Senin, 05 Maret 2012

AL-QURAN dan WAHYU

AL-QURAN dan WAHYU A. Pengertian Al-quran Menurut sebagian ahli, diantaranya al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M) al-Farra’ (w.207 H/823 M) dan al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M), kata Qur’an ditulis tanpa hamzah, al-Quran (القران ). Sedangkan menurut sebagian yang lain, seperti al-Lihyani (w.215 H/831 M) dan al-Zajjaj (w. 311 H/928 M), bahwa kata qur’an ditulis dan dibaca dengan hamzah, yakni al-Qur’an (القرأن). Yang disebut kedua, yakni al-Zajjaj, menyatakan bahwa kata qur’an sewazan (sepadan) fu’lan (فعلان ), dan karenanya harus dibaca dan ditulis berhamzah. Ada yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah isim ‘alam (kata nama) yang tidak diambil dari kata apapun. Menurut al-Syafi’i, kata Qur’an yang kemudian dima’rifatkan dengan alif lam (al), tidak diambil dari kata apapun, mengingat ia adalah nama khusus yang diberikan Allah swt. Untuk nama kitab-Nya yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw semisal Zabur, Taurat dan Injil yang masing-masing diturunkan kepada Nabi Dawud, Musa dan Isa as. Adapun menurut pendapat kedua, kata Qur’an yang kemudian dimakrifatkan kepada alif lam (al) itu adalah isim Musytaq (kata jadian) yang diambil dari kata lain. Ada yang mengatakan asal kata al-Qur’an itu diambil dari kata Qara’in (قرائن ) jamak dari kata Qarinah (قرينة ) yang berarti indikator, dan ada pula yang menduga berasal dari kata Qarana (قرن) dan al-Qar’u/al-Qaryu (القري\القرء) yang masing-masing berarti menggabungkan dan kumpulan / himpunan, disamping juga berarti kampung (kumpulan rumah-rumah. Para ahli ilmu al-Qur’an pada umumnya berasumsi bahwa kata Qur’an terambil dari kata Qara’a-Yaqra’u-Qira’atan-wa- Qur’anan (قرأ-يقرأ-قراءة-وقرآنا) yang secara harfiah berarti bacaan. Dalam al-Qur’an sendiri memang terdapat beberapa kata Qur’an yang digunakan untuk pengertian bacaan, diantaranya: إنّه لقرآن كريم Sebagian ulama menegaskan bahwa kata Qur’an itu adalah Mashdar (kata kerja yang dibendakan) yang diartikan dengan isim maf’ul, yakni maqru’, artinya sesuatu yang dibaca. Maksudnya, al-Qur’an itu bacaan yang dibaca. Sebagian ulama dan Ahli Usul mendefinisikan al-Quran sebagai kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., penutup para nabi dan rasul cengan perantaraan malaikat Jibril alaihis salam, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nash dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak) serta membaca dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah. B. Nama-nama Al-quran Al-Qur’an mempunyai banyak nama dan julukan, ini menunjukkan kemuliaan al-Qur’an. Sebab, seperti yang dinyatakan al-Sayuthi, Fa’inna katsrat al-asma’ tadullu ‘ala syarafi al-musamma. Maksudnya, sesungguhnya banyak nama itu mengisyaratkan kemuliaan sesuatu yang diberi nama. Menurut ‘Uzayzi Ibn ‘Abd al-Mulk, yang lebih populer dengan sebutan Abu al-Ma’ali Syaydzalah (w. 495 H/997 M), al-Qur’an memiliki 55 macam nama, sedangkan menurut Abu al-Hasan al-Harali (w.647 H/1249 M) malah lebih dari 90 macam nama/julukan al-Qur’an. Dalam pada itu, Ibn Jazzi al-Kilabi (741-792 H) menegaskan bahwa yang tepat, al-Qur’an hanya memiliki empat macam nama. Yakni, al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqon dan al-Dzikr. Sebagai ilustrasi, kitab Allah ini dinamakan al-Qur’an yang berarti bacaan yang dibaca, ialah mengingat memang al-Qur’an selalu dibaca banyak orang demikian pula halnya dengan nama al-Kitab yang berarti tulisan. Penulisan ayat-ayat al-Qur’an tidak semata-mata memelihara otentisitas al-Qur’an itu sendiri, akan tetapi memiliki nilai sejarah dan keindahan seni lukis yang benar-benar menakjubkan. Kitab ini dinakan juga al-Furqon yang secara harfiah berarti pembeda. Al-Qur’an melalui ayat-ayatnya memang sarat dengan kaidah-kaidah atau norma-norma dasar yang membedakan antara halal dan yang haram, antara yang hak dan yang bathil, antara yang suci dan yang kotor, antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara perintah dan larangan, antara yang manfaat dan yang mafsadat dan sebagainya. Juga sangat tepat penamaan wahyu Allah ini dengan al-Dzikr, yang berarti mengingat-ingat atau menyebut-nyebut Asma Allah Swt.,, disamping juga peringatan dan atau pelajaran. Sebab dengan membaca al-Qur’an kita akan sering menyebut Asma Allah dan sekaligus mengingat-Nya. Dari sekian banyak nama dan julukan terhadap al-Qur’an, kata al-Qur’anlah yang paling banyak disebutkan dalam ayat-ayatnya (disebutkan sebanyak 70 kali dalam 70 ayat dan 38 surat). Baru kemudian diikuti dengan al-Kitab sebanyak 53 kali dalam 53 ayat dan 32 surat, al-Dzikr sebanyak 9 kali dalam 8 ayat dan 7 surat, dan al-Furqon sebanyak 2 kali dalam 2 surat dan 2 ayat. C. Proses Penurunan Al-quran Permulaan turunnya al-Qur’anul karim adalah tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 kelahiran Nabi SAW., ketika beliau sedang bertahannus (beribadah) di Gua Hira. Pada saat itu turunlah wahyu dengan perantaraan Jibril al-Amin dengan membawa beberapa ayat al-Qur’an. Jibril mendekap nabi ke dadanya lalu melepaskannya (dan melakukan itu sampai 3 kali), sambil mengatakan “Iqra’(bacalah)” pada setiap kalinya, dan Rasul SAW, menjawabnya “ma ana bi bi qa ri (saya tidak bisa membaca)” Pada dekapan ketiga Jibril membacakan : إقرأ باسم ربّك الّذي خلق. خلق الانسان من علق. اقرأ وربّك الاكرم. الّذي علّم بالقلم. علّم الانسان مالم يعلم Artinya : “Bacalah ! dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! Dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al-‘Alaq : 1-5). Itulah permulaan wahyu dan diturunkannya Al-Qur’an. Namun sebelumnya telah turun sebagian irhas (tanda dan dalil) yang menunjukkan akan datangnya wahyu dan bukti nubuwwah bagi Rasul SAW., yang mulia. Diantara tanda-tanda tersebut adalah mimpi yang benar dikala beliau tidur dan kecintaan beliau untuk menyendiri dan berkhalwat di Gua Hira untuk beribadah kepada Tuhannya. Ada beberapa pendapat mengenai proses penurunan al-Qur’an dari Allah sampai kepada Nabi Muhammad Saw., perbedaan pendapat itu pada dasarnya dapat dibedakan kedalam tiga kelompok besar, yaitu : Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan sekaligus (dari awal sampai akhir) ke langit dunia pada malam al-Qadar. Kemudian setelah itu diturunkan secara berangsur-angsur dalam tempo 20, 23, atau 25 tahun sesuai perbedaan pendapat diantara mereka. Kedua, golongan yang berpendirian bahwa al-Qur’an diturunkan ke langit dunia bagian demi bagian (tidak sekaligus) pada setiap malam al-Qadar karena tidak ada kesepakatan diantara kelompok ini. Jadi, menurut mereka, setiap datang malam al-Qadar setiap Ramadhan, bagian tertentu dari al-Qur’an diturunkan ke langit dunia sekadar kebutuhan untuk selama satu tahun, sampai ketemu malam al-Qadar tahun berikutnya. Ketiga, aliran yang menyimpulkan bahwa al-Quran itu untuk pertama kalinya diturunkan pada malam al-Qadar sekalligus, dari Lauh Mahfudz ke bait al-Izzah dan kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit dalam berbagai kesempatan sepanjang masa-masa kenabian/ kerasulan Muhammad Saw. Berkenaan dengan proses penurunan al-Qur’an, al-Zarqani menyebutkan tiga macam tahapan : 1. Al-Qur’an diturunkan Allah ke Lauh al-Mahfudz, sesuai dengan ayat : بل هو قرآن مجيد. في لوح محفوظ Artinya: Bahkan yang didustakan mereka itu adalah al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) di Lauh Mahfudz (al-Buruj/85: 21-22) 2. Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfudz ke Bait al-Izzah di langit dunia, sesuai dengan ayat : إنّا أنزلنا ه في ليلة القدر. Artinya: Sesungguhnya kami menurunkan al-Qur’an di malam al-Qadar (al-Qadar/97:1) 3. Al-Qur’an diturunkan dari Bait al-Izzah kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan Malaikat Jibril AS., seperti tertera dalam ayat : نزل به الرّوح الأمين. علي قلبكم لتكون من المنذرين Artinya: Dia (al-Qur’an) dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan. (al-Syu’ara’/26: 193-194) Menurut sebagian ahli sejarah, diantarannya Abu Ishaq, al-Qur’an diturunkan pada malam ke-17 dari bulan Ramadhan. Penetapan tanggal 17 Ramadhan sebagai malam Nuzul al-Qur’an ini didasarkan pada berbagai isyarat yang dilansir al-Qur’an yang menggambarkan bahwa hari turun al-Qur’an itu sama dengan peristiwa peperangan Badar yang diabadikan al-Qur’an dengan julukan yaum al-Furqan (hari yang membedakan Islam dan kafir) dan Yaum al-Taqa al-Jam’an (hari bertemu dua pasukan muslim dan kafir) dalam ayat : وما أصابكم يوم التقي الجمعان فبإذن الله وليعلم المؤمنين. Artinya: Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan maka (kekalahan) itu adalah degan izin (takdir) Allah, dan supaya Allah mengetahui siapa (sebenarnya) orang-orang yang beriman (Alli ‘Imran/3: 166) Para mufassir mengartikan kata Yaum al-Furqan dengan peperangan Badar, yakni peperangan yang paling bersejarah dalam Islam yaitu peperangan antara pasukan Islam disatu pihak dan pasukan kafir dipihak lain, yang oleh al-Quran disebut dengan istilah yaum al-taqa al-jam’an. Menurut catatan sejarah, perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan, tepatnya hari jum’at tanggal 17. Kesepakatan lain ialah bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit atau munajjam menurut istilah Ulum al-Qur’an. Allah Swt berfirman : وقرآنا فرقناه لتقرأه علي النّاس علي مكث ونزلناه تنزيلا Artinya: Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami (juga) menurunkannya bagian demi bagian. (Al-Isra’/17:106) Sejarah memang membuktikan bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, satu-dua atau beberapa ayat, antara lima sampai sepuluh ayat dan bahkan pernah terjadi satu ayat al-Qur’an diturunkan beberapa kali. Ada juga surat-surat al-Qur’an yang diturunkan sekaligus, diantar contohnya ialah surat al-Fatihah dan surat al-Insan (al-Dahr). Surat al-Fatihah bahkan merupakan surat pertama al-Qur’an yang diturunkan sekaligus. Hanya saja, surat-surat al-Qur’an yang diturunkan sekaligus jumlahnya teramat sedikit, karena kebanyakan al-Qur’an diturunkan secara Munajjam (berangsur-angsur). Mengingat al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit, maka mudah dimengerti jika masa penurunan al-Qur’an berjalan cukup lama, yakni sekitar 20-23 tahun, atau tepatnya memakan waktu 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari menurut perkiraan al-Khudhary Bek. Menurutnya, al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran Nabi Muhammad Saw (6 Agustus 610 M), dan berakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijrah (Maret 632 M). Lebih jauh al-Khudhary mengatakan masa-masa al-Qur’an dibedakan kedalam dua periode yakni : Periode Makkah yang memakan waktu 12 tahun 5 bulan 13 hari (17 Ramadhan tahun 41 sampai awal Rabi’al-Awwal tahun 54 dari kelahiran Nabi); dan periode Madinah yang menghabiskan waktu 9 tahun, 9 bulan dan 9 hari (awal Rabi’al-Awwal tahun 54 sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari kelahirannya). Hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur : 1) Guna mempermudah penghafalan al-Qur’an terutama dimasa-masa awal Islam yang belum mengenal pembukuan 2) Dalam rangka meneguhkan/memperkokoh keyakinan hati Nabi Muhammad Saw dalam melaksanakan tugas berat dan menghadapi berbagai macam tantangan 3) Supaya ajaran-ajaran al-Qur’an lebih mudah dipahami dan mudah diamalkan 4) Agar Nabi tidak merasa berat dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya 5) Penurunan al-Qur’an yang disesuaikan dengan permasalahan yang timbul dan kasusu yang dihadapi, tentu akan lebih membekas daripada penurunan yang tidak disesuaikan dengan peristiwa atau pertanyaan yang ada 6) Penurunan al-Qur’an yang berangsur-angsur ternyata juga memberikan ilham yang sangat besar untuk membaca, memahami, dan mempelajari al-Qur’an dengan sistem Tadrij (berangsur-angsur). Bukan saja dimasa-masa lampau tepatnya disaat al-Qur’an itu diturunkan tetapi juga dimasa sekarang yang masih tetap berlangsung. D. Sejarah Pemeliharaan Al-quran Sejarah pemeliharaan al-Qur’an secara global dan umum pada dasarnya dapat ditelusuri dari empat tahapan besar, yaitu: 1. Tahap pencatatan di zaman Nabi Muhammad SAW Sejarah telah mencatat bahwa pada masa awal kehadiran agama Islam, bangsa Arab tergolong kedalam bangsa yang buta aksara, tidak pandi membaca dan menulis. Kalaupun ada, hanya beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan beberapa jari tangan. Bahkan, Nabi sendiri dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak pandai membaca dan menulis. Kendatipun demikian, bangsa Arab pada masa itu terkenal dengan memiliki daya ingat (hafal) yang sangat kuat. Mereka terbiasa menghafal sya’ir Arab dalam jumlah yang tidak sedikit atau bahkan sangat banyak. Dan untuk ukuran waktu itu, keunggulan seseorang justru terletak pada mereka yang kuat hafalannya bukan yang pandai baca-tulis. Kekuatan daya hafal bangsa Arab (dalam hal ini para sahabat) benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh Nabi dengan memerintahkan mereka supaya menghafalsetiap kali ayat al-Qur’an diturunkan. Sementara yang pandai menulis, yang dari waktu ke waktu jumlahnya semakin banyak, oleh Nabi diperintahkan untuk mencatat al-Qur’an setiap kali beliau menerima ayat-ayat al-Qur’an. Sehubungan dengan itu, maka tercatatlah para hafidz dan hafidzah (pria dan wanita penghafal al-Qur’an) disamping para katib (pencatat/penulis) al-Qur’an yang sangat handal. Mereka diantaranya: Abu Bakar al-Shiddiq (w. 12 H/634 M), Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 59 H/680 H), Yazid bin Abi Sufyan (w. 19H/640 M), Ubay bin Ka’ab, al Mughirah bin Syu’bah (w. 50 H/670 M), Zubair bin al-Awwam (w.34 H/656 M), Khalid bin Walid (w.21 H/ 642 M), Amr bin ‘Ash (w.43 H/664 M) dan Zaid bin Tsabit (w. 45 H/ 666 M). Zaid bin Tsabit adalah orang yang paling banyak terlibat dengan penulisan, penghimpunan dan penggandaan al-Qur’an masing-masing di zaman Nabi, zaman Abu Bakar dan zaman Utsman bin Affan. Mengingat pada zaman itu belum dikenal zaman pembukuan, maka tidaklah heran jika pencatatan al-Qur’an bukan dilakukan di kertas-kertas seperti sekarang, melainkan dicatat pada benda-benda yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis menulis terutama pelepah kurma, kulit hewan, tulang, batu dan sebagainya. Dan tersebar luas dikalangan para sahabat. Sehingga pada zaman Nabi berbagai tukisan al-Qur’an berserakan belum/tidak terkumpul disatu tempat. 2. Tahap penghimpunan di zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Penghimpunan al-Qur’an kedalam satu Mushaf, baru dilakukan pada zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq (11-13 H/ 632-634 M), tepatnya setelah terjadi perang Yamamah (12 H/ 633 M). Dalam perang ini, konon telah terbunuh sekitar 70 orang syuhada penghafal al-Qur’an dengan amat baiknya. Padahal, sebelum peristiwa itu terjadi, telah meninggal pula 70 qurra’ lainnya pada peperangan disekitar Sumur Ma’unah, yang terletak didekat kota Madinah. Menyaksikan dua peristiwa tragis yang merenggut banyak korban dari kalangan hafidz dan qari tersebut, Umar bin Khaththab segera mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar untuk menghimpun al-Qur’an. Awalnya usulan Umar ini ditolak dengan alasan Nabi tidak pernah melakukan hal yang sama dan tidak juga memerintahkan untuk menghimpunnya. Akan tetapi atas desakan Umar dengan alasan demi kemaslahatan umat dan pelestarian al-Qur’an, akhirnya Abu Bakarpun menerima saran Umar tersebut. Abu Bakar kemudian mengangkat panitia penghimpun al-Qur’an yang terdiri atas empat orang dengan komposisi kepanitiaan sebagai berikut : Zaid bin Tsabit sebagi ketua, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab sebagai anggota. Panitia penghimpun tersebut dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun yakni setelah perang Yamamah (12 H/633 M) dan sebelum wafat Abu Bakar (13 H/634 M) tanpa mengalami hambatan yang berarti. Himpunan tersebut kemudian dipegang Khalifah Abu Bakar hingga akhir hayatnya. Dan ketika kekhalifahan dipegang Umar bin Khaththab, himpunan al-Qur’an pun beralih ketangannya. Ketika Umar meninggal, dan kekhalifahan dijabat oleh Utsman bin Affan, untuk sementara waktu himpunan al-Qur’an dipegang dan dirawat oleh Hafsah binti Umar karena dua alasan: pertama, Hafsah seorang hafidzah; dan kedua, dia juga salah seorang istri Nabi disamping sebagai anak seorang khalifah. 3. Tahap penggandaan di zaman Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Ketika jabatan Khalifah dipegang oleh Utsman bin Affan dan islam tersiar secara luas hingga ke Syam (Siria), Irak dan lain-lain, ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak diinginkan kaum muslimin. Singkatnya, ketika Utsman mengerahkan bala tentara islam ke wilayah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia dan Azarbaijan, tiba-tiba Hudzaifah bin al-Yaman menghadap khalifah Utsman dengan maksud memberi tahu Khalifah bahwa di kalangan kaum muslimin di beberapa daerah terdapat perselisihan pendapat mengenai tilawah (bacaan) al-Qur’an. Hudzaifah mengusulkan kepada Utsman supaya perselisihan itu segera dipadamkan dengan cara menyalin dan memperbanyak al-Qur’an yang telah dihimpun dimasa Abu Bakar untuk kemudian dikirimkan ke beberapa daerah kekuasaan kaum muslimin. Dengan demikian diharapkan agar perselisihan dalam soal tilawah al-Qur’an ini tidak berlarut-larut seperti yang dialami orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam mempersengketakan kitab sucinya masing-masing. Setelah mengecek kebenaran berita yang disampaikan Hudzaifah, Utsman pun meminta shuhuf yang ada ditangan Hafsah untuk disalin dan diperbanyak. Untuk kepentingan itu Utsman membentuk panitia penyalin mushaf al-Qur’an yang diketuai Zaid bin Tsabit dengan tiga orang anggotanya masing-masing Abdullah bin Zuber, Sa’id bin al-Ash dan Abd al-Rahman bin al-Harits bin Hisyam. Perbedaan yang pokok antara pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an di zaman Abu Bakar dan penyalinan/pembukuan al-Qur’an di zaman Utsman bin Affan ialah terletak pada motivasi yang melatarbelakangi masing-masing kegiatan itu. Faktor yang mendorong pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar ialah karena takut segian ayat-ayat al-Qur’an akan hilang kalau tidak dihimpun dalam satu mushaf; sedangkan faktor yang memacu Utsman untuk menyalin dan memperbanyak al-Qur’an ialah disebabkan banyak perselisihan pendapat dikalangan umat islam mengenai qira’at (bacaan) al-Qur’an. Selain itu, pada masa Abu Bakar, al-Qur’an dihimpun tanpa memperhatikan tertib urutan ayat dan surat, sedang pada masa Utsman hal itu mulai dilakukan. 4. Tahap pencetakan Al-Qur’an Pemeliharaan al-Qur’an terus dilakukan dari waktu ke waktu, termasuk ketika dunia tulis menulis mengalami kemajuan dalam hal percetakan. Akan halnya buku-buku dan media cetak lainnya, al-Qur’an pun untuk pertama kali dicetak dikota Hanburg, Jerman pada abad ke 17 M. Lebih dari itu, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, lebih-lebih negara yang menyatakan dirinya sebagai negara Islam, telah memiliki panitia khusus yang bertugas mentashhih setiap pencetakan al-Qur’an. Untuk menjaga kemurnian al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia ataupun yang didatangkan dari luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Agama telah membentuk suatu panitia yang bertugas untuk memeriksa dan metashhih al-Qur’an yang akan dicetak dan yang akan diedarkan, yang dinamai “Lajnah Pentashhih Mushhaf al-Qur’an” yang ditetapkan dengan penetapan Menteri Agama No. 37 Tahun 1957, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1980. E. Pengertian Wahyu Nabi Muhammad SAW bukanlah seorang rasul yang berbeda dari para nabi dan rasul sebelumnya. Beliau pun bukanlah nabi pertama yang berbicara dengan manusia atas nama wahyu, Kalam Ilahi. Sejak Nabi Nuh As.muncul berturut-turut pribadi-pribadi suci pilihan Allah, yang semuanya berbicara atas nama Allah dan semua ucapannya bukanlah keluar dari hawa nafsu. Wahyu Ilahi yang mendukung dan memperteguh kenabian mereka, suatu keadaan yang tidak berbeda dengan kenabian Muhammad SAW yang serupa. Bersumber dan tujuan satu yang sama. Dalam firman Allah SWT: Q.S. An-Nisa: 163-164        •                                     Al-quran secara cermat menamakan apa yang diturunkan Allah ke dalam hati Nabi Muhammad sebagai wahyu, yaitu suatu lafadz yang mendukung keseragaman makna wahyu yang di turunkan kepada semua nabi dan rasul. Makna Wahyu Kata wahyu merupakan bentuk masdar dari waha, yahi, wahyan. Secara Etimologis, wahyu mempunyai arti yang beragam antara lain: isyarat, ilham, bisikan, perintah, instink. Penggunaan kata wahyu di dalam Al-Quran yang kebanyakan menggunakan fi’il madli ditemukan dalam beberapa ayat Al-Quran seperti: 1. Kata wahyu dengan maksud isyarat yang cepat dan rahasia dalam bentuk lambang dan petunjuk, tertuju kepada nabi/ rasul Allah saja, seperti dalam firman Allah SWT: (Q.S. An-Nisa: 163)         •                      “Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud.” (Q.S. Maryam: 11)             “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” 2. Kata wahyu dengan maksud ilham, ilham fitriah (naluriah) atau firasat yang hanya ada pada manusia dan tidak pada binatang, seperti kata wahyu dalam firman Allah SWT: (Q.S. Al-Qashash: 7)                          “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” 3. Kata wahyu dengan maksud bisikan setan, tipu daya dan rayuan yang mengajak manusia berbuat kejahatan, seperti arti kata wahyu dalam firman Allah SWT: (Q.S. Al-An’am: 121)            •            “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik yaitu dengan menyebut nama selain Allah.” 4. Kata wahyu dengan maksud perintah, digunakan untuk menyebut firman Allah yang berupa perintah kepada para malaikat, rasul dan hamba-Nya, seperti kata wahyu yang terdapat dalam firman Allah SWT: (Q.S. Al-Maaidah: 111)          •     “Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: "Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". mereka menjawab: kami Telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)". (Q.S. Al-Anfal: 12)                       •   (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. Maksudnya: ujung jari disini ialah anggota tangan dan kaki.” 5. Kata wahyu dengan maksud instink, yang berarti ilham gharizi yang terdapat pada manusia atau pada binatang , seperti kata wahyu yang terdapat dalam firman Allah SWT: (Q.S. An-Nahl: 68)               “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia." Di dalam penggunaan sehari-hari, kata wahyu lebih sempit maknanya yakni wahyu dipahami sebagai ajaran Allah yang disampaikan kepada para nabi dan rasul-Nya secara tersembunyi dan cepat. Secara Terminologis, ada beberapa definisi wahyu dari para ulama, antara lain sebagai berikut: a) Sebagian ulama mendefinisikan: الْوَحْيُ كَلاَمُ اللهِ تَعَالىَ الْمُنَزَّلُ عَلىَ نَبِيِّ مِنْ أَنْبِيَائِهِ “Wahyu adalah firman Allah SWT yang disampaikan kepada salah seorang dari Nabi-nabi-Nya.” b) Syekh Muhammad Abduh memberikan definisi, sebagai berikut: اَلْوَحْيُ عِرْفَانُ يَجِدُهُ الشَّخْصُ مِنْ نَفْسِهِ مَعَ الْيَقِيْنِ بِإِذْنِهِ مِنْ قِبَلِ اللهِ بِوَاسِطَةٍ اَوْ بِغَيْرِ وَايِطَةٍ “Wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dari dalam dirinya sendiri disertai dengan keyakinan, bahwa hal itu dari sisi Allah, baik dengan perantara atau tidak dengan perantara.” c) Dr. Abdullah Syahhatan dalam kitab ‘Ulumul Qur’an Wat Tafsir, mendefinisikan: وَالْوَحْيُ شَرْعًا: إِعْلاَمُ اللهُ تَعَالىَ مَنْ اصْطَفَاهُ مِنْ عِبَادِهِ مَا اَرَادَ اِعْلاَمَهُ عَلَيْهِ فىِ اَلْوَانِ الْهِدَايَةِ وَالْعِلْمُ وَلَكِنْ بِطَرِيْقَةِ غَيْرِ مُعْتَادَةٍ لِلْبَشَرِ “Wahyu menurut syarak ialah pemberitahuan Allah SWT kepada orang yang dipilih dari beberapa hamba-Nya mengenai berbagai petunjuk dan ilmu pengetahuan yang hendak diberitahukannya tetapi dengan cara yang tidak biasa bagi manusia.” d) Menurut Az-Zarqani, wahyu adalah Allah SWT mengajarkan kepada hamba-Nya yang terpilih segala macam hidayah dan ilmu yang Dia (Allah) kehendaki untuk memperlihatkan kepada hamba-Nya, akan tetapi dengan jalan rahasia dan samar. Dari pengertian di atas dapat ditarik beberapa poin terkait dengan wahyu, yakni: a. Proses komunikasi yang berlangsung secara cepat dan rahasia. b. Informasi yang diyakini bersumber dari Allah SWT. c. Diterima oleh seorang hamba yang terpilih. d. Materinya adalah ilmu dan hidayah yang dikehendaki oleh Allah. e. Disampaikan dengan atau tanpa perantara Proses Penerimaan Wahyu: 1. Melalui komunikasi dengan Allah Sebagai contoh cara turunnya kitab taurat, yang cara turunnya secara dialog langsung antara nabi Musa a.s. dengan Allah karena itu beliau mendapat gelar Kalimullah, dalam Al-Quran: ( Q.S. An-Nisaa: 164)                 "Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung." 2. Melalui gemerincing lonceng Seperti diisyaratkan dalam hadis Al-Bukhari: إِذَا قَضَى اللهُ ِلأَمْرٍ فىِ السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلآئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَالسَّلْسِلَةِ عَلىَ صَفْوَانٍ "Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemercingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin." 3. Malaikat menyerupai makhluk (laki-laki) Cara ini lebih ringan daripada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar, seperti seorang manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri. 4. Di balik mimpi/ tabir Seperti mimpi Nabi Ibrahim a.s. ketika menerima wahyu yang memerintahkan supaya menyembelih putranya, Ismail. (Q.S. Ash-Shaaffat: 102)                              Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". 5. Malaikat menampakkan aslinya Cara ini terasa berat bagi nabi, karena harus penuh konsentrasi dalam menghadapi malaikat dalam alam rohani. Dalam firman Allah: (Q.S. Al-Muzzammil: 5)       " Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat." Skema Penyampaian dan Penurunan Wahyu Al-Quran Perbedaan Al-Quran dan Wahyu: Wahyu merupakan ucapan/lafaz Allah (Kalamullah). Komunikasi Allah dengan Malaikat/ Rasul. Al-Quran merupakan konteks wahyu dalam bentuk teks, tertulis. Agar pesan/ komunikasi Allah dapat sampai kepada umat manusia. (Q.S. Asy-Syura: 51-52)         • •             "Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana." "Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada nabi Musa a.s." Kesimpulan Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw, yang antara lain sebagai sarana penghambaan dengan membacanya. Al-Quran mempunyai banyak nama antara lain: al-kitab, al-furqan, at-tanzil, az-zikr, an-nur, dll. Al-Quran merupakan wahyu yang diterima oleh Muhammad saw. dari Allah swt melalui perantara Malaikat Jibril as. ataupun tanpa perantara. Wahyu yang diterimanya dalam bentuk gemerincing lonceng, komunikasi dengan Allah, melalui mimpi/tabir, malaikat menampakkan aslinya atau menyerupai makhluk laki-laki. DAFTAR PUSTAKA Abu Zaid, Nasr Hamid. 2002. Tekstualitas Al-Quran Kritik Terhadap Ulumul Quran (Edisi Revisi). Yogyakarta: LKiS. Al-Damiri, Abd Allah Ibn Al-Rahman. Sunan al-Damiri juz 2. Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr. Al-Khudhari Bek, Muhammad. 1387 H/1967 M. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Mishr: al Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra. Al-Shalih, Shubhi. 1988. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Dar al-‘Ilm li al- Malayin: Beirut-Lubnan. ________________. 2004. Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus Al-Suyuthi, al-din Jalal. al-Itqan fi ‘Ulumul Qur’an. Dar al Fikr: Beirut-Lubnan. Al- Qaththan, Manna Khalil. 1393 H/1973 M. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits. ________________________. 2006. Studi-studi Ilmu Quran. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. Al-Zarkasyi, Muhammad Badr al-Din. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid 1. Beirut-Lubnan: ‘Isa al-Babi al-Halabi. Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,jilid 1. ‘Isa al-Babi al-Halabi. Al-Zuhayli, Wahbah. 1411 H/1991 M. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-manhaj, jilid 1-2. Beirut-Lubnan: Dar al- Fikr. Ash-Shabuni, M. ‘Ali. 1991. At-Tibyan fii ‘Ulumil Qur’an. Damaskus: Maktabah al- Ghazali. __________________. 1999. Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan Drs. H. Aminuddin. Jakarta: Pustaka Setia. Djalal H.A, Prof. Dr. H. Abdul. 2000. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu. Hakim, M. Baqir. 2006. ‘Ulumul Qur’an. Jakarta: Al Huda. Haikal, Muhammad Husayn. 1984. Sejarah Hidup Muhammad (terjemahan Ali Audah). Jakarta: Tintamas. Ibn ‘Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, Jar Allah Mahmud. al-Kasysyaf ‘an Haqa’id al-Tanzil wa-‘Uyun al-Aqawil fi Wjuh al-Ta’wil, jilid 4. Beirut-Lubnan: Dar al Fikr. Ibn Jazzi al-Kilabi, Muhammad Ibn Ahmad. kitab al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil, jilid 1, Beirut-Lubnan: Dar al- Fikr. Mesra, Alimin, dkk. 2005. Ulumul Quran. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta. Suma, HM. Amin. 2000. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus. Zuhdi, Masyfuk. 1982. Pengantar ‘Ulumul Qur’an. Surabaya: Bina Ilmu.

Tidak ada komentar: