Rabu, 27 Oktober 2010

Quo Vadis Pilkada Tangsel?

Quo Vadis Pilkada Tangsel?
Oleh Hasani Ahmad said
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Radar Banten, Selasa, 19-Oktober-2010

Tidak lama lagi Pemlukada Kota Tangerang Selatan akan digelar. Perhelatan akbar itu akan digelar serentak di beberapa kecamatan yang ada si bawah wilayah Tangsel.
Sebuah simbol yang sifatnya seremonial akan tetapi dampaknya sangat berpengaruh terhadap lancarnya roda pemerintahan, dan tentunya akan menentukan arah ke mana warga Tangsel dibawa.
Oleh sebab itu, Pemilukada menjadai barometer terhadap kesejahteraan rakyat daerah 5 tahun mendatang. Banyak pengamat mengutarakan opini dan gagasannya baik melalui media cetak maupun dalam ceramahnya. Namun demikian, masih sangat sedikit untuk mengatakan tidak ada penulis maupun pengamat yang mengantar prospek pemimpin ke depan.
Termasuk di dalamnya, memberikan sumbangan pemikiran yang mengarah kepada menjadikan Kota Tangasel madani.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana tugas KPU, Panwas, PPK mengantar Pemilukada aman? Ada dua jawaban yang saya akan angkat di tulisan ini. Pertama, secara de facto dan de jure tugas mereka tinggal menghitung hari akan segera ditunaikan. Kedua, tugas yang paling mahaberat sesungguhnya adalah bagaimana pemimpin terpilih bisa amanah menjalankan kepemimpinannya.
Dan tidak kalah pentingnya adalah pertanyaan mendasar adalah mampukah membawa kesejahteraan masyarakat dalam 5 tahun yang akan datang sesuai dengan amanat undang-undang yang mensejahterakan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratn Keadilan, dan pada pamungkasnya adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Maka, ketika belum mampu menjawab pertanyaan ini semua, lebih baik instropeksi diri untuk menjadi pemimpin ke depan. Pemimpin terpilih bukan hanya berhenti pada janji politiknya saja, tetapi yang lebih penting dari itu adalah aplikasi program yang telah dikampanyekan. Kalau sudah demikian adanya, maka akan lahir pemimpin seperti kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kemenangan Rakyat
Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pemilih, jika “jagoan” yang dipilihnya terpilih menjadi pemimpin. Akan tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah tokoh yang dipilih sudah mewakili suara rakyat? Sudahkah sesuai dengan aspirasi dan hati nurani kita? Bukan karena “kenikmataan sesaat”, suara yang mestinya menjadi keterwakilan aspirasi kita dalam hitungan detik tergadaikan?
Ada sebuah ibarat bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Ingat, jangan bohongi hati nurani. Siapakah calon pemimpin yang amanah? Siapakah calon pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat? Siapakah pemimpin yang ketika menjabat kelak bukan politik “balas budi” atau yang hanya dipikirkan bagaimana mengembalikan modal kampanye? Jawaban semua ini terletak pada hati nurani. Maka, satukan gerak dan langkah perbuatan sesuai dengan batin nurani kita. Pertanyaan ini hendaknya telah pandani dijawab oleh kandidat yang terpilih.
Saat ini dan kedepan sudah semestinya yang hanya kita pikirkan adalah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), bukan hanya diwacanakan tetapi saatnya diaplikasikan bersama. Pemerintahan yang baik (good governance) tidak akan terwujud dengan sempurna tanpa sumber daya manusia (SDM) yang memadai, kemudian diimbangi oleh menjunjung tinggi nilai kejujuran. Kejadian yang negatif dikabarkan di beberapa media cetak maupun elektronik selama ini terjadi akibat setiap orang merasa paling benar akibat ketidakjujuran dan matinya hati nurani.
Kalau dilustrasikan permainan bola, maka, jadilah pemain dan penonton yang baik, boleh mendukung kepada salah satu peserta, ketika terjadi gol, maka boleh bersorak sorak merayakan kemenangan saat terjadi pertandingan itu, tetapi di hari berikutnya sudah lupa lagi dengan masuknya peserta turnamen yang lain.
Rasanya begitupun dengan Pemilukada yang telah kita laksanakan, yang kalah mestinya legowo menerima kekalahannya dan penuh kesatria menyampaikan ucapan selamat bahkan menyalami kepada peserta pemenang, begitupun peserta yang menang tidak serta merta sombong dan lupa diri dengan kemenangannya, yang harus diingat adalah kemenangannya adalah kemenangan rakyat, dan kemenangan dia adalah kemenangan bersama.
Amanat Rakyat: Quo Vadis Pemilukada
Tidak muluk-muluk permintaan rakyat hanya pada nilai normatifitas. Misalnya dipermudah pengurusan bikin KTP, dan mengurus surat-surat yang lain, akses jalan bagus, masyarakat pinggiran dan miskin terperhatikan, biaya pendidikan murah bahkan kalau bisa gratis, mudah cari kerja, dan lain-lain. Dalam pengamatan saya, sudah terjadi peralihan paradigma masyarakat, dari masyarakat yang berfikir praktis misalnya asal ada duit, maka saya akan pilih.
Pada ranah ini, masyarakat sudah mulai bosan dengan janji-janji palsu dari para kandidat, kandidat yang bermodal tampang, ternyata dalam pengamatan saya, paradigma yang tidak baik sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan realita di masyarakat dan dengan pesatnya kemajuan teknologi dan informasi. Meskipun pengamatan ini tidak selamanya benar. Bagaimanapun kecerdasan lebih dipentingkan dibanding dengan program yang muluk-muluk tanpa dibarengi dengan sumber daya manusia yang memadai.
Dalam hal ini masyarakat mulai “melek” terhadap dampak ketidaknyamanan mereka terhadap realitas yang menimpanya selama ini. Belajar dari pengalaman semuanya akan menjadi baik.
Maka kuncinya adalah pada pucuk pimpinan yang seantiasa mendengar keluh kesah warganya. Kalau sudah demikian, maka tidak mustahil pemerintah sekarang dan akan datang akan segera mewujudkan masyarakat yang reigius, amanah, mensejahterakan rakyat, berbuat demi kepentingan rakyat. Hal ini gambaran masyarakat madani (civil society). (*)

*Hasani Ahmad Said, Kandidat Doktor UIN Jakarta & Dosen Fakultas Syariah IAIN Lampung. Tinggal di Pabean, Kec. Purwakarta, Kota Cilegon.

Tidak ada komentar: