Selasa, 28 September 2010

Tradisi Pulang Kampung

Oleh: Hasani Ahmad Said, M.A.
(Kandidat Doktor UIN Jakarta, Dosen Syariah IAIN Raden Intan, Lampung & Kader Mufassir, Pusat Studi Alquran Jakarta)
*Pernah dimuat di kolom opini Kabar Banten, Selasa, 07 September 2010

Mudik lebaran ibarat rihlah spiritual pasca proses tarbiyah Ramadhan memberikan kesan damai, penghancur amarah, pelebur dosa dan pembangkit semangat ruhani. Nah, nilai inilah sebagai oleh-oleh terbesar dan terindah untuk ditradisikan di kampong tanah tinggal kita masing-masing.
Tradisi pulang kampung bagi sebagian besar bangsa Indonesia, menjadi satu keharusan dan tentunya memiliki kenikmatannya tersendiri. Banyak cara orang meluapkan sehingga tradisi ini dianggap sesuatu yang bila ditinggalkan seolah ada yang tidak lengkap dalam setiap kali datangnya lebaran. Maka, ada sebagian kecil yang beranggapan belum lebaran kalau belum pulang kampung, atau ada lagi ungkapan belum lebaran kalau belum punya baju baru.
Hirup pikuk dan sesaknya kota tempat kerja mereka, seolah lengang, bebas macet karena penghuninya telah meninggalkan sejenak tempat mata pencaharianya. Ada yang mengapresiasikan keberhasilannya hijrah dari kampungnya dengan membawa sera merta hasil kerja selama dalam tanah rantau.
Kenikmatan yang tidak bisa terbayarkan adalah ketika bertemu dengan sanak saudara yang bisa jadi selama berbulan-bulan tidak bertemu, atau bisa jadi tidak bertemu dalam urutan tahun.
Menarik untuk diulas sekaligus menjadi studi penelitian dan pengamatan kecil-kecilan. Paling tidak ada tiga tujuan orang berbondong-bondong pulang kampung. Pertama, melepaskan kangen; kedua, menunjukkan kepada khal layak akan harta perniagaan yang selama ini telah dihasilkan selama satu tahun; dan ketiga, hanya sekedar berlebaran di kampung sekaligus ajang liburan.
Dari ketiga tujuan di atas, yang jelas pulang kampung memiliki keunikan tersendiri, sehingga sulit untuk digambarkan oleh kata-kata, saking memuncaknya rasa kebahagiaan yang dirasakan oleh pelakunya.
Para pakar Psikologi Agama, banyak menggambarkan pulangkampung, disamakan dengan proses menjemput kematian yang husnul khatimah. Perumpamaan ini tidaklah berlebihan, bagaimana tidak kematian pasti akan menghampiri setiap jiwa yang hidup sebagaimana penggalan Alquran “Kullu nafsin daiqatul maut” (setiap jiwa akan menemui mati).
Komaruddin Hidayat dalam buku Psikologi Kematian menulis bahwa kematian ibarat pulang kampung. Maksud di sini adalah bukan berarti orang yang pulang kampung sedang menjemput maut, akan tetapi maknanya adalah bagaimana kematian bukan sesuatu yang menakutkan. Akan tetapi kematian itu, sejatinya kita yang hendak pulang menuju kampung asal kita.
Sesungguhnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah (Inna lillah wa inna ilaihi rajiun). Kalau sudah demikian, bukan kita yang takut mati, tapi kita sudah ingin dijemput oleh malaikat maut.
Gambaran ini tentu memerlukan persiapan dan bekal yang baik laksana orang yang hendak pulang kampung yang menyiapkan harta bendanya sekian tahun untuk dibawa ke kampung. Kemudian, istilah pulang kampung identik dengan lebaran, terutama Idul Fithri. Bekal apakah yang terbaik?
Lalu, bagaimana gambaran Alquran tentang lebaran. Alquran dalam Q.S. al-Baqarah/2 ayat 185 menggambarkan nilai-nilai lebaran dengan ungkapan “…Wa litukabbirullaha ‘ala ma hadakum wa la’allakum tasykurun” (Dan Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersykur).
Isyarat ayat ini menunjukkan anjuran untuk berucap takbir, sebagai ungkapan rasa syukur. Nilai itulah yang diyakini sebagai indikasi untuk berlebaran atau dalam bahasa orang Indonesia biasa dikenal dengan takbiran. Sebelumnya, potongan ayat ini berbicara tentang perintah wajibnya puasa yang akan membentuk karakter manusia yang nurut/patuh (taqwa) (ayat 183).
Setelah diketahui siapa yang wajib berpuasa dan yang diberi izin untuk tidak melaksanakannya, dijelasknan tentang masa puasa yang sebelum ini dinyatakan bahwa hanya pada hari-hari tertentu 29 atau 30 hari saja selama bulan Ramadhan. Nah, bulan ini diangap mulia dan istimewa karena di dalamnya diturunkan Alquran yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas dan pembeda antara yang hak dan batil
Setelah jelas hari-hari tertentu yang harus diisi dengan puasa, maka ada perintah untuk mencukupkan bilangannya, baru kemudian diperintahkan untuk mengagungkan Allah melalui lantunan tasbih, tahmid dan takbir. Dengan kata lain takbiran atau lebaran. Hal itulah yang dianggap sebagai bukti rasa syukur kepada Allah Swt.
Memang terkesan tidak ada keserasian antara lebaran dan pulang kampung, akan tetapi bagi bangsa Indonesia, tradisi pulang kampung memiliki nilai tersendiri. Sehingga, bisa jadi memiliki nilai besar sebagai bentuk rasa syukur atas begitu banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Sehingga dengan kesadaran seperti ini, wujud syukurnya di implementasikan dengan berbagi dengan sanak, family, dan tetangga di kampung.
Ternyata wujud inilah yang membuat setiap orang yang selama ini tinggal di luar kampung halamannya, berlomba-lomba menunjukkan kearifn dan kebjikannya untuk saling berbagi.
Dalam bahasa agama istilah berbagi dikenal dengan zakat, infak dan shadaqah. Tentunya, berinfak dan shadaqah kepada orang yang tepat untuk berbagi. Semoga tulisan ini akan memberikan efek bagi para perantau, bahwa dalam harta anda ada hak orang lain. Maka, saatnyalah berbagi dengan sesame, mulailah deri yang terdekat (dzawil qurba), yatim (yatama), dan fakir miskin.
Infak dan shaqadh inilah sebagagai bentuk impelmentasi taqwa hasil didikan ramadhan seperti isyarat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 3. Jadi, begitu serasinya satu ayat dengan ayat yang lain, laksana sebuah bangunan yang kokoh. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Dosen Faultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung, Kader Mufasir, Pusat Studi Alquran, Jakarta & Kandidat Doktor UIN Jakarta. Tinggal di Kel. Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon-Banten.

Tidak ada komentar: