Senin, 11 Januari 2010

METODOLOGI KONTEMPORER PENAFSIRAN AL-QURAN (Telaah atas Pemikiran Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun)

METODOLOGI KONTEMPORER PENAFSIRAN AL-QURAN (Telaah atas Pemikiran Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah MPSI
Team Teaching : Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD (koord.)







Oleh :
Hasani Ahmad Syamsuri
NIM: 08.3.00.1.05.01.0016








SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M./ 1430 H.

METODOLOGI KONTEMPORER PENAFSIRAN AL-QURAN (Telaah atas Pemikiran Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun)
Oleh : Hasani Ahmad Syamsuri
A. Pendahuluan
Stagnasi pemikiran yang dialami oleh umat Islam saat ini, salah satu factor penyebabnya adalah sulitnya mendialogkan realitas teks-teks keagamaan yang mereka warisi dengan realitas kehidupan yang mereka hadapi. Ada kesenjangan yang begitu lebar antara keduanya. Islam yang diyakini secara normatif sebagai rahmatan li al-alamin, dalam realitas empirisnya ternyata jauh dari apa yang diidealkan itu. Hal inilah yang mendorong para sarjana-sarjana muslim kontemporer untuk melakukan perenungan kembali khazanah intelektual yang mereka warisi dari ulama-ulama klasik ( at-turots ). Dalam proses perenungan dan pembacaan ulang atas at-turots itu, di barat berkembang dengan pesat metode pemahaman teks yang jitu yang disebut hermeneutika . Metode inipun lantas menarik perhatian sarjana-sarjana muslim kontemporer untuk diaplikasikan dalam membaca, memahami dan menafsirkan at-turots . Sebagai metode baru yang asing bagi umat Islam, metode ini mendapatkan reaksi yang berbeda-beda. Ada kelompok sarjana yang dengan agresif memaksakan aplikasi metode ini secara total, sebaliknya banyak kelompok yang menolak mentah-mentah aplikasi metode ini, dan ketiga ada kelompok yang menerima mengoperasionalkan metode ini dengan penuh hati-hati dan pertimbangan.
Bahasa tidak semata-mata terdiri dari pernyataan makna yang terdengar, bukan pula sekedar wacana. Ia lebih merupakan tanda dan pembawa makna dalam pengertian aktif, sebagaimana dikatakan Ernst Fuch bahwa where meaning is, there is also language. Oleh karena itu, suatu kajian teks dapat ditempatkan dalam dua wilayah epistemologi, yaitu bidang analisis wacana (‘ilm tahlîl al-khitâb) dan bidang semiologi atau semiotik ( ‘ilm al-alâmah). Dalam semiotik konsep teks bermakna luas, mencakup sistem tanda yang dapat memproduksi makna umum. Bagi konsep ini, teks linguistik termasuk di dalamnya, sebagaimana teks-teks yang non-linguistik.
Perhatian yang diberikan oleh para pengkaji Islam dalam menelaah tradisi Arab-Islam dari dulu sampai dewasa ini, banyak difokuskan kepada pembacaan teks-teks tersebut. Ini dilatarbelakangi suatu asumsi—meminjam Nasr Hâmid Abû Zaid—bahwa peradaban dunia dapat diandaikan kepada tiga kategori yaitu peradaban Mesir Kuno yang disebut “peradaban (yang muncul) pasca kematinya” (hadlârah mâ ba’da al-maut ), peradaban Yunani disebut “peradaban akal” (hadlârah al-‘aql) , sedangkan peradaban Arab-Islam dikategorikan sebagai “peradaban teks” ( hadlârah an-nash).
Peradaban Arab-Islam disebut peradaban teks dalam pengertian sebagai peradaban yang menegakkan asas-asas epistemologi dan tradisinya atas suatu sikap yang tidak mungkin mengabaikan peranan teks di dalamnya. Kendati demikian, ini tidak berarti bahwa teks itu sendiri yang menumbuhkembangkan peradaban atau meletakan asas-asas kebudayaan dalam sejarah masyarakat Muslim. Sesungguhnya faktor utama yang melandasi dan menjadi asas epistemologi dari suatu kebudayaan adalah proses dialektika antara manusia dengan realitasnya ( jadal al-insân ma’a al-wâqi’i) yang meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya pada satu sisi, dan proses dialog kreatif manusia yang terjalin dengan teks ( wa hiwâruhu ma’a an-nash) pada sisi yang lain.
Realitas sebagai sebuah “teks” seperti konteks kesejarahan manusia, begitu pula teks-teks liturgis keagamaan yang lain seperti Alquran, hadis, kitab tafsir, syarah hadis, fiqih, tasawuf dan falsafah telah berperan sebagai instrumen yang melengkapi lahirnya kebudayaan dan peradaban masyarakat Arab-Islam. Studi interpretasi Alquran kontemporer tidak saja terbatas pada bentuk interpretasi yang menekankan pada pencarian makna dari segi narasi belaka. Akan tetapi, perspektifnya sudah berkembang pesat yaitu dengan menempatkan teks Alquran sebagai teks yang bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk pada analisis “status ontologis teks” dan relasi antar konteks melalui interpretasi kebudayaan dengan menggunakan pisau analisis linguistik dan semiotik yang terbingkai dalam hermeneutika teks.
Tugas hermeneutika teks dalam pengertian yang paling sederhana adalah upaya untuk memahami teks. Sedangkan pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa, pemikiran dan sejarah. Melalui bahasa manusia berkomunikasi dan melalui bahasa pula mereka bisa salah arti, salah paham dan salah interpretasi. Itu semua dapat terjadi tergantung kepada bagaimana manusia memaknai sebuah “peristiwa bahasa”. Kritisisme terhadap teks dengan menggunakan pendekatan linguistik tidaklah serta merta mengabaikan pendekatan lainnya. Dalam pada itu, linguistik, semiotik dan hermeneutik memang tidaklah sama, masing-masing memiliki objek kajian yang berbeda-beda. Namun ketiganya memiliki relasi yang cukup kuat—khususnya di bidang interpetasi—, terkait secara berkelindan, satu sama lain sulit untuk dipisah-pisahkan secara dikhotomis antagonistik.
Bahasa tidak semata-mata terdiri dari pernyataan makna yang terdengar, bukan pula sekedar wacana. Ia lebih merupakan tanda dan pembawa makna dalam pengertian aktif, sebagaimana dikatakan Ernst Fuch bahwa where meaning is, there is also language. Oleh karena itu, suatu kajian teks dapat ditempatkan dalam dua wilayah epistemologi, yaitu bidang analisis wacana ( ‘ilm tahlîl al-khitâb) dan bidang semiologi atau semiotik ( ‘ilm al-alâmah). Dalam semiotik konsep teks bermakna luas, mencakup sistem tanda yang dapat memproduksi makna umum. Bagi konsep ini, teks linguistik termasuk di dalamnya, sebagaimana teks-teks yang non-linguistik. Istilah teks dalam analisis wacana terbatas hanya pada sistem tanda bahasa yang dapat memproduksi makna umum. Itu dikarenakan bahwa ilmu tanda (semiotik) adalah ilmu yang menyeluruh yang menganggap analisis wacana adalah bagiannya. Alasannya, karena bahasa merupakan sistem tanda, sehingga kajiannya dianggap sebagai cabang semiotik.
Sedangkan kritisisme dapat diartikan sebagai upaya untuk memahami teks dengan melihat berbagai kemungkinannya yang ditinjau dari segi tujuan teks itu sendiri. Dalam dunia sastra, kritisisme seringkali digunakan para kritikus sastra ketika melakukan kritik sastra. Bidang hermeneutika teks ternyata memiliki peranan besar dalam kajian ini ketika terdapat bagian yang terkait dengan bahasa dan pemikiran sebagai sebuah wacana yang akan dimaknai dan diinterpretasikan. Memahami teks dalam hermeneutika kritis, tidaklah sekedar memahami makna teks itu sendiri, melainkan mencakup kepada wilayah pembongkaran persepsi dari sebuah pengetahuan, interpretasi, maupun metode interpretasi yang sudah dianggap mapan, dalam hal ini adalah tentang hakikat teks Alquran. Selain itu mencoba menyingkap distorsi dan ketimpangan yang mungkin terjadi ketika menimbang dan melakukan kegiatan interpretasi. Apabila dikaitkan dengan teks Alquran, maka sesungguhnya kajian kritis dari hermeneutika ini adalah terfokus pada analisis dan kritik wacana teks Alquran.
Pada umumnya, status ontologis teks Alquran tidak banyak diulas para ulama. Alquran acapkali dipahami dalam defenisi dan “etika teologis” yaitu sebagai wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril. Sedangkan menurut definisi dan “etika liguistik”, Alquran terdiri dari kata, kalimat, paragraf dan tanda-tanda baca yang sarat makna. Karenanya dilihat dari aspek ini, ia setara dan dapat didekati sebagaimana teks-teks yang lain. Oleh karena itu, untuk mendukung telaah ini para pengkaji dari kalangan Muslim tentunya harus terlebih dahulu memiliki kesepahaman bahwa dengan kajian teks model ini tidaklah serta merta menafikan inspirasi Alquran yang bersifat Illahi. Karena sakralitas atau kesucian sebuah kitab—meminjam Frihtjof Schuon—tidak terletak pada level ontologisnya dalam bentuk teks, melainkan pada aspek inspirasinya. Sehingga yang membedakan antara kitab suci (Alquran, Injil, Taurat) dengan karya yang lain berada pada wilayah inspirasinya.
Kritisisme terkait dengan pemahaman seseorang terhadap Alquran dan bagaimana memperlakukannya. Paham ini berlaku sebatas digunakan untuk mengikis pemahaman distorsif terhadap konsep teks Alquran. Lebih lebih pada aspek kebekuan metodologi dan perspektif yang digunakan yang cenderung menepikan pendekatan ilmu-ilmu humaniora. Karenanya salah satu karakteristik dari kritisisme adalah membongkar model pembacaan repetitif, tautologi, yang cenderung menutup pendekatan lain di luar pendekatan yang digunakan para ulama yang beraliran salaf. Kritisisme dibangun dengan menitikberatkan kepada model pembacaan yang akan mendekatkan kepada “kesadaran ilmiah” (baca: bukan sekedar kesadaran teologis), tanpa melakukan pengingkaran terhadap spirit dan inspirasi kitab suci sebagai wahyu Tuhan.
Jika dipahami selintas saja, pendekatan ini seakan menenggelincirkan kepada pemahaman yang sekularistik atau akan jatuh pada corak Marxisme yang cenderung anti suprarasional. Namun di balik itu, pandangan-pandangan semacam itu justru merupakan menjadi tantangan besar dari ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam bidang linguistik. Karena betapapun juga, perubahan dan perkembangan yang terjadi terus menerus pada nalar dan ilmu pengetahuan modern harus senantiasa berbanding lurus dengan sikap mental dan intelektual kaum Muslim, yang pada tataran ini berfungsi untuk mengimbangi prinsip-prinsip pembaharuan pemikiran keislaman. Hal ini senada dengan suatu prinsip yang menyatakan bahwa "modernitas" sesungguhnya dapat dijadikan perspektif untuk “membaca” tradisi, bukan sebaliknya tradisi belaka yang membaca modernitas tanpa diselingi dengan proses dialektis. Kritisisme melalui pembacaan teks-teks keagamaan identik dengan pembacaan tradisi, karena teks dapat dikatakan sebagai fiksasi atau pemadatan dari suatu wacana maupun tuturan. Di sinilah “teks sebagai realitas” maupun “realitas sebagai teks” dapat ditempatkan. Keduanya sama-sama hadir untuk ditelaah, dipahami, diinterpretasikan sampai kemudian dicari signifikansinya dalam berbagai konteks.
Memperbincangkan historisitas teks tidaklah dimaksudkan sebagai pembahasan “sejarah” teks, namun lebih mengedepankan sisi Alquran pada aspek ontologisnya. Peristiwa pewahyuan sebagai titik awal lahirnya Alquran merupakan kata kunci untuk menyatakan bahwa ketika inspirasi Illahi itu disampaikan kepada manusia dengan menggunakan bahasa kaum tertentu, bahasa Arab ( al-lisân al-’Arabî ), maka hal itu sekaligus menandakan sifat kesejarahannya, sebab wahyu tersebut sudah termanusiakan. Historisitas ini berperan untuk mengulas “peristiwa bahasa” yang dapat berpengaruh terhadap sistem pemaknaan pada satu sisi, dan menempatkan otoritas teks pada sisi yang lain. Kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah mengawali perdebatan mengenai historisitas ini melalui sebuah pertanyaan “apakah Alquran itu diciptakan dan baharu ataukah azali dan qadim? Untuk menjembatani dua arus besar pemikiran kalam klasik di atas sebenarnya dapat ditengarai melalui pendekatan linguistik modern sebagaimana yang pernah dikonseptualisasikan oleh Ferdinand de Saussure.
Menurut Paradigma Saussurian, khususnya yang terumuskan dalam Cours de Linguistique Gênêrale, konsepsi kalâm dibedakan dengan konsep lughah. Konsep lughah atau lisân dapat disetarakan dengan konsep langue dalam linguistik Saussure, yaitu keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa yang memungkinkan penutur-penerima dapat saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat. Sedangkan kalâm identik dengan parole yaitu manifestasi individu tentang bahasa ( al-istikhrâj al-fard li al-lughah). Jadi, telaah terhadap historisitas teks Alquran tidaklah dilekatkan pada wilayah “teologis” yang bertali-temali dengan konsep kalâm, akan tetapi berada dalam wilayah bahasa dalam pengertian lughah dan lisân atau langue sebagaimana dimaknai Saussure, yaitu bahasa sebagai realitas historis yang bersifat manusiawi dan merupakan aksioma masyarakat bahasa, sehingga dengan sendirinya lughah atau lisân merupakan bagian dari kebudayaan.
Ketika pesan-pesan ketuhanan direpresentasikan wahyu dalam realitas kultural dan berada dalam sistem bahasa melalui peristiwa bahasa yang bersifat manusiawi, maka pengandaian akan otoritas makna teks terdapat pada unsur kesejarahannya. Menurut Komaruddin Hidayat, pada akhirnya setiap interpretasi makna teks harus memiliki sumber otoritas. Mengenai otoritas ini kelihatannya muncul beragam pendapat. Adakah sumber otoritas itu berupa wahyu, hasil pembuktian empiris, tradisi yang telah mapan, ataukah kekuatan penalaran manusia? Pada kenyataannya semua faktor tersebut saling mengisi dan berinteraksi secara dialektis yang kemudian terawetkan dalam sebuah tradisi. Dalam Islam, misalnya, otoritas tradisi demikian kuat. Posisi tradisi keagamaan dan pendapat ulama sangat vital sebagai sumber justifikasi dan sekaligus juga pengikat komunitas keberagamaan sejak dari level peribadatan sampai dengan bangunan keilmuan. Bahkan dalam konteks tertentu, otoritas teks itu semakin besar seiring dengan urgensi teks. Oleh karena itu, dari sudut pandang transendentalisme hermeneutik, kebenaran yang lebih konsisten justru tertuang dalam teks, bukannya dalam diri pengarang yang kadang kala labil dan situasional. Di sinilah kritisisme tentang historisitas teks dapat dimaknai untuk kemudian dapat memasuki wilayah otoritas teks dan relasi interkontektualitas.
Berkaitan dengan masalah otoritas teks, Nasr Abû Zaid, salah seorang sarjana Muslim Mesir yang kontroversial, berpendapat bahwa pada dasarnya “teks” tidak memiliki wewenang, kuasa atau otoritas apapun selain otoritas epistemologis ( as-sulthah al-ma’rifiyyah). Yakni otoritas yang diupayakan sebuah teks dalam posisinya sebagai teks untuk dimanifestasikan dalam wilayah epistemologi tertentu. Seluruh teks berusaha memunculkan otoritas epistemologinya secara baru dengan asumsi bahwa ia memperbaharui teks-teks yang mendahuluinya. Akan tetapi, otoritas tekstual ini tidak akan bermetamorfosis menjadi otoritas kultural-sosiologis, kecuali melalui kelompok yang mengadopsi teks tersebut dan mengubahnya menjadi kerangka ideologi. Dalam pada itu—dan ini juga berlaku terhadap interpretasi teks Alquran—perlu dibedakan, bahwa teks-teks yang memiliki otoritas tertentu adalah disusupkan oleh pemikiran manusia, otoritas tersebut tidak muncul dari dalam teks itu sendiri. Sehingga “pembebasan dari kekuasaan teks” ( at-tuharrir min sulthah an-nash) sebenarnya berarti pembebasan dari otoritas mutlak dan hegemoni yang mempraktikkan pemaksaan dan penguasaan dengan menyelipkan indikasi-indikasi dan makna-makna di luar masa, ruang, dan kondisi ke dalam teks. Paparan ini sesungguhnya merupakan ajakan untuk memahami, menganalisis dan melakukan interpretasi berdasarkan analisis bahasa terhadap teks tersebut dalam kompleksitas konteksnya, yang pada gilirannya akan melahirkan kontekstualisasi makna teks.
Lahirnya makna tidaklah berasal dari teks itu semata-mata, akan tetapi melalui proses dialektika antara teks dengan manusia sebagai objek teks, seperti juga yang terjadi dari relasi antara teks dengan kebudayaan sebagai relasi dialektis yang saling menguatkan, dan satu sama lain mengkombinasikan dirinya pada saat memunculkan wacana, pemikiran dan ideologi. Akal pikiran manusialah yang melahirkan makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak berbicara. Sehingga otoritas itu dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.
Para pengkaji Islam pada umumnya—terutama dari kalangan Muslim—, secara dominan mengasosiasikan otoritas tersebut kepada teks primer dan teks sekunder. Teks primer ( an-nash al-ashlî) dalam bingkai warisan tradisi Islam adalah Alquran. Teks primer berposisi sebagai teks yang menampilkan realitas pertama dalam suatu runtutan teks yang muncul kemudian. Sedangkan teks sekunder ( an-nash as-sanawî) berasal dari teks yang kedua, yaitu berupa Sunnah atau Hadis, berperan sebagai pengurai ( syarh) dan penjelas (bayân) dari teks primer. Apabila Sunnah atau Hadis dikatakan sebagai teks sekunder (tingkatan kedua), maka terlebih lagi dengan ijtihad dan pendapat para ulama, baik di kalangan ahli fiqih maupun tafsir, dapatlah diandaikan sebagai teks sekunder, atau bahkan "tersier". Sebab ijtihad-ijtihad para ulama itu merupakan uraian atau penjelasan terhadap teks primer yang pertama (an-nash al-ashlî al-awwal, Alquran) atau teks sekunder yang kedua ( an-nash as-sânî as-sanawî, Hadis).
Sejarah panjang pemikiran Islam menunjukkan bahwa—karena faktor sosial, politik, ekonomi dan kultural tertentu—telah terjadi pergeseran otoritas dari teks sekunder menjadi teks primer. Bahkan teks sekunder telah memberikan otoritas bagi dirinya sendiri. Untuk itu, dalam memahami teks Alquran tidaklah sekedar didasarkan kepada pendekatan dari segi narasi dan pemaknaan saja, lebih dari itu terdapat beragam konteks dalam kajian ini yang setidaknya dapat memposisikan pemaknaan intersubjektivitasnya, yaitu dengan memetakan unsur relasi interkontekstualitas.
Dalam pandangan Abu Zayd, al-Quran hanyalah fenomena sejarah yang tunduk pada peraturan sejarah. Maka sebagai ‘suatu’ yang sudah mensejarah dan terealisasi dalam dunia yang temporal-terbatas, al-Qur’an juga bersifat temporal-historis dan harus dipahami dengan pendekatan historis. Abu Zayd juga memandang al-Quran sebatas teks linguistik yang tidak dapat melepaskan dirinya dari aturan bahasa Arab yang dipengaruhi oleh kerangka kebudayaan yang melingkupinya.
Dengan demikian pemaknaannya selalu tunduk pada latar belakang zaman, ruang historis dan latar belakang sosialnya. Di samping itu, dia juga menganggap al-Quran bukan lagi teks Tuhan yang sakral, tapi telah bergeser menjadi teks manusia yang nisbi (samar) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relatif.
Dengan begitu, dia memisahkan al-Quran secara total antara lafadz dan maknanya. Yang mutlak dan sakral adalah al-Quran yang mentah di alam metafisika (Lawh Mahfuzh), yang tidak pernah diketahui sedikit pun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri. Lalu al-Quran tersebut dipahami dari sudut pandang manusia yang berubah dan nisbi. Sejak turun, dibaca dan dipahami Nabi, al-Quran telah bergeser kedudukannya dari Teks Tuhan menjadi teks manusia. Hal ini disebabkan al-Quran telah berubah dari wahyu menjadi interpretasi”. Kemudian Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia) dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia. Dikarenakan al-Qur’an sudah tidak lagi mutlak dan telah berubah menjadi makna yang relatif, maka bagi kalangan liberal Islam, hermeneutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi teks keagamaan.
Moch. Nur Ichwan, salah satu murid Abu Zayd, menguatkan bahwa dalam konteks Islam, hermeneutika dimaknai sebagai teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikatakan problem, mengingat sejak awal diwahyukannya, al-Qur’an dirasa sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem tersebut semakin rumit manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yang menggantikannya. Oleh sebab itu penggunaan hermeneutika dalam studi al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini, hermeneutika al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas. Abu Zayd juga memandang al-Qur’an secara dikhotomis yang memiliki dua dimensi; dimensi historis (nisbi) dan dimensi ketuhanan (mutlak), Abu Zayd mempertanyakan: Apakah setiap yang termaktub dalam al-Quran adalah firman Allah yang harus diaplikasikan? Pertanyaannya ini dijawabnya dengan menganalogikannya pada Bibel dalam pandangan Kristen, tulisnya: “According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man”. Pada akhirnya, pemutlakan nisbinya penafsiran bermuara pada seruan Abu Zayd untuk meninggalkan kekuasaan teks-teks agama (al-Qur’an dan Hadits) karena dianggap membelenggu kebebasan berfikir. Ringkasnya, pandangan Abu Zayd tentang al-Quran, kenisbian tafsir dan pemikiran keagamaan dapat dirangkum secara runtut sebagai berikut:Memberikan definisi dikhotomis antara agama dan pemikiran keagamaan yang berbeda total antara satu dengan lainnya sebagai pintu masuk.Meragukan satu persatu kedudukan agama dan pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis. Agama yang dimaknai sekedar kumpulan teks suci, kemudian direlatifkan eksistensi kemutlakannya. Teks yang mutlak dan suci (dalam hal ini adalah al-Qur’an), hanyalah yang berada di Lawhul Mahfuzh. Teks suci tersebut tidak pernah diketahui oleh seorang muslim pun. Sehingga pada akhirnya, hanya menyisakan kenisbian dan meragukan kedudukan al-Quran.
Setelah meragukan eksistensi al-Quran (atau keberadaan agama itu sendiri) sebagai kitab yang mutlak dan suci, kemudian Abu Zayd mengebiri fungsi dan perannya sebagai solusi akhir bagi manusia. Sebab teks-teks yang dipandang suci dan mutlak tersebut pada hekekatnya adalah teks atau agama sejarah, yang muncul pada suatu bangsa, pada suatu waktu dan identik dengan budaya bangsa tersebut pada saat itu. Sehingga sebagai agama atau teks sejarah, ia akan terus berkembang sesuai dengan tempat dan zamannya, relatif dan tidak bisa diklaim sebagai aturan yang mutlak dan tetap.Merombak dan menolak pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis dengan agama dalam poin pertama, sehingga pada akhirnya baik agama maupun pemikiran keagamaan sama-sama ditolak, direduksi dan didekonstruksi (dirombak).
Penolakan Abu Zayd terhadap pemikiran keagamaan ini tentunya berdasarkan adanya warna suatu dogma dan ideologi terhadap pemikiran keagamaan. Indikasi dogma dan ideologi yang mewarnai pemikiran keagamaan adalah selalu menjadikan Allah sebagai hakim dalam memahami teks dan menelantarkan posisi manusia sebagai makhluk yang historis dalam membaca teks menurut ruang dan waktu ia berada. Maka Abu Zayd pun terjebak dengan ideologi lainnya, yaitu mengutamakan manusia sebagai pembaca teks dan menelantarkan Allah SWT sebagai Sang Pemilik dalam memaknai sebuah teks.Terakhir, seruan meninggalkan agama (kitab suci): “Telah tiba saatnya menganalisa dan melangkah ke era pembebasan –tidak hanya sekedar dari kekuasaan teks-teks agama— tetapi juga dari setiap kekuasaan yang mengekang ruang gerak manusia di dunia ini. Kita harus bertindak sekarang dan cepat, sebelum disapu oleh banjir bandang.
Seperti umumnya tokoh-tokoh liberal lainnya yang menyuarakan kesamaan gender (gender equality), baik dalam hak waris bagi perempuan, mengharamkan poligami, menolak pembatasan pakaian (jilbab) dan isu-isu feminisme lainnya, Abu Zayd pun tidak ketinggalan mengambil peran dalam memperkuat faham ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa feminisme adalah bagian dari liberalisasi agama.
Dalam mensikapi poligami, Abu Zayd berpendapat bahwa sebenarnya solusi yang ditetapkan oleh al-Qur’an adalah solusi sementara, tidak bersifat permanen dan tidak berarti membenarkan keberadaan poligami. Poligami hanyalah solusi terhadap problem anak yatim yang sesuai untuk diterapkan pada abad ke-7. Di mana pada saat itu poligami telah dipraktekkan secara luas, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa poligami adalah hukum al-Qur’an. Akan tetapi di zaman sekarang ini, Abu Zayd berpendapat bahwa poligami tidak lagi dibolehkan, bahkan dilarang. Sebab pada saat ini, poligami adalah penistaan bagi wanita, sebagaimana juga terhadap anak-anak yang lahir di tengah-tengah keluarga mereka. (polygamy is insulting to women as well as to the children born into the family). Sedangkan mengenai kewajiban menutup aurat dengan mengenakan jilbab, Abu Zayd secara tegas mengatakan bahwa pandangan seperti ini tidak lain hanyalah simbol pengekangan terhadap akal wanita dan eksistensi sosialnya. Lebih lanjut dia mengatakan:”Sesungguhnya pengekangan wanita dalam busana jilbab adalah simbol penjelmaan pemasungan pada akal dan eksistensi sosialnya, dan pengabaian eksistensi sosialnya ini adalah praktek pembunuhan yang serupa dengan praktek ritual bom bunuh diri yang sewaktu-waktu diarahkan kepadanya untuk pengekangan wanita Mesir”. Adapun tentang pembagian harta waris, Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini. (QS. Al-Nisa’: 11)Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice).
Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-Nisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li l-dzakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li l-untsayayni mitslu hazhi l-dzakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur’an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas. Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al-Qur’an –secara perlahan dan pasti- cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan.Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context). Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7 M, seperti halnya saat dia menafsiran ayat-ayat hudud (jenis hukum kriminal). Tentang ayat hudud ini, dia berpendapat bahwa semua jenis hukuman yang tertera dalam al-Qur’an menggambarkan pesan realitas sosial (reflect a historical reality) dan tidak berarti menggambarkan bentuk spesifik perintah Tuhan (Divine imperatives) yang harus dijalankan di sepanjang masa. Sebab dalam hal ini, al-Qur’an tidak bermaksud untuk menegakkan jenis hukuman (rajam,qisas, dll) yang disebutkan di dalamnya. Menurut Abu Zayd, penyebutan jenis hukuman yang diambil dari budaya sebelum Islam tersebut tidak lain agar al-Qur’an mempunyai kredibilitas dengan peradaban kontemporer. Pada akhirnya substansi semua jenis hukuman tersebut adalah adanya hukuman untuk sebuah tindak kriminal (punishment for crime). Bila dirunut secara kritis, pendapat Abu Zayd ini tidak sesuai dengan teori proyek penyelidikan yang dikembangkannya dalam pembacaan teks. Sebab dari hasil kesimpulan pendapatnya, -khususnya- tentang jilbab, poligami, pembagian waris dan penerapan jenis hukuman yang tertera dalam al-Qura’an (hudud) di atas, tidak ditemui satu pun bukti tertulis dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang menguatkan pendapatnya. Padahal dalam teori proyek penyelidikannya, dia menganjurkan sebuah pendekatan yang memegang prinsip-prinsip objektif-ilmiah dan demitologisasi (penghapusan mitos) agar tidak terjebak dalam sebuah ideologi. Karena Abu Zayd tidak menemukan bukti tertulis dari al-Qur’an maupun Hadits, maka sebagai gantinya dia menyebutkan “yang tidak terkatakan” (al-maskut ‘anhu) dan memperkuatnya dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab saat itu (historical context).Tentunya teori “al-maskut ‘anhu” ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolah-olah Abu Zayd lebih mengerti “maksud Tuhan” yang tidak difirmankan-Nya. Padahal dia sendiri mengingkari al-Qur’an dalam bentuknya yang mutlak di lawh mahfuzh, karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Apalagi dia juga cenderung berpendapat bahwa manusia yang relatif tidak akan pernah mengetahui maksud Tuhan yang mutlak. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa pendapatnya ini sangat kontradiktif antara satu dengan lainnya. Lebih aneh lagi, ketika Abu Zayd berdalih dengan historical context untuk memperkuat teori “al-maskut ‘anhu”-nya ini. Sebab alasan ini hanyalah bertujuan untuk menampilkan “ideologi”nya dan menggeser ideologi yang bertentangan dengannya. Ideologi Abu Zayd yang ingin ditampilkannya adalah ideologi anti kemapanan dengan mendasarkan pada latar belakang historical context. Sehingga dengan sendirinya dia menolak segala formalisasi jenis hukuman yang termaktub dalam al-Qur’an. Dan sebagai konsekwensinya adalah setiap bentuk hukuman (the particular form of punishment) dalam al-Qur’an tidak bersifat final dan senantiasa berubah menurut kondisi sejarah, waktu dan tempat. Karena itu, semua jenis hukum yang termaktub dalam al-Qur’an tidak lain hanya diperuntukkan untuk kondisi waktu itu (specific punishment for particular time).Di sisi lain teori “al-maskut ‘anhu” tidak lain dari kelanjutan teori kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadriji) versi al-Thahir al-Haddad. pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia muda. Dalam bukunya, “al-Mar’ah fi Khithabi l-Azmah” (Wanita dalam Wacana Krisis), Abu Zayd banyak menukil pemikiran al-Thahir dan menguatkannya. Pada saat yang sama, kaum Muslim sejak awal kelahirannya sudah sibuk dan memperhatikan bagaimana penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran diterapkan terhadap kitab suci. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai literature yang masih ada hingga sekarang. Di samping berbagai disiplin keilmuan yang berkembang dalam sejarah Islam dan kaum Muslim, disiplin Studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân) merupakan salah satu disiplin yang marak dipelajari.
Penting dibedakan antara hermeneutika dengan tidakan penafsiran (exegese). Tindakan penafsiran berkaitan dengan komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan heremeneutika berkaitan dengan metodologi yang dipakai dalam tindakan penafsiran. Dalam terminologi pesantren, tindakan penafsiran adalah sebagaimana bisa ditemukan dalam kitab-kitab tafsir (yang paling umum ditemui adalah kitab Tafsîr al-Jalâlain), sedangkan hermeneutika adalah Ulûm al-tafsîrnya.
Dalam pengertian yang demikian, Farid Esack menyatakan bahwa hermeneutika sebenarnya sudah diterapkan dalam tradisi studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân) klasik dalam Islam. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa metodologi penafsiran yang melibatkan konteks pewahyuan Al-Qur’an seperti Nasikh-Mansukh dan Asbab al-Nuzul. Di samping itu, sudah ada kesadaran kategorisasi penafsiran-penafsiran sesuai dengan latar ideologis, bidang pengetahuan dan spesifikasi. Terlihat misalnya Tafsir Kalâmî (Mu’tazilah, Syî’ah, Asy’ariyah, dll.), Tafsir Fiqhî (Syafî’iyah, Hambaliyah, Hanâfiyah, dll.), Tafsir Ilmî (Biologi, Fisika, Kimia, Astronomi, Embriologi, dll.), Tafsir Falsafî, Tafsir Adabî-Ijtima’î dan lain sebagainya. Sehingga, tindakan menolak hermeneutika pada dasarnya adalah tindakan yang ahistoris.
Tindakan penafsiran Al-Qur’an yang bersifat hermeneutis sudah dilakukan oleh beberapa reformis Muslim. Nama-nama seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan kawan-kawan pada hakekatnya sudah melakukan kerja-kerja hermeneutis, walaupun secara terminologis mereka sendiri tidak menyebutnya demikian dan persentuhan ilmiah dengan Barat masih belum segencar sekarang. Namun bisa dikatakan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh hermeneutika Al-Qur’an Modern fase awal.
Setelah memasuki perkembangan terkini, Studi Al-Qur’an mengalami persentuhan dengan beberapa pemikiran yang berkembang di Barat. Beberapa pemikir yang concern terhadap studi Al-Qur’an mulai memasukkan beberapa metodologi Barat, termasuk heremeneutika dalam pemaknaannya yang spesifik. Upaya ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an mampu dan bisa menjawab isu-isu kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Beberapa nama bisa disebutkan di sini, seperti Fazlurrahman, Muhamed Arkoun, Farid Esack, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Bintu Syathi’, dan lain-lain.
Nama Muhammad Arkoun yang terpilih dalam tulisan ini disebabkan karena pemikiran Arkoun menawarkan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran Islam. Menempatkan pemikirannya, khususnya dalam bidang membaca Al-Qur’an, dalam jajaran pemikiran kontemporer menjadi tepat karena persinggungannya dengan pemikiran-pemikiran kontemporer sangat kentara sekali.
Dalam tulisan ini akan disinggung mengenai dua persoalan epistemologis dalam studi Alquran, khususnya masalah problem interpretasi dan mekanisme pemahaman konteks. Dalam hal ini, permasalahannya difokuskan pada: Sejauhmana kontribusi paradigma linguistik (strukturalisme) dan semiotika terhadap model pembacaan Alquran; Konteks seperti apakah yang harus ditampilkan dalam memahami Alquran sebagai sebuah representasi kebudayaan? Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi baik yang bersifat teoretik maupun praksis. Yang pertama mencoba mengetengahkan teori-teori modern sebagai sebuah perspektif baru dalam mendekati Alquran. Sedangkan kontribusi praksisnya akan memudahkan para pengkaji Alquran memetakan konteks dalam melakukan interpretasi Alquran. Dua hal tersebut sangat signifikan dalam kajian keagamaan kontemporer seiring terjadinya ledakan-ledakan besar teori ilmu pengetahuan yang melompati tapal batas teologis.
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis. Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme itu untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter-, tak- dan di-pikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme.
Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa: 1) mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku; 2) Menetapkan suatu kriteriologi yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.
Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan-sebisa mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment): 1). suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak. 2). Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis. 3). Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.
Tulisan ini sengaja hanya fokus pada dua orang tokoh saja karena banyaknya pemikir dan tokoh muslim yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an. Teori-teori yang muncul dalam hal penafsiran Al-Qur’an pun juga sangat kaya. Sehingga, bukan tempatnya untuk memaparkan dan menyajikan semua pemikiran tokoh-tokoh itu.
B. Permasalahan
Pendekatan hermeneutika yang membawa ruh relativisme kebenaran dan saat ini dicoba untuk diterapkan menafsirkan teks-teks keagamaan (baik al-Qur’an maupun Hadits), tidak dapat disebut sebagai bagian dari ijtihad atau pembaharuan dalam koridor khazanah keilmuan Islam. Paham relativisme berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat yang mendominasi semua bidang kehidupan dewasa ini. Paham yang berujung pada penolakan terhadap segala pemikiran yang telah mapan ini adalah bagian dari paham post-modernisme yang selalu ingin melakukan perombakan (deconstruction). Sebab dalam relativisme, hal-hal yang paling mendasar dalam agama, -seperti kedudukan wahyu al-Qur’an, kekuatan Mushaf Utsmani, aturan hukum waris, pernikahan, larangan homoseksual dsb-, tidak luput dari dekonstruksi. Semua hukum dan ajaran agama bisa berubah sesuai dengan kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi yang melatarbelakangi si penafsir dan teks, seperti yang menjadi sasaran pendekatan konteks historis (historical context).
Kritisisme dan relasi interkontekstualitas sebagaimana diulas di atas merupakan salah satu perpektif yang berkembang dalam studi interpretasi. Telaah ini memberikan peta baru dalam model analisis yang digunakan untuk membaca konteks-konteks dalam suatu kegiatan interpretasi. Objektivitas dan kebenaran interpretasi hanya dapat berlaku ketika produk interpretasi itu tidak keluar dari kerangka makna asli (al-ma’nâ) dari suatu teks dan juga tidak lepas dari makna yang dikehendaki (al-maghzâ) oleh teks yang bersifat kontekstual. Karenanya, dalam pembacaan Alquran perlu ditradisikan model pembacaan produktif ( al-qirâ’ah al-muntijah) yang dapat menepikan model pembacaan repetitif ( al-qirâ’ah at-tikrâriyyah) maupun pembacaan tendensius ( al-qirâ’ah al-mughridlah). Setidaknya dengan kritisisme dan pemetaan interkontekstualitas yang dipaparkan di atas, upaya untuk mendekati "makna objektif" dari suatu teks dapat ditimbang kembali.
Dalam diosertasi ini, akan diungkap dua persoalan epistimologis dalam studi al-Qur’an, khususnya problem interpretasi dan mekanisme pemahaman konteks yang dipakai kedua tokoh yang akan dibahas yakni Nasr hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikumakakan di atas,dapat diabatasi permasalahannya sebagai berikut: bagaimana metode tafsir kontemporere dalam pemikiran Nasr hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun dan bagaimanapula mekanisme penalarannya? Pokok permasalahan ini, selanjutnya dirinci menjadi beberapa persoalan sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi pemikiran tafsir kontemporer tersebut?
2. Bagaimana perumusan metode penafsirannya?
3. Bagaimana aplikasi terhadap penerapan metodenya itu?
4. Dan sejauhmana kontribusi paradigm linguistic dan semiotic terhadap model pembacaan al-Qur’an?
C. Penelitian Terdahulu Yang Relefan
Sepanjang pengamatan penulis, belum ditemukan adanya studi yang secara spesifik dan komperehensif mengkaji selakigus merumuskan secara khusus metodologi penafsiran yang dipakai oleh kedua tokoh di atas. Sejumlah tulisan-tulisan yang menghiasi pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid misalnya, penulis temukan dalam karya Disertasi Dr. yusuf rahman, yang kemudian percikan pemikirannya itu dituangkan kembali dalam jurnal Jauhar Majallah Fikriyyah Islamiyyah Siyaqiyyah, vol. 3, no.1, juni 2003, Sps UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari tulisan Dr. Yusuf rahman, penulis mendapati rujukan peneliti yang mengkaji Nar hamid Abu Zaid, Abd Rauf, Jabir ashfur, Muhammad Awadh, Dr. Muhammad Amara,Boudoun Depret, fazi M. Najjar, dan lain-lain.
Di laur semua itu, metodologi dan pemikiran Nasr hamid Abu zaid tertuang melalui karya-karyanya yang brilian. Begitu pula Syahrur metodologi dari sebuah pikirannya sudah barang tertentu terserak dalam buah tulisan-tulisannya. Untuk itu, penulis lebih banyak mengambil dari poin-poin penting dari karyanya tersebut.
D. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang kehadiran metode tafsir Nasr hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun;
2. Ingin mengungkap proses dan mekanisme penerapan metodenya;
3. Ingin menjelaskan kontribusi konkret dari sebuah metodologi yang didisainnya.
E. Manfaat / signifikansi Penelitian
Realisasi penelitian ini akan bermanfaat dan sinifikan paling tidak: pertama, memperluas kajian penafsiran al-Qur’an tentang metodologi kontemporer secara konseptual. Kedua, dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena ilmu al-Qur’an bukanlah disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja, akan tetapi juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman manusia dalam setiap zamannya. ketiga Memberikan sumbangan kajian pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun kepada para pembaca agar tidak terlalu apriori terhadap metodologi tafsir; Dan terakhir, kajian ini dapat memberikan arah bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif di belakang hari. Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain dapat mengurangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa menjadi koreksi bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru sebagai antisipasi atas persoalan-persoalan yang dihadapi zamannya.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian tesis ini dilakuakn melalui riset kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca karya-karya Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun sebagai data primer dan meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun sebagai data sekunder. Dan kajiannya secara deskriptif dan analitis, yakni penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahaman masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Deskriptif analitis yakni analitis dalam pengertian historis dan filosofis. Sebagai suatu analisa filosofis terhadap seorang tokoh yang hidup pada suatu zaman yang lalu, maka secara metodologis menggunakan pendekatan sejarah (historical approach), yang mengungkap hubungan seorang tokoh dengan masyarakat, sifat, watak pemikiran dan ide seorang tokoh.
Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah berasal dari data primer (primary resources) dan skekunder (secondary resources). Adapun teknis penulisan dalam tesis ini, penulis berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II, tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam membahas tesis ini, maka karya ilmiah ini ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang terkait antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas biografi dan kesarjanaan nasr hamid abû zaid dan Muhammad Arkoun, meliputi biografi singkat dan potret kehidupan awal, latar belakang pendidikan, peranan Nasr Hamid Abû Zaid Dan Muhammad Arkoun dalam kancah intelektualisme masyarakat muslim dan barat.
Bab ketiga membahas tentang metodologi tafsir al-qur’an kontemporer dalam berbagai perspektif; yang meliputi mengenal, Pengertian Metodologi Tafsir Kontemporer, Klasifikasi Metogologi Tafsir, dan Pendekatan Hermeneutika dalam Tafsir.
Bab keempat membahas metodologi nasr hamid abû zaid dalam penafsiran al-qur’an, meliputi: Al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abû dan Muhammad Arkoun, Latar Belakang dan Rumusan Metode Tafsir Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun, metode hermeneutika dan mekanisme penerapannya, dan analisis kritis atas metode tafsir nasr hamid abû zaid dan muhammad arkoun.
Bab kelima adalah bab penutup, yang berisi kesimpulan yang di tarik dari pembahasan dari sub-sub sebelumnya, dalam rangka menjawab masalah pokok yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan dan juga memuat saran-saran konstruktif.










DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Mohammed, “Metode Kritik Akal Islam“, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994

_______, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur’an, Jakarta: INIS, 1997

Asysyaukani, Luthfi, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998

Atho’, Nafisul, dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003

Bakker, Anton, dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990

Braaten, Carl, History of Hermeneutics, Philadelphia: Fortress, 1966

Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosopy and Critique, London: Routledge and Kegal Paul, 1980

Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005

Eco, Umberto, The Limits of Interpretation, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 1990

Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, England: Oneworld Publication, 1997

Fais, Fakharuddin, Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005

Gatje, Helmut, The Qur’ân and it’s Exegesis: Selected Text with Classical and Modern Interpretation, terj: Alford T. Welch, California: California University Press, 1976

Hanafî, Hassan, Dirâsah Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Mishriyyah, 1981

Harahap, Syahrin, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam Bidang Pemikiran Islam, Medan: IAIN Press, 1995

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 2001

Jâbirî, Muhammad ‘Abid al-, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1991

Izutsu, Toshihiko, God and Man in the Koran: a Semantical Analysis of the Koranic Weltanschauung, Tokyo: Keio University Press, 1964

Ichwan, Moch. Nur, Meretas kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, cetakan I, Teraju, kelompok Mizan, Jakarta:2003

Jansen, J.J.G., The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, Leiden: E.J. Brill, 1974

Rippin, Andrew, Muslim Their Religious Beliefs and Practices, Volume 2: The Contemporary Period, London: Routledge, 1995

Palmer, Richard E., Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Nortwestern: Nortwestern University Press, 1996

McNight, Edgar, Meaning in Text: Historical Shaping of a Narrative Hermeneutics, Philadelphia: Fortress, 1978)

Solomon, Jack, dari Umberto Eco dalam The Sign of Our Time, Semiotics: The Hidden Messages of Environment, Object and Cultural Images, Los Angeles: Jeremy P. Tar cher, INC, 1988

Sajiman, Panuti, dan Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotik, Jakarta: Gramedia, 1996

Sayyib, Ahmad, Ushûl an-Naqd al-Adabî, Kairo: Maktabah an-Nahdlah al-Mishriyyah, 1964

Schuon, Frihtjof, Understanding Islam, terj: D.M. Matheson, London: George Allen & Umwin LTD., 1972

Syahrûr, Muhammad, Al-Kitâb wa Alquran: Qirâ`ah Mu’âsyirah, Dimisyqa: Dâr al-Ahâlî li Thabâ’ah wa an-Nasyir, 1990

Detweiler, R., “What is Sacred Text”, dalam: Semia, 1989

Jâbirî, Muhammad ‘Abid al-, “Isykaliyât al-Ashlah wa al-Mu’âshirah fî al-Fikr al-‘Arabî al-Hadîs wa al-Mu’âshir: Sîrah Thabaqî am Musykil as-Saqâfî:, dalam At-Turâs wa at-Tahaddiyât al-‘Ashr, Beirut: Markaz Dirâsah Wihdah al-‘Arabiyyah, 1987

Syaukanie, A. Luthfy, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol.I, No. 1, Juli-Desember 1998

Salvatore, Armando, “The Rational Autentication of Turâs in Contemporary Arabic Thought: Muhammmad ‘Abid al-Jâbirî and Hassan Hanafî, dalam The Muslim World, Vol. LXXXV, No. 3-4, Juli-Oktober, 1995

Recoeur, Paul, Interpretation Theory, California: The Texas University Press, 1976

T. Borhgrevink & M. Melthuus, “Text as reality-reality as text”, dalam Studia Theologica, 1989

Kridalaksana, Harimurti, Mongin Ferdinand de Saussure (1857-1913) Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme”, pengantar dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj: Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993

Zaid, Nasr Hamid Abû, An-Nash as-Sulthah al-Haqîqah: Al-Fikr al-Dînî Bain Irâdah al-Ma’rifah wa Irâdah al-Haiminah, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-’Arabî, 1995

At-Thabarî, Târîkh ar-Rasûl wa al-Mulûk, Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim (ed.), Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1979

al-Haddad, al- Thahir, Imra’atuna fi l-Syari’ah wa l-Mujtama’, al-Dar al-Tunisiyyah li l-nasyr: 1992

Putro, Suadi, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1996

Meuleman, Haji Johan H., Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993

Komaruddin, Kamus Riset, Bandung: Angkasa, 1984

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003



Nizar, M., Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988
Wieland, Routrand, “Wurzeln der Schwierigkeit innerislami schen Gerpracchs Uber Neue Hermeneutiche Zungange zum Korantext”, dalam Stefan Wild (ed.), The Qoran as Text, Leiden: E.J. Brill, 1996
Wieland, Berichtvon Almut, Internationale Symposion “Der Koran als Text”, dalam: Juhrbuch fûr Religionwissenschaft und der Religionen, Bonn: Freinburg, 1994

Zaid, Nasr Hâmid Abû, Mafhûm an-Nash: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1994

_______, al-Tafkir fi zaman al-Takfir, dhiddu l-jahl wa l-zayf wa l-kharafah, Maktabah Madbuli, Kairo: 2003

_______, al-Khithab wa l-Ta’wil, (al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut: 2000

_______, al-Nashsh wa l-Sulthah wa l-Haqiqah: Iradatu l-Ma‘rifah wa Iradatu l-Haymanah, al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut: 2000

_______, Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-khithab, Sina li l-Nasyr, Kairo: 1992

_______, & Esther R. Nelson, Voice of an Exile Reflections on Islam, Connecticut/London, Praeger: 2004

_______, al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aidiyulujiyyah al-Wasathiyyah, Maktabah Madbuli, Kairo:2003

_______, Al-Imâm as-Syâfi’i wa Ta’sîs al-Aidiûlûjiyyah al-Wasathiyyah, Kairo: Maktabah al-Madbûlî, 1996

_______, Isykaliyât al-Qirâ`ah wa Aliyât at-Ta’wîl, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1992

Zoest, Aart Van, “Interpretasi dan Semiotik”, terj: Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari dari judul asli “Interpretation et Semiotique” dalam A. Vivoldi Verga (ed.) Theorie de la Litêrature, Paris: A. CTJ. Picard, 1981


OUT LINE


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalah
C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
D. Tujuan penelitian
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
F. Metodologi Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II BIOGRAFI DAN KESARJANAAN NASR HAMID ABÛ ZAID
A. Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal
B. Latar Belakang Pendidikan
C. Peranan Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun dalam Kancah Intelektualisme Masyarakat Muslim dan Barat
BAB III METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN KONTEMPORER DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
A. Pengertian Metodologi Tafsir Kontemporer
B. Klasifikasi Metogologi Tafsir
C. Pendekatan Hermeneutika dalam Tafsir
BAB IV METODOLOGI NASR HAMID ABÛ ZAID DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A. Al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abû dan Muhammad Arkoun
B. Latar Belakang dan Rumusan Metode Tafsir Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun
C. Metode Hermeneutika dan Mekanisme Penerapannya
D. Analisis Kritis atas Metode Tafsir Nasr Hamid Abû Zaid dan Muhammad Arkoun
BAB V Kesimpulan
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar: