Senin, 11 Januari 2010

RESUME DISERTASI TINJAUAN PADA AYAT-AYAT KINĀYAH DALAM AL QUR’AN KARYA YAYAN NURBAYAN

RESUME DISERTASI
TINJAUAN PADA AYAT-AYAT KINĀYAH DALAM AL QUR’AN
KARYA YAYAN NURBAYAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PMSI (Pendekatan Metodologi Studi Islam)
Team Teaching : Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD (koord.)





Oleh :
Hasani Ahmad Syamsuri
NIM: 08.3.00.1.05.01.0016

SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M./ 1430 H.
RESUME DISERTASI
TINJAUAN PADA AYAT-AYAT KINĀYAH DALAM AL QUR’AN
KARYA YAYAN NURBAYAN
Oleh Hasani Ahmad Syamsuri
ABSTRAK
Dalam abstrak ini, Yayan Nurbayan menulis bahwa Kinâyah merupakan salah satu aspek kajian ilmu balaghah, tepatnya ilmu bayan. Selanjutnya, Yayan membagi kinâyah menjadi dua aspek yang mempunyai hubungan sistematis dengan kinâyah, yaitu tasybîh dan majâz. Berbeda dengan tasybîh dan majâz,kinâyah merupakan suatu pengungkapan yang pengertiannya bersifat polisemi, bisa bermakna denotatif (haqiqi) dan bisa juga bermakna konotatif (majâzi).
Lebih lanjut, Yayan menungkapkan bahwa dalam kajian ilmu tafsir uslûb kinâyah yang merupakan salah satu tema yang sangat pelik dan sering menimbulkan kontroversi dalam penafsiran al-Qurân dikalangan para ulama. Perbedaan penafsiran tersebut muncul karena secara teoritik wacana kinâyah bisa ditafsirkan secara haqiqi (denotatif) maupun majâzi (konotatif).
Selain itu pula, masing-masing dari ulama yang berbeda pendapat tersebut sama-sama mempunyai argumen, baik dari al-Qurân maupun al-Hadits. Untuk itu diperlukan tinjauan lain yang dapat memberikan kejelasan tafsir yang sesungguhnya. Tinjauan lain yang akan dicoba oleh peneliti adalah tinjauan dari aspek balaghah. Jika masing-masing madzhab sulit dipertemukan karena masingmasing mempunyai sandaran yang sama kuatnya, maka bagaimana ilmu balaghah melihat jenis ayat-ayat ini. Bagaimana ungkapan-ungkapan kinâyah digunakan dan ditafsirkan dalam praktek berbahasa pada umumnya. Apakah mengambil makna konotatif atau denotatif?
Disertasi yang ditulis oleh Yayan ini berasal dari karya akademis dalam mengejar gelar doctor bidang studi Islam di Program Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disertasi ini tebalnya 328 halaman.
Lebih lengkap kajian tentang kinayah dan hal yang melingkupinya, saya hadirkan karya ini secara lebih ringkas. selamat membaca review disertasi ini.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yayan memasukkan Kinâyah dalam ruang lingkup aspek kajian ilmu balaghah, tepatnya ilmu Bayan. Selain kinâyah ada dua aspek lainnya yang mempunyai hubungan sistematis dengan kinâyah, yaitu tasybîh (penyerupaan) dan majâz (penggunaan suatu lafadz bukan untuk makna yang sebenarnya). Berbeda dengan tasybih (penyerupaan) dan majâz, kinâyah merupakan suatu pengungkapan yang pengertiannya bersifat polisemi, bisa bermakna denotatif (haqiqi) dan bias juga bermakna konotatif (majâzi). Adanya kebolehan mengambil makna tersurat dan tersirat dalam kinâyah merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan penafsiran di kalangan para mufassir, seperti perbedaan penafsiran mereka tentang makna ‘ أولمستم النساء ' yang terdapat pada surat An-Nisa/4 ayat 42. Ayat di atas termasuk di antara salah satu dari sekian banyak ayat-ayat kinâyah dalam al-Qurân.
Selama ini, ketika membincang kinayah selalu yang terbayang adalah kajian pada aspek balaghah. Tetapi Dr. Yayan menginspirasikan dengan menggunakan pendekatan baru yakni dipakai dalam rangka menganalisa al-Quran.
Yayan menjelaskan lebih lanjut dengan mengutip mufasir Wahbah Zuhaily, bahwa di dalam al-Qurân terdapat ayat-ayat yang mengandung aspek kinâyah. Jumlahnya cukup beragam sesuai dengan tinjauan dan analisis dari masing-masing para ahli. Menurut Wahbah al-Zuhaili terdapat tujuh puluh satu ayat kinâyah dalam al-Qurân. Sedangkan menurut al-Shâbûny seperti dikutip Rukyat al-Hilal, menyebutkan terdapat sekitar enam puluh empat ayat kinâyah dalam al-Qurân. Ayat-ayat al-Qurân yang mengandung aspek kinâyah merupakan salah satu jenis ayat yang cukup pelik dan juga paling banyak menimbulkan kontroversi (ikhtilâf) di kalangan para ulama dan mufassir. Perbedaan penafsiran tersebut karena secara teoritik wacana kinâyah bisa ditafsirkan secara haqiqi (denotatif) maupun majâzi (konotatif).
Yang menarik dari disertasi ini ternyata, ayat-ayat kinâyah yang berkaitan dengan hukum atau keimanan mempunyai implikasi yang besar pada pemaknaannya. Sehingga dalam kenyataannya ayat ini telah menjadi wacana paling menarik dan sulit dipertemukan di antara mazhab-mazhab besar, baik dalam bidang fiqh maupun aqidah.
Dengan menyebutkan kesulitan-kesulitan para ulama atau mufassir dalam mempertemukan kedua mazhab penafsiran (mazhab denotatif dan mazhab konotatif) karena masing-masing mazhab mempunyai sandaran, baik dari al-Qurân maupun al-Hadits. Dan tidak jarang masing-masing mazhab mempunyai sandaran yang sama kuatnya.
Untuk itu diperlukan tinjauan lain yang dapat memberikan kejelasan tafsir yang sesungguhnya. Tinjauan lain yang akan dicoba oleh peneliti adalah tinjauan dari para ahli.Menurut Wahbah al-Zuhaili terdapat tujuh puluh satu ayat kinâyah dalam al-Qurân. Sedangkan menurut Ali al-Shâbûny seperti dikutip Rukyatul Hilal, menyebutkan terdapat sekitar enam puluh empat ayat kinâyah dalam al-Qurân. Ayat-ayat al-Qurân yang mengandung aspek kinâyah merupakan salah satu jenis ayat yang cukup pelik dan juga paling banyak menimbulkan kontroversi (ikhtilâf) di kalangan para ulama dan mufassir.

BAB II
KINĀYAH DALAM WACANA ILMU-ILMU BAHASA ARAB
A. Kedudukan Bahasa Arab sebagai Bahasa Al-Qurân
1. Karakteristik Bahasa Arab
Mengawali kajian ini, Dr. Yayan Nurbaya memulai dengan gagasan bahwa al-Quran adalah berbahasa Arab dengan menguti satu ayat al-Quran Q.S. Yusuf: 2. Dan ternyata melalui penelitiannya, Dr. Yayan dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa Bahasa Arab sebagai bahasa al-Qurân termasuk ke dalam bahasa Semit, sama dengan bahasa Ibrani, Aramik, Suryani, Kaldea, dan Babilonia. Berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya, bahasa Arab sampai sekarang tetap eksis dan digunakan oleh masyarakat yang jumlahnya cukup banyak.
2. Kedudukan Bahasa Arab
Bahasa Arab mempunyai kedudukan tersendiri dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya. Dalam disertasi ini, banyak factor yang disebutkanakan pentingnya kedudukannya bahasa Arab. Pertama, Bahasa Arab merupakan bahasa al-Qurân. Kedua, Bahasa Arab merupakan bahasa yang digunakan dalam shalat. Ketiga, Bahasa Arab merupakan bahasa hadith nabi. Keempat, Posisi ekonomi dunia Arab yang strategis. Kelima, Banyaknya jumlah penutur bahasa Arab. Factor inilah yang dianggap penulis disertasi ternyata bahasa Arab sangat berpengaruh.
3. Peran Ilmu-ilmu Kebahasaaraban dalam Penafsiran Ayat
Penulis disertasi ini membagi dua implikasi pesan Tuhan ke ranah bahas manusia. Pertama, manusia sebagai penerima ajaran al-Qurân dapat memahami dan menangkap pesan-pesan Tuhan tersebut. Kedua, pesan-pesan Tuhan yang dibumikan dalam bahasa manusia, mau tidak mau akan mengikuti dan terikat pada hukum-hukum dan kaidah-kaidah bahasa yang digunakannya.
Ilmu-ilmu di luar ilmu ‘Ulûm al-Qurân yang mempunyai peran yang cukup besar dalam menjaga kemurnian al-Qurân serta dalam upaya menggali kandungan maknanya adalah ilmu-ilmu kebahasaan.
a. Ilmu Nahwu (Sintaksis)
b. Ilmu Balâghah
B. Lafal dan Makna sebagai Unsur Utama Bahasa
1. Hakikat Lafal danMakna
Yayan membedakan antara makna dan lafal. Ruang lingkup makna begitu luas dan lentur.
2. Perkembangan dan Perubahan Lafal
Dalam sejarah perkembangan suatu bahasa, lafazd dan maknanya selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Audah Khalîl Abû Audah (1985 :50) menjelaskan ada delapan hal yang menyebabkan lafal (bunyi bahasa) itu berubah dan berkembang. Kedelapan hal tersebut adalah:
a. Perubahan bunyi suatu huruf menjadi huruf yang lain diakibatkan oleh kebiasaan berbahasa yang berlaku pada tempat-tempat tertentu. Fenomena ini banyak terjadi;
b. Dalam bahasa ada yang disebut qânun mumâtsalah (hukum pada huruf-huruf yang sama).
c. Dalam ilmul ashwât (bunyi) dikenal istilah qânun mukhâlafah (hukum pada hurufhuruf.
B. Posisi Kinâyah dalam Variasi Hubungan Lafal danMakna
1. Tauriyah
Kata tauriyah merupakan bentuk mashdar dari “ ورى “. Secara leksikal kata tersebut menurut Ahmad Al Hâsyimy bermakna, “menyembunyikan sesuatu dengan menampakkan yang lainnya”. Sedangkan secara terminologi tauriyah adalah, seorang mutakallim mengungkapkan suatu lafal yang mempunyai dua makna. Makna pertama sangat dekat dan secara lafdzy menunjukkan kepadanya, akan tetapi makna tersebut tidak dimaksudkan oleh penuturnya. Sedangkan makna kedua sangat jauh dan isyarat lafad kepada makna tersebut bersifat samar.
2. Istikhdâm
Istikhdâm dalam terminologi ilmu balaghah, tepatnya ilmu badi’ ialah mengungkapkan suatu lafal musytarak (lafal yang mempunyai dua makna). Pada ungkapan pertama yang dimaksud adalah makna pertamanya. Setelah itu diulangi oleh suatu dlamîr, atau isyârat, atau oleh dua dlâmir. Makna yang terkandung pada dlâmir pengulangan tersebut adalah makna kedua. Contoh firman Allah Ta’ala :
….Barang siapa diantara kamu sekalian menyaksikan bulan maka berpuasalah padanya. (al Baqarah/2:185)
Pada ayat di atas terdapat lafal الشهر . Lafal ini termasuk kategori musytarak, makna pertama adalah hilâl (bulan sabit) dan makna kedua adalah nama-nama bulan seperti Ramadhân. Lafal “ الشهر pada ayat di atas bermakna hilâl. Kemudian lafal tersebut diulangi oleh dlamîr ( ه ) pada lafal ‘ فليصمه yang kembali kepadanya. Dlamîr tersebut bermakna hari-hari Ramadhan,yaitu makna kedua dari “ . الشهر Makna ini merupakan makna kedua dari lafal “ .“ الشهر
3. Musyâkalah
Musyâkalah adalah salah satu dari bentuk ungkapan bahasa Arab. Model ini dilakukan dengan jalan mengungkapkan suatu makna dengan lafal yang tidak semestinya untuk mengimbangi ungkapan sebelumnya. Contoh firman Allah dalam surat al-Mâidah 116.
Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. (al-Mâidah/5:116)
Pada ayat di atas terdapat ungkapan ‘أعلم ما فى نفسك ولا. Maksud ungkapan tersebut adalah ‘أعلم ما عندك ولا ‘. Penggantian lafal ‘ ما عندك dengan ‘ ما فى نفسك ‘untuk mengimbangi ungkapan sebelumnya yaitu ‘‘ تعلم ما فى نفسى . Model pengungkapan seperti ini dalam stilistika Arab (Badî’) dinamakan musyâkalah.
4. Taujîh
Secara leksikal taujîh bermakna pengarahan atau bimbingan. Sedangkan engertian taujîh dalam istilah ulama balaghah adalah, Taujih adalah mendatangkan kalimat yang memungkinkan dua makna yang berlawanan secara seimbang, seperti mengejek, memuji, agar orang yang mengucapkan dapat mencapai tujuannya, yaitu tidak memaksudkan pada salah satunya secara eksplisit.
5. Husn at-Ta’lîl
Pengertian husn at- ta’lîl dalam pandangan ulama balaghah adalah, usnut-ta’lil adalah seorang sastrawan mengingkari secara terang-terangan ataupun ersembunyi (rahasia) terhadap alasan yang telah diketahui umumbagi suatu peristiwa, dan sehubungan dengan itu ia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra dan lembut yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.
Tujuan-tujuan Kinâyah
Jika seseorang ingin mengungkapkan sesuatu baik dalam bentuk fikiran atau perasaan ia akan menggungkapkannya dengan kata-kata yang jelas dan mudah difahami. Namun meningkatnya budaya manusia dan beragamnya lawan bicara seseorang mempengaruhi bentuk ekspresinya. Ungkapan bahasa dalam bentuk kinâyah merupakan bagian dari dinamika penggunaan bahasa oleh manusia. Manusia tidak lagi puas dengan menggunakan lafal-lafal untuk makna haqiqi.

BAB III
WACANA KINAYAH
DALAMKAJIAN ULUMUL QUR’AN
A. Uslûb Al-Qurân
Al-Qurân adalah salah satu kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para nabi-Nya. Kitab tersebut diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, karena nabi yang menerimanya berbahasa Arab dan hidup di
tengah komunitas yang menggunakan bahasa tersebut Para ulama ulumul Quran mengakui bahwa al-Qurân mengandung mukjizat baik pada sisi bahasa maupun isinya. Walaupun al-Qurân menggunakan bahasa Arab, akan tetapi uslûb dan style bahasa al-Qurân berbeda dengan kitab-kitab bahasa Arab lainnya. Adanya kekhususan dalam uslûb al-Qurân dirasakan oleh orang-orang yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap al-Qurân, serta diakui secara ilmiah oleh mereka yang mengkajinya secara akademik. Menurut Issa J. Boulatta1, “Efek yang sangat kuat dan berpengaruh kepada seseorang yang mendengar al-Qurân adalah berasal dari teks itu sendiri”.
B. Tafsir dan Takwil sebagai Instrumen Pemahaman Teks Ayat
1. Hakikat Tafsir
Al-Qurân turun di tengah-tengah masyarakat yang membanggakan keungulan berbahasa, keindahan berekspresi, dan ketrampilan dalam mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata yang indah dan menarik. Untuk itu al-Qurân turun dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih. Katakata dan gaya bahasanya menggunakan kata-kata dan gaya bahasa yang biasa mereka gunakan. Hal ini telah memudahkan mereka untuk memahami, mengerti, dan merasakan keindahan bahasanya untuk kemudian mengimaninya dan mengikuti petunjuknya. Mengenai apakah semua para sahabat yang mendengar al-Qurân
2. Makna Tafsir
Secara leksikal tafsir bermakna idhah atau tabyin yang dalam bahasa Indonesia berarti menjelaskan. Makna ini dapat kita lihat di dalam al-Qurân surat alfurqon: 33
Tidakkah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya. (Q.S Al-furqon/25 : 33)
Sedangkan Tafsir secara terminologi adalah Ilmu yang membahas al-Qurân dari segi makna yang dimaksud oleh Allah SWT sebatas kemampuan manusia.
3.Makna Ta’wil
Ta'wil secara leksikal bermakna ( الأول ) yang bermakna kembali. Sebagian ulama berpendapat bahwa ta'wil mempunyai makna yang sama dengan ( .(التفسير memahaminya, baik secara global maupun terperinci, para ulama berbeda pendapat.
Lebih jauh penulis disertasi ini mengupas juga pendekatan dan metode tafsir, juga corak dalam tafsir.
C. Ayat-ayat Mutasyâbih dalam Al-Qurân
Istilah kinâyah dalam kajian ulûmul Quran berkaitan erat dengan masalah mutasyâbihât. Kaitannya terletak pada pemaknaannya yang bersifat polisemi. Salah satu definisi mutasyâbih adalah ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang variatif. Pengertian ini hampir mirip dengan pengertian kinâyah yaitu ungkapan yang dimaksudkan untuk makna lazimnya, akan tetapi dibolehkan mengambil makna hakikinya. Mengangkat jug jenis dan macam-macam mutasyabihat.
D.Makna Haqiqi dan Majâzy
1. Konsep Hakikat dan Majâz
Pada awalnya manusia menggunakan suatu kata atau ungkapan dimaksudkan untuk makna hakikinya. Setiap kata atau ungkapan yang diucapkan dalam komunikasi dimaksudkan untuk makna yang sebenarnya. Akan tetapi setelah kata atau ungkapan tersebut berkembang dan digunakan banyak orang terjadilah pergeseran, perpindahan bahkan perubahan makna dari makna asal kepada maknanya yang baru. Munculnya makna baru tersebut bisa berfungsi menggantikan, memperkaya, dan bisa juga berfungsi sebagai makna keduanya. Dengan proses tersebut muncullah istilah makna haqiqi (denotative) dan makna majâzy (konotatif).
E. Penggunaan Majaz dan Kinâyah dalam Al-Qurân
1. Penggunaan Majâz
Sebagaimana dikemukakan pada bab terdahulu bahwa majâz adalah suatu ungkapan yang digunakan bukan untuk makna yang sebenarnya. Makna yang bukan sebenarnya dalam ilmu balâghah biasa disebut makna tsawâny atau makna majâzi. Keharusan suatu teks dimaknai secara majâzi jika terdapat qarînah yang mencegah pemaknaannya secara haqiqi.

BAB IV
AYAT-AYAT KINAYAH DALAM AL-QURAN
A. Sistimatika Pembahasan
Bab ini terdiri dari dua bagian utama, bagian pertama menampilkan hasil analisis ayat-ayat kinâyah; sedang pada bagian kedua menampilkan pembahasan dan analisis hasil penelitian. Pada bagian pertama akan ditampilkan hasil analisis ayat-ayat al-Qurân yang mengandung aspek kinâyah. Ayat-ayat jenis tersebut ditampilkan satu per satu pada masing-masing juz. Dalam menentukan apakah suatu ayat mengandung aspek kinâyah atau tidak peneliti mencarinya dari berbagai kitab tafsir, khususnya tafsir-tafsir yang secara lebih khusus membahasnya dari aspekaspek kebahasaan.
Pada bagian kedua diuraikan penafsiran dan pendapat dari para mufassir dan ulama, khususnya penafsiran pada ungkapan-ungkapan kinâyah. Sumber penafsiran diambil dari kitab-kitab ma’âjim ‘Arabiyyah, kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab amtsâl.
B. Penggunaan istilah kinâyah dalam kitab-kitab tafsir
Dalam bab terdahulu telah dijelaskan bahwa penggunaan istilah kinâyah dalam wacana bahasa Arab mengalami perkembangan dan perubahan. Sejak masa
Abû Ubaida – Bapak ilmu balâghah – sampai kepada masa Abd al-Qâhir al- Jurzâni dan masa-masa berikutnya konsep kinâyah mengalami perkembangan. Pada mulanya kinâyah bermakna dlamîr. Kemudian berkembang menjadi irdâf, badal, majâz, kebalikan dari makna sharîh; dan akhirnya sampai kepada makna yang kita fahami dalam ilmu balaghah sekarang ini. Di sini akan dikemukakan penggunaan istilah kinâyah dalam beberapa kitab tafsir.
Setelah itu, penulis disertasi mengungkap kinayah dalam berbagai perspektif para mufassir. Secara keseluruhan ayat-ayat kinâyah dalam al-Qurân berjumlah 77 ayat yang tersebar pada 28 juz dan 42 surat. Sedangkan ungkapan kinâyah-nya secara keseluruhan berjumlah 84 ungkapan.

Tidak ada komentar: