Rabu, 20 Oktober 2010

Cermin Carut Marutnya Bangsa

Cermin Carut Marutnya Bangsa
Hasani Ahmad Said, M.A.
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Syariah IAIN Raden Intan Lampung)
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini koran Kabar Banten, Selasa, 19 Oktober 2010

Imam Ali RA berpesan “Jadikanlah dirimu neraca dalam hubunganmu dengan orang lain. Sukailah orang lain sebagaimana engkau menyukai dirimu, dan sebaliknya. Jangan menganiaya sebagaimana engkau enggan dianiaya. berbuat baiklah sebagaimana engkau suka orang berbuat baik kepadamu. Jangan berucap satu katapun yang engkau tidak sukai kata itu diucapkan padamu”.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pesan moral ini bisa saja dijadikan ‘ibrah bahwa jadikanlah negaramu menjadi neraca dalam hubungan dengan Negara lain. Dalam arti kata lain, kemampuan Negara lain mengelola kekayaan Negara yang berimbas pada kesejahteraan rakyatnya, sejatinya menjadi contoh untuk memajukan Negara ini. Kalau mau jujur, problematika kekinian Negara kita kian hari kian menunjukkan kerapuhannya.
Mulai dari kasus adegan banjir, gunung meletus, tabung meledak, perjudian dan prostitusi, kemiskinan, ancaman keretakan bangsa (disintegrasi), mengguritanya korupsi, janda pahlawan melawan pemerintah, penculikan anak, eksploitasi infotaimen, eksploitasi dan penjualan bayi, dan seabreg rapot merah lainnya, yang satu persatu permasalahannya bukan terselesaikan, malah kasusnya tenggelam digerus oleh silihberganti pemberitaan.
Ada sisi yang terlupakan dalam pengurusan bangsa ini yakni pentingnya generasi penerus. Generasi ini bisa terdiri dari anak, pemuda, dan generasi penerus lainnya. Kalau ada pengistilahan “Shubbanul yaum rijalul Ghadd” (pemudia hari ini adalah cermin pemuda masa akan dating), kalau pemuda hari ini di kasih “amunisi/gizi” baik dengan wawsan yang memadai, maka seperti itulah generasi 10 atau 50 tahun yang akan datang.
Satu sisi misalnya, di Indonesia, peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli ternyata berbeda-beda pada tiap negara. Hari anak yang benar-benar dirayakan oleh seluruh dunia adalah pada tanggal 20 November. Tanggal tersebut diumumkan oleh PBB sebagai hari anak-anak sedunia. Organisasi anak di bawah PBB, yaitu UNICEF untuk pertama kali menyelenggarakan peringatan hari anak sedunia pada bulan Oktober tahun 1953. Tanggal 14 Desember 1954, Majelis Umum PBB lewat sebuah resolusi mengumumkan satu hari tertentu dalam setahun sebagai hari anak se-dunia yaitu pada tanggal 20 November.
Sejarah hari nasional bermula dari gagasan di era Soeharto yang melihat anak-anak sebagai aset kemajuan bangsa, sehingga mulai tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkanlah setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Kegiatan Hari Anak Nasional (HAN) dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, hingga daerah, bahkan di luar negeri juga. Namun, belakangan ini berita hari-hari yang diperingati semisal hari anak nasional, telah tertutupi oleh pemberitaan media, baik politik, kompor gas meledak, berita perselingkuhan, dan seabreg berita lainnya. Semestinya diselenggarakan kegiatan bermacam-macam, mulai dari Seminar, lomba penelitian, Kongres anak, Perayaan Puncak HAN, lomba kreativitas, pameran, hingga pemecahan rekor melukis harapan anak.
Beberapa pekan ini, mungkin belum lama dalam ingatan kita nama Ridho ramai diberitakan di media. Ridho adalah potret masyarakat yang tidak mampu yang sedang memperjuangkan haknya sebagai warga Negara. Yang dituntut satu agar warga kelas bawah diperhatikan, jeritannya ini ternyata membuat nekad ibunya untuk membawa Ridho sampai ke istana Negara. Alasan kedatangan Ridho, mungkin sebagian “pejabat” kita menganggap sepele yaitu akibat terkena tabung gas yang meledak, tapi sesungguhnya dampaknya sangat besar terhadap keberlangsungan Ridho ke depan.
Inilah potret anak bangsa yang sedang memperjuangkan nasibnya. Padahal, di antara hak-hak asasi manusia adalah hak untuk memperoleh kesejahteraan, kebebasan, keadilan dan kedamaian di dunia. Dalam hal ini, anak-anak lebih memerlukan perhatian, dukungan dan keamanan di banding kelompok umur yang lain. Masa depan dunia yang lebih baik memerlukan dukungan kesehatan mental dan keamanan anak-anak. Berkenaan dengan ini, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah piagam yang disebutnya sebagai Konvensi Hak Anak-anak Se-Dunia. Seluruh negara di dunia selain Amerika dan Somalia ikut dalam konvensi tersebut.
UNICEF dengan pengesahan piagam tersebut berarti telah mengambil tindakan penyamaan seluruh anak di dunia dengan berbagai ragam ras dan etnisnya. Unicef menegaskan, tanpa diskriminasi apapun, anak-anak di dunia harus diberi perlindungan khusus oleh seluruh negara di dunia. Meskipun pengesahan piagam tersebut, merupakan langkah yang cukup berarti dalam merealisasikan hak anak-anak, akan tetapi para pemimpin dunia masih merasa perlu untuk menandatangani kesepakatan mengenai perbaikan kondisi anak-anak dunia dalam sidang tahun 1991.
Namun demikian, sampai awal milineum ketiga ini, kondisi kehidupan anak-anak dunia masih belum menunjukkan perbaikan yang memuaskan termasuk potret Ridho. Sebelum ini, masyarakat dunia telah menjanjikan akan menjadikan dekade pertama awal abad 21, sebagai dasawarsa budaya perdamaian dunia dan menolak kekerasan terhadap anak-anak. Namun, justru pada dasawarsa ini setiap harinya terdengar berita perang dan kekerasan yang memakan korban anak-anak. Perang-perang yang meletus akibat dendam dan permusuhan itu telah merampas rasa aman, penghormatan, kasih sayang dan perhatian dari anak-anak.
Sangat memiriskan hati, semestinya Undang-undang yang telah mengatur yang menjamin terjamin dan terlindunginya anak dari eksploitasi yang selama ini kita saksikan, sejatinya tidak terjadi lagi di Negara yang terkenal dengan keramahan dan melimpahnya kekayaan alamnya, justru malah memelintir kebijak tersebut dengan berbagai macam alas an. Belum lagi dengan sibuknya anggota dewan, wakil rakyat itu yang memperjuangkan pribadi dan kelompoknya membuat kepekaan terhadap masyarakat bawah semakin terpinggirkan. Sosok Ridho, sejatinya bisa dijadikan pelajaran, bahwa masih banyak Ridho-ridho lain yang saya kira nasibnya lebih tragis, bisa jadi akibat kebijakan pemerintah yang kurang populis.
Anak-anak merupakan penerus bangsa, pengganti para pemimpin sekarang, seandaainya salah dalam pengurusannya, maka generasi berikutnya akan terpangkas dan tidak akan menutup kemungkinan, sepuluh tahun yan g akan datang, atau bisa jadi pulhan tahun ke depan Negara kita tinggal namanay saja. Maka, kegelisahan ini bisa saja beralasa, dengan era globalisasi yang tidak bisa dibendung, teknologi yang kian membunuh karakter anak bnagsa karena salah mengurusnya.
Pada posisi ini, terletak pada orang tuanyalah pundak mereka ketika di rumah, tugas gurunyalah ketika berada di sekolah. Semoga dengan pengurusan yang baik, akan lahir kader-kader tangguh, cerdah, benar, yang dibarengi keimanan dan ketakwaan. Semoga anak Indonesia maju terus.!!!

* Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen IAIN Raden Intan Lampung. Tinggal di Pabean, Purwakarta, Cilegon, Banten.

Tidak ada komentar: