Musibah dan Kepekaan Sosial
Hasani Ahmad Said
Dosen Syariah IAIN Lampung, kandidat doktor UIN Jakarta
Opini, Lampung Post, Sabtu, 6 Nov 2010
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia diguyur musibah beruntun yang tak henti-hentinya. Bencana besar kembali datang menegur bangsa. Dimulai sejak tsunami Desember 2004 lalu yang menghantam Aceh, nyaris setiap tahun Indonesia mengalami bencana alam. Pada 2010 ini kembali banjir bandang menimpa Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, dengan korban jiwa 100 orang lebih.
Beberapa pekan terakhir, tidak henti-hentinya berita tentang musibah dan bencana dalam skala besar, mulai dari banjir bah di Wasior, Gunung Merapi meletus, gempa dan tsunami di Mentawai dan tampaknya bencana seperti ini tidak ada henti-hentinya.
Ini semakin membuktikan ada yang salah dengan bangsa ini, jujur rakyat sudah begitu penat melihat dagelan atau panggung sandiwara para elite politik. Sepertinya, inilah para elite politik terburuk yang pernah ada di Indonesia, ya mereka ternyata sudah buta dan peka terhadap apa yang menjadi keinginan masyarakat serta dalam mengayominya.
Sebagian besar masyarakat kita berduka atas semua kejadian yang terus-terusan beruntun menimpa kita, entah apa yang salah. Di saat kita mulai berbenah atas kejadian sebelumnya ternyata Tuhan sudah memperingatkan kita kembali dengan musibah lainnya.
Pelajaran itu sangat signifikan untuk diangkat karena fenomena yang menggejala akhir-akhir ini memperlihatkan kecenderungan menguatnya sikap arogan dan egois pada beberapa elemen bangsa. Mereka terjebak ke dalam keangkuhan untuk menundukkan orang dan kelompok lain di bawah keinginan dan kepentingan kita sendiri. Dalam bingkai itu, mereka menentukan kebenaran dan kebatilan berdasarkan kriteria subjektivitas yang mereka bangun.
Wajar dan bersyukurlah kita melihat begitu banyaknya pihak yang bersegera mengulurkan tangan dengan memberikan aneka bentuk bantuan. Dan sudah barang tentu bantuan yang paling minim tetapi sekaligus paling bermakna ialah bantuan doa.
Dari bencana kita harus belajar banyak. Selain belajar bersabar, tidak bersikap angkuh dan mengedepankan keberingasan, serta mementingkan diri dan kelompok sendiri, kita dituntut membangun solidaritas sosial yang kokoh. Kekerasan—dilihat dari perspektif mana pun tidak akan pernah menyelesaikan persoalan karena ia bagian dari persoalan.
Sekilas melongok dogma agama, ada yang bisa dipetik dari berbagai kejadian yang selama ini menimpa. Pertama, menjadi ujian kesabaran seorang mukmin karena di saat musibah datang terlihat sekali sikap seorang hamba yang sebenarnya, apakah berbaik sangka atau justru sebaliknya berburuk sangka atau bahkan menyalahkan dan mencaci maki Allah swt. (baca: Q.S. Al Baqarah: 214).
Dalam sebuah hadis Shahihain dikatakan: "Tidak beriman seseorang di antara kamu, sebelum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (H.R. Bukhari-Muslim).
Musibah yang kian terus terjadi, justru diharapkan dapat meningkatkan gravitasi langit sekaligus mengurangi gravitasi bumi. Pada gilirannya orang yang merasakan maupun yang menyaksikannya dilatih menumbuhkan sikap empati terhadap penderitaan orang lain, sehingga lahirlah sikap kedermawanan dalam dirinya, karena ia menyadari bahwa dalam harta yang dimilikinya, ada hak fakir miskin dan orang-orang lain yang wajib dikeluarkan.
Kedua, masyarakat kita dituntut memiliki kepekaan dan rasa tanggung jawab sosial di mana pun berada. Kepedulian sosial tersebut penting diwujudkan sebagai bentuk pengabdian terhadap umat. Sejatinya, kepekaan sosial itulah intisari perubahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat kita menyaksikan saudara yang lain tertimpa musibah.
Dengan kepekaan sosial, kita akan mampu menyumbang sebagai agen perubahan. Peka berarti tanggap atas kebutuhan masyarakat. Dengan kepekaan sosial, masyarakat mampu menciptakan strategi perubahan sebagai jawaban atas perubahan masyarakat. Bagaimana pun anak bangsa dituntut untuk ikut andil mengatasinya.
Maka, dalam kondisi sekarang yang paling penting diingatkan kepada siapa pun, terlebih khusus korban bencana, ialah agar bersabar menghadapi musibah kehilangan berbagai harta dunia sambil mengokohkan iman dan takwa mereka. Sebab, iman dan takwa merupakan harta utama yang tidak boleh sampai lepas betapa pun telah lepasnya berbagai harta dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar