Rabu, 27 Oktober 2010

MENYOAL KETAHANAN PANGAN

MENYOAL KETAHANAN PANGAN
Oleh: Hasani Ahmad Said
(Kandidat Doktor UIN Jakarta & Pengajar Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung)
*Tulisan ini dimuat di Koran Banten Raya Post (Baraya Post), Jum’at, 22 Oktober 2010

Slogan “One day no rice” (satu hari tanpa nasi) yang diusung pemerintah, seolah meneguhkan sekaligus memberi “Lampu kuning” yang menginformasikan bahwa beberapa tahun ke depan, Indonesia akan kehabisan stok pangannya. Dan bisa jadi, tidak banyak yang tahu, bahwa tanggal 16 Oktober adalah Hari Pangan Dunia.
Telisik tulisan ini akan menyorot bagaimana Indonesia yang nota bene manganut Negara agraris, kini, “termangsa” oleh kejamnya “Tangan-tangan” manusia, yang menggunduli hutan, pembalakan liar, bahkan merampas hak para petani. Sejatinya petani sejahtera, rakyat makan beras sendiri bukan impor. Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi di beberap daerah, tanah yang dulu tumbuh subur, kini telah berganti dengan bangunan pencakar langit, mall, swalayan dan lain-lain. Sehingga posisi petani kian termakan zaman oleh kebijakan pejabat yang “Menggendutkan” sepihak.
Kalaupun masih ada sawah dan ladang, bisa dipastikan hasil panennya tidak sesuai dengan ongkosnya, seperti yang terjadi di perkampungan, tepatnya di Kelurahan Pabean, kelahiran penulis. Hal ini tentu ironis, bahkan sangat menyedihkan ditengah para “Penghisap” uang para petani dengan mega proyek pebrik yang siap menggerus bahkan secara perlahan “Mem-PHK/Pensiunkan” para petani di wilayahnya sendiri.
Ungkapan RA. Kartini “Habis gelap terbitlah terang”, seolah tidak berlaku lagi bagi Negara tercinta ini, bahkan malah terbalik menjadi “Habis terang terbitlah gelap”. Ironis, Negara yang dikenal dulu dengan ketahan pangan, di karuniai keberkahan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah, bahkan ada ungkapan indah “Tongkat saja bisa jadi ditanaman”.
Dalam Buku World In Figure, 2003, Penerbit The Economist, seperti yang dikutip PPT Migas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara terluas no 15 didunia, berpenduduk terbanyak nomor empat di dunia, penghasil biji-bijian terbesar nomor enam, penghasil teh terbesar nomor enam, penghasil kopi nomor empat, penghasil cokelat nomor tiga, penghasil minyak sawit (cpo) nomor dua, penghasil natural gas nomor enam, lng nomor satu, penghasil lada putih nomor satu. lada hitam nomor dua, penghasil puli dari buah pala nomor satu, penghasil karet alam nomor dua,karet sintetik nomor empat, penghasil kayu lapis nomor satu, penghasil ikan nomor enam, penghasil timah nomor dua, penghasil batu bara nomor sembilan, penghasil tembaga nomor tiga, penghasil minyak bumi nomor sebelas, dan juga termasuk 10 besar negara penghasil SDA di dunia yang memiliki 325.350 jenis flora & fauna.
Analisa ini memungkinkan untuk dijadikan pengambilan kebijakan untuk selanjutnya. Bukan malah mempolitisasi untuk menenangkan masyarakat bawah sejenak agar tidak terjadi gejolak sesaat. Dan hasilnya memang cukup efektif, lepas dari sorotan para pengkritik pemerintah. Namun mestinya tidak demikian, kontrol terhadap kebijakan pemerintah juga perlu untuk melihat lajunya kepemimpinan saat ini agar pengambilan kebijakan tepat waktu dan sasaran. Selama ini, income masyarakat jauh di atas negara-negara lain, bahkan negara tetangga sekalipun, akan tetapi kebijakannya ingin memosisikan dan mensejajarkan dengan negara lain.
Para intelektual sering mengungkapkan, seandainya pengelolaan sumber daya alam di Indonesia ini dilakukan secara baik dan benar, maka mestinya tidak akan ada berita kekurangan pasokan listrik, dan berita lain yang mengkerdilkan negaranya sendiri. Para ahli mestinya saling bahu membahu dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dari SDA yang dimiliki, bukan malah mengekploitasi alam. Sungguhpun demikian keadaannya, sejatinya harus adanya kesadaran dari masing-masing pribadi sebagai warga Negara untuk menjaga dan meningkatkan kualitas serta memikirkan bangsa ke depan sampai anak cucu generasi penerus selanjutnya.
Akan tetapi pertanyaannya kemudian, mengapa Negara yang dikenal dengan slogan “Gemah ripah loh jinawi” menjadi Negara yang tidak atau belum mampu mengoptimalkan SDA yang dibarengi dengan SDM yang baik? Ada yang salahkah? Jawabannya tentu ada dalam benak masing-masing hati kita. Memang tidak mudah laksana mudahnya membalikkan telapak tangan, tentunya perlu ada keseriusan dari masing-masing insane bangsa, selain tidak bisa ditawar-tawar lagi keinginan kuat atas kebijakan pemerintah dari level bawah sampai presiden.
Kita saksikan kabar terbaru beberapa hari ini, baik dimedia masa, elektronik, maupun cetak ramai diberitakan bahwa kebutuhan pokok harganya kian melambung bahkan mencekik masyarakat bawah, sehingga seolah tidak ada artinya uang 50.000. Padahal, untuk mendapatkan uang sebanyak itu rakyat kecil harus banting tulang. Ini artinya “Besar pasak daripada tiangnya”. Tidak adakah sikap mental yang tidak membebani masyarakat lagi? Tidak adakah upaya pengelolaan SDA yang melimpah ruah yang terhampar di hampir di setiap daerah? Yang kita saksikan justru pengekploitasi SDA yang dilakukan oleh anak bangsa sendiri, yang lebih menyedihkan sekaligus memilukan hampir pengerukan SDA baik nikel, tambang, timah, emas, minyak bumi, dilakukan oleh Negara raksasa dan adi daya, Negara hanya pengekor yang hanya menerima “uang bersih” sebagai uang upeti “membantu” pengelolaan sekaligus “pengeboran “ yang membabi buta.
Disadari atau tidak imbas beratnya harga itu, tentu akan semakin memusingkan para pelaku pasar tradisional, kususnya Usaha Kecil Menengah. Pada gilirannya, yang dikhawatirkan adalah pengurangan hasil produksi dan lebih dari itu, pada gilirannya akan ada PHK yang akan menambah lagi pengangguran. Walaupun belum sampai pada dampak yang signifikan, kejadian itu bisa saja akan terjadi pada ranah paling gawat bagi pelaku usaha kecil menengah. Kekhawatiran ini sesuatu hal yang wajar, bagaimana tidak, hal yang tidak pernah dialami oleh para pengambil kebijakan atau dalam hal ini pemerintah pusat pemegang kebijakan.
Hal yang menarik dari beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan anggota DPR RI dan menteri terjun langsung ke pasar tradisional yang memulai dialog dan melakukan sidak langsung ke pasar induk Jakarta. Mestinya, hal ini tidak hanya dalam waktu tertentu atau sesaat saja, tapi bisa dirancang berkelanjutan. Karena dengan begitu pemerintah langsung menyaksikan bagaimana jeritan dan penderitaan rakyat bawah.
Pertanyaan besarnya kemudian mengapa negara kaya raya rakyatnya miskin, tertinggal dan terpuruk? Memang tidak saatnya lagi mencari kesalahan, atau siapa yang salah? Kesadaranlah yang akan mampu membangkitkan kembali nilai kebangsaan yang dulu sudah dibangun baik oleh para pejuang pendahulu kita. Ternyata tidak semudah yang kita bayangkan, menukar kemerdekaan yang pernah dikuasai dan terkungkung dalam kuasa Belanda dan Jepang. Ada pengorbanan dari insan Indonesia yang menginginkan dan merindukan kemerdekaan. Bentuk harta, bahkan nyawa siap mereka pertaruhkan kemerdekaan bangsa yang berdaulat tanpa penindasan dari bangsa lain.
Masyarakat dulu terjajah telah mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk senantiasa mengisi kemerdekaan yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Separuh abad sudah Negara berjalan, dari mulai terseok-seok, terjajah, Negara disegani, sampai detik hari ini yang kian hari kian terpuruk. Rupanya makna kemerdekaan yang di peringati belum mampu disaring dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini bukan pesimistis, tetapi lebih kepada mengingatkan akan makna kemerdekaan bangsa, membuka mata, mengurai tabir, menuju pencerdasan baik secara konseptual maupun tatanan aplikasi.
Bukan hal yang kebetulan, tetapi memiliki nilai dan symbol yang kuat untuk mengenang sekaligus menjalankan amanat kemerdekaan. Tidak ada kata terlambat, untuk memperbaiki bangsa ini. Mulailah dari diri, keluarga, sampai kemudian sampai pada tataran tertinggi. Tancapkan kembali nilai patriotisme. Semoga kembali akan menggapai “Habis terang kemudian tambah terang”.

*Penulis adalah Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Dosen Tetap IAIN Raden Intan, Lampung. Tinggal di Pabean, Purwakarta, Cilegon Banten. No. rekening Bank Muamalat 921 4414599 / Bank BCA 6090204376 a.n. Hasani Ahmad

Tidak ada komentar: