tradisi Maulid
Untuk pertama kalinya peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW diperkenalkan oleh seorang penguasa dinasti Fatimiyyah (909- 1170 M). Mauludan diselenggarakan secara massal, meriah dan semarak di berbagai masjid belahan negeri itu. Peringatan ini awalnya bertujuan politis, yakni menegaskan kepada khalayak bahwa penguasa dinasti Fatimiyyah betul-betul keturunan ahl bait Rasulullah SAW. Bagi dinasti tersebut, penegasan genealogis ini penting untuk mengeliminasi pihak-pihak yang ingin merebut kembali kekuasaannya.
Mauludan sejak awal memang sarat muatan politik karena didukung fakta terjadinya perebutan pengaruh dan kekuasaan antara kaum Sunni dan Syiah. Mauludan dijadikan sebagai alat politik untuk menanamkan doktrin bahwa Fatimiyyah adalah dinasti yang cinta nabi dan keturunan nabi sehingga sah sebagai pemegang kekuasaan umat Islam.
Peringatan ini sudah memantik kontroversi sejak mula. Banyak sekali ulama yang mendukung ritus ini, namun tidak sedikit pula yang menolaknya. Yang menerima atau menolak sama-sama memperkuat pendapatnya melalui dalil yang diyakini keabsahannya. Dalil naqli (nash Alquran dan hadits) dibeber, dalil aqli juga dikemukakan. Oleh penguasa berikutnya, peringatan ini dilarang karena menimbulkan pro dan kontra serta membelah masyarakat menjadi dua kubu. Pokok kontroversinya terletak pada legitimasi teologis bahwa peringatan Maulid tidak pernah dianjurkan oleh Alquran maupun hadits.
Larangan penguasa dan pengharaman oleh ulama tidak malah meredupkan peringatan Maulid. Justru sebaliknya, maulid berubah menjadi perayaan besar yang diselenggarakan hampir di seluruh dunia Islam. Gubernur wilayah Irbi di masa pemerintahan Salahuddin al- Ayyubi, yang bernama Abu Sa"id al-Kokburi telah berjasa mempopularkan kembali tradisi Maulid. Tujuannya untuk membangkitkan pan-Islamisme dan semangat keagamaan umat Islam yang sedang terancam serangan tentara Salib.
Tahun 1099 M, tentara Salib berhasil merebut Yerussalem dan menyulap masjid al-Aqsa menjadi gereja. Umat Islam kehilangan semangat berjuang dan ukhuwah juga menurun. Secara politik, kekuasaan umat Islam terpecah menjadi dinasti- dinasti kecil. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan mereka pada nabinya. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar 12 Rabi"ul Awwal, hari lahir Nabi Muhmmad, agar dirayakan secara massal.
Pada musim haji tahun 579 H (1183 M), Salahuddin sebagai penguasa Haramain mengeluarkan instruksi kepada jama"ah haji yang pulang ke kampung halaman untuk menyosialisasi perayaan maulid ini. Sejak tahun 580 H (1184 M), 12 Rabi"ul Awwal dijadikan awal peringatan maulid secara massal dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Gagasan Salahuddin ditentang banyak ulama. Ulama mengatakan, peringatan seperti itu tak pernah ada contohnya dalam sejarah Nabi. Lagi pula, hari raya resmi umat Islam hanya dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Tapi Salahudin bergeming bahwa Maulid hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan ritual. Sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai bid"ah yang terlarang.
Beda pandangan: Menyikapi dengan Arif
Tradisi Maulid telah melahirkan kontroversi sejak awal. Di masa perjuangan Indonesia, tradisi ini juga memantik pro dan kontra antara Islam modern dan Islam tradisional. Ketegangan sempat meredup cukup lama, namun sekarang kembali muncul ketika beberapa ormas Islam yang baru lahir menjadikan masalah khilafiyyah ini sebagai target dakwah.
Dukungan atas peringatan maulid berasal dari kalangan Syafi "iyyah. Al-Suyuti misalnya, menulis buku berjudul Husn al- Maqsid fi "Amal al-Maulid untuk mengesahkan maulid. Yang promaulid sadar bahwa peringatan ini jelas tidak memiliki dasar hukum dalam Alquran dan tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah. Maulid adalah tradisi yang menggabungkan antara nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Karena cintanya sehingga mereka selalu memuji dan bershalawat kepada nabinya. Inti dari peringatan maulid dan bacaan al-Barjanzi sebenarnya adalah salawat itu sendiri.
Jika demikian, tradisi maulid - yang di dalamnya berisi pujian kepada Rasulullah- sebenarnya berakar pada perintah Allah SWT untuk bersalawat kepada nabi-Nya (al-Ahzab:56). Embrio tradisi ini telah diperkenalkan oleh tiga penyair resmi Rasulullah, yaitu Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah dan Ka"ab bin Malik. Diriwayatkan bahwa Nabi sangat terkesan setelah menderngar pujian yang disampaikan Ka"ab. Kemudian Rasulullah menghadiahkan burdahnya dan mengalungkan ke pundak Ka"ab sebagai apresiasi kepadanya.
Pujian-pujian, baik dalam bentuk syair maupun prosa, melahirkan genre sastra yang unik dengan karakter ritme persajakan yang dalam sastra Arab disebut al-madaih alnabawiyyah. Sanjungan kepada nabi diungkapkan dengan bahasa metaforik, simbolik dan berkarakter seni tinggi. Pujian dan sanjungan kepada nabi dalam al-Barjanzi, al- Diba atau al-Burdah, meliuk penuh majaz, ritmis dan tentu sangat indah bagi yang memahami. Tetapi inti dari dukungan terhadap peringatan maulid sebenarnya terletak pada konsep syafa"at (pertolongan) Nabi Muhammad kelak di hari akhir.
Maulid dalam Tradisi Awal
Nabi telah lahir, namun disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi pentingâ€? kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad saw hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain. Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk. Rasul s.a.w. bertanya kepada para sahabat, "Katakan kepadaku, siapakah yang paling besar imannya?" Para sahabat menjawab; 'Para malaikat, wahai Rasul'. Nabi s.a.w bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah s.w.t, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”.
“Lalu siapa, wahai Rasul?”, tanya para sahabat.
Lalu Nabi s.a.w. bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160].
Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.
Hingga pada suatu pagi.
Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.
Tepat sesaat setelah sayyid Muththalib memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.
Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan anda mencari bayi laki-laki?”.
“Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.
Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.
Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.
Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.
Demikianlah, akhir dari kisah pencarian pendeta-pendeta serta segenap agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad s.a.w. Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali aqidah-aqidah yang telah bengkok.
Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad s.a.w. ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.
Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.
Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.
Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.
Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkh Nabi s.a.w, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan barokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.
Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah s.w.t telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi kunci” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad s.a.w. hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.
Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad s.a.w.—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.
Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu, sayyidah Khadîjah r.a.—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.
Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Namûs yang diturunkan Allah s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.
Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad s.a.w adalah Namûs, alias malaikat Jibril a.s., yang pernah menemui Nabi Musa a.s. dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad s.a.w. membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].
Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad s.a.w. tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah s.w.t memanggil hambanya yang bisa menjadi “saksi spritiual” atas kenabian Muhammad s.a.w. Tapi, itulah, Allah s.w.t tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.
Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.
Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.
Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.
Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.
Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?". Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]
Para nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.(QS. 2:89)
Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w. Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.
Makna Maulid
Maulid secara generik bermakna kelahiran seorang manusia yang bernama Muhammad di Arab pada abad ke-6 M. Jika demikian, Maulid merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja, tidak memiliki nilai lebih. Sekalipun ia sering diperingati oleh umat Islam, namun tak lebih dari pesta, festival, kemegahan dan kemerihaan. Maulid menjadi semacam ritual yang tidak memiliki pesan dan makna apa-apa. Ia ibaratnya sebuah pesta ulang tahun yang dirayakan setiap tahun. Tak ada makna yang cukup signifikan.
Akan tetapi, jika kita teliti lebih mendalam, sebenarnya ada sejuta makna yang terkandung dalam peristiwa ini. Yakni merefleksikan kembali kehidupan Muhammad, tingakh laku beliau, sumbangan-sumbangan beliau pada dunia, perubahan serta perjuangannya yang selalu setia digaris perjuangan rakyat. Dunia tidak akan seperti yang kita alami sekarang tanpa ada kelahiran seorang Muhammad.
Jika mengikuti cerita pendek diatas, hikmah yang dapat diambil dari cerita diatas adalah-salah satunya–tabah dan sabarnya menahan segala cobaan. Meskipun ia hidup yatim, namun sikapnya selalu menjadi contoh dan suri tauladan (uswatun hasanah). Bahkan kejujuran yang dimilikinya membuat beliau sukses dalam bisnis. Ini barangkali yang membedakan dengan masa sekarang. Pada masa sekarang, untuk meraup hasil atau laba yang banyak, mereka harus mempromosikan dengan menggombal dan berbohong kepada konsumen. Muhammad justru karena kejujurannya mampu menarik konsumen sebanyak mungkin.
Selain itu, Muhammad adalah orang yang tekun dan kreatif. Meskipun yatim, namun beliau cukup kreatif, produktif. Dengan penuh semangat dan tanpa mengenal lelah, beliau membantu pamannya mencari penghidupan. Semangat hidup mandiri mulai muncul sejak kecil.
Awal Tradisi Maulid
Untuk pertama kalinya peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW diperkenalkan oleh seorang penguasa dinasti Fatimiyyah (909- 1170 M). Mauludan diselenggarakan secara massal, meriah dan semarak di berbagai masjid belahan negeri itu. Peringatan ini awalnya bertujuan politis, yakni menegaskan kepada khalayak bahwa penguasa dinasti Fatimiyyah betul-betul keturunan ahl bait Rasulullah SAW. Bagi dinasti tersebut, penegasan genealogis ini penting untuk mengeliminasi pihak-pihak yang ingin merebut kembali kekuasaannya.
Mauludan sejak awal memang sarat muatan politik karena didukung fakta terjadinya perebutan pengaruh dan kekuasaan antara kaum Sunni dan Syiah. Mauludan dijadikan sebagai alat politik untuk menanamkan doktrin bahwa Fatimiyyah adalah dinasti yang cinta nabi dan keturunan nabi sehingga sah sebagai pemegang kekuasaan umat Islam.
Peringatan ini sudah memantik kontroversi sejak mula. Banyak sekali ulama yang mendukung ritus ini, namun tidak sedikit pula yang menolaknya. Yang menerima atau menolak sama-sama memperkuat pendapatnya melalui dalil yang diyakini keabsahannya. Dalil naqli (nash Alquran dan hadits) dibeber, dalil aqli juga dikemukakan. Oleh penguasa berikutnya, peringatan ini dilarang karena menimbulkan pro dan kontra serta membelah masyarakat menjadi dua kubu. Pokok kontroversinya terletak pada legitimasi teologis bahwa peringatan Maulid tidak pernah dianjurkan oleh Alquran maupun hadits.
Larangan penguasa dan pengharaman oleh ulama tidak malah meredupkan peringatan Maulid. Justru sebaliknya, maulid berubah menjadi perayaan besar yang diselenggarakan hampir di seluruh dunia Islam. Gubernur wilayah Irbi di masa pemerintahan Salahuddin al- Ayyubi, yang bernama Abu Sa"id al-Kokburi telah berjasa mempopularkan kembali tradisi Maulid. Tujuannya untuk membangkitkan pan-Islamisme dan semangat keagamaan umat Islam yang sedang terancam serangan tentara Salib.
Tahun 1099 M, tentara Salib berhasil merebut Yerussalem dan menyulap masjid al-Aqsa menjadi gereja. Umat Islam kehilangan semangat berjuang dan ukhuwah juga menurun. Secara politik, kekuasaan umat Islam terpecah menjadi dinasti- dinasti kecil. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan mereka pada nabinya. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar 12 Rabi"ul Awwal, hari lahir Nabi Muhmmad, agar dirayakan secara massal.
Pada musim haji tahun 579 H (1183 M), Salahuddin sebagai penguasa Haramain mengeluarkan instruksi kepada jama"ah haji yang pulang ke kampung halaman untuk menyosialisasi perayaan maulid ini. Sejak tahun 580 H (1184 M), 12 Rabi"ul Awwal dijadikan awal peringatan maulid secara massal dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Gagasan Salahuddin ditentang banyak ulama. Ulama mengatakan, peringatan seperti itu tak pernah ada contohnya dalam sejarah Nabi. Lagi pula, hari raya resmi umat Islam hanya dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Tapi Salahudin bergeming bahwa Maulid hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan ritual. Sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai bid"ah yang terlarang.
Beda pandangan: Menyikapi dengan Arif
Tradisi Maulid telah melahirkan kontroversi sejak awal. Di masa perjuangan Indonesia, tradisi ini juga memantik pro dan kontra antara Islam modern dan Islam tradisional. Ketegangan sempat meredup cukup lama, namun sekarang kembali muncul ketika beberapa ormas Islam yang baru lahir menjadikan masalah khilafiyyah ini sebagai target dakwah.
Dukungan atas peringatan maulid berasal dari kalangan Syafi "iyyah. Al-Suyuti misalnya, menulis buku berjudul Husn al- Maqsid fi "Amal al-Maulid untuk mengesahkan maulid. Yang promaulid sadar bahwa peringatan ini jelas tidak memiliki dasar hukum dalam Alquran dan tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah. Maulid adalah tradisi yang menggabungkan antara nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Karena cintanya sehingga mereka selalu memuji dan bershalawat kepada nabinya. Inti dari peringatan maulid dan bacaan al-Barjanzi sebenarnya adalah salawat itu sendiri.
Jika demikian, tradisi maulid - yang di dalamnya berisi pujian kepada Rasulullah- sebenarnya berakar pada perintah Allah SWT untuk bersalawat kepada nabi-Nya (al-Ahzab:56). Embrio tradisi ini telah diperkenalkan oleh tiga penyair resmi Rasulullah, yaitu Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah dan Ka"ab bin Malik. Diriwayatkan bahwa Nabi sangat terkesan setelah menderngar pujian yang disampaikan Ka"ab. Kemudian Rasulullah menghadiahkan burdahnya dan mengalungkan ke pundak Ka"ab sebagai apresiasi kepadanya.
Pujian-pujian, baik dalam bentuk syair maupun prosa, melahirkan genre sastra yang unik dengan karakter ritme persajakan yang dalam sastra Arab disebut al-madaih alnabawiyyah. Sanjungan kepada nabi diungkapkan dengan bahasa metaforik, simbolik dan berkarakter seni tinggi. Pujian dan sanjungan kepada nabi dalam al-Barjanzi, al- Diba atau al-Burdah, meliuk penuh majaz, ritmis dan tentu sangat indah bagi yang memahami. Tetapi inti dari dukungan terhadap peringatan maulid sebenarnya terletak pada konsep syafa"at (pertolongan) Nabi Muhammad kelak di hari akhir.
Maulid dalam Tradisi Awal
Nabi telah lahir, namun disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi pentingâ€? kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad saw hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain. Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk. Rasul s.a.w. bertanya kepada para sahabat, "Katakan kepadaku, siapakah yang paling besar imannya?" Para sahabat menjawab; 'Para malaikat, wahai Rasul'. Nabi s.a.w bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah s.w.t, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”.
“Lalu siapa, wahai Rasul?”, tanya para sahabat.
Lalu Nabi s.a.w. bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160].
Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.
Hingga pada suatu pagi.
Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.
Tepat sesaat setelah sayyid Muththalib memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.
Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan anda mencari bayi laki-laki?”.
“Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.
Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.
Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.
Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.
Demikianlah, akhir dari kisah pencarian pendeta-pendeta serta segenap agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad s.a.w. Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali aqidah-aqidah yang telah bengkok.
Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad s.a.w. ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.
Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.
Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.
Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.
Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkh Nabi s.a.w, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan barokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.
Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah s.w.t telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi kunci” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad s.a.w. hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.
Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad s.a.w.—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.
Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu, sayyidah Khadîjah r.a.—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.
Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Namûs yang diturunkan Allah s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.
Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad s.a.w adalah Namûs, alias malaikat Jibril a.s., yang pernah menemui Nabi Musa a.s. dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad s.a.w. membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].
Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad s.a.w. tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah s.w.t memanggil hambanya yang bisa menjadi “saksi spritiual” atas kenabian Muhammad s.a.w. Tapi, itulah, Allah s.w.t tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.
Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.
Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.
Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.
Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.
Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?". Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]
Para nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.(QS. 2:89)
Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w. Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.
Rabu, 24 Februari 2010
Mengenal terminologi Manhaj Salaf, salafi dan salafiyah
Mengenal terminologi Manhaj Salaf, salafi dan salafiyah
Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani- hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau Limadza Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan judul Mengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”
Pemahaman yang Benar dan Niat Baik
Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).
Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini… Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi taraf pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman) adalah termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui adanya sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan predikat cum laude di sana, namun tatkala pulang ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan jari… Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.
Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan menunjukkan jalan untuk memecahkan segala macam masalah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf yang lain.
Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).
Kata Salaf Secara Bahasa
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat Limadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ’salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).
Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia mengatakan, “Oo, kalau ini berbeda…!” Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin dari kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliau rahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.” (Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga membencinya.” (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh khairul quruun (sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).” (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena jasa mereka ini. Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65). Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203). Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dari Limadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca Lau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ’salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:
Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil Muhsin hafizhahullah).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14). Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)). Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An Najiyah (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan hanya firqah-firqah yang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya. Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalam firqah-firqah ini. Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).
Firqah-Firqah yang Menyimpang
Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita cermati. Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44) Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan mereka. Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak. Subhaanallaah…!!
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga menjelaskan firqah Khawarij. Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah:
Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:
Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53).
Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallaahul musta’aan.
Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).
Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai
Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?” Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan… Karena sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS. Al An’am : 159). Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red) yang melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H, lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang untuk khuruj (keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan untuk khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56). Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai jama’ah dan hizb semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama muslim namun di saat yang sama mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan kaos dan beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya. Inilah salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha ‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepada Demokrasi demi mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman. Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ingat, jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!!
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang masih jauh dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah berasal dari kami dan dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan kami. Dan kami memohon ampun kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi tegaknya kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
Jakarta, Kamis 27 Feb 2010
Catatan:
Mohon kepada ikhwah sekalian untuk menyebarluaskan risalah ini secara utuh tanpa merubah content dan memenggal tulisan di dalamnya, serta jangan lupa untuk tetap mencantumkan sumbernya (muslim.or.id). Jazaakumullahu khoiron…
Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani- hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau Limadza Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan judul Mengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”
Pemahaman yang Benar dan Niat Baik
Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).
Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini… Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi taraf pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman) adalah termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui adanya sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan predikat cum laude di sana, namun tatkala pulang ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan jari… Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.
Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan menunjukkan jalan untuk memecahkan segala macam masalah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf yang lain.
Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).
Kata Salaf Secara Bahasa
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat Limadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ’salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).
Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia mengatakan, “Oo, kalau ini berbeda…!” Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin dari kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliau rahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.” (Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga membencinya.” (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh khairul quruun (sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).” (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena jasa mereka ini. Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65). Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203). Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dari Limadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca Lau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ’salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:
Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil Muhsin hafizhahullah).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14). Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)). Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An Najiyah (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan hanya firqah-firqah yang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya. Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalam firqah-firqah ini. Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).
Firqah-Firqah yang Menyimpang
Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita cermati. Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44) Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan mereka. Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak. Subhaanallaah…!!
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga menjelaskan firqah Khawarij. Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah:
Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:
Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53).
Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallaahul musta’aan.
Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).
Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai
Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?” Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan… Karena sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS. Al An’am : 159). Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red) yang melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H, lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang untuk khuruj (keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan untuk khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56). Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai jama’ah dan hizb semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama muslim namun di saat yang sama mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan kaos dan beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya. Inilah salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha ‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepada Demokrasi demi mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman. Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ingat, jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!!
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang masih jauh dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah berasal dari kami dan dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan kami. Dan kami memohon ampun kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi tegaknya kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
Jakarta, Kamis 27 Feb 2010
Catatan:
Mohon kepada ikhwah sekalian untuk menyebarluaskan risalah ini secara utuh tanpa merubah content dan memenggal tulisan di dalamnya, serta jangan lupa untuk tetap mencantumkan sumbernya (muslim.or.id). Jazaakumullahu khoiron…
Langganan:
Postingan (Atom)