Pemilukada, Harapan Baru Warga Tangsel
Oleh Hasani Ahmad Said
*Dimuat di kolom Wacan Publik, Radar Banten, Sabtu, 13-November-2010
Di tengah Indonesia yang sedang diselimuti musibah, di balik semaraknya pemberitaan kedatangan Barack Husein Obama dan sesaat lagi akan tiba Hari Raya Idul Adha 1431 H, masyarakat Tangerang Selatan akan menggelar pemungutan suara Pemilukada hari ini.
Dari sekian banyak warga Tangerang Selatan, telah terpilih menjadi kandidat Walikota dan Wakil Walikota yang telah terkukuhkan menjadi empat pasangan kandidat. Sebagaimana dimaklumi, Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang Selatan telah menetapkan empat pasangan calon walikota dan wakil walikota Tangerang Selatan yang akan bertarung dalam pemilihan Walikota Tangerang Selatan ini. Keempat bakal calon itu adalah Airin Rahmi Diany-Benyamin Davnie, Arsid-Andre Taulany, Yayat Sudrajat-Moch Norodom Soekarno dan Rodiyah Najibah-Sulaiman Yasir.
Ibarat laga permainan sepak bola, empat tim inilah yang baru masuk dan dipastikan untuk dipilih. Dari empat kandidat ini pula, nantinya tentu akan ada yang masuk ke babak semi final, final dan menjadi sang juara (the champion). Dan kalau dicermati, para tim sepak bola itu, menarik untuk dicermati dari sekian banyak peserta yang berguguran adalah mereka itu semua menjunjung tinggi nilai sportivitas.
Kajian ini menarik untuk dikupas sekaligus dijadikan bahan analisa dalam laga politik kita yang kian hari kian menunjukkan keberingasannya. Terlebih, maraknya, pilkada di beberapa daerah yang menyisakan banyak persoalan dan persengketaan yang belum terselesaikan. Sehingga, beritanya terus seru dan sayang untuk dilewatkan.
Kerusuhan yang berbuntut saling menyerang yang dikabarkan terjadi akibat kurang puasnya dengan layanan publik dan tatanan yang berlaku. Belum lagi politik uang (money politics) yang mewabah dan menggejala, yang mengakibatkan mati surinya demokrasi, seolah-olah suara hanya milik orang yang ber-uang.
Dengan meletakkan sportivitas, maka daya tarik dan pikat kepada pemilihnya mestinya akan mencuat. Sekarang bukan zaman lagi dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan semata. Daya pikat dan daya tawar masyarakat mestinya sudah mengacu kepada kekuatan program-program unggulan dari apa yang ditawarkan. Tentunya program yang sesuai dengan pro-rakyat dan lebih mengedepankan pencerdasan masyarakat dibanding program yang hanya membikin ”bodoh” publik.
Analisis ini bisa saja dituangkan oleh para kandidat yang akan berlaga di ranah politik praktis menuju kursi kepemimpinan. Kalau sudah demikian paradigm dan pola pikirnya, harapan mencipyakan pemerintah yang baik (good governance) agar segera terlaksana. Dimulai dari perekrutan sampai kemudian terpilih dengan nilai kualifikasi yang baik dan membanggakan di mata masyarakat. Bukan hanya kebahagiaan ”sesaat” yang dirasahan masyarakat.
Di sinilah peran panwas, KPU, sampai di tingkat KPPS mempunyai iktikad baik dalam menegakkan dan menciptakan pemeritah yang baik. Dalam mewujudkan ini semua memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi paling tidak adanya keinginan yang kuat dari masing-masing pemilih akan menegaakkan cita-cita mulia itu.
Tidak jarang tujuan pragmatis dari oknum yang tidak bertanggung jawab bisa menjungkirbalikkan fakta di masyarakat. Kalupun demikian, dibutuhkan kesadaran yang tinggi untuk menjunjung tinggi nilai demokratisasi, bukan malah memangkas demokrasi demi kepentingan pribadi dan golongan. Maka semboyan jujur dan adil dalam setiap pemilu senantiasa didengung-dengungkan. Reformasi yang telah selama ini diperjuangkan menuntut adanya keterbukaan dalam lini apa pun. Keterbukaan mengeluarkan pendapat, keterbukaan informasi yang pada akhirnya melerai persengketaan menuju kesepahaman.
Harus diakui keragaman suku, bangsa dan agama di Indonesia, terkadang memicu dan memacu perselisihan dan gesekan antar sesama. Namun para pejuang setengah abad yang lalu telah merumuskan bahwa keragaman tapi satu jua (Bhineka Tunggal Ika). Kita harus akui pula, bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang untuk memilih dan dipilih. Tetapi bukan berarti memilih yang asal-asalan.
Memilih juga harus mempunyai seni, dilihat dari kemampuan dan keikhlasan yang dipilih. Begitupun sebaliknya bukan berarti semuanya boleh maju tanpa memiliki kapabilitas di bidangnya, akan tetapi yang berhak dipilih adalah orang-orang pilihan yang memiliki kredibilitas dan skill yang cukup. Maka, dari pemahaman itu, terlahir jiwa-jiwa yang handal, bukan jiwa yang kerdil.
Setelah memenuhi persyaratan di atas, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah wujudkan dan junjung nilai sportivitas . Hal ini penting, ternyata jiwa ksatria dalam berlaga di kancah politik adalah siap kalah dan siap menang. Kalau belum siap kalah, maka tidak usah mencalonkan diri. Sikap inilah yang bisa jadi selama ini menimbulkan pengakhiran yang tidak baik. Sehingga, rusuh di mana-mana, pembakaran karena calonnya tidak masuk verifikasi calon, dan bermacam-macam alasannya, selain karena boleh cerdasnya masyarakat dalam berpolitik. Buktinya mudah tersulut dengan emosi. Yang dikedepankan adalah otot, bukan otak. Demikianlah halnya pendewasaan pola pikir.
Saya kira pembelajaran perpolitikan di negeri kita semakin lama semakin pula baik dan dewasa. Misalnya, belum lama ini sudah digelar debat kandidat yang disiarkan langsung oleh televisi swasta yang bisa pula dilihat dan diakses oleh warga Tangerang Selatan, atau bahkan Indonesia. Sehingga, dari pembelajaran yang baik ini, masyarakat tidak kembali “membeli kucing dalam karung”, akan tetapi masyarakat bisa melihat kualitas kandidat pemimpinnya yang akan dicoblos.
Menyimak secara serius debat kandidat calon Walikota dan wakil walikota Tangerang selatan selasa malam 9 November 2010 kemarin di Metro TV, ada yang menarik dari peryataan para kandidat pemimpin Tangerang Selatan ketika menyampaikan visi dan misinya, hampir semua kandidat mempunyai sikap legowo untuk siap menang dan siap kalah. Nah, sikap ini sebagaimana dicatat sebagai janji kepada masyarakat.
Sebagaimana di awal telah disinggung bahwa perlagaan Pemilukada laksana perhelatan sepak bola yang setiap timnya akan berguguran, dan pada akhirnya akan menemukan dan terpilih satu tim yang menjadi sang juara. Begitupun dengan pada pemilukada, maka, mau tidak mau harus siap kalah dan siap pula menang. Kalau di awal sudah memiliki tekad demikian, diharapkan tidak ada lagi kisruh sebagai buntut dari Pemilukada.
Rasanya sudah saatnya, setiap pemilukada di mana dan kapanpun lebih mengedepankan Pemilu yang aman, tanpa di akhiri dengan kisruh. Kalaupun ada masalah, maka salurkanlah melalui aturan UU yang telah berlaku. Para kandidat diharapkan dapat dan mampu meredam amarah sesaat para pendukungnya. Nah, aman atau tidaknya Pemilukada, tergantung pada masyarakat dan kandidatnya.
Disadari atau tidak, tujuan akhir dari sebuah perlagaan adalah diawali dengan yang baik, maka diharapkan peng-akhirannyapun dengan baik pula. Demikian tatakrama dalam berbangsa dan bernegara. Pendek kata, sportivitas ini diperlukan dalam hal apa pun. Dalam berpolitik, dalam berkarir, berkarya, dan lain-lain. Tanpa sportivitas, maka akan terjadi sikut-sikutan. Karena sudah tidak ada teposaliro. Pemimpin kedepan butuh pemimpin yang menjunjung tinggi sportivitas, salah dibilang salah, benar dibilang benar, kalah menjunjung tinggi yang menang, dan yang menang merangkul yang kalah.
Kita berharap semua sebagai warga Tangerang Selatan khususnya, dan warga Banten pada umumnya, semoga pemilukada Tangsel berjalan dengan aman dan lancar tanpa kendala apa pun. (*)
Hasani Ahmad Said
Kandidat Doktor UIN Jakarta dan Dosen IAIN Raden Intan Lampung, Tinggal di Komplek Dosen UIN, Ciputat Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar