Selasa, 05 Februari 2013

KATA PENGANTAR BUKU “DISKURSUS MUNASABAH AL-QUR’AN” Kajian atas Tafsir al-Misbah Oleh : Ahsin Sakho Muhammad



KATA PENGANTAR BUKU
“DISKURSUS MUNASABAH AL-QUR’AN”
Kajian atas Tafsir al-Misbah
Oleh : Ahsin Sakho Muhammad

Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai kitab hidayah atau kitab petunjuk kehidupan umat manusia. Di samping itu kitab suci Al-Qur’an juga berfungsi sebagai kitab kemukjizatan yang memperlihatkan bahwa Al-Qur’an bukan ucapan nabi Muhammad, bukan pula ucapan dari Malaikat Jibril dan bukan pula ucapan lainnya. Al-Qur’an adalah kalamullah atau firman Allah yang merupakan citra diri Allah, karena kalam adalah merupakan salah satu sifatNya diantara sifat-sifatNya yang lain. Jika Al-Qur’an adalah merupakan kitab “mukjizat”, maka kemukjizatan Al-Qur’an berbeda dengan kemukjizatan-kemukjizatan yang lain yang pernah ada sebelum nabi Muhammad. Ada beberapa perbedaan antara kemukjizatan Al-Qur’an dengan kemukjizatan para nabi-nabi terdahulu, antara lain ialah :
Pertama : kemukjizatan nabi –nabi terdahulu bersifat hissi atau sesuatu yang bisa dilihat oleh panca indera, seperti kemukjizatan nabi Musa yang berupa tongkat yang bisa membelah laut menjadi daratan, bisa memancarkan mata air dari batu, bisa berobah menjadi ular. Kemukjizatan nabi Saleh berupa keluarnya unta betina dan anaknya dari batu-batu yang besar. Kemukjizatan nabi Ibrahim yaitu tidak terbakar ketika dibakar oleh penguasa musyrik yang zalim. Kemukjizatan nabi Isa yang bisa menghidupkan orang mati, menjadikan burung-burungan dari tanah liat menjadi hidup dan terbang, menyembuhkan orang sakit yang susah disembuhkan, mengetahui apa yang disimpan dalam rumah-rumah orang, semuanya atas izin Allah. Sementara kemukjizatan Al-Qur’an adalah bersifat “maknawi” yaitu sesuatu yang tidak bisa dirasakan oleh panca indera, tapi oleh perasaan, akal, pikiran, perenungan yang mendalam. Sudah tentu hal ini  sangat berbeda dengan kemukjizatan yang bersifat hissi.  
Kemukjizatan yang bersifat “hissiyyah” terkesan masyarakatnya masih belum dewasa secara keagamaan, walaupun mereka adalah bangsa yang sudah maju dari segi peradaban sebagaimana bangsa Mesir di zaman Fir’aun. Bangsa yang belum dewasa dari segi keagamaan akan lebih memerhatikan pada hal-hal yang bersifat hissiyyat  semata karena terkesan luar biasa, namun kejadian itu hanya sesaat.
Kedua : terkait dengan poin diatas, kemukjizatan nabi-nabi terdahulu telah hilang ditelan masa dengan meninggalnya nabi-nabi terdahulu. Untuk masa setelah itu, pengikut nabi-nabi terdahulu tidak bisa lagi melihat dan merasakan kemukjizatan nabi- nabi mereka terdahulu, karena mukjizat mereka bersifat sementara dan sesuai situasi dan kondisinya.  Mereka hanya mendengarkan hal tersebut dari cerita-cerita nenek moyang mereka, yang seringkali sudah banyak dibumbui oleh cerita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara rasional atau kesejarahan.
Akan halnya dengan Al-Qur’an, kemukjizatannya tidak pernah lekang oleh panas dan tidak pula lapuk karena hujan, karena kemukjizatan Al-Qur’an bersifat “maknawiyyah” atau sesuatu yang hanya bisa dirasakan, direnungi dan di hayati. Ternyata kemukjizatan yang bersifat “maknawi” ini lebih hebat dan lebih tahan lama  dari kemukjizatan yang bersifat “hissi”. Allah sengaja menjadikan mukjizat akhir zaman menjadi mukjizat yang “maknawiyah” karena perjalanan kehidupan manusia semenjak nabi Adam sampai nabi Muhammad sudah sedemikian lama, berbagai eksperimen kehidupan telah dijalani oleh umat manusia. Berbagai bentuk azab dan cobaan yang  berupa  azab-azab yang mengguncang dan menghancurkan telah dialami oleh umat –umat terdahulu, sebagaimana umat nabi Nuh, nabi Hud, nabi Shalih, Fir’aun, Qarun dan lain-lainnya. Maka umatnya nabi Muhammad sebagi umat terakhir dan nabi Muhamad sebagai nabi terakhir, sudah dirasakan cukup dewasa untuk menerima ajaran samawi. Salah satu bentuk kedewasaan umat nabi Muhammad adalah bentuk kemukjizatan umat akhir zaman adalah kemukjizatan “maknawi” yang hanya bisa diperoleh oleh perenungan yang mendalam dan dampaknya pada segenap umat manusia. Umat akhir zaman juga tidak di azab dengan azab yang menyeluruh sebagaimana umat masa lalu, tapi dalam bentuk peringatan-peringatan dan kejadian-kejadian yang cukup memberikan pelajaran. Umat nabi Muhammad masih diberi kesempatan untuk melakukan taubat dan evaluasi diri sebelum datangnya hari kiamat.
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an dalam mengetengahkan kisah, umumnya tidak runtut, kecuali kisah nabi Yusuf. Jika Al-Qur’an bercerita, maka yang tersaji adalah plot-plot cerita yang tidak rinci, hanya cerita yang patut mendapatkan pelajaran. Pembaca Al-Qur’an dituntut untuk memikirkan sendiri pelajaran yang bisa diambil dari cerita-cerita Al-Qur’an. Inilah salah satu indikator bahwa Al-Qur’an mengajak pembacanya menjadi dewasa. Walaupun hanya berupa isyarah-isyarah sederhana, kadangkala berupa ungkapan yang ringkas, tapi penuh “kinayah”(kiasan).
Jika kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada dirinya, maka para ulama dari masa lalu sampai kini terus  berusaha mencari letak kemukjizatan Al-Qur’an. Pada saat bangsa arab menggandrungi sastera arab, para sasterawan mencari kemukjizatan Al-Qur’an dari ungkapan dan redaksinya. Lalu satu demi satu para ulama mengemukakan berbagai bentuk kehebatan Al-Qur’an, melalui apa yang kemudian dinamakan ilmu balaghah yang terdiri dari Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan dan Ilmu badi’. Nama-nama ar-Rummani, al-Khaththabi, al-Jurjani, al-Baqillani, al-Sakkaki dan lain-lainnya muncul ke permukaan. Pada sisi yang lain para pengamat kemukjizatan Al-Qur’an tidak henti-hentinya mencari sisi kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi isinya, lalu muncullah teori kemukjizatan yang bersifat Tasyri’I yang mengetenghakan kehebatan syari’at islam dan hukum-hukum yang diberlakukan seperti dalam hal bentuk ibadat, mu’amalat, mnakahat dan jinayat. Lalu ada lagi teori kemukjizatan al-Ghaiby yaitu terungkapnya hal-hal yang ghaib pada Al-Qur’an yang tak  mungkin diperoleh oleh nabi Muhammad kecuali dari Allah. Muncul juga teori kemukjizatan yang berupa “al-Wa’d dan al-Wa’id atau janji dan ancaman yang selalu terbukti sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Lalu muncul teori kemukjizatan ilmy atau ilmu pengetahuan yang mengemukakan kecocokan antara penemuan modern dalam bidang sains dan teknologi dengan apa yang dikemukakan oleh Al-Qur’an. Muncul juga kemukjizatan yang bersifat ‘adadi yaitu bilangan yang ada dalam Al-Qur’an baik berkaitan dengan jumlah huruf, kalimat, ayat dan lain sebagainya, seperti keseimbangan jumlah satu kalimat dalam Al-Qur’an dengan kalimat yang menjadi lawannya, atau bentuk-bentuk keistimewaan lainnya. Dengan diketemukannya I’jaz ‘Adadi ini, maka semakin terkuak pula kehebatan Al-Qur’an.
Ilmu Munasabat Al-Qur’an
Perhatian ulama terhadap Al-Qur’an tidak terhenti sampai disitu saja, tapi beralih kepada hal lain yaitu hubungan antara satu segi dalam Al-Qur’an dengan segi lainnya. Menurut jumhur  ulama, susunan ayat –ayat Al-Qur’an, begitu juga susunan surah-surah dalam Al-Qur’an  adalah langsung dari Allah, bukan bikinan nabi Muhammad dan bukan pula ijtihad para sahabat nabi. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa dibalik susunan Al-Qur’an, baik ayat-ayatnya, maupun surah-surahnya bisa dipastikan ada hubungan, korelasi, keserasian. Menurut mereka yang memercayai teori ilmu munasabah, Al-Qur’an adalah laksana sebuah bangunan yang antara satu bagian dengan bagian lainnya terdapat keserasian yang demikian kokoh dan indah. Pada kenyataannya para ulama yang tekun dalam mencari munasabah dalam Al-Qur’an menemukan hal-hal yang mencengankan. Ternyata dibalik bagian –bagian dari Al-Qur’an apakah antara ayat pada satu surah atau antara dua surah terdapat keserasian yang sangat signifikan. Hal inilah yang menyebabkan banyak kalangan mencoba menguraikan bentuk munasabah sesuai dengan ijtihadnya masing-masing.
Harus diakui bahwa munasabah dalam Al-Qur’an tidak ada penjelasannya dari nabi dan para sahabat. Oleh karena itu maka “Ilmu munasabat” dikatagorikan sebagai ilmu yang tidak wajib di pelajari. Sebab kalau wajib di pelajari, berarti harus ada penjelasan dari nabi.
Menurut pendapat penulis mempelajari munasabah dalam Al-Qur’an adalah sesuatu yang penting digeluti oleh praktisi tafsir Al-Qur’an. Mempelajari Ilmu Munasabah juga sangat mengasyikkan. Pencarian terhadap munasabah  menuntut konsentrasi dalam mempelajari tujuan pokok dari setiap bagian dari  Al-Qur’an. Kemudian mempelajari hubungan antara satu bagian dangan bagian yang lain. Merupakan satu  kebahagiaan dan kepuasan tersendiri manakala dijumpai adanya munasabah yang signifikan  pada satu bagian dari Al-Qur’an. Melalui ilmu munasabah ini bisa diketahui kemukjizatan Al-Qur’an. Jika sebuah surah mengandung bermacam topik, maka topik tersebut adalah ibarat ramuan obat cara qur’an untuk mengobati satu penyakit pada manusia baik selaku individu maupun anggauta masyarakat. Mengetahui munasabah juga bisa memahami inti persoalan yang ada pada satu ayat atau kelompok ayat.
Pada abad-abad pertama masa lalu kajian seperti ini belum ada, barulah pada abad keempat Hijriyah, persoalan ini mulai muncul. Diantara ulama yang menghadirkan dan mempunyai kepedulian pada “Ilmu al-Munasabat” adalah : 1.ath-Thabari (w 310 h).
2.Abu Bakar an-Naisaburi (w 324 h).
3.ar-Razi (w 606 h).
4.al-Harrali Abu al-hasan (w 637 h).
5.al-Gharnathi, Ahmad bin Ibrahim az-Zubair, Abu Ja’far (w 708 h) dalam kitabnya “ al-Burhan fi Munasabat tartib Suwar al-Qur’an”.
6.al-Biqa’i (w 885 h) dalam kitab Tafsirnya “ Nazhm ad-Durar fi Tanasub al Ayat wa as-Suwar” kemudian diringkas dalam kitabnya “Dilalat al-Burhan al-Qawim ‘ala Tanasub Al-Qur’an al-‘Azhim”.
7.as-Sayuthi (w 911 h) dalam kitabnya “Tanasuq ad-Durar fi Tanasub as-Suwar” diringkas dalam kitab “Asrar at-Tanzil”, dan kitabnya yang lain adalah : “Marashid al-Mathali’ fi Tanasub al-Maqashid wa al-mathali’”.
8. Syekh Sajaqli Zadah al-Mursyi (w 1150 h) pengarang kitab “Nahr an-Najaat fi bayan Munasabaat Umm al-Kitab”
Pada saat ini kitab- kitab tafsir yang muncul saat ini banyak yang menaruh perhatian kepada “munasabat” seperti tafsir “al-Manar”, tafsir “al-Maraghi”, tafsir “fi Zhilal Al-Qur’an”, tafsir “al-Munir” karya Wahbah az-Zuhaili”, Syekh Siddiq al-Ghumari mempunyai kitab Jawahir al-Bayan” fi Tanasub Al-Qur’an” dan lain lainnya.
Setelah banyak sajian praktis  tentang munasabat dalam Al-Qur’an, barulah para ulama melakukan penelitian terhadap macam-macam munasabah dalam Al-Qur’an. Imam Sayuthi dalam kitabnya “Asrar al-Qur’an”membagi munasabah dalam beberapa bagian: yaitu :
1.Tartib surah-surah dalam Al-Qur’an dan hikmah dibalik peletakan satu surah pada tempatnya
2.hubungan antara pembukaan surah dengan akhir surah sebelumnya
3. hubungan antara awal surah dengan isi surah.
4.hubungan antara awal surah dengan akhir surah           
5.hubungan antara satu ayat dengan ayat setelahnya.
6.hubungan antara akhiran ayat (fashilah) dengan awal ayat
7. hubungan antara nama surah dengan kandungan surah.
Sementara peneliti lain membagi Munasabah menjadi tiga bagian besar yaitu :
1.Munasabah pada satu surah : yang terdiri dari :
a. munasabah antara awal surah dengan akhir surah.
b.munasabah antara satu ayat dengan ayat sebelumnya.
c. munasabah antara dua hukum pada beberapa ayat datau dalam satu ayat.
d. munasabah antara nama surah dan kandungan surah.
2.Munasabah antara dua surah : yang terdiri dari :
a.munasabah antara akhir surah dengan akhir surah sebelumnya.
b.munasabah antara kandungan satu surah dengan kandungan pada surah berikutnya.
3.Munasabah secara umum, yaitu memunasabahkan antara bagian-bagian dalam Al-Qur’an walau tidak berurutan.
Peranan Ilmu Munasabat Dalam Penafsiran Al-Qur’an
Ilmu Munasabat adalah merupakan salah satu cabang Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Ilmu munasabat sudah lama dikaji oleh ulama tafsir pendahulu. Betapapun demikian masih ada pro dan kontra terhadap keberadaan unsur “munasabah” dalam Al-Qur’an. Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya “ Fath al-Qadir” mengkritik al-Biqa’i yang memperbanyak kajian tentang munasabah . asy-Syaukani mengatakan: 1. Ilmu munasabah adalah ilmu yang dipaksakan. Tidak pantas dimasukkan kedalam sastera arab yang biasa, apalagi di masukkan kedalam Al-Qur’an yang merupakan teks yang mempunyai kandungan sastera yang sangat tinggi. 2.Ilmu munasabah adalah termasuk ilmu tafsir bir-ra’yi dalam Al-Qur’an, hal ini tidak boleh.3.mencari–cari manasabah menghabiskan waktu dengan sesuatu yang tidak berguna.  
Namun disisi lain banyak ulama yang mendukung adanya teori “munasabah” dalam Al-Qur’an ini. Mereka menganggap  bahwa dengan mengetahui “munasabah” dalam Al-Qur’an akan sangat membantu dalam memahami kandungan Al-Qur’an. Al-Biqa’I menukil dari gurunya tentang kegunaan Ilmu Munasabah :
يقول عن شيخه المغربي المالكي: "الأمر الكلي المفيد لعرفان مناسبات الآيات في جميع القرآن هو أنك تنظر الغرض الذي سيقت له السورة، وتنظر إلى ما يحتاج إليه ذلك الغرض من المقدمات، وتنظر إلى مراتب تلك المقدمات في القرب والبعد من المطلوب.. وإذا فعلته تبين لك - إن شاء الله - وجه النظم مفصلاً بين كل آية وآية في كل سورة".
ويقول أيضاً وتتوقف الإجادة فيه - أي في علم المناسبات - على: "معرفة مقصود السورة المطلوب ذلك فيها، ويفيد ذلك معرفة المقصود في جميع جملها، فلذلك كان هذا العلم في غاية النفاسة، وكانت نسبته من علم التفسير، نسبة البيان من علم النحو".
Artinya : secara global untuk mengetahui Ilmu Munasabah pada Al-Qur’an adalah engkau melihat terlebih dahulu tujuan umum dari satu surah, kemudian engkau lihat unsur-unsur yang terlibat dalam menggolkan tujuan umum tersebut, dilihat dari kedekatan dan unsur-unsur tersebut. Jika engkau telah melakukan hal tersebut, engkau akan mengetahui susunan dan urutan satu ayat. oleh karena itu Ilmu Munasabah adalah ilmu yang sangat bagus. Hubungan antara ilmu ini dengan ilmu tafsir adalah laksana hubungan antara ilmu balaghah dengan ilmu nahwu.
Penulis mendukung gagasan tentang adanya ilmu munasabah ini, karena bagaimana mungkin sebuah susunan kalam suci dipaparkan begitu saja tanpa ada kaitan antara satu ayat dengan ayat berikutnya. Jika dalam satu surah ada satu tujuan umum, maka semua komponen yang ada, adalah merupakan pendukung utama dari tujuan umum tersebut. Antara satu bagian dengan bagian lainnya bisa dipastikan ada hubungan. Jika ayat-ayat Al-Qur’an diibaratkan seperti obat, maka komponen-komponen yang ada adalah resep untuk mengobati dari sebuah persoalan yang ada. Antara satu komponen dengan komponen lainnya jelas ada kaitan.
Hubungan Ilmu Munasabah Dengan Kemukjizatan Al-Qur’an
Terkuaknya beberapa macam munasabah, kita semakin yakin tentang kemukjizatan Al-Qur’an, bahwa ternyata dibalik susunan Al-Qur’an baik susunan kalimatnya, ayat-ayatnya, surah-surahnya, semuanya mengandung “nuktah” atau faedah yang sangat berguna dalam mempelajari esensi dari kandungan Al-Qur’an baik melalui ayat-ayatnya atau surah-surahnya.
Letak kemukjizatan Al-Qur’an jika dilihat dari Ilmu Munasabah, adalah bahwa antara satu ayat dengan ayat berikutnya yang ada pada satu surah, diturunkan dalam waktu dan situasi yang berbeda.  Kadangkala ada satu ayat yang diturunkan di Mekah diselipkan diantara ayat-ayat yang diturunkan di madinah, begitu juga sebaliknya ada ayat-ayat yang diturunkan di madinah diselipkan diantara ayat-ayat yang diturunkan di Mekah. Namun setelah ayat-ayat tersebut disandingkan dengan ayat berikutnya, ternyata mempunyai keserasian yang begitu indah.  Hal ini jelas tidak mungkin dilakukan oleh manusia manapun dan tingkat kecerdasan yang bagaimanapun. Semua itu jelas berasal dari Allah SWT. Dengan demikian ilmu munasabah telah menyumbangkan satu sisi dari kemukjizatan Al-Qur’an dari sekian banyak sisi kemukjizatan Al-Qur’an. 
Buku yang ada dihadapan anda adalah satu dari sekian banyak kitab atau buku yang ditulis tentang “ilmu Munasabah” dalam Al-Qur’an. Penulisnya adalah Dr. Hasani seorang spesialis dalam Ilmu Munasabah. Disertasinya meneliti tentang berbagai munasabah yang ada pada tafsir “al-Misbah” karya Ustadz Quraisy Syihab. Tafsir “al-Misbah” adalah tafsir kontemporer yang terkemuka saat ini di Indonesia. Tafsir ini menggunakan pijakan yang biasa digunakan oleh para penafsir salafi terdahulu, tapi ditulis dengan rasa Indonesia,  metode berfikir yang moderat, gaya bahasa yang sederhana, mudah  dipahami.  Salah satu karakteristik dari tafsir ini “al-Misbah” adalah kajian tentang “munasabah” dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan surah-surahnya, sebuah uraian yang demikian menonjol. Hal ini sangat menarik untuk dikaji.    
Dr. Hasani dalam disertasinya telah banyak menguak tentang berbagai bentuk munasabah dalam Al-Qur’an. Dalam disertasinya ini Dr. Hasani menemukan bentuk munasabah yang ditemukan dari penelitiannya terhadap tafsir al-Misbah, menemukan ada dua macam  munasabah yaitu : a. Mjunasabah Ayat. b. pola munasabah surah. Setiap macam dari dua macam munasabah tersebut mempunyai beberapa macam lagi sehingga jumlahnya  sekitar 13 macam bentuk munasabah. Berikut ini uraiannya:
A.Munasabah Ayat yang terdiri dari :
1.Munasabah antar ayat dengan ayat dalam satu surah
2.Munasabah antara satu ayat dengan fashilah (penutup)
3.Munasabah  antara kalimat dan kalimat dalam ayat
4.munasabah antara kata dalam surah
5.Munasbah antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah.
B.Pola munasabah surah yang terdiri dari :
1.Munasabah antara surah dengan surah sebelumnya
2.munasabah awal uraian surah dengan akhir surah sebelumnya
3.munasabah antar awal surah dengan akhir surah sebelumnya
4.keserasian tema surah dengan nama surah
5.keserasian penutup surah dengan uraian awal/mukadimah surah berikutnya
6.hubungan antara kisah dalam satu surah
7.hub ungan antara surah surah Al-Qur’an
8.hubungan antara fawatihussuwar dengan isi surah.

Dari penjelasan tersebut dapat penulis katakan bahwa apa yang dikemukakan oleh Dr. Hasani setelah melakukan penelitan yang mendalam terhadap beberapa macam keserasian yang dikemukakan oleh Bapak Quraisy Syihab dalam tafsirnya “ al-Misbah” adalah satu upaya yang patut dihargai. Apa yang disarankan dan diusulkan oleh penulis mujdah-mudahan bisa direspon oleh para peneliti berikutnya, sehingga menjadi kjian-kajian yang saling mendukung.
Bagaimanapun juga ilmu munasabah adalah sesuatu ilmu yang bersifat ijtihadi. Kalau sudah demikian maka sangat boleh terjadi untuk menonjolkan satu munasabah akan  berbeda antara satu orang dengan lainnya, tergantung dari sudut pandangnya. Selama masih dikatagorikan “ma’qul” atau rasional, bisa ditoleransi keberadaannya.
Ada beberapa munasabah yang kiranya perlu diberikan perhatian secara khusus yaitu munasabah antara awal ayat yang diakhiri dengan nama dan sifat-sifat Allah. Begitu juga munasabah antara “qasam” atau sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an dengan “muqsam ‘alaih” atau jawab qasam. Pada masa yang akan datang,  mjungkin akan terkuak lagi beberapa munasabah dalam Al-Qur’an yang belum terkuak pada masa kini.
Penutup.
Akhirnya, penulis mengharapkan agar kajian terhadap Al-Qur’an terus digalakkan dalam berbagai macam seginya, karena kita ingin eksistensi Al-Qur’an bisa terus bergerak sejalan dengan derap langkah masyarakat di tengah tengah kehidupan modern. Tujuan kita semua adalah bagaimana Al-Qur’an bisa terus memberikan rahmahnya kepada masyarakat dunia.  Al-Qur’an yang sekarang adalah sama dengan Al-Qur’an masa lalu pada masa nabi dan para sahabatnya. Jika pada masa lalu, Al-Qur’an telah merobah sejarah kehidupan umat manusia, maka kita selaku generasi penerus perlu melakukan upaya-upaya menghidupkan kembali semangat api Al-Qur’an. Al-Qur’an memang kelihatan diam, tapi didalamnya terdapat kekuatan yang demikian dahsyat untuk merobah masyarakat. Yang bisa melakukan semua itu adalah kita, umat islam, kita pembawa amanah Al-Qur’an.      
                                             PP Dar Al-Qur’an
                                             Kebon baru Arjawinangun Cirebon
                                             10 April 2011 M/6 Jum. Awal 1432 H

Tidak ada komentar: