Selasa, 07 September 2010

Ramadan dan Tabir Kehidupan

Ramadan dan Tabir Kehidupan
Hasani Ahmad Said
Kader Mufassir Pusat Studi Alquran (PSQ), kandidat Doktor UIN Jakarta

Tidak terasa bulan Ramadan telah menghampiri kita. Sukacita dan gegap gempita setiap muslim dan muslimah menyambut bulan yang penuh dengan berkah, rahmat, dan ampunan ini.
Ekspresi ini bisa jadi terilhami oleh teks Hadis yang terdapat dalam kitab Durrat al-Nasih karya Utsman al-Kubbani yang berbunyi "Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, Allah akan haramkan jasadnya masuk neraka." Pada Hadis ini tidak ditemukan siapa perawi (penyampai) dan apa kualitasnya, sehingga bisa terkategorikan Hadis bermasalah.
Bahkan, jauh-jauh sebelum Ramadan tiba, Rasul mengajarkan doa Allahumma bariklana fi Rajab wa Sya'ban wa ballighna Ramadhana (Ya allah berilah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Syakban, dan sampaikanlah kami (menuju) bulan Ramadan).
Meskipun demikian, keberkahan Ramadan yang begitu besar, ternyata tidak semua orang mampu menikmati keberkahan itu. Satu hari yang lalu, saya mendapatkan pesan pendek yang berbunyi: Inna lillah wa inna ilaihi rajiun, ayahanda si Fulan di panggil oleh Allah, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah."
Pada kesempatan malam harinya, bertepatan dengan 5 Ramadan, saya menyampaikan kultum di sebuah jemaah tarawih yang bertemakan Keberkahan Ramadan kaitannya dengan kesempatan hidup di dunia. Di dalam isi kultum itu saya sampaikan betapa keberkahan Ramadan itu sangat kita rasakan. Akan tetapi tidak semua orang mereguk manisnya keberkahan Ramadan.
Bisa jadi, hari ini kita masih puasa, tetapi tidak ada satu makhluk pun yang bisa menjamin esok harinya kita masih bisa berpuasa kembali.
Terbukti, pagi harinya, saya kembali menerima sms yang berbunyi: Kepada Yth. Bapak Dosen, telah meninggal dunia mahasiswi UIN yang bernama si fulanah, mhn dimaafkan kesalahannya dan semoga diterima amal ibadahnya. Belum selesai membaca pasan pendek, di Masjid Fathullah dan sekitarnya terdengar pengumuman meninggal dunia, suami dari ibu fulanah, karyawan Masjid Fathullah.
Dari beberapa kisah di atas kemudian timbul pertanyaan siapa yang mampu mengetahui rahasia kematian itu? Kapan akan menghampiri kita? Pasti jawabannya adalah tidak ada seorang pun yang mengetahui. Kalau demikian, mengapa kita masih melakukan hal yang dilarang Allah? Pintu taubat akan selalu terbuka. Maka, di bulan Ramadan 1431 H kali ini, sejatinya dimanfaatkan sebaik dan semanfaat mungkin. Kuncinya, banyak berzikir, sedekah, membaca Alquran, dan amalan salih lainnya. Saatnya kita mereformasi keburukan kita dengan kebaikan.
Tepatlah kiranya untuk dijadikan perumpamaan, bahwa dunia itu adalah ladang akhirat (al-Dunya mazra'at al-akhirah), begitu sabda Rasul. Maka, tanamilah ladang dunia ini dengan biji kebajikan, kelak engkau akan menuai kebajikan. Sebaliknya, jika menanam biji keburukan, siap-siap pula memanen kaburukannya. Ramadan merupakan bulan pelipatgandaan pahala, jangan sia-siakan Ramadan tanpa amal saleh.
Allah juga menegaskan dalam Q.S. Al Isra (17) Ayat (8): "Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri (In ahsantumahsantun lianfusikum wa in as’tum falaha…).
Atas dasar hal di atas, sejatinya Ramadan 1431 H yang sedang kita lalui ini dijalankan dengan penuh keimanan dan mengharap rida Allah, agar kita mampu menuai indahnya bersama Ramadan. Bukan untuk saat ini saja, melainkan memberikan efek juga pada saat yang akan datang. Seperti Hadis dari Abu Hirairah, bahwasannya Rasulullah bersabda "Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan yang didasari dengan keimanan dan mengharap (rida Allah), akan diampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang."
Tepat pulalah kiranya Allah memanjakan bagi orang-orang yang berpuasa yang diundang atas seruan keimanan, dengan menggunakan redaksi: Wahai orang yang beriman (Ya ayyuha al-ladzina amanu..), seperti difirmankan dalam Q.S. Al Baqarah (2) Ayat (183): "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa."
Terlihat dengan jelas dari ayat di atas, bahwa tujuan akhir dari puasa adalah membentuk manusia yang mempunyai karakter takwa. Dalam artian, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah. Ketakwaan di sini sifatnya kontinu. Ketakwaan yang bukan hanya di bulan Ramadan, melainkan jauh dari itu, ketakwaan juga di implementasikan dalam bulan-bulan selain Ramadan. Wallahualam bissawab.

Dimuat di kolom opini koran harian Lampung Post, Jum'at, 20 Agustus 2010